12. Perdebatan

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Weda sama sekali tidak bisa memejamkan mata. Ide Galoeh begitu buruk karena sepertinya gadis itu tidak mengenali kelakuannya saat tidur. Baru setengah jam, kaki Galoeh sudah melanggar sendiri batas yang ia buat dan menumpang di kakinya-lebih tepatnya pangkal paha- sehingga membuat aliran darah jantung yang sedari tadi berdetak cepat lebih suka mengalir ke bawah dan membangunkan sesuatu yang tertidur.

Penderitaan Weda belum cukup sampai di situ. Walau sudah membalik badan Galoeh, baru saja ia terlelap gadis itu sudah memutar tubuh dan tangan kecil itu merangkulnya bak guling yang nyaman dipeluk. Jelas saja, Weda yang gampang terjaga karena kebiasaan berjaga malam sewaktu dikirim kuliah di tiga tahun terakhirnya kuliah kedokteran di Belanda, kembali membuka mata. Kantuknya lenyap seketika, saat mendapati dadanya sudah menjadi bantal kepala Galoeh. Belum lagi tangannya merasakan sesuatu yang ... empuk? Kenyal?

Bola mata Weda bergulir ke bawah. Ia yakin Galoeh tidak memakai kutang karena ia bisa merasakan konsistensi anatominya dengan jelas. Tapi, kapan Galoeh melepas kutangnya? Jakun Weda seketika naik turun. Peluhnya merembes tak terkendali. Tidur sendiri saja ia sering kepanasan dan harus melepas baju, bagaimana sekarang ia dipepet gadis yang dengan polosnya menganggap dirinya guling tak bernyawa? Kini Weda benar-benar berjaga menemani 'adik kecil'-nya yang juga kesusahan tidur.

Sejenak kemudian kepala Weda menggeleng mengutuki pikiran anehnya. Weda menggeliat, berusaha membebaskan diri. Tapi gerakannya justru mempererat pelukan Galoeh. Kalau seperti ini Weda ingin menangis. Merutuki ibunya yang kelewat cerdas untuk masalah menjodohkannya. "Harti ... piye iki?"

Akhirnya, ayam jantan milik Romo Danoe berkokok. Ia mendongakkan kepala sementara tangannya menggapai jam meja. "Gusti, sudah jam empat." Weda meremas jam itu. Galoeh benar-benar membuat hidupnya kacau. Bahkan jam paling pribadinya untuk beristirahat juga direnggut gadis yang masih terlelap tanpa rasa bersalah.

Perlahan Weda mendorong Galoeh untuk yang kesekian kali. Dan gerakan yang sedikit kasar itu akhirnya bisa membangunkan Galoeh. Gadis itu terkesiap ketika begitu membuka mata mendapati Weda sedang memegang lengannya.

"Mas Weda, sedang apa?" Galoeh menepis tangannya, memperlakukan Weda seolah ia hendak berbuat tak senonoh pada gadis itu.

"Se ... sedang ...." Ucapan Weda yang tergagap justru menimbulkan kecurigaan Galoeh. Gadis itu buru-buru menegakkan tubuh, beringsut ke sudut ranjang sambil menarik kaki sehingga pahanya menyentuh dada.

"Sedang apa?" Mata Galoeh membeliak.

"Loeh, kamu kok mikir aku mau macam-macam sama kamu?" Weda gusar. Bukannya sepanjang malam ia yang diserang hingga badannya nyeri semua karena tak bisa tidur? "Aku ... aku cuma mau bangunkan kamu. Sudah mau subuh."

"Aku ndak salat."

"Lagi mens?"

"Aku Katolik, Mas."

Weda menepuk dahinya. Kebiasaannya membangunkan Pantja yang susah dibangunkan untuk salat subuh di markas, ia gunakan untuk alibi yang justru membuat keadaan semakin canggung.

"Ya wes. Sana bangun. Perempuan harus bangun pagi!" Weda terpaksa bangun dan segera memosisikan diri tengkurap dengan disangga kedua kaki. Ia harus mengeluarkan energinya agar teman kecilnya ikut lelah dan akhirnya mau merebah tanpa harus muntah.

Untungnya Galoeh langsung ke bangun dan turun dari ranjang. Tapi sebelum pintu terbuka, Weda teringat sesuatu lalu menghentikan push-up nya. "Loeh, pakai kutangmu dulu!"

Galoeh memutar tubuh. Wajahnya memerah seperti kepiting rebus. "Mas, bikin apa semalam? Kenapa tahu saya ndak pa ... kai?" Suara Galoeh perlahan lirih.

Weda duduk di lantai menyelonjorkan kaki kanan dan melipat kaki kirinya. "Ya tidur! Mau apa lagi?" Weda berdusta. Semalam ia terjaga hingga matanya kini memerah.

Galoeh mendengkus, menyilangkan kedua tangan ke dada dan bergerak mencari kutangnya di antara selimut. Saking tergesanya, kutang itu terlempar dan mendarat di muka Weda. Weda bisa menghidu wangi sabun bercampur feromon yang melekat pada kainnya yang semakin membuat gejolak di bawah sana.

Belum sempat Weda mengambil, Galoeh segera menarik dan buru-buru keluar. Melihat tingkah Galoeh, Weda mengulum senyum. Sikapnya begitu menggemaskan dan membuat Weda ingin ....

Sekali lagi ia menggeleng dan menepuk sesuatu yang berdiri di pagi hari di bawah perutnya. "Hush, ora pareng nakal!"

***

Weda tak melihat lagi Galoeh setelah gadis itu keluar dari kamar pagi tadi. Seperti dirinya, Galoeh juga terlihat menghindarinya. Tapi, mereka berdua tak bisa menghindar saat sarapan pagi pada pukul 05.45. Laki-laki itu duduk di sebelah Galoeh yang sedari tadi menunduk.

"Loeh, makan yang banyak. Jangan oblok-obloknya enak loh, walau ndak pakai teri." Ibu Lastri menambahkan sayur ke piring Galoeh.

"Hari ini kita makan nasi jagung lagi. Kita harus irit-irit beras. Sudah bagus kita bisa makan beras seminggu sekali karena kemarin Romo menyisihkan beberapa bojog panenan untuk kita sebelum dipasrahkan ke Kumiai," ungkap Romo Danoe.

"Nippon ini keterlaluan. Masa kita ndak boleh makan beras dari sawah kita." Bila mengingat pembatasan beras, Weda selalu meradang. Setelah Dai Nippon datang, keluarga ini biasanya akan makan nasi setelah panenan. Itupun dijatah seminggu sekali. Untungnya panenan kali ini sedikit berlimpah sehingga Romo Danoe bisa mengakali karena biasanya panenan yang didapat hanya sedikit.

Alih-alih melahapnya, Galoeh hanya menatap saja sayur oblok-oblok daun singkong dan nasi jagung. Setelah tampak berpikir keras. "Bu, soal pemberkatan ..." Akhirnya Galoeh membuka suara. "saya pikir lebih baik ditunda dulu."

Ibu Lastri melongo. Mata berbulu lentiknya mengerjap. "Nduk ...." Suara wanita paruh baya itu berusaha ditekan agar tak meninggi. Namun, raut tegangnya menunjukkan Ibu Lastri tak sepaham dengan gadis itu.

"Sebaik-"

Baru saja Weda akan membuka mulut untuk mendukung ucapan Galoeh, Ibu Lastri langsung memotongnya. "Mas, Ibu ndak mau dan ndak bisa! Pernikahan itu sah kalau sudah diresmikan secara agama dan hukum. Ibu dan Romo sudah mengirim telegram ke Semarang. Kita tinggal tunggu kabar pemberkatan kalian. Mungkin sebulan atau dua bulan lagi, tergantung pastor yang bisa ke Sala." Memang, sejak Jepang menduduki Hindia Belanda, yang diubah nama menjadi Indonesia, pastor-pastor Belanda ditangkap dan dimasukkan ke kamp interniran. Jangankan untuk pembekatan nikah, untuk beribadah setiap minggu saja mereka tak bisa karena Dai Nippon benar-benar membatasi pengaruh barat sehingga umat Katolik pribumi yang tersisa hanya bisa berdoa sendiri di rumah. "Ingat, Mas, kita bertanggung jawab atas hidup Galoeh."

"Bertanggung jawab?" Alis Galoeh mengerut heran.

Ibu Lastri terkesiap. "Mak-maksudnya, kamu sudah menjadi menantu keluarga ini sejak menikah secara hukum negara dengan Weda. Jelas kamu sudah menjadi tanggung jawab kami."

"Bu, saya ... saya ndak cinta-" Galoeh tergagap. Weda kasihan dengan Galoeh. Setelah kehilangan keluarga, ia terpaksa menjadi istri bagi pemuda asing seperti dirinya. Dan kini Ibu Lastri berusaha memaksakan kehendaknya mengikat Galoeh.

"Apa kurangnya Weda, Nduk?" tanya Ibu Lastri. "Sebagai laki-laki, dia bahkan turun sendiri ke dapur untuk membuatkanmu nasi goreng. Bahkan Mbok Mi saja ndak dibolehkan membantu. Mana ada laki-laki yang mau ke pawon kalau bukan anak Ibu? Ibu masih kolot, Nduk. Tapi karena Romo"

Rahang Weda mengerat. Egonya terluka mendengar ibu yang membelanya mati-matian agar Galoeh mau menerimanya. Entah kenapa, terselip kekecewaan di hati. Mungkin karena ia merasa telah melakukan segalanya untuk Galoeh dan terlalu niat memperlakukan Galoeh dengan baik. Seperti semalam, demi menebus perasaan bersalahnya karena telah membuat Galoeh menunggu dan merelakan uang yang gadis itu punyai untuk membelikan jagung dengan harga yang sangat tidak wajar, ia lalu berinisiatif membuatkan nasi goreng walau sempat ditawari bantuan Mbok Mi. Weda rela memasuki pawon demi mengolah sisa nasi yang berharga, hanya untuk Galoeh.

"Nduk, Ibu dan Romo awalnya ndak saling cinta. Nggih to, Romo?" Ibu Lastri mencari dukungan. "Cinta itu akan ada saat kalian melewati ujian hidup bersama-sama."

"Tapi, Mas Weda tresno sama Mbak Harti." Galoeh tetap memberi alasan. "Kami bisa pisah kalau kondisi sudah baik. Tinggal mencatatkan perceraian saja seperti mencatatkan pernikahan kami."

"Dari awal sebelum mengenal Harti, Ibu sudah sampaikan kalau Ibu punya calon istri untuk Weda. Yaitu kamu! Jadi, kamu ndak perlu merasa merebut atau mengganggu hubungan mereka."

"Saya tahu itu demi kebaikan saya. Tapi saya ndak mau Mas Weda ndak bahagia, Bu!" seru Galoeh melengking.

Weda lalu menatap Galoeh yang wajahnya sampai memerah usai melontarkan penolakannya. Hatinya berdesir karena Galoeh memikirkan dirinya. Kebahagiaannya bersama Harti.

"Sudah, Bu. Galoeh bukan kami! Saya atau Tika. Ibu ndak bisa memaksanya! Lagipula, saya juga akan berpikir dua kali tentang pemberkatan itu," ujar Weda dengan nada keras. Ia kesal karena masalah ini menjadi rumit karena sikap Galoeh yang menurutnya terlalu ngeyel. Apakah susah menurut saja ketika posisi mereka memang tidak ada pilihan untuk menghindar? Sebenarnya, Weda pun tak mengira kebohongan ini akan berkembang tak terkendali dan begitu mengubah hidupnya.

"Maaf." Buru-buru Galoeh bangkit dan berbalik meninggalkan ruang makan.

"Loeh!" Saat Ibu Lastri akan mengejar Galoeh, Romo Danoe menahannya.

"Bu, kasih Galoeh waktu," titah pria utama di rumah itu.

"Tapi, Mo ...."

"Galoeh masih kaget," kata Romo Danoe. "Sudah baik mereka mau melakukan pencatatan pernikahan untuk menutupi kebohongan Ibu."

Ibu Lastri menggeleng, menatap suaminya tak percaya. "Lho, Ibu bohong kan juga demi melindungi Galoeh!"

"Bu, satu kebohongan akan mengundang kebohongan yang lainnya," jawab Romo Danoe.

"Memang ndak pekanya Romo ini nurun ke Weda! Jelas-jelas Galoeh peduli sama Weda! Saking pedulinya, dia lebih memikirkan kebahagiaan anak kita."

Weda heran apa yang dimaksud 'ndak peka' di sini. Bukankah laki-laki di rumah ini selalu menuruti permintaan Ibu Lastri? Jadi, bagian mana yang membuat tidak peka? Dan, lagi-lagi Romo Danoe mengalah dengan tidak membalas ucapan istrinya.

"Kita bakal menyesal melepas Galoeh, Mas! Di mata Ibu, Galoeh itu seperti batu intan yang akan bersinar saat diasah oleh kerasnya kehidupan!" Dada Ibu kembang kempis dipenuhi kekecewaan. Wanita utama yang tak terbiasa dengan penolakan itu, tentu saja terkejut saat ada yang menentangnya.

"Mas, opo salahnya kalian menikah betulan? Toh secara hukum sudah sah." Tika menimpali. "Semalam kan kalian sudah sekamar." Gadis itu terkikik.

Mata Weda menyipit curiga. "Jangan-jangan kamu sengaja ndak bukakan pintu untuk Galoeh ya?"

"Memang Ibu larang!" sergah Ibu Lastri.

Weda memutar bola matanya jengah. "Gara-gara itu, semalam aku ndak tidur."

"Kalian sudah ...?" Tika menyahut dengan menemukan ujung jari ke tangannya yang mengerucut.

"Pikiranmu! Mana bisa aku macam-macam sama Galoeh," ucap Weda gusar. "Lagipula, kalau mau begituan ya harus dilandasi cinta, Tik. Sementara koncomu juga ndak ada rasa sama aku. Buat apa dipaksakan? Cinta kan ndak bisa dipaksa. Kamu sendiri juga kenapa suka sama Jepang itu?"

Tika mengerut. Ucapan Weda membuat gadis itu bungkam.

"Kalian ini ... kenapa mau membuat Ibu jantungan?" Ibu Lastri bangkit dan berlalu begitu saja dari meja makan.

"Mas, omongane njenengan mbok dijaga!" Tika menendang kaki kakaknya.

"Hatimu yang dijaga! Souta itu penjajah! Ndak usah kamu bilang, matamu yang berbinar-binar waktu bicara sama Souta membuat semua orang tahu kamu menyukainya." Weda tidak mau kalah.

"Uwes, uwes!" Romo Danoe menyergah perdebatan putra-putrinya. Kedua anak muda itu langsung membisu, masih dengan melempar tatapan sengit. "Mas, sepertinya kali ini kamu harus menuruti kata ibumu." Romo Danoe menitahkan dengan nada tegas.

"Mo ...." Weda mengesah.

"Ibumu memikirkan kalian. Kamu, Tika, dan Galoeh. Terlebih setelah tahu kita menjadi penyebab tragedi keluarga Galoeh, beliau ndak akan bisa nyenyak tidur kalau belum menikahkan kalian. Bukan hanya mencatatkan status nikah kalian loh, ya?"

Jakun Weda naik turun, menatap nanar tenggok anyaman bambu yang berisi nasi jagung yang sudah hampir habis. Ia sudah dewasa, tapi sampai detik ini semua keputusan penting dalam hidup selalu dibuat oleh kedua orang tuanya, khususnya Ibu Lastri. "Ini baru mau nikah. Nanti setelah nikah, saya yakin Ibu ndak bakal bisa tidur kalau belum menggendong cucu."

Tawa Romo Danoe mengudara. Ia sependapat dengan putranya saking mengenal sifat istrinya. "Begitulah istrinya Romo, Le. Yo ibumu itu!" Romo Danoe mengambil segelas air dan meneguknya. Setelah itu, ia melanjutkan tuturnya. "Sejujurnya, daripada Harti, Romo menyukai Galoeh. Dua tahun lalu, saat Romo menyampaikan niat Ibumu pengin menjodohkan kalian, Galoeh menjawab sendiri, dia belum tertarik dengan laki-laki karena masih ingin melanjutkan belajar menjadi dokter. Dia juga bilang akan menikahi laki-laki yang akan ia pilih sendiri." Romo Danoe tersenyum mengenang peristiwa yang silam. "Romo kaget mendengar jawaban Galoeh. Dia memang dididik menjadi wanita modern yang ndak bisa semudah itu tunduk pada laki-laki atau orang lain. Dia juga ndak mau terikat pernikahan karena dijodohkan. Apalagi terpaksa."

"Tapi, Romo jangan lupa. Ibu punya banyak taktik untuk membuat keinginannya tercapai," kata Tika sembari menyeka mulutnya dengan serbet.

Weda bergumam lemah, membenarkan apa yang dikatakan Tika. Tak semudah itu Ibu Lastri menyerah.

💕Dee_ane💕

Hi, Deers ... Asmaraloka datang lagi. makasih untuk Mbak Diha2018 untuk komen kritisnya (luv bangets🥰). Yang lain kasih komen dan vote yak biar authornya happy.

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro