Bab 9

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

PERHATIAN:
Sebelum membaca harap perhatikan 3 hal berikut:
- Isi cerita mengandung kebaperan tingkat akut
- Setiap quote yang menarik, bisa kalian share di sosial media dan wajib tag instagram aku (@)yudiiipratama
- Vote terbanyak & komentar menarik kalian di setiap bab akan berkesempatan mendapatkan spesial gift dari Author.
x
x
x
x
[Cerita ini dilindungi undang-undang akhirat. Jika melakukan plagiat, akan dicatat oleh malaikat]

Jakarta, masa lalu 2014

Keadaan mulai menguji hubungan Fabian-Gisa. Hari itu semua terlihat baik-baik saja meski keadaan sedang rumit. Gisa tak pernah menampakkan wajah murungnya di depan Fabian. Hal-hal kecil, sederhana namun penuh makna tetap Gisa lakukan agar Fabian bisa kembali tersenyum.

"Kalau dipikir-pikir nama kamu lucu, ya," goda Gisa.

Fabian menoleh dengan wajah heran. "Lucu gimana?"

"Ya, lucu. Fabian. Fab artinya hebat, Ian artinya Ikan. He he."

Fabian sedikit terkekeh. "Bisa aja kamu. Nama aku itu jangan sembarangan kamu artiin. Fabian itu tinggi loh artinya."

Sejak pacaran, Fabian memperlakukan gisa dengan lembut, layaknya seorang putri yang patut dijaga dan dimanja, Semakin menambah keromantisan mereka saja.

"Really?"

"Yap. Fab artinya hebat, Ian itu bahasa latin dari kaum lelaki Ibrani yang artinya hadiah dari Tuhan yang berambisi tinggi untuk menjadi pemimpin. Ya, singkatnya, sih, Fabian maknanya adalah lelaki hebat."

Gisa tersenyum bangga di sebelah Fabian. "Kamu memang hebat, Fabian. Aku bersyukur bisa menjadi pacarmu."

"Ih, nggak sopan manggil sebut nama, aku ini kan kakak kelas sekaligus seniormu di OSIS," ujar Fabian, menggoda.

"Iya, tapi Sekarang kamu lagi menjadi Fabian pacarku, bukan kakak kelas, ataupun Ketua OSIS ku" jawab gisa, kali ini fabian yang tersipu malu.

"Serius aku bangga padamu kak, kamu kuat. Bukan hanya sebagai pelajar yang memiliki jabatan, tapi juga sebagai pribadi seorang kakak untuk adik-adik dan keluargamu" ujar Gisa, tersenyum. Meski fabian tidak pernah cerita secara langsung, Gisa seolah punya cara sendiri untuk tahu segala hal tentang lelakinya tersebut.

Senyumnya dibalas Fabian dengan anggukan. "Siapa pun berhak bangga dengan pacarnya masing-masing, bukan begitu? Tapi tak semua orang akan bangga dengan pasangannya ketika mereka tak pernah memiliki komunikasi yang baik. Apa kita seperti itu?"

"Komunikasi kita berdua baik, kok. Dan kalaupun kamu jarang menghubungi aku, it's okay. Pekerjaan kamu adalah yang paling utama. Lakukan semuanya demi masa depanmu dan pembuktianmu pada orang tua."

Semenjak Fabian dan Gisa berbacaran, Fabian telah bergabung pada sebuah tim event organizer dengan tujuan mencari pengalaman kerja yang sesuai dengan passion dan memenuhi kebutuhan pribadinya sendiri. Keluarga Fabian sedang tidak baik-baik saja.

Hampir setahun mereka berpacaran, hubungan asmaranya di awal berjalan dengan lancar dengan penuh romansa. Namun di pertengahan, mereka diuji dengan berbagai persoalan. Fabian dengan keegoisannya dan Gisa dengan kesabarannya, tapi syukurlah masalah kiranya mereda tanpa cekcok yang berkepanjangan. Dua insan ini mudah menyatu; layaknya api akan dipadamkan oleh air, mereka saling melengkapi satu sama lain.

Perhatian Gisa tak henti-hentinya ia berikan pada Fabian, tapi sayangnya Fabian tidak menyadari itu. Pernah ketika Fabian terlalu memforsir kegiatannya di luar sekolah, menerima berbagai job, akhirnya ia jatuh sakit, dan Fabian melarang siapapun khususnya Agam untuk memberitahu Gisa akan hal itu, namun Fabian kalah, Gisa lebih unggul satu langkah dibanding dirinya. Gisa adalah orang ketiga yang tahu Fabian sakit. Insting yang terasah dari rajutan kasih sayang membuat Gisa peka terhadap segala hal yang terjadi pada Fabian, sebelum Agam dibungkam oleh Fabian, Gisa sudah lebih dulu memaksa Agam mengaku tentang keadaan Fabian.

***

Masa putih abu-abu Fabian berjalan dengan penuh perjuangan dan juga permasalahan, tetapi lagi-lagi Fabian tidak ambil pusing. Di samping dirinya yang selalu saja membuat ulah ke beberapa guru, sering terlambat masuk dan ketiduran di kelas karena kelelahan, Fabian tetap menjaga eksistensinya sebagai salah satu siswa yang cerdas dan terbilang aktif juga di non-akademik. Terbukti dengan jabatannya sebagai ketua OSIS yang memberikan kesempatan baginya untuk aktif mewakili sekolah menghadiri beberapa kegiatan-kegiatan besar.

Pelajaran yang paling membuat Fabian bosan adalah perhitungan. Ia beranggapan jika tidak semua rumus matematika digunakan di dunia kerja, apalagi untuk dirinya yang sekarang berkecimpung di dunia entertainment.Ditambah lagi tiap kali ada tugas yang katanya tidak terlalu penting dan menyita waktunya, Fabian selalu memanfaatkan situasi. Seperti halnya merangkum LKS, ia lebih memilih untuk melelangnya ke teman-teman kelas daripada mengerjakannya.

"Fabian? Lo mau ke mana?" tanya Robi, salah satu teman kelas Fabian. "Ini ada tugas LKS PKN yang harus dikumpul setelah jam istirahat kedua nanti."

Dengan malas Fabian memutar kedua bola matanya lalu mengambil buku LKS dari dalam tasnya. Buku LKS tersebut diangkatnya tinggi. "Siapa yang mau ngerjain tugas gue? 20 ribu, nih," tawar Fabian.

Sontak seisi ruangan gaduh, hampir seluruh siswa di kelas mengacungkan tangannya namun Fabian langsung memilih Sidik, siswa rangking satu dan si kutu buku yang memiliki tulisan tangan hampir mirip dengannya. Tak hanya cerdas tapi juga cerdik, dengan itu Fabian bisa mengelabuinya.

Kelakuan buruk Fabian yang telah mengakar di sekolah sebenarnya telah diketahui oleh para guru dari segelintir pemburu ranking di dalam kelas yang selalu mengadu, mereka juga tidak rela jika Fabian tidak diberikan hukuman yang setimpal. Namun tetap saja sulit untuk mereka memojokkan Fabian yang notabene-nya banyak berjasa kepada SMA Negeri Cendekiawan.

Oleh karena itu, Fabian hanya diberi peringatan saja dan beberapa kali Gisa menjadi tempat curhat guru-guru yang dongkol dengan tingkah laku Fabian. Namun sejelek apa pun tanggapan guru terhadap Fabian, Gisa tetap membelanya dan berusaha meyakinkan mereka bahwa di balik sisi buruk Fabian ada kebaikan yang tersimpan, yang tak semua kepala menyadarinya.

Dalam menjalin asmara, Fabian sendiri tidak pernah mencampurkan urusan pribadi dan perasaannya kepada Gisa. Dan Gisa sendiri pun selalu bungkam dengan aduan-aduan yang ia dapatkan dari para guru terhadap Fabian dan lebih memilih memendamnya, karena ia memahami betul bagaimana karakter dari pacarnya itu.

Perjalanan masa SMA keduanya yang awalnya tercipta harmonis, perlahan merenggang. Meski begitu, Gisa seringkali berusaha untuk siaga selalu ada di setiap kali Fabian membutuhkan bantuan.

Gisa always there and never give up on him.

"Sudah makan?" tanya Gisa saat menghampiri Fabian di ruang OSIS di jam istirahat.

"Belum."

"Ya udah. Bareng, yuk," ajak Gisa.

"Masih kenyang," dijawab Fabian cuek.

"Serius nggak lapar?"

"Iya. Bareng si Lia aja."

Gisa langsung duduk di sebelah Fabian, "maunya bareng kamu." Wajahnya ditekuk.

Fabian mendengkus. "Ah, lagi mager ini. Aku juga harus siapin materi untuk kerjaan besok"

Hanya sekali membujuk dan tidak juga memaksa, Gisa langsung berdiri dan berkata, "Yaudah, nanti kalau udah laper, langsung makan aja, ya. Jangan sampai lupa makan. Aku duluan yah."

Fabian hanya mengangguk dengan mata masih terfokus pada ponsel-nya, sedangkan Gisa tengah beranjak dari ruangan dan ia sama sekali tidak memedulikannya.

***

Ekonomi keluarga Fabian sedang tidak stabil. Adi, ayah Fabian yang menjadi tulang punggung keluarga telah gagal dalam bisnisnya yang ia perjuangkan selama ini sebagai pebisnis yang menginvestasi ke sana sini sedang mengalami banyak problematik, salah satunya tertipu oleh rekan kerjanya.

Mengetahui hal tersebut, Fabian semakin membenci sosok ayahnya. Semua hal yang dianggap mudah tercapai oleh adik-adiknya, kini harus kerja keras. Diana yang menutupi segala kesedihannya membuat Fabian marah besar.

"Ada apa, Ma? Kenapa mata mama sembab?" tanya Fabian saat pukul dini hari.

Terlihat Diana menyeka air matanya setelah tersadar dari lamunannya. "Ti—tidak ada apa-apa, Nak. Mama cuman kelilipan."

Jawaban singkat tapi kurang jelas membuat Fabian merebahkan dirinya di atas sofa dan duduk di sebelah Diana. "Mama ... tolong jawab Fabian dengan jujur," pintanya kemudian.

Diana tersenyum. "Fabian ... mama baik-baik saja. beneran." Ia mengusap pelan rambut Fabian. "Gimana pekerjaannya tadi? Lancar?"

Penglihatan Fabian semakin dalam menatap bola mata Diana yang seakan-akan berbicara mengenai kondisinya yang tidak baik sekarang ini. Dari senyum Diana terlalu mudah ditebak oleh Fabian anaknya.

Fabian menarik napas panjang, kemudian tersenyum menatap mamanya. "Lancar-lancar saja, Ma." Ia merebahkan badannya di kursi.

Padahal Fabian menyadari jika Mama-nya menyembunyikan sesuatu darinya, dan tidak lain ini pasti tentang ayahnya. Diana memang sosok orang tua hebat, pandai menyembunyikan kesedihan agar anak-anaknya tidak khawatir dengan dirinya. Bahkan pada kondisi terpuruk sekalipun, ia masih bisa terlihat tenang dan bersikap lembut ke Fabian. Benar-benar orang tua idaman.

Berbeda jauh dengan Adi. Di kondisi rapuh seperti ini bukannya mendekatkan diri dengan keluarga, ia justru menjauh. Acap kali pulang larut dan tak membangun komunikasi yang baik dengan istri dan juga anak.

"Oh, Ayah pulang? Tumben." Pertanyaan sekaligus sindiran sinis tersebut muncul saat Fabian tak sengaja mendapati ayahnya pulang larut malam.

"Kenapa kau bicara seperti itu, Ian? Kau tauk gimana kerasnya kehidupan di luar?! Susahnya ayah cari uang?!" Suara Adi meninggi.

"Jangan keras-keras, Ayah. Yang lain sudah pada tidur. Untung tidak menunggu orang tua seperti Ayah yang lebih memprioritaskan pekerjaan daripada keluarga, Uang bukan satu-satunya yang kami butuhkan dari ayah. Tanpa Ayah, Fabian juga bisa cari uang sendiri." dongkol Fabian.

"kenapa denganmu? Sejak kapan kau bersikap sinis ke orang tua seperti ini?!"

"Fabian tidak pernah melawan Mama, karena ia memperlakukan kami dengan sangat baik. Fabian juga tidak pernah melawan Ayah, karena ia sudah kerja keras membanting tulang untuk menafkahi keluarga. Tapi, Fabian muak dengan Ayah yang hanya mementingkan ambisi sendiri! Harta bisa dicari, tapi kami tumbuh dewasa setiap hari dan waktu tidak akan pernah terulang lagi. Sesibuk apakah pekerjaan Ayah hingga kami terabaikan?!"

"Kau tahu apa soal dunia pekerjaan?!"

Wajah Fabian mulai memerah, matanya tajam menatap Adi. Ia memendam amarah dalam dirinya. Tak mau membuat keributan yang dapat mengakibatkan Mama dan keluarga bangun tengah malam, Fabian pun memilih diam. Jika tidak, pasti sebuah tamparan membabi buta melayang ke pipi Fabian.

Perang dingin antara anak dan ayah disaksikan keheningan malam membuat suasana rumah mencekam. Fabian tertunduk diam, jika di depannya sekarang bukanlah orang tua kandungnya, mungkin sudah dari dulu Fabian akan memukulinya.

Adi tidak berpikir jernih, dengan kondisi keluarga yang tidak memihak padanya dan ditambah dengan permasalahan pada bisnisnya membuat ia hilang arah.

Hal itulah yang membuat Fabian tak bisa tinggal diam. Ia pribadi tidak ingin lagi berharap pada ayahnya yang sudah gagal. Itu juga yang melatarbelakangi Fabian harus lebih memprioritaskan pekerjaan daripada pendidikan.

Sejak saat itu, pekerjaan menjadi yang utama untuk keberlangsungan hidup keluarganya; Reyhan, Dela, dan yang terpenting adalah mamanya. Fabian harus segera terbebas dari finansial, jadi ia bekerja keras untuk kehidupan keluarganya yang lebih baik di masa mendatang.

Fabian beranjak ke kamar-nya , ia melihat reyhan sedang tertidur pulas. Fabian duduk di sudut kamar, pikirannya jauh melayang ke tempat dimana kedamaian harus ia dapatkan. Fabian merutuki dirinya yang masih belum mampu berbuat banyak untuk membawa keluarganya bangkit dari situasi terpuruk. Fabian mengambil kertas bekas bungkusan ayam goreng disebelahnya, diraihnya pulpen dari sakunya dan menuliskan apa yang terlintas dikepala.

Tuhan, bolehkah saya meminta satu permintaan saja?

Tapi tolong kali ini kabulkan

Jadikan saya manusia kuat, agar mampu melalui ujianmu, menghentikan segala tangis, mengakhiri penderitaan, menjadi pribadi yang dapat diandalkan
untuk siapapun yang membutuhkan.

Jika tidak boleh, kabulkan yang satu ini saja ...

Hapuskan semua beban mereka, dan pindahkan ke saya seorang.

Biar saya saja, mereka jangan.

Satu, dua tetes air mata Fabian membasahi kertas yang ia genggam. Diremukan kertas itu, dengan sigap fabian menghapus Air matanya, lalu menatap ke arah Reyhan. Satu adiknya yang pasti merasakan hal yang sama dengannya. Bahkan mungkin terlalu berat untuk usianya.

****
To be continued

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro