29. Sisi Lain Souta

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng


Akhirnya sore ini baru Souta memulangkan Galoeh. Gara-gara lelaki Jepang itu mengajak ke Markas Kempetai, Galoeh baru tiba di rumah pada pukul 18.00. 

Sebelum turun dari mobil, Galoeh berkata, “Terima kasih sudah mengantarkan pulang.”

“Kamu harus hati-hati. Tanganmu bisa infeksi.” Pandangan Souta tertuju pada telapak tangan kanan Galoeh.

“Sensei tenang saja. Suami saya dokter. Dia bisa merawat saya.” Galoeh kini melihat tangan yang dibungkus kain kasa. Tadi siang, Souta melihat Galoeh yang menulis di papan tulis dengan tangan berbalut sapu tangan sehingga akhirnya membawa Galoeh ke markas Kempetai untuk menemui dokter militer yang bertugas di sana. “Sampaikan terima kasih pada Matsumoto Sensei.” Galoeh membungkuk.

“Oh, ya, aku hampir lupa. Apa kamu mau sekolah lagi?” Pertanyaan Souta menghentikan gerak Galoeh mendorong pintu mobil.

Galoeh menoleh. “Sekolah? Ika Daigaku?”

Souta mengangguk. “Para guru di sana memuji kecerdasanmu. Sayang sekali kalau kamu tidak melanjutkan.”

“Saya ….”

“Bicarakan sama suamimu,” potong Souta. 

Galoeh mengangguk. Baru kali ini ia bimbang mendapat tawaran untuk sekolah. Padahal dulu ia berharap bisa sekolah lagi. 

Setelah membungkuk pelan dan mengucapkan terima kasih sekali lagi, Galoeh keluar dari mobil. Baru saja membuka pintu mobil, ia dikejutkan ketika mendapati wajah tegang Weda berdiri di serambi sambil bersedekap. Laki-laki itu berjalan mendekat, tak menyapa Galoeh yang masih berdiri setelah menutup pintu. Weda lantas membungkuk dan mengetuk kaca jendela depan mobil.

Begitu kaca jendela turun, Souta menyapa dengan ramah. Namun, Weda justru sebaliknya. Dengan ketus ia berkata, “Sepertinya di markas Kempetai ndak banyak pekerjaan sehingga Sato-Shoi punya waktu luang untuk berjalan-jalan dan mengantar pulang istri saya.”

Souta tertawa. “Sebaiknya kamu perhatikan istrimu, Sensei. Atau akan ada laki-laki lain yang akan mengambil Galoeh-san darimu.”

Weda melirik ke tangan Galoeh yang dibebat kain kasa. Semalam, memang tak ada persediaan kasa di rumah sehingga terpaksa Weda hanya mengolesi dengan salep saja dan membungkus dengan sapu tangan. Di masa perang ini, persediaan bahan habis pakai untuk medis dan obat-obatan sangatlah terbatas karena semua untuk stok perang. Jangankan mempunyai persediaan di rumah, fasilitas kesehatan seperti rumah sakit saja terbatas bahan dan obatnya. 

“Arigatou gozaimasu.” Weda pun mengambil jarak dan membungkuk dalam yang membuat Galoeh merasa bersalah.

Mobil berlalu dari depan rumah dan Weda akhirnya menegakkan tubuhnya. Ia menatap tajam ke arah Galoeh. “Besok lagi, jangan pergi dengan laki-laki lain. Apalagi Jepang.” Suara Weda terdengar ketus. “Nanti bisa menimbulkan fitnah.”

Galoeh hanya mengangguk. 

“Ayo, makan. Tadi aku minta Harti datang ke sini untuk memasakkan makan malam kita.”

Langkah Galoeh terhenti. “Mbak Harti ke sini?” 

“Iya. Ada tumis daun pepaya dan ikan teri. Kamu pasti suka,” ujar Weda melangkah begitu saja ke dalam.

Rahang Galoeh mengerat. Selama dia tak ada di rumah, Weda membawa Harti? Mantan kekasih Weda itu juga menjamah pawonnya lagi dan menyajikan makanan khusus untuk suaminya?

Saat ia masuk, Weda sudah ada di ruang tengah di mana ada meja yang sudah tersaji meja makan.

“Saya kenyang. Mas makan sendiri saja.” Galoeh masuk ke dalam kamar. Ia enggan memakan masakan Harti yang enak, tapi membuat dadanya sesak. Tidak untuk yang kedua kalinya!

“Kamu makan apa sampai kenyang?” 

“Udon. Tadi Souta meminta bawahan memasakkan udon.”

Baru saja bibir Galoeh terkatup, gebrakan meja menggaung di seluruh ruang. Galoeh terlonjak. Matanya membeliak saat mendapati wajah Weda yang kaku dengan rona memerah.

“Kamu sudah menjadi Nyonya Wedatama. Ndak semestinya kamu pergi bersama laki-laki lain sesuka hatimu!” Rahang Weda mengerat dengan desisan yang keluar dari bibir. “Diberi makan Souta?” Weda berkacak pinggang dengan satu tangan sementara tangan lain mencengkeram rambutnya. 

“Tapi Mas juga mengajak Mbak Harti ke rumah ini!” Tentu saja bukan Galoeh namanya kalau tidak menjawab.

“Itu …” Ucapan Weda terjeda. Lidahnya seketika kelu. “Tunggu kenapa kamu malah marah?”

“Karena Mas sudah jadi suami saya!” jawab Galoeh tegas dengan tatapan nyalang. Ia kesal sekali bila Weda menyebut dokter perempuan itu.

Weda mendekat hingga mereka berhadapan. “Kamu cemburu?” Alis kanannya terangkat.

“Un-untuk apa?” Galoeh membuang muka. Tatapan tajam Weda membuatnya tak nyaman. Apalagi laki-laki itu mengendus lehernya seperti anjing pemburu. Gadis itu mendorong tubuh Weda dan bergegas masuk ke kamar begitu saja.

Hatinya merutuk saat Weda berlaku seperti penyidik yang menginterogasi dirinya seolah tersangka yang melakukan keburukan. Tentu Galoeh tak akan menjawab pertanyaan Weda. Ia tak boleh cemburu! Karena memang sejak awal Galoeh tahu hati Weda untuk Harti.

Galoeh lalu masuk ke kamar tanpa mengunci pintu. Ia ingin sedikit menetralkan degupan jantungnya setelah lagi-lagi Weda bersikap aneh karena tiba-tiba mengendus lehernya setelah meneriakinya. Embusan napas yang menyapu kulitnya berhasil membuat kuduknya merinding.

Namun, Weda tak membiarkan Galoeh tenang. Laki-laki itu tetap masuk sambil membawa baskom dan handuk kecil. Mengetahui Weda membuka pintu kamar, Galoeh memutar tubuh, memunggunginya. Debaran jantungnya semakin meningkat seolah ingin mendobrak rusuk.

Langkah Weda yang tak bersuara mengikis jarak. Setelah ia menarik kursi dan meletakkan baskom, laki-laki itu duduk di sebelah Galoeh. “Lepas bajumu ….” Weda membalik tubuh Galoeh menghadapnya.

Galoeh seketika menyilangkan tangan di dadanya. Kepalanya menggeleng. “Mas mau apa?” 

Namun, Weda seolah tak mendengar cicitan Galoeh. Tangan besar Weda memegang pundak Galoeh dan seketika gadis itu mengelak. Galoeh mengambil jarak, mundur ke belakang walau tak berpengaruh karena punggungnya sudah menumbuk sandaran ranjang. “Mas Weda mau apa?” Suaranya kembali bergetar.

“Mau lap badanmu. Pagi tadi kamu nekat mandi. Seharusnya tanganmu belum boleh kena basah dulu.” Weda tetap berdiri di depan Galoeh yang terpojok. 

“Sa-saya bisa sendiri. Pakai tangan kiri …” Galoeh menunjukkan tangan kirinya. “Ya, tangan kiri. Tangan kiri saya baik-baik saja.” Tarikan bibir Galoeh terlihat kaku. Ia pun terkekeh canggung.

“Tapi tetap saja kamu ndak bisa leluasa.” Weda berbalik untuk membasahi handuk. “Aku ini suamimu. Aku akan menyeka jejak-jejak Kempetai itu dari tubuhmu.”

“Heh?” Alis Galoeh mengernyit. 

Weda kembali berbalik dan menggeser duduknya mendekati Galoeh. “Ayo, buka bajumu.”

Galoeh menggeleng. “Ndak usah, Mas.” Rasanya Galoeh ingin menangis. Ia tak ingin Weda bersikap seperti seorang suami hanya karena kewajiban akan status mereka di atas kertas. Galoeh takut terluka untuk kesekian kalinya karena terikat pada Weda yang nyata-nyata masih berhubungan dengan Harti. 

Weda menyipit. Ia menarik tangan Galoeh dan menyekanya. “Kamu tenang saja, Loeh. Aku ndak akan mengambil keuntungan.”

Galoeh termangu. 

“Nanti aku seka punggungmu. Untuk perut, dada, dan kaki kamu lakukan sendiri. Besok aku siapkan selang supaya kamu bisa mandi lebih nyaman tanpa angkat gayung.” Weda mengusap tangan kanannya dengan handuk basah.

Galoeh menatap Weda yang masih fokus mengelap setiap jari dengan hati-hati sehingga tak mengenai luka bakarnya. 

“Mas kenapa baik sama aku?”

Bibir Weda tertarik miring. Bola matanya bergulir ke kanan, mengerling Galoeh. “Apa salah memperhatikan istri sendiri?”

Galoeh tersenyum kecut. “Seharusnya Mbak Harti yang berada di posisi ini.” 

Weda tak berkomentar. 

Sementara itu pandangan Galoeh mengikuti gerak gerik Weda yang sedang membilas handuknya. Hanya gemericik air yang mengisi kesesakan kamar itu, seolah tembok-temboknya berusaha menghimpit Galoeh. Sejurus kemudian Weda kembali menghadap Galoeh dan mengulurkan tangannya untuk membuka kancing depan gaun Galoeh. 

“Mas!” Galoeh menepis tangan Weda. Degupan jantung yang belum tenang itu semakin memburu. 

“Bisa ndak kamu manut sedikit saja?” Weda menatap lurus mata Galoeh. 

Seperti anjing kecil, Galoeh hanya bisa menunduk dengan bibir mengerucut ke depan karena segan. Ia akhirnya membiarkan jari-jari yang baru tumbuh kuku itu membuka kancing gaunnya.

“Kamu jangan manyun seperti itu kalau di depan Souta.”

“Kenapa?”

“Jelek!” Weda mendengkus. 

“Kalau begitu ndak usah dilihat. Bagi Mas yang paling cantik cuma Mbak Harti.” Galoeh mulai kesal. Kenapa Weda selalu membuatnya gusar bila bercakap? Ia sadar ia tak secantik dan setangkas Harti dalam urusan dapur.

“Ya, memang Harti cantik. Pengertian dan ndak suka bikin bingung orang lain. Ndak kaya kamu.” Weda menurunkan kerah gaun berwarna merah marun itu hingga terkuak kutang cokelat yang membungkus dada yang berlapis kulit kuning. 

Pipi Galoeh terasa panas. Merah seperti kepiting yang baru diangkat dari air mendidih. Tubuhnya membeku ditatap  Weda tanpa kedipan dan lidahnya kaku tak mampu mendebat Weda karena begitulah kenyataannya. Untungnya Weda kemudian memutar tubuh Galoeh hingga ia memunggungi laki-laki itu. Bila berlama-lama Weda melihat dadanya, gadis itu khawatir setan akan lewat dan tangan besar itu tak hanya akan menyeka tangan dan punggungnya tapi juga bagian tubuhnya yang menonjol cantik. 

Galoeh mencengkeram kain kutangnya untuk meredam gemuruh dadanya yang saking kerasnya seolah ikut mendobrak gendang telinganya. Galoeh bahkan khawatir debaran dadanya bisa terdengar Weda. Lagi-lagi suara Weda membuat dia terlonjak kala lelaki itu membungkuk dan berbisik tepat di samping telinga Galoeh. “Buka kutangmu.”

Galoeh semakin mengeratkan cengkeramannya. Tengkuknya seketika meremang. Namun, bisikan Weda kembali membelai pendengarannya hingga embusan napas yang menyapa daun telinganya membuat gelenyar di sekujur tulang belakangnya. “Apa perlu aku bantu?”

Pada akhirnya Galoeh menurut, membuka kancing bagian depan kutang yang masih menutupi sebagian perutnya.  Begitu terurai, Weda menurunkan tali pundaknya, hingga kutang itu terlepas dari tubuh sang gadis lalu mengusap lembut luka bakar yang ia pernah lihat sebelumnya dengan tangan yang kuku jarinya pernah ditanggalkan paksa. Sementara itu, Galoeh langsung menyilangkan kedua tangan untuk menutupi dada ranumnya yang terbuka.

“Mas ….” Galoeh menggeliat. Galoeh tak terbiasa dengan sentuhan ringan yang membuat sekujur tubuhnya merinding.

“Loeh, kenapa Souta bisa tahu luka bakarmu?” Sentuhan lembut Weda menggetarkan tubuh Galoeh. 

“Itu?” Suara Galoeh serak. Tenggorokannya dihimpit oleh getaran yang merambat dari punggung yang membuat tubuh seolah tak bertulang. “Sa-Sato Sensei ternyata yang menolongku sewaktu aku terjebak kebakaran di gudang Sekolah Mendoet. Tapi, tapi aku ndak tahu kalau yang menyelamatkan aku Sato Sensei.”

Gerakan tangan Weda terhenti. “Jadi … kamu … gadis itu?” Weda menatap leher jenjang dengan anak rambut yang menjuntai. 

“Apa maksudnya ‘gadis itu’?”

***

Jakun Weda naik turun. Ia teringat cerita Souta sewaktu Weda dimintai untuk menolong pria Jepang yang ditembak kelompok bawah tanah, tentang seorang gadis yang ia kagumi. “Kamu tahu cerita Dewi Shinta yang dibakar api untuk membuktikan kesuciannya pada Sri Rama? Ya, gadis itu terjebak dalam kobaran api. Sampai sekarang aku masih teringat wajah yang secantik Dewi Shinta. Sayangnya, aku tak tahu siapa namanya,” kata Souta waktu itu.

Weda meremas handuk hingga sisa airnya menetes di punggung Galoeh. Berarti dari awal Souta tahu Galoeh adalah gadis yang selama ini ia cari. Kalau betul begitu, Galoeh adalah gadis yang bisa membuat Kempetai sadis itu jatuh cinta! Dan itu artinya, dialah yang merebut gadis yang dicintai Souta. 

Ingatan Weda kembali berputar mundur ke peristiwa satu setengah tahun lalu. Awalnya, ia berpikir Souta adalah Kempetai yang kejam. Tapi selama ia merawat Souta yang nyawanya hampir terancam karena bola timah berkarat yang bersarang di tubuhnya sewaktu Matsumoto Sensei berada di Djakarta, Weda bisa melihat sisi lain Souta. Souta yang terkenal kejam saat berusaha membuat pemberontak membuka suara itu adalah anak kedua dari tiga bersaudara. Kakak dan adiknya perempuan sehingga Soutalah satu-satunya harapan untuk menjadi penerus di keluarga Koichi Sato. 

“Aku tidak ingin jadi tentara. Dulunya aku mahasiswa sejarah yang berniat menjadi guru. Sayangnya perang di Manchuria tak terhindarkan sehingga aku hanya setahun menjadi guru ketika usiaku dua puluh dua. Selanjutnya aku dikirim ke akademi militer dan langsung ditugaskan ke sini bersama keluarga Sato yang lain,” kisah Souta yang masih pucat waktu itu.

“Tapi buktinya kamu menjadi perwira yang disegani,” celetuk Weda sambil membuka kain perbannya untuk memeriksa luka tembak.

“Aku belajar dari Keita-kun. Kakak sepupuku. Walau kami sama-sama dididik di Rikugun Shikan Gakko, Kei Onichan lebih kejam,” ujar Souta dengan pandangan menerawang. “Kamu tahu … aku tidak bisa tidur karena membunuh Belanda-Belanda itu sewaktu kami datang ke Djawa. Tapi, Keita-kun mengatakan, dalam perang berlaku hukum rimba. Membunuh atau dibunuh. Dia juga mengatakan bahwa kami harus tangguh agar tidak mempermalukan nenek moyang kami yang sebagian besar adalah samurai kelas atas.  Sehingga … aku harus mematikan hatiku agar bisa bertahan hidup. Dan, setelah bertemu gadis itu, aku harus hidup agar setidaknya … aku bisa bertemu dengan gadis itu lagi.”

“Kalau misal kamu bertemu lagi dengannya, apa yang akan kamu lakukan?”

“Aku akan menjadikannya milikku. Hatinya … tubuhnya!”

***

“Mas ….” Suara Galoeh memecah lamunan Weda. 

Weda terkesiap. Ia kembali melakukan tugasnya mengusap kulit yang berkerut-kerut di pundak belakang kanan Galoeh. Dikecupnya jaringan parut itu, sambil membayangkan rasa sakit yang pernah dialami gadis itu.

Napas Galoeh tercekat. Ia memajukan badannya. “Mas ….”

Rahang Weda mengerat. Ia mendengkus, bangkit, dan kembali membilas handuk dengan pikiran-pikiran keruh yang ingin ditanyakan. Ia masih tak menyangka bahwa Galoeh dan Souta mempunyai masa lalu. Apa reaksi Galoeh saat tahu Souta penyelamatnya? Apakah Souta sudah menjadikan Galoeh miliknya? 

Kali ini, Weda ‘menjilat ludah’-nya sendiri. Ia memutar tubuh Galoeh dan menatapnya dalam seolah ingin menyelami gadis yang selalu membuatnya cemas.

“Mas, biar saya saja.” Tangan Galoeh masih menyilang di dada yang polos. 

Wajah Weda tegang, tanpa ekspresi. Bayangan-bayangan buruk Souta melakukan hal-hal nekat pada Galoeh membuatnya darahnya mendidih. Ia tidak suka miliknya dirusak. Kalaupun rusak, ia selalu akan memperbaiki barangnya. Tapi, Galoeh bukan barang. Kalaupun selaput kesuciannya terombak, Weda pun tak bisa memperbaikinya. 

“Mas ….” Galoeh beringsut ke belakang, menghindari Weda. 

Melihat Galoeh yang ketakutan, Weda menghela napas panjang meredam pikiran buruknya. “Ini, basuh sendiri badanmu. Aku … mau makan … masakan Harti.” Weda mendengkus, ia berbohong. Makanan yang tersaji adalah hasil masakannya sendiri. Ia terlalu marah dan menyebut nama Harti begitu saja. Namun, sebelum Weda keluar dari kamar, langkahnya terhenti tanpa menengok ke belakang. “Oh, ya mulai besok aku ndak ingin kamu bersama Souta!”

💕Dee_ane💕

Lama updatenya ya? Padahal di draft udah tamat🤧Jangan lupa jejaknya ya ...

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro