ASTROPHILIA

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Bagiku, penantian merupakan hal yang kutunggu
Bagiku, keyakinan adalah hal yang kuteguhkan
Dan bagiku, keajaiban yang kini
kuharapkan

-•••-

Angin dengan damainya menerpa lembut tubuhku. Putihnya awan menambah harmoni keindahan langit. Aku duduk di atas batu besar halaman rumahku. Aku menyukai tempat ini dan tentunya, langit yang tampak berseri dengan warna biru muda bak lautan samudera yang membentang di sana. Ah, ini sudah memasuki musim panas bagi Negaraku, tentu saja sangat amat cerah. Namun, tidak dengan perasaanku yang berkelit. Sedikit muram dan pasrah.

Setelah bergelut dengan pikiran, hatiku kembali tenang. Menyunggingkan senyum seraya menepuk-nepuk dada. Menertawakan apa yang kualami.

"Aku hanya kurang bersyukur!"

Bagiku, melihat langit adalah obat penenang sekaligus menjadi wadah untuk menemukan sebuah solusi. Tapi tetap saja, melihatnya lamat-lamat membuat mata berkaca-kaca. Hingga semua krystal yang kutahan dalam retina tumpah begitu saja. Tak ada seorang pun yang melihat bagaimana diriku terpuruk, hanya langit yang menjadi saksi bahwa aku adalah anak yang tak beruntung.

Aku adalah anak ke-empat dari enam bersaudara, menjadi satu-satunya anak yang mencetak sejarah baru di keluarga dengan lulus kuliah di salah satu Universitas terbaik Indonesia.

Aku kembali menepuk dada sembari menengak ke langit dengan tetesan krystal yang terus menghujani bumi.

-•••-

"Mah, Iwan tidak sabar nanti kuliah," ujarku tersenyum sembari membantu mamah mencuci piring.

"Ingat pesen Mamah, di sana jangan terbawa pergaulan ya. Mamah gak mau kamu ikut-ikutan hal yang gak jelas di sana. Fokus sama kuliah kamu aja."

Sebelum musim panas datang, bulan maret lalu sudah pengumuman kelulusan Universitas. Aku tak menyangka bahwa hal yang kuimpikan mulai berdatangan. Memang, jika dilihat tinta emas sebuah kehidupan mulai terlukis di raga. Namun nyatanya salah, masih ada tinta kelam yang belum sama sekali terlukis.

"Di sana juga nanti Iwan pengen jadi mahasiswa berprestasi. Mahasiswa yang membanggakan keluarganya suatu hari nanti." Tanganku menepuk dada bangga.

Mamah tertawa, "Iya, semoga kamu bisa mencontohkan dua adik kamu nanti. Kakak-kakakmu juga nanti bakal membantu kok. Ingat ini Iwan, kamu adalah anak satu-satunya yang sekolah tinggi. Jangan lupakan itu! Jangan lupakan bagaimana kerja keras dan pengorbanan dirimu untuk bisa sampai di sini."

Aku tertawa, melihat senyum yang mengembang dari wajah Mamah yang amat kucintai. Wajahnya sudah sedikit keriput, rambutnya sudah ada banyak uban. Tapi mamah selalu ramah, ia bisa merubah kehancuran menjadi sebuah ketegaran.

"Lihat Mah, langitnya indah sekali." Aku kembali membuka suara.

"Dari kecil, kamu memang sudah menyukai langit Iwan. Mamah masih ingat, waktu kamu umur empat tahun. Kamu rela panas-panasan cuma pengen ngeliat langit, awan dan hal lainnya di angkasa. Emangnya, apa yang kamu suka dari langit?" tanya Mamah menyelesaikan piring terakhirnya.

Aku berpikir sebentar, membersihkan tangan terlebih dahulu, "Entah Mah, tapi bagi Iwan menatap langit yang cerah selalu membuat pemikiran Iwan ikut indah."

Kulihat kembali wajah seri Mamah yang segera beranjak pergi dari dapur luar rumah. Senyumanku kembali terukir menatap Mamah yang tampak sangat kuat. Ia seperti ksatria tak berkuda yang mampu menandingi ksatria berkuda. Aku tetap mematung, menatap punggung yang sudah hilang di hadapanku. Aku kembali berpikir, jalanku ternyata tidak sesulit yang kukira.

"Iwan, lihat kakak beli ini untuk kamu nanti kuliah." Seseorang sedikit teriak di dalam rumah. Membuyarkan lamunan, dan segera menghampiri asal suara dengan rasa tak karuan.

"Apa kak?" tanyaku tak sabaran.

"Nih, masih bagus kok," ucap Neti--Kakak ke-duaku. Tangannya menyodorkan sebuah kotak bergambar elektronik. Sebuah laptop yang kuinginkan agar bisa belajar lebih baik lagi.

Mataku membulat, tak kusangka, aku mendapat sebuah perlakuan khusus dari mereka. Aku berharap, ini adalah sebuah titik awal yang membawaku pada akhir yang baik.

-•••-

Memang jika dilihat, banyak orang berlibur ke pantai atau bahkan ke tempat wisata lainnya. Tapi yang kulakukan malah belajar memperdalam jurusan yang kupilih. Aku tak ingin menyia-nyiakan kesempatan yang telah datang padaku.

"Iwan, buang sampah, Bapak harus pergi kerja. Angkot Bapak udah nunggu dari tadi," ujar Bapak buru-buru.

"Iya, semoga hari ini banyak yang naek angkot Bapak," ucapku dan mencium tangan Bapak.

Hari ini rumah terlihat sepi, lantaran katiga kakakku pergi bekerja, kedua adikku sekolah dan Mamah juga bekerja sebagai tukang masak di pesantren yang tak jauh dari rumah. Jadi, aku hanya sendiri, membereskan semua hal yang berantakan di rumah.

Tapi aku tak pernah memikirkan, mengapa Ibu ingin bekerja pada bulan awal di tahun baru. Jelas aku masih ingat, Ibu ngotot ingin bekerja. Aku tak tau alasannya apa. Surya--kakak ketigaku juga tiba-tiba lebih bersemangat untuk mencari kerja lagi, dan akhirnya pada bulan lalu ia dipanggil dan bekerja di sebuah restoran sebagai pelayan.

Aku kembali tersenyum, ternyata memang jalan yang kupilih lurus membentuk jembatan yang indah. Namun, nyatanya salah. Ada sesuatu benteng yang menghalangi jalan yang tak aku ketahui. Di balik itu semua ada ksatria tak berkuda yang mencoba terus merobohkan benteng itu.

Setelah sholat Dzuhur di mesjid, aku kembali ke meja belajarku. Mengambil salah satu buku serial Si Anak yang ditulis oleh Penulis favoritku, Tere Liye.

Ada sebuah ungkapan, yang membuatku berpikir mengapa semuanya terasa berbeda. Mengapa hal yang kupikirkan menjadi sedikit lebih jelas.

"Jika kamu ingin melihat segalanya dari seorang Ibu, bangunlah nanti di sepertiga malam"

-•••-

Mamah sudah pulang setelah maghrib. Bapak juga pulang setelah isya. Kuperhatikan mereka lamat-lamat yang membuatku benar-benar berpikir. Aku juga selalu bertanya pada diri sendiri, mengapa Mamah dan Bapak tidak pernah membahas soal biaya? Mereka malah membuatku senang atas pencapaian ku.

Jam sudah menunjukkan pukul dua belas malam. Aku sengaja tak tidur, aku ingin membuktikan apakah benar, bahwa seorang Mamah selalu berkeluh kesah di sepertiga malam?

Entah aku polos atau apa, aku seperti anak kecil yang tak bisa mengerti apa pun. Ketiga kakakku sudah tidur sejak tadi, kedua adikku sudah tidur di samping keranjangku. Aku duduk di kasur dengan menutupi semua tubuh dengan selimut.

Jam dinding kamar menunjukkan pukul 01.45, aku berjalan pelan berusaha untuk tak meninggalkan suara.

Tidak terjadi apa-apa. Sepertinya, Mamah juga tidur dengan Bapak di kamarnya. Tapi aku tetap menunggu, kembali ke kamar. Hingga pukul 02.00 aku mendengar suara air di kamar mandi.  Aku diam sekitar dua puluh menit, sebelum mendekati kamar Mamah.

"Bapak, bagaimana ini? Iwan ingin kuliah, kita belum bisa mengumpulkan biaya untuknya."

Langkahku seketika terdiam karena sebuah kalimat yang menyapa rungu. Mataku menatap kosong pada pintu kamar Mamah.

"Sabar aja Mah, Neti, Eli sama Surya juga sedang berusaha buat Iwan," ucap Bapak yang membuat lututku sedikit lemas.

"Tapi pak, bagaimana kalau tidak bisa? Mamah gak mau ngecewain Iwan," ucap sendu Mamah di balik pintu kamar berwarna coklat itu.

Ragaku terkulai lemas, napasku mulai sedikit memburu dan air mata yang kubendung sedari tadi tumpah menghujani raga. Aku benar-benar tak tau apa yang sebenarnya terjadi. Mereka melakukan semua itu hanya untukku.

"Jika memang nanti tidak bisa, Bapak akan bilang pada Iwan. Kita juga tidak boleh memaksakan, nantinya ia malah kepikiran bagaimana mencari uang bukan kuliah. Bapak juga sedih Mah, Bapak gak bisa nyekolahin anak-anak tinggi-tinggi," kata Bapak dengan suara seperti menahan tangis.

Aku mematung menatap pintu coklat dengan pilu, mengapa Mamah tak ingin menceritakan hal itu?

Selain ada senyum menawan dari wajah Mamah, ada beberapa kanin yang tertoreh tanpa aku sadari. Meninggalkan seribu tanda tanya pada goresan tinta kelam yang mulai melukis raga.

Segala harap, mungkin aku ingin curahkan dalam do'a. Ataupun segala penantian, mungkin tersimpan kokoh dalam keajaiban.

-•••-

Aku segera menghapus air mata, sebelum seseorang datang membawa sebuah gelas berisi air putih.

"Gak mau neduh dulu? Dari tadi mandang langit terus. Kebiasaan." Mamah mengomel menghampiri dan memberikan gelas itu.

Aku tersenyum dan merubah segala ekspresiku, "Makasih Mah, yaelah Mamah nih. Oh iya Mah, katanya kalau kita bersujud, kita berbisik pada bumi, namun bisikannya terdengar hingga ke langit."

"Emm, kamu tau itu, kita harus mendekatkan diri pada Allah agar selalu diberi kemudahan. Nanti malam mau sholat tahajud bareng Mamah?" tanya Mamah membuat ingatanku kembali akan kejadian malam yang membuatku tersadar akan realita kehidupan.

Aku kembali menatap langit. Bukan karena aku memandangi seperti biasa. Bukan. Tapi aku sedang menahan air mata yang ingin jatuh.

Allah telah merubah jalan hidupku. Jalan yang kutempuh diputar-balikkan begitu saja. Kebahagiaan yang kumiliki direnggut tanpa belas kasih, bahkan di saat aku belum tahu bagaimana rasanya menjadi apa yang kuinginkan. Aku seperti seorang anak yang kini merasa hidupnya tak berarti.

Hampir dibuat menyerah oleh keadaan tapi dibuat pantang menyerah oleh impian.

Merasa tidak berharga. Lelah ingin sekali berkeluh. Tapi ingat bahwa ibuku bukan seorang sarjana. Ayahku juga bukan pemakai seragam berdasi. Sedangkan aku, adalah harapan pertama bagi mereka.

Memaklumi dan menerima ketidaksempurnaan hidup adalah hal yang seharusnya ku jalani.

Namaku Iwan, hanya Iwan, yang selalu bangkit berkat do'a keluarga yang tak ada habisnya.

Namaku Iwan, hanya Iwan, yang selalu berharap keajaiban datang menghampiri. Keajaiban yang ditukar oleh sebuah pengorbanan.

Dan namaku Iwan, hanya Iwan, si pecinta langit yang terus berbisik pada bumi yang mampu terdengar hingga ke penjuru langit.

Keyakinanku, membuat seribu tanda tanya. Apakah aku pantas?

-•••-

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro