Bab 19b

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Neo keluar dari toilet menuju lantai dua. berpapasan dengan beberapa pelayan dan juga tamu pesta. Tersenyum ke arah mereka dengan manis, mencoba bersikap setenang mungkin. Ia turun langsung ke lapangan, bisa dihitung pakai tangan. Lebih banyak berada di belakang layar atau tepatnya di depan komputer. Mencari dan meneruskan informasi dari pusat ke agen-agen yang sedang menyamar. Sesekali ia ikut mereka terjun ke lapangan tapi bisa dihitung oleh jari. Seperti sekarang, dadanya berdebar keras karena takut orang akan mencurigainya. Ia masuk ke lorong lantai dua yang cukup sepi, mengernyit karena tidak menemukan orang. Apakah ini area pribadi keluarga Moreno? Ia mencoba mengingat-ingat foto yang pernah dikirim Athena dan tidak ingat ada area ini. Entah dirinya yang salah jalan atau Athena yang tidak menemukannya.

Neo tertegun sesaat di ujung lorong, berbalik dan bersuha bersembunyi saat mendengar langkah kaki. Ia merapatkan tubuh ke dinding, mendengar suara Martin.

"Percayalah, Tuan. Aku sebenarnya tidak menginginkan datang ke undangan itu. Tapi, harus tetap hadir bukan?"

Langkah Martin terdengar makin dekat, Neo mundur dan terbelalak saat menabrak seseorang. Menoleh dan melihat laki-laki berambut abu-abu. Ia memaki dalam hati karena kepergok Romeo. Membalikkan tubuh, mengalungkan kedua lengan di leher Romeo. Sialnya, laki-laki itu membalas pelukannya.

"Iya, Tuan. Saya mengerti maksud Anda. Tentu saja, saya tetap datang sesuai perintah Tuan."

Neo mengernyit, menghirup arom tubuh Romeo yang maskulin. Menyingkirkan rasa takut dan malu karena kepergok sedang mengintip dengar di lantai dua dan juga sembarangan memeluk laki-laki. Ia akan mempertanggung jawabkan perbuatannya nanti. Tetap berada di pelukan Romeo sampai Martin menghilang di lantai dasar bersama para pengawalnya.

Neo melepaskan pelukannya tapi Romeo menahan kedua lengannya. Ia mendorong laki-laki itu ke dinding. "Lepaskan aku!"

Romeo tersenyum, menarik pergelanga tangan Neo dan pinggangnya. Membalikkan posisi mereka hingga kini Neo bersandar di dinding. Ia menghimpit tubuh Neo, panas menguar dari sentuhan mereka. Napas mereka tertahan seolah ada magnet yang saling menarik.

"Aku curiga kamu memata-matai keluargu. Bukankah kamu kekasih Drake?" bisikinya.

Neo tersenyum, mengabaikan fakat kalau Romeo ternyata sangat tambpan, berkelit dengan cepat dan kini tubuhnya terbebas dari Romeo. "Jangan bicara sembarangan!" elaknya. "Aku memang sengaja datang ke lantai dua, karena Drake mengatakan ada lukisan dari pelukan Bali yang indah. Aku sudah melihatnya tadi dan mendadak papamu muncul. Aku malu dan berusaha bersembunyi."

Romeo mengangkat sebelah alis, menatap perempuan sexy dan cantik di depannya. "Benarkah? Hanya ingin melihat lukisan?"

Neo tersenyum. "Kenapa? Kamu pikir aku tidak mengerti tentang lukisan perempuan dan kodratnya itu? Aku bisa memberimu detil harga dan di mana lukisan itu dibuat. Sayangnya, aku harus turun. Kekasihku menunggu."

"Aku belum selesai bicara denganmu?" Romeo berusaha menahan tubuh Neo dan terpental saat sebuah pukulan diayunkan ke arahnya. "Ups, tenang, Nona."

Neo menyipit lalu mendengkus. Bergegas pergi menuruni tangga. Ia tidak tahu apa yang salah tapi menurutnya, Romeo sangat berbahaya. Lebih baik kalau menjauh dari laki-laki itu.

**

Athena kehilangan akal untuk menolak ajakan Savila. Perempuan itu seolah tidak peduli kalau ada Rich di antara mereka. Memaksa untuk mengajak berdansa dan membuat Athena serba salah. Ia tidak suka berdansa terutama dengan sesama perempuan. Tapi, bagaimana menolak Savila? Ia melirik Rich dan laki-laki itu sibuk menyesap sampanye, bersikap seakan tidak melihat atau mendengar apa pun.

"Kenapa diam, Drake. Bukankah mengaja berdansa adalah bagian dari sopan santun dan basa-basi, aku rasa tunanganku tidak keberatan kalau kamu melakukan itu."

Athena meneguk ludah. "Bukan begitu, Nona. Tapi saya tidak bisa berdansa."

Savila meraih tangan Athena. "Aku yang akan mengajarimu. Ayo!"

"Tidak, terima kasih. Bagaimana kalau mengajak Tuan Rich. Dari tadi beliau hanya minum dan tidak melakukan apa pun."

Rich menyipit ke arah Athena. "Jangan libatkan aku dalam urusan dansa. Aku tidak akan berdansa dengan siapa pun."

"Tapi, Tuan—"

"Kamu mendengar apa kata tunanganku? Ayo, Drake kita bersenang-senang."

Athena menatap Rich yang kini bergerak menjauh. Putus asa karena dirinya terjebak dengan Savila yang tidak suka ditolak. Ia menghela napas panjang, bersiap menerima ajakan Savila saat Neo muncul. Ia tersenyum semringah dan menyapa riang.

"Sayang, kamu dari mana saja?"

Neo mengamati lengan Athena yang berada di dalam cengkeraman Savila. Tersenyum kecil, meraih genggaman mereka dan berusaha untuk melepaskan cengkeraman Savila tapi perempuan itu menolak.

"Lepaskan!" desis Neo.

Savila bersikukuh. "Tidak! Drake sudah berjanji untuk mengajakku berdansa."

"Benarkah? Setahuku, kekasihku yang tercinta ini, tidak suka berdansa. Benarkan, Drake?"

Athena mengangguk, menahan geli karena berada di tengah dua perempuan yang sedang berdebat. Ia berharap Neo tidak lupa kalau dirinya juga perempuan.

Savila menggeleng, melepaskan cengkeraman dan memeluk lengan Athena. "Drake sudah berjanji, Terserah kamu mau memberi ijin atau tidak, aku tidak peduli."

"Hei, jadi perempuan harus punya harga diri. Seenaknya saja merebut kekasih orang lain!"

"Apa katamu? Berani bicara harga diri denganku? Memangnya siapa kamu?"

Athena mendesah. Menahan malu karena pandangan orang-orang kini tertuju pada mereka. Ia takut kalau Neo sedang melampiaskan dendam pribadinya. Dari awal, sahabatnya itu memang tidak menyukai Savila. Menganggap kalau perempuan itu manja, dan kini kesempatan untuk melampiaskan kekesalan itu.

"Sudah, cukup kalian berdua! Maluu dilihat banyak orang," tegur Athena.

Savila mengibaskan tangan. "Peduli setan dengan orang-orang. Ini menyangkut harga diri. Bagaimana bisa perempuan ini mengatakan aku tidak punya harga diri?"

Neo melotot. "Memang nyatanya begitu. Kamu memaksa kekasihku, dia tidak mau. Bagian mana yang tidak jelas, hah?"

"Sialan!" Savila mengangkat kedua tangan, ingin mencengkeram rambut Neo.

"Apa? Mau ngajak berkelahi? Ayo! Jangan nangis kalau sampai kamu babak belur!"

Orang-orang meninggalkan percakapan mereka dan kini sibuk memperhatikan Savila dan Neo yang bertengkar dengan Athena berada di tengah. Mereka tidak tahu apa yang terjadi dan hanya menduga sebagai pertengkaran antar sahabat.

Athena sendiri rasanya sangat malu. Berusaha untuk menyadarkan Neo tapi sahabatnya seakan lupa diri. Ia menggunakan segala cara dari mulai mengusap pipi Neo, mencubit pinggang, ataupun menggoyangkan lengan tapi tidak dianggap. Neo yang mengabaikannya dan Savila yang berusaha mempertahankannya, Athena terjebak dalam pertengkaran paling aneh dalam hidup. Ia berniat untuk pergi diam-diam dan sialnya, Savila menyadari.

"Mau kemana kamu Drake, tetap di sini!" Savila mencengkeram pergelangan tangan kiri Athena.

"Dia mau kemana, bukan urusanmu!" teriak Neo. Tidak mau kalah mencengkeram pergelangan tangan kanan Athena.

"Siaaal!" Athena mendesis saat mereka saling menarik dan membuat kedua lengannya kesakitan.

**

Extra

Romeo menahan geli melihat pertengkaran Savila dan Neo. Ia menghampiri Rich dan berujar setengah tertawa.

"Mau sampai kapan kamu akan tetap diam?"

Rich menatap adiknya dengan pandangan bingung. "Maksudnya apa?"

"Lihat, pengawal setiamu sedang terjebak di antara dua perempuan. Bukankah seharusnya kamu menolongnya?"

"Kenapa?"

"Rich, kamu itu bodoh atau bagaimana. Karena apa? Satu, Drake pengawalmu dan sekarang sedang kesulitan. Dua, penyebab utama adalah tunanganmu, astaga. Tunangan macam apa yang memperebutkan laki-laki lain?"

Rich mempertimbangkan perkataan adiknya. Menyerahkan gelas ke dalam genggaman Romeo dan mendekati Athena. Tanpa kata menyentakkan lengan Athena hingga terlepas dari Savila dan Neo lalu membawa pengawalnya ke lantai dua, diiringi tatapan para tamu. Semua orang merasakan kalau Rich seperti pangeran yang sedang menyelamatkan puteri.
.
.
.
Tersedia di google playbook.

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro