📷 Bab 7. Langkah terakhir

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

"Ingatan terkelam kini tersulut. Hadir membawa bara api abadi. Mampu kah kau meredamnya? Bisa kah kau melunakannya?"

✨📷✨

Setelah guru Sosiologi itu hilang di ujung pintu, Dero tiba-tiba bangkit dari kursi dan berjongkok membelakangi Nara.

Nara mengernyit bingung melihat tingkah aneh cowok itu. "Lo ngapain?"

"Ke UKS," jawab Dero santai. "Udah cepetan naik ke punggung gue."

"Hah? Nggak mau." Nara menggeleng tak mengerti. Untuk apa ia digendong ke UKS?

Dero memutar tubuhnya. Lalu dengan bertumpu satu lutut, ia mendongak menatap Nara.

"Lo dari tadi pucet banget. Pasti lo lagi sakit, kan? Udah ayok ke UKS. Gue nggak mau lo kenapa-napa," ucap Dero sambil menatap kedua bola mata Nara.

Nara tertegun melihat kepedulian Dero. Padahal hal ini bukan kali pertamanya. Hal ini membuat ucapan Fadil kemarin kembali terngiang di pikiran gadis itu.

"Manusia itu bukan peramal hati. Yang saling tahu isi hati masing-masing tanpa campur tangan ucapan. Kalo cuma satu hati yang tau, hati lainnya nggak bakal tau. Lo harus ungkapin. Lo nggak capek, jatuh cinta sendirian?"

Nara menunduk. Ya, ia akui ia lelah. Ia ingin Dero segera tahu perasaannya. Ia lelah terjebak dalam hubungan friendzone yang tak tahu kapan akan berakhir.

"Ro, gue mau ngomong sesuatu sama lo," ungkap Nara dengan jantung yang mulai berdegup kencang.

Dero terlihat bingung. Ia menatap Nara serius.

Nara meneguk ludahnya susah payah. "Ro, sebenarnya, gue ... suk...." Nara menggantung kalimatnya sangat lama. "Suk ... ah! Gue nyerah!" teriak Nara seraya bangkit dari kursinya. Ia meraih kamera di meja dan mulai berjalan keluar kelas. Ia tak sehebat itu untuk mengungkapkan semuanya tanpa memedulikan segala resiko yang terjadi setelahnya.

Melihat kepergian gadis itu, membuat Dero berdecak kesal. Gadis itu sengaja membuatnya penasaran. Ia pun mengajar Nara hingga cewek itu mau menyelesaikan kalimatnya.

"Ra, lo tadi mau ngomong apaan?" desak Dero terus berjalan beriringan dengan langkah cepat gadis itu.

Nara mengumpat terus dalam hati. Seharusnya ia bisa lebih bersabar hingga menunggu Dero menjawab pertanyaan truth-nya tentang siapa cewek yang ia suka.

Jika tak ada, itu artinya ia masih memiliki kesempatan. Tapi jika ada ... mungkin mundur perlahan jawabannya.

"Nggak, Ro."

"Bohong."

"Udahlah abaikan."

"Lo ngomong apaan tadi, Ra?" tanya Dero berkali kali hingga Nara jengah mendengarnya. Bahkan kini ia sedang di dekat subjek paparazinya dan Dero tetap berdiri di sebelah Nara.

Nara sedikit berjinjit untuk melihat suasana kelas Gevan. Sial, ada Fadil di sana. Nara pasti akan ketahuan. Nara kembali memutar badan dan menatap kamera merah mudanya.

"Kenapa lo?" tanya Dero bingung melihat perubahan wajah Nara.

Nara terdiam. Pikirannya masih bergulat memikirkan rahasia yang dibongkar Fadil kemarin. Sebenarnya ia tak tega melakukan hal ini. Tapi tinggal satu hari lagi yaitu hari ini misinya akan selesai. Jika ia mengurungkan niat, maka entah sampai kapan ia akan tahu isi hati Dero.

Nara mengangguk mantap. Ya, satu kali ini saja. Ia janji akan melakukannya dengan baik dan tak akan pernah memotret Gevan lagi.

"Ro, lo harus siapin jawabannya mulai dari sekarang. Karena hari ini, gue akan selesaikan semuanya," kata Nara seraya tersenyum sekilas dan menepuk pundak Dero, membuat cowok itu terdiam dan tak lagi mengikuti Nara.

Nara lalu kambali ke kelasnya. Sementara Dero entahlah Nara tak yakin cowok itu hendak kemana. Yang penting sekarang, ia harus mengamati kelas Gevan dari jauh.

Tak perlu menunggu lama, cowok itu akhirnya panjang umur. Ia keluar kelas dengan langkah lebar dan Nara dengan cekatan mengikutinya.

Berkali-kali Nara hendak menabrak siswa lain akibat saking cepatnya Gevan berjalan. Hingga akhirnya cowok itu menemukan tujuannya. Lapangan basket.

Tapi ada yang berbeda dengan hari ini. Lapangan itu sedang ramai di isi oleh anggota ekskul basket. Nara tau hal itu karena Dero dan teman-teman ekskulnya ada di sana.

Nara kembali menatap Gevan. Cowok itu terdiam di tempatnya hingga akhirnya ia pun melangkah menjauh menuju arah kantin. Nara menghela napas lelah. Ia harus mengikuti langkah Gevan lagi. Tapi, saat kakinya hendak terangkat, seorang cowok yang sangat ia kenal tiba-tiba berseru memanggilnya.

"RA, ES TEH SATU YA!"

Nara menatap Dero kesal. Cowok itu membuat bebannya tambah banyak saja. Ia mengangkat jempol tanda setuju lalu segera berlari mengejar Gevan.

Ternyata benar dugaan Nara tadi, Gevan menuju kantin. Cowok itu kini sedang berada di kedai es. Nara pun dengan cepat masuk ke dalam kedai di depan kedai es yang Gevan kunjungi.

"Bu, es teh satu ya," pinta Nara dengan posisi membelakangi ibu penjaga kedai. Ia kini sedang fokus mengatur kameranya agar Gevan dapat ia potret.

"Neng, saya di sini," balas ibu itu.

"Eh?" Nara menoleh ke belakang. "Maaf bu, itu saya lagi ngerjain tugas, motoin suasana kantin, hehe," jawab Nara berbohong. Lalu ia kembali mengambil gambar. Setelah puas, ia mengecek hasil-hasilnya.

Benar-benar sial! Gambarnya tak ada yang benar. Ada yang buram, ada yang tertutup beberapa orang yang sedang melintas, tak ada yang jernih. Semuanya kacau.

"Nih, Neng, es tehnya."

Nara kembali menoleh. "Iya, Bu, makasih," jawab Nara seraya mengambil segelas plastik berisi es teh itu dan menyerahkan selembar uang lima ribuan.

Sambil membawa es teh, Nara lanjut mengikuti Gevan yang kini sudah membeli minumannya. Ia terus berjalan, melewati lapangan basket lagi--membuat Nara bisa memberikan titipan Dero--lalu melewati perpustakaan dan berakhir di sebuah tangga menuju balkon yang biasa Gevan naiki.

Ternyata cowok itu hendak ke atas. Dengan segera, setelah Nara yakin Gevan telah tiba di atas, ia menyusulnya.

Nara dengan cepat bersembunyi dan duduk di balik tumpukan kursi bekas setelah tiba di atas. Cowok itu suka sekali menghabiskan waktu di sini. Padahal angin di sini sangatlah tak bersahabat. Aneh. Nara mengedikkan bahu tak peduli. Yang penting sekarang misi terakhirnya selesai. Ia pun dengan cepat mempersiapkan fokus kameranya dan mulai menempelkan kamera ke sebelah mata. Tapi tunggu, dimana cowok itu? Kenapa tak ada di balik lensa kamera?

"Aaa!" Nara menjerit kala lengannya terasa nyeri digenggam erat oleh seseorang. Ia mendongak, ternyata Gevan menangkap basah dirinya.

Mata cowok itu berapi-api menatap Nara. Tatapan tajamnya kini lebih tajam dari segala pisau di muka bumi. Nara ingin pingsan sekarang. Ia sangat takut Gevan akan meninjunya.

"Lo ngapain! Hah!" bantaknya seraya menarik paksa cewek itu untuk ikut berdiri.

Nara tersentak. Ia terpaksa berdiri. Jantungnya kini mulai berdetak tak karuan. Oksigen di sekitarnya tiba tiba lenyap entah kemana, membuat Nara merasa sesak.

"Lo ngapain?!" Intonasi Gevan naik berkali-kali lipat.

Gigi Nara semakin bergetar. Ia sangat kalut dan takut. Apalagi dengan kenyataan tak ada orang di sekitarnya dan tempat ini jauh dari keramaian. Apakah Gevan akan menghabisinya sekarang?

Tangan Gevan beralih mengambil paksa kamera Nara. Ia melihat gambar-gambar dirinya dengan cepat. Semakin di geser, amarahnya semakin naik berkali-kali lipat. Tangannya bergetar karena terlalu kesal. Traumanya muncul kembali. Ingatan kelamnya pun teringat. Hingga akhirnya, dengan sekuat tenaga ia mendorong kedua bahu Nara ke belakang.

Nara jatuh tersungkur diatas paving balkon yang kasar dan dingin.

"LO GILA! LO NGAPAIN, HAH!" teriak Gevan tak henti.

Nara menutup wajahnya dengan kedua lengan sebagai bentuk pertahanan. Ia memejamkan matanya dan mulai menangis.

"Please, stop!" rintih Nara dengan nada bergetar.

"Lo ngefotoin gue?" Tatapan mata Gevan kini menjadi sangat mengerikan. Ia tersenyum sinis. "Buat apa? Lo mau mempermalukan gue?"

Nara hanya menggeleng lemah dengan kepala tetap tetunduk takut.

"Iya? Hah?! Lo punya mulut di pake!" bentak Gevan seraya meremas lengan baju Nara hendak menyuruhnya kembali berdiri.

"UDAH!" Nara menangis hebat. "Udah Vano. Plis ... jangan bunuh gue..."

Malam semua, jangan lupa komen, vote dan follow yaa terima kasih💕

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro