Chord 2

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Attention © Fukuyama12

.
.
.

"Morning, Blue!"

Aku menoleh dan balik menyapa dengan senyum ceria. Headphone di kepalaku tidak menjadi penghalang bagi telingaku untuk mendengar sapaan di hari ini. Menoleh tanpa dipanggil untuk kedua kalinya sangat penting demi popularitas, jadi aku sedikit mengecilkan volume suaranya.

Aku berjalan melewati lorong dalam sebuah bangunan kuno yang tampak gagah melawan waktu. Sekolahku sudah berdiri berabad-abad yang lalu, mungkin terdengar mustahil, tetapi itulah kenyataannya. Meskipun memang tidak setua Gereja Katedral Ely yang ada di pusat kota.

Mungkin karena sekolah ini berumur tua, jadi banyak mitos berkeliaran yang patut dipertanyakan kebenarannya. Meskipun begitu, banyak orang yang mempercayainya atau bahkan mencoba membuktikannya sendiri, seperti sebuah klub khusus yang didirikan oleh sekelompok siswa pecinta misteri di sekolah. Tentu saja aku bukan bagian dari mereka.

Di antara mitos-mitos itu, yang paling populer adalah mitos mengenai keberadaan makhluk halus di sekolah ini. Mitos ini sudah ditanamkan kepada seluruh murid baru sejak hari pertama sekolah. Berterima kasihlah pada kakak kelas yang tak pernah bosan membicarakannya pada adik angkatan mereka setiap saat.

Sebenarnya aku percaya tidak percaya karena aku memang tidak punya bukti akan hal itu. Mereka bilang jika makhluk halus itu hanya ingin menghabiskan waktu dengan teman-temannya. Konyol sekali.

Bagaimana pun juga mitos ini sudah mendarah daging. Bahkan, ada satu mitos yang berhubungan dengan mitos sebelumnya. Mitos tentang cermin-atau mungkin kaca?-misterius yang tidak diketahui keberadaannya. Mereka bilang jika ingin mengetahui keaslian siswa tersebut, mereka hanya perlu melihatnya dari balik kaca. Jika tidak ada seseorang dibalik kaca itu, maka ia bukan manusia.

Sekali lagi, itu konyol. Jika memang tidak diketahui keberadaannya, maka kenapa mitos itu bisa diciptakan? Karena itulah, aku sudah berhasil menghabiskan dua tahunku tanpa mempedulikan mitos itu dan hidupku terasa sangat menenangkan.

Kelas akan dimulai tiga puluh menit lagi dan aku belum menyelesaikan tugasku. Tahun terakhir sangat melelahkan dengan tugas yang menumpuk, padahal ini masa-masa terakhir di sekolah menengah atas yang seharusnya dihabiskan dengan suka-cita sebelum menempuh pendidikan yang lebih tinggi.

Aku meninggalkan tas beratku di atas meja panjang. Roti hangat yang baru saja dibuat terlihat menggiurkan. Jadi, aku berjalan mendekati salah satu etalase yang memajang berbagai roti. Hanya ada satu orang pembeli di sana, sedangkan yang lainnya tampak sibuk memilih menu makanan sampah dengan harga khusus.

"Permisi!" Pelanggan di sebelahku mencoba memanggil salah satu penjaga, sementara aku memilih roti yang akan memenuhi perutku.

Hingga aku selesai memilih, tak ada penjaga kantin yang datang meskipun siswa di sampingku memanggilnya tanpa henti. Aku merasa sedih melihatnya, jadi aku bantu dia untuk memanggil salah satu dari mereka, lagipula aku juga sudah selesai bertarung dengan nafsuku untuk memilih dua dari sekian banyak roti yang terpajang di sana.

"Permisi! Saya ingin membeli ini!" seruku. Salah satu dari mereka menoleh dan segera menuju ke arah kami. Aku sedikit terheran karena siswa di sebelahku sudah berteriak berkali-kali, tetapi tak ada satu pun dari mereka yang menoleh.

"Apa yang akan Anda beli?" Pertanyaan itu ditujukan kepadaku.

"Maaf, tapi dia yang mengantri terlebih dahulu," tolakku dan menunjuk siswa di sebelahku.

Penjaga itu sedikit menganga seakan terkejut dengan kehadirannya. "Oh, maafkan saya. Apa yang ingin Anda beli?"

Aku melirik siswa itu saat penjaga sibuk mempersiapkan pesananku dan dia. Wajahnya tidak terlihat asing, tetapi aku tidak merasa mengenalinya. Aku mengerutkan alisku dan mencoba mengingat namanya.

"Ah, kau yang biasa datang ke Golden House Cake!" seruku tak sengaja. Itu nama kafe yang biasa aku kunjungi di Sabtu siang.

Pemuda itu menoleh. "Apa?"

Aku menutup mulutku. Jika aku mengulangi perkataanku sebelumnya, mungkin dia akan menganggapku aneh. "Ah, maksudku, apa kau murid kelas B?"

Dia terlihat kebingungan sementara aku merutuki kebodohan otak dan mulutku. Meskipun aku tidak mengulangi perkataanku, tetapi pertanyaanku barusan terdengar seperti orang yang sok tahu.

Tanpa diduga, dia mengangguk membenarkan. Kelegaanku belum juga datang karena aku harus memutar otakku untuk memikirkan kalimat selanjutnya. Aku tersenyum canggung dan membalas, "Ah, pantas saja aku pernah melihatmu di kelas olahraga."

Pesanannya sudah ada di tangan, tetapi ia masih menatapku. "Oh, Jarang sekali ada yang menyadarinya."

Aku tersenyum canggung. Itu terdengar seperti sebuah pujian, tetapi aku tidak berterimakasih mendengarnya. Setelah itu, aku mengucapkan selamat tinggal padanya dan kembali menuju mejaku, mencoba melarikan diri. Kertas-kertas itu sudah menunggu untuk diisi dan makanan manis di tanganku sudah siap untuk dimakan.

Pemandangan taman di depanku terasa lebih menyenangkan untuk diamati ketimbang menyelesaikan permasalahan fisika. Aku menghela napas panjang. Aku tidak menemukan satu pun jalan keluar untuk memecahkannya. Rasanya aku ingin mengharapkan sebuah keajaiban saja.

Suara kursi berderit mengalihkan perhatianku. Aku sedikit terkejut saat melihat pemuda tadi duduk di sebelahku. Aku menoleh dan mengamati sekeliling. Banyak meja yang sudah penuh, mungkin ada beberapa kursi kosong yang bisa diduduki dengan bonus suara tawa keras siswi-siswi yang entah membicarakan apa atau tempat duduk yang diisi oleh sekelompok geng famous di sekolah. Sepertinya aku paham kenapa dia memilih untuk duduk di sini.

"Halo, kita bertemu lagi!" sapaku. Dia terlihat terkejut, tetapi ia membalas sapaanku tanpa terlihat seperti dipaksakan. Oke, ia sepertinya tidak merasa keberatan.

"Ah, itu tugas fisika minggu lalu, ya?" tebaknya.

"Ya. Dengan tingkat kesulitan yang semakin tinggi," jawabku mencoba melucu. Dia tertawa mendengarnya.

"Soal nomer lima memang yang paling susah. Mr. Graviolens memang senang sekali melihat muridnya kesusahan. Tetapi setelah dipecahkan, ternyata tidak sesusah yang dibayangkan, lho!"

"Kau sudah tahu jawabannya?" tanyaku heran. Aku sudah berusaha bertanya kepada seluruh siswa kelasku, tetapi tidak ada yang bisa memecahkannya.

"Ya, begitulah. Mr. Graviolens sudah memberikan jawabannya kemarin. Kau ingin tahu?" tawarnya. Oh, itu terdengar menggiurkan, jadi tanpa sadar aku mengangguk tanpa berpikir dua kali. Ia memeriksa tasnya, lalu menatapku. "Maaf, aku lupa jika hari ini tidak ada kelas fisika."

Aku berseru kecewa. Ia sudah menjatuhkanku ke tanah setelah melambung tinggi. Padahal ini kesempatan yang bagus. Soal nomer lima selalu memiliki nilai tambahan yang tinggi dan Mr. Graviolens tidak pernah memedulikan asal jawaban yang di eq dapat, asalkan itu benar saat mengerjakan di papan, maka nilai tambahan akan jadi milikmu.

"Mungkin aku bisa mengingatnya," hiburnya saat melihat raut wajah sedihku. Aku kembali berbinar. Ah, dia sungguh baik hati. "Izinkan aku meminjam bukumu."

Aku dengan senang hati meminjamkannya, bahkan pensil dan kertasnya pun aku pinjamkan demi mendapat nilai tambahan. Aku melirik jam dinding saat dia mulai membuka bukuku dan sedikit khawatir saat menyadari bahwa kelas akan dimulai sepuluh menit lagi.

"Blue, kelasnya akan dimulai, lho! Masih ingin di sini?!" Seorang siswa menyapaku. Ia bersama dengan temannya. Tanpa berkata seperti itu pun aku sudah tahu. Aku tidak menjawab apapun karena tahu jika kalimat itu hanya basa-basi belaka, lagipula siswa itu sudah berjalan meninggalkanku.

"Hey, Blue! Berminat duduk di sebelahku saat kelas bahasa nanti?" Kali ini seorang siswi datang dan merangkulku. Aku mengiyakan dengan cepat seperti dia yang mengucapkan terima kasih dan pergi begitu saja.

Tak sampai di situ saja, beberapa siswa maupun siswi menyapaku dan berbasa-basi dengan berbagai topik yang tidak terlalu penting, tetapi menarik untuk dibicarakan. Rasanya aku tidak enak dengan pemuda di sebelahku yang masih sibuk dengan rumus dan angka, tetapi mengabaikan orang yang mengajakku berbicara juga sama pentingnya. Oleh karena itu, sembari aku menjawab perkataan mereka, aku berdoa agar mereka cepat pergi. Maafkan aku, teman-teman.

"Mungkin seperti ini. Ah, iya, memang seperti ini jawabannya," gumamnya, lalu memberikan secarik kertas sobek yang sudah berisi jawaban. Walaupun kalimat yang diucapkan olehnya membuatku sedikit ragu dengan kebenaran jawabannya, tetapi aku tetap berterimakasih.

Aku bangkit setelah memastikan seluruh barangku berada dalan tas. "Terima kasih banyak. Rasanya aku berhutang padamu, ... err?"

"Ah, aku Sage Autumn. Panggil kapan saja jika kau bertemu denganku. Maaf tidak memperkenalkan diriku sebelumnya," ucapnya dengan tangan yang terulur.

Aku membalasnya. "Tidak masalah. Aku Blue Alyssum-" Suara bel berbunyi. Aku secara refleks menoleh ke arah suara, lalu kembali menatap matanya yang berwarna biru-atau hijau? aku tidak melihatnya dengan jelas. "Ah, aku harus pergi! Akan kutraktir kau sebagai bayarannya, jika aku ingat. Bye!"

Aku berlari meninggalkannya. Aku harus segera sampai di kelas sebelum Mr. Graviolens datang. Aku masih dapat merasakan tatapannya saat aku berlari. Di samping itu, entah mengapa aku senang sekali saat aku mengetahui namanya. Seperti menantikan hadiah spesial.

Ah, apa yang aku pikirkan, sih?

.
.
.
.

Next ➡️➡️

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro