15. Pertemuan Rahasia

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Tepat pukul 19.30, akhirnya beberapa orang yang ditunjuk merapat ke kamar Weda yang ada di ujung. Tempat itu memang biasa digunakan Manggala dan Pantja untuk bercakap dalam hal apapun. Mulai candaan yang sepele hingga topik serius yang membuat mereka mengerutkan alis. 

“Kupikir pertemuan ini batal.” Manggala duduk di ranjang militer ala kadarnya.

“Aku pulang dulu tadi,” sahut Weda memberi alasan.

Pantja pura-pura terbatuk sambil tersenyum jahil. “Memang beda kalau sudah punya istri.” 

Weda berdeham, melirik sengit agar Pantja bungkam. “Bisa diam?”

Tawa Gala menggelegar. Semua orang yang ada di situ seketika memelotot lebar. Kebiasaan Gala yang tidak bisa mengerem suara tawanya kadang membuat teman-temannya gemas.

“Kamu mau kita ketahuan?” Irawan mengetuk kepala Gala.

“Maaf!” Gala meringis sambil mengusap kepalanya. “Habis muka Cudanco Weda kusut seperti jemuran kering.”

Irawan menoleh ke Weda. Alisnya mengerut. “Ada masalah di rumah?”

“Ndak.” Weda pantang mencurahkan isi hatinya tentang perempuan. Selama ini, saat masih bersama Harti, hubungan mereka mulus dan baik-baik sehingga tak ada yang perlu diceritakan karena sangat datar. Jadi, Weda juga tak terbiasa membicarakan masalahnya. 

“Oh, ya?” Pantja menjulurkan kepala ke depan, dengan tatapan menyelisik.

Seketika tangan lebar Weda mendorong muka Pantja menjauh. Namun, mata Pantja mendapati sesuatu yang aneh di tangannya.

“Dokter, jari Dokter kenapa?” Pantja meraih tangan Weda. 

Sementara itu, Weda yang baru menyadari ujung jarinya berwarna kekuningan karena bekas mengupas kunyit, buru-buru menarik tangannya. Pipinya terasa panas dan memerah. “I-ini kena kunyit.”

“Kunyit? Kamu pulang untuk masak?” Gala membeliak lebar. Senyumnya merekah seolah mendapati sesuatu yang istimewa. “Sejak kapan ada laki-laki masuk pawon?”

Weda mendengkus. “Ayo, dimulai saja.”

“Dokter buat apa kok pakai kunyit?” tanya Pantja belum mengalihkan topik pembicaraan yang menjadikan Weda sebagai bahan olokan. “Kare? Opor?”

“Jamu? Supaya rapet?” Gala menaik turunkan alisnya.

Pantja menggeleng. “Pantas minta pulang terus. Ternyata ….”

“Rapet gundulmu!” Weda melempar buku catatannya yang dengan sigap ditangkap Gala. “Jamah saja ndak pernah!”

Ketiga laki-laki itu melongo, saling melempar pandang. “Berarti Dokter sama Mbak Galoeh cuma status saja?” Pantja yang paling muda menyimpulkan. 

“Kenapa pertemuan ini malah membahas Weda?” Irawan berdeham dengan wajah kakunya melirik ketiga orang yang masih bercanda. Jelas Irawan terlihat gusar karena sejak Galoeh datang, ia mengorbankan Harti.

“Weda, tetap saja Galoeh sudah jadi istrimu yang sah,” kata Gala yang selalu bercakap santai dengan Weda. Sikapnya berkebalikan dengan Irawan yang kaku.

Pantja membeliak dengan suara meninggi. “Benar! Dokter sudah menikah loh. Sudah ditulis di surat nikah dan tanda pengenal.”

“Semua gara-gara Dai Nippon yang merenggut cita-cita seorang gadis dan membuatnya menjadi istri laki-laki yang hanya dikenal namanya.” Weda berdesis geram. “Kalau situasi sudah aman, semua akan kembali seperti semula.” Weda berusaha mencairkan suasana untuk menjaga perasaan Irawan yang terlihat semakin kusut.

“Apa Dokter ndak memikirkan perasaan Mbak Galoeh? Dia nanti tetap dianggap janda karena bagaimana pun juga status kalian sudah tercatat secara hukum.”

Hati Weda mencelus. Memang betul kata Pantja. Tapi, Galoeh sendiri yang tak menginginkannya ketika ia sudah mengorbankan semuanya untuk menutupi kebohongan itu.

“Sudah, sudah! Kita cukupkan topik ini.” Irawan menengahi. “Jadi, apa rencana kita agar membuat Dai Nippon hengkang?”

“Pemberontakan.” Gala merendahkan suaranya.

Pantja langsung memasang wajah serius. “Saya sudah mengumpulkan informasi dari beberapa daidan. Saya dengar seluruh daidan di Jawa Timur akan berkumpul untuk latihan militer. Di sanalah para pemuda PETA akan melakukan serangan.”

“Kapan itu?” Irawan masih menyimak.

“Belum ada kabar pasti. Tapi, bagaimana kalau kita menyusup untuk membantu? Di daerah Jawa Tengah ini, belum diadakan kegiatan besar seperti itu, sehingga kita ndak bisa menggalang kekuatan.” Pantja memberi usul.

“Kita harus hati-hati. Apa kalian ndak merasa Dai Nippon terlalu lengah karena menyatukan beberapa daidan? Kalau meletus pemberontakan, bisa jadi mereka kalang kabut.” Weda mulai masuk ke dalam masalah utama.

“Daidan di Blitar sudah memikirkan hal itu. Mereka sedang memasok senjata ilegal selain senjata yang diberi Jepang,” sahut Gala.

“Bahaya! Beberapa waktu lalu, bukankah ada pemuda eks KNIL yang tertembak sewaktu menyusup di kediaman Sato di Ungaran?” Weda mengingatkan. “Tahun lalu sepertinya. Aku dengar berita itu sebelum masuk PETA. Mereka ikut gerakan bawah tanah.”

“Betul! Sejak saat itu semua batalyon dan kompi Nippon merapatkan barisan, ndak akan memberi celah pada pemberontak.” Irawan menambahi. 

“Aku sudah ketar-ketir saja waktu Cudanco Weda ditangkap malam itu. Heran juga kamu bisa lolos karena aku rasa pasti intel setan itu tahu kalau itu hanya akal-akalan Ibu Lastri.” Bibir Gala mengerucut, mengingat malam itu ia ikut dipanggil untuk dimintai keterangan. 

Weda menggigit bibir. Betul juga kata Manggala, kenapa Souta melepaskannya semudah itu? Dan lagi apakah berita yang diterima Romo Danoe yang menyatakan Galoeh tidak bersalah memang karena keputusan Souta setelah interogasi?

***

Sementara itu, selama dua hari setelah Weda meninggalkan Galoeh malam itu, ia mendapat tugas perjalanan dinas ke Wonogiri. Di sana ia mendapati nasib penduduknya lebih mengenaskan daripada di kota Sala. Kelaparan terjadi di setiap tempat karena mereka juga harus menyerahkan gaplek, salah satu bahan makanan pokok pengganti beras. Menurut cerita salah satu penduduk yang mereka temui, rakyat di Wonogiri juga diharuskan menyerahkan 10.000 ton gaplek.

“Kalau seperti ini, penduduk kita benar-benar diperas habis-habisan!” komentar Gala saat mereka berkeliling ke daerah di sekitar daidan. Mereka memutuskan untuk beristirahat sejenak di tepian tegalan yang kini ditanami jarak yang digunakan untuk pelumas senjata dan mesin-mesin kapal untuk keperluan perang.

Weda duduk sambil mengipas-kipas wajah dengan topinya. “Apa kamu merasa komunikasi antar daidan mulai dibatasi? Sepertinya Dai Nippon takut kita saling bekerja sama menjatuhkannya.” Weda menanggapi sambil menatap lahan yang lain yang sedang ditanami tanaman kina.

“Bagaimana kamu bisa berpikir begitu, Bung?” tanya Gala.

“Perjalanan dinas kita banyak berkurang seolah kita diminimalisir untuk bertemu anggota daidan lain,” sambung Weda. Angin semilir tak bisa menyegarkan batinnya yang gerah saat melihat kondisi negeri ini yang semakin kering setelah diperas Dai Nippon selama dua tahun ini.

“Untungnya aku masih bisa berkomunikasi dengan beberapa teman PETA yang lain. Kemarin Cudanco Dewandaru dari Djakarta, meminta mutasi ke Blitar karena ingin ikut membantu pergerakan teman-teman di sana.” Gala menimpali. 

“Bukankah daidan di Djakarta sepertinya juga sedang mempersiapkan pergerakan?”

“Itu dia!” Gala bersedekap, menikmati angin sepoi yang menerpa wajah bersimbah keringat setelah jalan memutari kebun kina hari ini. “Terlalu banyak pengkhianat yang ada di sekitar kita. Kita juga perlu hati-hati. Lagi pula maksud mereka untuk mengadakan pergerakan ndak terlalu mendapat tanggapan baik.”

“Dari mana kamu tahu semua itu?” tanya Weda heran. 

“Banyak teman-teman dari CORO yang dulunya tentara KNIL ndak bergabung di PETA. Mereka memilih jalan lain. Salah satunya menyambung lidah antar daidan dan mengumpulkan pasokan senjata. Aku baru tahu dari salah satu teman tadi yang jadi teman angkatanku di CORO, kalau ternyata Mas Dewa-lah yang menjadi gerilyawan penyusup keluarga Sato.” 

Alis Weda mengerut. Awalnya ia bukan orang militer. Karena diajak Manggala yang bersekolah di sekolah calon perwira bentukan Belanda saja saat ada lowongan PETA akhirnya ia terjun ke dunia militer. “Mas Dewa? Yang jadi kakak kelas kita sewaktu di Moentilan?”

Gala menjentikkan jarinya. “Betul!”

“Bukankah nasib orang yang menyusup ke kediaman Sato itu tidak diketahui? Bahkan sepertinya berita dari mulut ke mulut itu hanya mengatakan seseorang ditembak dan setelah itu hilang begitu saja.” 

“Siapa yang akan tahu nasib orang yang dicap pemberontak? Saat dieksekusi pun dilakukan secara sembunyi-sembunyi. Bukankah Raden Tjokro juga sama?” tanya Gala menatap muka Weda yang menegang. “Yang jelas keluarga Sato ini patut diwaspadai. Termasuk Souta Sato!”

Mengingat Souta Sato, darah Weda tiba-tiba mendidih. Tanpa sadar ia mengepalkan tangannya erat hingga buku jarinya memucat. Ia jadi teringat luka di punggung Galoeh yang tersembunyi itu diketahui Souta.

“Oh, ya, aku punya kabar baik. Ternyata Letnan Raka yang disebut-sebut sebagai pemimpin gerakan bawah tanah itu kakak kelas kita di Kolose Xaverius.” Gala tersenyum dengan sorot optimis. Sahabat Weda itu selalu punya pandangan positif. 

“Raka? Jadi, Mas Raka dan Mas Dewa ini ikut bergabung dalam gerakan bawah tanah?” Weda meyakinkan ingatannya.

“Betul. Sejak awal mereka bersahabat baik. Setelah dari Ambarawa, mereka sama-sama melanjutkan di CORO, Bandung. Dan kami bertemu lagi. Sayangnya mereka menempuh jalur bawah tanah untuk mengacaukan tentara Dai Nippon. Aku baru sadar kalau Raka yang mereka bicarakan itu adalah Raka yang aku kenal.” Gala  mencabut satu batang rumput dan menyelipkan di mulutnya. Weda heran dengan kebiasaan aneh Gala sejak dulu. Bagaimana kalau rumput itu terkena kotoran hewan?

“Keduanya mengumpulkan senjata bukan hanya untuk gerakan mereka. Sejak kejadian penyusupan tahun lalu, nasib Mas Dewa juga ndak diketahui. Entah mati atau masih hidup. Karena aku sendiri ndak mendengar ada berita pengadilan penyusup di kediaman petinggi Rikugun Semarang itu. Karena Mas Dewa sudah ndak ada, sekarang Mas Raka yang melanjutkan. Dia mengambil senjata dan merampas dari Jepang.”

“Kita memperjual belikan senjata ilegal?”

“Ndak! Mereka mau memasok senjata untuk siapapun yang mau melawan Dai Nippon.” Gala memutar tubuhnya menghadap Weda. “Sepertinya kita harus bisa menemuinya untuk meminta petunjuk strategi jitu. Kamu tahu, dia hampir membunuh putra sulung Sato-Taisa, pemimpin Kompi Sato di Semarang. Aku yakin dia pasti akan membantu kita.” 

“Ya sebaiknya kita segera menghubungi Mas Raka. Kalau mereka pernah merampok senjata di beberapa markas, pasti simpanan senjata mereka cukup banyak.” Weda menyetujui dan akhirnya mereka memutuskan kembali ke Soerakarta setelah dua hari berada di Wonogiri.

Sesampainya di markas, Pantja tergopoh menemui Weda. “Dok, dua hari lalu, abdi kediaman Tirtonagoro datang. Tapi waktu saya tanya, dia hanya menyampaikan Dokter diminta pulang secepatnya.”

Tiba-tiba Weda teringat dengan Galoeh. Malam itu ia pergi begitu saja dan melupakan gadis itu karena banyaknya hal yang penting yang harus ia kerjakan. 

“Dia bilang apa?” tanya Weda masih sempat meminum air dari teko yang disediakan di klinik markas.

“Ndak tahu juga. Dia hanya berpesan begitu.”-

Tak ingin didera penasaran, Weda pun segera pulang dan setibanya di rumah ia langsung dihadiahi sorot mata Ibu Lastri yang sengit. Perempuan yang ia kenal lembut itu melempar selembar kertas ke hadapannya. Weda membungkuk, mengambilnya dan membaca torehan huruf tegak bersambung yang rapi.

Romo Danoe, Ibu Lastri, Kartika, lan Mas Weda ingkang kulo tresnani. Saya pamit. Terima kasih sudah melindungi saya. Tapi, saya ndak bisa kalau harus memenuhi permintaan Ibu. Bu, Mas Weda tresna sanged (cinta sekali) dengan Mbakyu Harti. Kiranya Ibu mau memberi restu pada mereka. Berhubung status saya dinyatakan ndak bersalah, jadi saya bisa bebas sekarang. Oleh karena itu, saya kira ndak perlu lagi saya berpura-pura jadi istri Mas Weda. Katakan saja kepergian saya karena kami sudah ndak lagi bersama dan saya digugat cerai. Saya ndak mau membelenggu kebebasan putra kinasih Ibu. Matur nuwun sanged sedaya. Saya ndak akan melupakan budi baik keluarga ini. 

Galoehasri

 Seketika otak Weda kosong. Ia tak menyangka Galoeh akan pergi setelah pertengkaran itu.

“Ibu pergi ternyata kamu ndak memperhatikan Galoeh!” Suara Ibu Lastri meninggi. “Kata Mbok Mi kamu hanya pulang beberapa jam saja trus kembali ke markas.”

“Bu, saya ada dinas—”

“Mbok Mi tahu kamu keluar dari kamar Galoeh sambil membanting pintu!”

Weda tak bisa berkelit. Jelas Mbok Mi dan Lik Min tahu karena dentuman pintu yang terbanting cukup keras sore itu.

“Mas, Galoeh sudah Ibu anggap seperti putri Ibu!” Gebrakan permukaan meja membuat Weda terperanjat. Ia tak pernah melihat Ibu Lastri semarah ini. “Bisa-bisanya kamu berbuat jahat sama gadis yang menampung adikmu!”

Weda mendengkus. “Lalu saya harus bagaimana? Galoeh sendiri yang ndak mau sama saya! Lagipula dari awal pernikahan ini palsu, Bu!”

💕Dee_ane💕

Deers, ada yang nungguin cerita ini?
Udah tahukan tokoh siapa yang bakalan nongol?
FYI, CORO ini bukan kecoa (dalam bahasa jawa yak😆). CORO alias Corps Opleiding Voor Reserve Officieren (CORO) dibentuk oleh Belanda sebagai sekolah bagi calon perwira.
Jangan lupa, silakan tinggalkan jejak-jejak kalian👣👣

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro