37. Ganjalan di Batin

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Seharusnya hari ini Weda bahagia karena Galoeh sudah menjadi istrinya dan ia tak perlu lagi mendapat ceramah panjang dari Ibu Lastri. Weda pun tahu Ibu Lastri selalu berharap Weda akan membuat pernikahan ini sempurna. Tak ada dalih zinah lagi karena mereka sudah diberkati menjadi sepasang suami istri. Namun, ada kekecewaan di batin Weda. Sahabat-sahabatnya benar-benar tidak datang dalam acara pemberkatan dan syukuran pernikahannya. Bahkan Harti pun tidak kelihatan. Padahal ia ingin orang-orang penting dalam hidupnya menyaksikan peristiwa besar di mana Weda memproklamirkan janji setianya pada gadis yang menggetarkan hatinya.

Tak hanya itu, ada pula ganjalan yang membuat kepala Weda penuh. Siang tadi, tiba-tiba Souta datang ketika Galoeh sedang melakukan perawatan. Dengan pandangan angkuh, pria Jepang itu mengucapkan selamat dan mengatakan sesuatu yang mengejutkannya. “Galoeh menolak bersekolah lagi. Katanya ada banyak pertimbangan. Apa karena dia benar-benar menikah denganmu?”

Saat itu Weda berusaha menguasai ekspresinya. Ia tak tahu tentang tawaran Shouta. Kalau tahu, tentu ia akan mendukung cita-cita Galoeh. Namun, bukan kepala intelijen namanya kalau tidak bisa membaca ekspresi tersirat Weda. Laki-laki itu tertawa dan menepuk pundaknya. “Rupanya Galoeh-san tidak menceritakan ke kamu.”

Weda mengeratkan rahang dan kepalan tangannya. “Ah, saya jelas tahu. Tapi, rupanya Galoeh mengambil inisiatif sendiri karena ndak ingin meninggalkan saya. Seharusnya Sato-Shoi tak perlu cemas.  Kebaikan dan perhatian Sato-Shoi akan kami kenang.”

“Weda-san, kamu harus menjaga baik-baik Galoeh-san. Kalau terjadi sesuatu yang buruk padanya, aku tak akan segan lagi merebutnya darimu.” 

Detik itu juga Weda semakin tahu, Souta menaruh hati pada Galoeh. Bila pikiran Weda betul demikian, Souta bisa saja menggunakan segala cara untuk mendapatkan Galoeh, tapi, sepertinya Kempetai itu membiarkan Galoeh menjadi istrinya. 

Sebelum melangkah pergi, Souta kembali berkata, “Sebaiknya, bujuk Galoeh-san untuk bersekolah lagi. Sayang sekali kemampuannya bila disia-siakan. Aku sudah mencarikan jalan, biarpun dia anak dan sepupu pemberontak. ”

Sebenarnya Weda sependapat dengan ucapan Souta. Ia pun mendukung cita-cita Galoeh. Namun, entah kenapa ketika dukungan terhadap Galoeh terlontar dari bibir Souta, terdengar menjengkelkan bagi Weda. 

Setelah mengetahui ‘rahasia’ Galoeh, Weda berpikir untuk kesekian kali. Apakah pernikahan ini tepat bagi mereka? Galoeh mengurbankan cita-citanya demi menjadi istri dan Weda pun dicap teman-temannya egois karena memilih Galoeh yang sering merepotkan. Kalau tahu lebih awal, ia pasti akan menunda pernikahan ini dan akan mengirim Galoeh ke Djakarta semester depan. 

“Loeh ….” Weda mulai bersuara setelah kebisuan panjang.

“Nggih, Mas?” Suara Galoeh terdengar bergetar.

“Kamu tahu bukan kalau aku sebentar lagi akan melakukan hal yang berisiko?” 

Galoeh mengangguk pelan.

Weda lalu memutar arah tubuhnya menghadap Galoeh. “Ada kemungkinan, bila rencana ini gagal, aku bisa jadi mati di tempat, atau ditangkap dan ujung-ujungnya tetap mati. Kamu bisa jadi akan mengulangi hal yang sama. Ditinggal … diinterogasi atau mendapat hukuman pula.”

Galoeh menoleh ke arah Weda. Jarak yang hanya sejengkal membuat Weda bisa memindai alis sebelah kanan Galoeh yang seperti terbelah. “Kalau memang untuk kebenaran dan mengusir penjajah, saya akan mendukung, Mas.”

Weda menggeleng. “Ngomong-ngomong soal mendukung, tadi siang Souta ke mari menemuiku.” Dengkusan terlontar dari senyuman miring itu. “Dia tahu kita melakukan pemberkatan.”

“Dari mana Sato Sensei tahu?” tanya Galoeh.

“Dia intel Kempetai. Dia sepertinya masih memata-matai pergerakan kita.” Weda mengelus pipi Galoeh. 

“Apa dia tahu tentang Mas Raka?”

“Semoga saja ndak tahu. Sewaktu kita ke Malangdjiwan, aku sudah memastikan ndak ada yang mengikuti.”

Galoeh mengerucutkan bibir berpikir sambil mengangguk-angguk. 

“Dia tadi ke sini hanya mau mengucapkan selamat dan cerita kalau kamu menolak bersekolah lagi. Kenapa kamu ndak cerita?”

Galoeh hanya menunduk. 

“Loeh, kenapa kamu ndak cerita kalau dapat tawaran melanjutkan sekolah lagi?” tanya Weda lagi.

“Saya ….” Kalimat Galoeh terjeda. “Saya sudah cerita ke Mas Raka dan dia meminta saya was-was. Takut semua jebakan.” 

Tetap saja Weda tak puas dengan jawaban Galoeh. “Bukan itu yang aku tanyakan. Kenapa kamu ndak cerita sama aku?” tanya Weda dengan sorot tajam. 

Galoeh membisu. Ia menggigit bibir bawahnya. 

Weda hanya bisa mendengkus pelan sambil mengusap kepala Galoeh. “Seandainya aku tahu lebih awal, aku pasti akan mendukung kamu bersekolah lagi daripada harus menjebakmu menjadi istri. Tapi, nasi sudah jadi bubur.  Aku ndak tahu apakah rencana kami akan berhasil. Bila gagal, bisa jadi kamu akan dicap lagi sebagai istri pengkhianat, dan itu artinya kamu ndak akan bisa bersekolah.”

Galoeh menggeleng dan memutar badannya terlentang. Gerakan gadis itu berhasil menguarkan aroma rempah wangi feminin yang menggelitik penciuman Weda. “Ndak, Mas. Sejak tragedi itu terjadi, saya sudah ikhlas melepasnya. Lagipula sekarang saya sudah jadi istri Mas Weda.”

“Kamu tenang saja. Kamu pasti akan kembali ke Ika Daigaku. Aku akan memastikan kamu tetap akan masuk sekolah semester gasal yang akan datang.” Baik pemberontakan besok berhasil atau gagal ….

Mata Galoeh berbinar dengan kerjapan yang menimbulkan efek gemuruh di batin Weda. Gadis itu benar-benar ingin menjadi dokter. Namun, dalam sekejap ia menggeleng. “Ndak usah, Mas. Ibu pasti akan melarang.”

“Kita sudah menikah. Seharusnya Ibu ndak akan melarang,” ucap Weda tanggung, tak meyakini apa yang dikatakannya. 

“Justru itu. Seorang istri harus menjadi kanca wingking bagi suaminya. Pasti Ibu ndak akan mau saya lepas begitu saja peran itu setelah menikah.”

“Kamu tahu arti kanca wingking?” tanya Weda sambil membetulkan letak tidurnya. 

“Mengambil peran dalam keluarga dan masak, macak, manak?”

Weda menggeleng. “Lebih dari itu. Kanca wingking itu teman yang mendukung dari belakang. Kamu ndak hanya sekedar melakukan peranmu masak, macak, dan …” Weda terkekeh sejenak karena heran sekali dengan filosofi Jawa yang menjadikan perempuan tempat beranak pinak. “manak. Bukan. Kita berbicara seperti ini, juga sudah menjalankan peranmu sebagai kanca wingking. Bukankah pernikahan itu isinya bercakap? Dan, ketika kamu bilang akan mendukung perjuanganku, di situ aku bahagia sekali.” Weda mengembuskan napas panjang. “Kelak … kalau kamu sudah menyandang gelar dokter Galoehasri, kamu akan menjadi pendukung utamaku. Mengerti?”

“Mas ….” 

Weda mengangkat sedikit tubuhnya dalam posisi miring, menumpu pada siku tangan kanannya. Dikecupnya lembut bibir Galoeh. “Loeh, maafkan2 ibuku yang mempersulit hidupmu.”

Galoeh menggeleng. “Justru saya yang merasa bersalah.” 

Tangan mungil Galoeh menyapu wajah halusnya karena tadi pagi Weda sempatkan bercukur untuk menyambut hari besar mereka. Namun, sentuhan itu berimbas pada gelegak yang sedari tadi berusaha ia tahan. Tetap saja Weda adalah laki-laki normal. Disuguhi perempuan semanis Galoeh yang tergolek di sampingnya pasrah, naluri alamiahnya mulai mengaum.

Namun, Weda harus menahan diri. Bila ia mengikuti nafsunya, ia takut kebablasan sehingga membuat Galoeh semakin berpikir dua kali untuk sekolah kembali. 

“Sebaiknya kita tidur.” Susah payah Weda menahan gejolak di bawah sana. Ia harus mengetatkan ikat pinggangnya agar yang terbangun di sana tak mencari gua lembap yang katanya membuat candu.

“Tidur?” Ada nada heran dari mulut Galoeh.

Weda memejamkan mata erat agar tak melihat ekspresi menggemaskan gadis manis di sampingnya yang membuat detak jantungnya menggila.  Ia memutar tubuh memunggungi Galoeh, dan mulai menghitung domba agar tidak mengikuti nafsu purbanya. 

***

Keesokan harinya, Gala dan Pantja tak terlihat di markas. Menurut tentara yang berpangkat bundanco, Gala dan Pantja sedang ada dinas luar di Wonogiri. Ia terpaksa menahan diri bertanya dan akhirnya memilih untuk mengerjakan pekerjaan membuat laporan kasus dan kebutuhan obat. 

Menjelang makan siang, ia sengaja pergi warung di depan markas. Selama bertugas di PETA, ia jarang sekali datang ke warung ini. Ia penasaran dengan cerita Pantja tentang Laksita yang ternyata merupakan penghubung informasi dari luar dan ke dalam markas. 

Warung berdinding anyaman bambu terlihat sepi saat ia akan menuju ke sana. Sewaktu ia masuk ternyata Irawan sudah ada di sana, duduk sendiri di salah satu meja. Pantas saja warung ini tak banyak pembeli karena ternyata ada daidancho yang kaku seperti triplek ada di situ. Irawan tampak akrab berbincang dengan wanita yang berumur kira-kira awal tiga puluhan yang Weda tahu adalah seorang janda. 

Ketika ia masuk, percakapan terjeda. Penjual dan pembeli itu sama-sama menatapnya.

“Tumben Pak Dokter makan di sini. Di sini cuma ada grontol dan sawut.” 

Weda tersenyum. “Saya mau grontol saja.” Kemudian ia sengaja duduk di sebelah Irawan.

“Ada kabar apa, Wan?” tanya Weda sambil menerima olahan jagung  yang masih hangat.

Alih-alih menjawab, Irawan bangkit dan mengeluarkan uang yang harus dibayar dan setelah membayar ia pergi begitu saja tanpa pamit. Rahang Weda seketika merapat walau di dalam mulutnya masih ada grontol yang belum tertelan. Wajahnya sudah merah padam mendapati perlakuan Irawan yang menyisihkannya. Lantas bagaimana bisa ia melanjutkan perjuangannya kalau mereka terpecah belah?

“Mbak, saya tahu dari Pantja, njenengan—”

Ucapan Weda terputus oleh desisan Laksita. “Ndak usah dijelaskan. Semua info sudah saya berikan ke Mas Pantja dan Mas Wawan. Silakan bertanya pada mereka.”

“Kenapa ndak mau cerita sama saya?”

Laksita menyodorkan wedang jahe ke depan Weda. “Dokter ndak menyebut kata kuncinya.”

Kata kunci?

Sialan! Bahkan Weda tidak tahu perkembangan terkini dan sepertinya teman-teman setimnya sudah selangkah lebih maju.

Pada akhirnya, Weda tidak tahan lagi. Ia menemui Irawan di ruangannya. Laki-laki yang berpangkat sebagai komandan daidan itu sedang membaca laporan dari Daidan Wonogiri saat memperbolehkan Weda masuk.

“Bung, sepertinya sikapmu sudah berlebihan.” Weda sudah tidak lagi bisa menahan lidahnya.

“Berlebihan? Tentang apa?” Irawan bersedekap dan menumpukan tangannya di atas permukaan meja. 

“Kamu persis perempuan merajuk!” Weda tiba-tiba teringat saat Galoeh mengata-ngatainya.

“Terserah kamu bicara apa! Tapi memang adik tiriku sedang merajuk. Seharian dia ndak keluar kamar dan ndak mau makan, menangisi laki-laki yang …” Dada Irawan kembang kempis. “berhubungan dengannya dua tahun ini tanpa memberi kepastian, dan akhirnya berpaling begitu saja ketika perempuan lain yang lebih menggemaskan datang!”

“Kenapa kamu menghubung-hubungkan dengan Harti? Dia ndak ada hubungannya!” Weda semakin gusar.

“Justru ada. Kamu bisa semudah itu mengkhianati Harti, dan aku yakin kamu juga bisa semudah itu mengkhianati kami.”

Tawa Weda meledak. “Bagaimana bisa kamu mengarang-ngarang cerita sendiri?”

“Wed, kita memang harus berbakti pada orang tua. Dan aku tahu kamu anak yang patuh pada orang tuamu. Tapi, justru itu bisa jadi bumerang untukmu! Untuk pergerakan kita!” Irawan mengetuk-ngetuk mejanya dengan wajah tegang. “Di saat kita harus berunding, ke mana kamu?”

Napas Weda tersengal. “Itu dulu! Ke depannya ndak akan terjadi!” Susah payah ia menekan emosinya.

“Kalau begitu, pastikan Galoehmu ndak akan melakukan hal konyol yang bisa merusak semuanya!”

💕Dee_ane💕

Asmaraloka di KK udah tamat. Yang mau baca cepet silakan merapat. Yang di sini tetep kasih dukungan yak😘

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro