Bab 13: Simulasi

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Perhatian: Cerita ini hanya dirilis di platform W A T T P A D.

...

Pecahan kristal berubah menjadi penanda-penanda soal yang tersebar acak. Dari sekian banyak tempat yang memungkinkan, satu soal awal memilih berada di atas dahan pohon yang cukup tinggi. Aku terpaksa memanjat dan melompat di antara cabang dan ranting untuk mendapatkannya.

Kristal yang kudapat berwarna hijau zamrud; berpendar hangat. Benda itu pecah menjadi butiran ketika kugenggam. Sebuah soal Biologi tentang flora dan fauna hutan tropis menyambut.

Permulaan ini cukup mudah. Kami berhasil menjawab lima soal pertama tanpa kendala apa pun. Terlalu mudah, sampai aku merasakan sesuatu yang salah. Seperti ada sesuatu yang telah dipersiapkan sebagai kejutan.

"Kalian merasakannya?" Chloe yang pertama bersuara, seolah menanggapi kecemasanku.

"Merasakan apa?" timpal Chrys melihat sekeliling layaknya tidak ada yang aneh.

"Mungkin cuma perasaanku saja."

Tidak. Aku juga merasakannya.

Hutan lebat ini terasa lebih dingin dari sebelumnya. Angin berembus kencang beberapa kali membawa uap-uap air pergi; membuat bulu kuduk di tangan dan leher berdiri. Gemeresik daun-daun seperti musik alam membuat tenang sekaligus waspada karena diiringi gerakan-gerakan cepat sesuatu di antara pepohonan; menyerupai musik pengantar sebelum hal buruk terjadi.

"Waspada, Semua," ingatku. Kulihat sekeliling mencari soal lain yang sekiranya mudah.

"Kita harus cepat bergerak, Ren," saran Chloe.

"Boleh aku yang memilih soal selanjutnya?" tanya Chrys sambil melihat-lihat semak.

Aku meliriknya skeptis, teringat saat pertama kali dia memilih soal malah berakhir dengan jebakan.

"Tidak—"

"Ups ...."

Bersamaan dengan soal yang muncul, gemeresik pepohonan semakin kentara dan memperlihatkan dengan jelas hewan-hewan melata berwarna cokelat yang menjuntai. Mereka semua melihat kami intens sambil menjulurkan lidahnya.

Mischa memekik diiringi jeritan Chloe. Aku segera memerintahkan semua untuk berkumpul dan menyuruh Chrys untuk melindungi para gadis bersama-sama. Kami saling memunggungi; melihat dengan awas. Arthur dan Krishna menyiagakan senjata mereka masing-masing bermaksud menghalau setiap serangan yang mungkin akan datang.

"Kita harus tenang," bisikku. "Ingat kata Pak Ben, keselamatan yang utama ...."

Mudah mengatakannya. Dapat kurasakan sesuatu bergetar dari balik punggungku. Salah satu dari mereka menjawab sambil menahan ketakutan. Hal itu membuatku tidak fokus saat mengerjakan soal.

Bar biru muda transparan bergerak cepat memproses jawaban yang kuberikan. Hasilnya tidak memuaskan. 50%.

"Cih ...."

Ular-ular piton yang menggantung di pepohonan membuka mulut lebar memperlihatkan gigi taring yang tajam lalu jatuh satu per satu. Makhluk-makhluk itu melata mengelilingi kami sebelum bergerak ke satu titik. Mereka bergerombol, menyatu, membentuk sosok ular raksasa yang bahkan melebihi tingginya pepohonan rapat yang menjulang.

"Bersiap!"

Aku dan Chloe melompat mundur ketika kepala piton raksasa itu menumbuk tanah. Chrys menghindar berguling sambil memeluk Mischa. Anak itu mendekap erat Si Gadis Pemalu seolah enggan melepaskannya.

"Fokus, Ren," ingat Chloe.

Aku kembali menghadap ke monster yang harus kami hadapi sambil mendengus.

Clowny sudah menerjang makhluk itu dengan dua pisau raksasa terhunus ketika aku baru memberikan Excalibur pada Arthur. Avatarku menyusul, menghindari setiap lecutan angin yang dihasilkan ekor ular itu. Mereka melompat di antara cabang, ranting, dan dedaunan untuk menyerang. Guguran daun mengiringi pergerakan mereka yang lincah. Cabang-cabang bergoyang. Ranting berjatuhan.

Di antara dahan-dahan pohon, cakram-cakram Krishna melesat cepat mengoyak daun-daun. Si Piton Raksasa menggeliat-geliat mengelak semua serangan dengan lincah. Tubuhnya yang lentur meliuk-liuk di antara pohon dan sesekali menggunakan ekornya untuk membanting para avatar atau menghancurkan lingkungan sampai kami kewalahan.

Sempitnya pergerakan kami membuatku terpaksa mencetuskan ide yang berisiko.

"Maniak api, bakar hutan ini," pintaku kepada gadis yang ada di sisiku.

"Kau serius?" tanya gadis itu seolah aku ini pernah bercanda.

Aku memandangnya tajam.

"Ck, baiklah."

"Semuanya, mundur!" perintahku.

Krishna dan Arthur kembali ke sisi kami. Clowny bersiap dengan obor dan botol di tangannya.

Ketika makhluk itu muncul dari balik dedaunan, Clowny menyemburkan lidah api dengan sigap, membakar Si Piton Raksasa dengan hutan di sekitarnya. Batang-batang kayu dan daun-daun terbakar cepat, menjadikan mereka abu dan arang. Selagi si ular kepanasan, kuperintahkan Chrys agar memakai skill pilar tanah untuk menusuk ular itu supaya tidak bisa ke mana-mana.

"Oke, serahkan padaku!" serunya sambil menunjuk diri.

Di antara tanah hutan yang hitam dan ular yang menggeliat bagai cacing kepanasan, pilar bebatuan runcing mencuat dengan cepat, mengunci pergerakan hewan tersebut. Desisan keluar dari mulut makhluk itu. Hit point-nya yang tinggal sedikit akan kuhabisi dalam sekali serangan.

Arthur menyerang dengan Excalibur di tangan. Menggunakan pilar-pilar tanah sebagai pijakan, avatarku berlari ke arah kepala Si Ular Piton. Kesatria digital itu melompat, mata pedang mengarah ke bawah, dengan satu tusukan cepat, dia melesat.

Stab!

Excalibur menancap tepat di antara mata. Si Piton Raksasa meronta. Aku terus menjawab soal untuk memberikan poin kerusakan. Koyakan demi koyakan Arthur berikan sampai akhirnya kepala makhluk itu robek dan terbelah menjadi dua.

Ringisan dari kedua gadis di sampingku mengiringi jatuhnya monster pertama yang kami hadapi.

"Mereka yang membuat soal monster ini parah sekali," komentar Chrys sambil memeluk Mischa seraya mengelus punggung gadis itu. "Sudah, Cha, sudah. Makhluk mengerikan itu sudah hilang."

Chloe mengembuskan napas.

Kulihat Mischa yang mulai bisa tenang. "Aku penasaran bagaimana kau bisa jadi juara keempat kalau dengan seperti ini saja takut—Aw!"

Si Badut Konyol menendang kakiku!

"Kau ini kenapa?!" bentakku geram.

"Bisa-bisanya kau menghakimi Mischa! Kau harusnya bisa menerima setiap kelemahan anggota kelompokmu!" Gadis Badut itu menunjukku dengan jari telunjuk. Dia mengacung-acungkannya di depan hidungku seolah aku ini penjahat yang harus ditangkap.

"Aku tidak menghakiminya! Aku hanya penasaran." Aku mendengus sebal. Kusingkirkan jarinya dari hidungku.

"Sama saja! Kau terdengar seolah hal seperti itu sepele!"

"Kalian berdua, tenanglah!" Chrys menengahi. "Kita akan tertinggal kalau bertengkar."

Chloe masih bersungut-sungut ketika dia berhenti bicara sambil membuang muka seraya bersedekap. Aku tidak pernah bisa berhenti kesal karena sikapnya yang selalu membuatku naik darah.

"Kita lanjut," kataku pada akhirnya.

Hutan hijau rimbun berubah menjadi lahan hitam pembakaran dengan abu dan kayu arang yang bertebaran di mana-mana. Asap-asap kelabu masih membubung di beberapa tempat. Seperti biasa, badut itu selalu bisa menghancurkan sesuatu dengan sempurna.

Kami bergerak ke area seperti permukiman penduduk bergaya kuno. Keluar dari hutan mendapati hewan-hewan ternak sedang beriringan di antara rumah dan ladang. Tempat ini seperti arena saat latihan kedua. Seperti kata Pak Ben, ini sepertinya kumpulan tiga arena sebelumnya yang dimodifikasi.

Penanda soal melayang-layang di beberapa tempat. Di ladang, di atas kepala hewan ternak seperti sapi yang sedang makan rumput, di atas topi orang-orangan sawah, di depan seorang petani yang sedang melihat ladangnya yang tandus.

Cukup jauh dari tempat kami berada, sekelompok anak-anak sedang melompat dan menghindari amukan monster yang melempar-lemparkan bebatuan ke segala arah. Sesekali lecutan listrik, pedang, jarum-jarum es, dan lecutan angin melayang-layang di antara mereka.

"Itu Prima Sophia, 'kan?" tanya Chrys pelan.

Aku mengangguk. "Ayo, kita selesaikan sebelum mereka mengganggu kita lagi."

Pilihan kami jatuh kepada soal tentang tenaga kuda yang diperlukan untuk membajak ladang, bagaimana caranya membuat pupuk kimia dari campuran nitrat, kalium, dan fosfat, atau berapa kecepatan angin minimal agar kelembapan udara relatif berada pada kisaran yang dibutuhkan tanaman agar tetap tumbuh optimal?

Kalian tidak perlu memikirkan hal-hal itu karena tidak ada gunanya juga, kecuali kalian memang menekuni bidang tersebut.

"Semua menjawab benar? Tidak ada yang salah?" tanyaku sangsi.

"Kau kenapa? Bukannya bersyukur kita bisa menjawab semuanya dengan benar!" bentak Chloe.

Aku hanya memicingkan mata tanpa membalas.

"Kita ke area lain?" saran Chrys ragu sambil teleng seraya menunjuk belakangnya dengan jempol.

Kupastikan sekeliling. Tidak ada halangan. Area pertanian dengan ladang yang telah digarap. Aman. Tidak ada tim lain. Sapi-sapi yang merumput dengan khidmat. Santai memamah. Tidak ada anak-anak yang berlari ke arah kami. Rumah petani dengan silo besarnya yang perak berkilau. Tidak ada yang aneh. Beres.

"Ayo," ajakku.

Kami bergerak ke area permukiman penduduk bergaya era victorian seperti yang ada di dunia kalian. Paving block dari bebatuan persegi menemani diiringi lampu-lampu jalan yang menyala redup selayaknya malam hari. Kabut tipis bergerak-gerak di antara gedung-gedung tinggi dengan pilar-pilar besar dan balkon-balkon yang melengkung dihiasi bunga-bunga berwarna pucat. Dengan suasana yang mencekam, tempat ini cocok sekali menjadi latar pembunuhan di cerita-cerita genre horor, misteri, dan ketegangan.

Transisi dari area pertanian tadi ke tempat ini benar-benar kentara. Aku bahkan masih bisa melihat area lapang tempat tanaman tumbuh di belakangku.

Chrys menunjuk dengan jempol ke arah kanannya sambil menyeletuk, "Kalau ini genre misteri, sebentar lagi akan ada bayangan-bayangan lewat dengan cepat di daerah gang sana—"

Anak pirang itu berhenti seketika. Wajahnya menegang seperti merasakan hal yang dia bicarakan. Jinx.

"Aku melihat sesuatu," ujar Chloe sambil melotot.

Mischa di sampingnya memeluk Si Gadis Badut dengan waspada.

Aku memerintahkan mereka untuk bergerak lebih cepat. Soal-soal tentang kelistrikan dan sudut dalam bangunan mengalir cepat bersamaan dengan adrenalin yang terpompa. Entah ini perasaanku saja atau sebuah firasat bahwa akan ada sesuatu yang besar bakal terjadi. Aku tidak yakin. Sebuah pertarungan, mungkin?

Kami berhasil menyelesaikan semua soal yang ada di area ini dan akan beralih ke tempat selanjutnya ketika sebuah getaran membuat kami terpaku seketika.

"Apa lagi sekarang?" Chloe celingukan.

Chrys bicara sembarangan lagi. "Bukan pembunuh, 'kan? Karena suasananya sangat mendukung—"

"Jaga bicaramu, Chrys!" sergah Badut Konyol itu.

"Waspada, Semua," ingatku.

Mata kami semua awas ke berbagai sudut menunggu sesuatu yang mungkin akan datang dari tempat yang tidak terduga.

Gemuruh dan getaran semakin terasa ketika beberapa serpihan bangunan terlempar di depan kami. Debum diiringi reruntuhan dinding yang tercerai berai dan seekor monster menyusul setelahnya. Tsunami pasir mengikuti, disertai anak-anak Canidae dan avatar mereka yang melompat-lompat sambil menyerang.

Monster abstrak yang mereka hadapi hanya terlihat bagai siluet dalam kepulan debu-debu kecokelatan yang membutakan mata. Makhluk itu hancur berkeping-keping menjadi cahaya seketika saat senjata serupa jarum yang meluncur bertubi-tubi mengenainya.

Dalam kepulan debu yang membuat sulit melihat, aku memaksa teman-teman untuk terus bergerak. Kuarahkan mereka ke arah gang yang Chrys tunjuk sebelumnya. Beberapa kali Mischa atau Chloe jatuh karena terantuk batu paving block. Aku dan Chrys terpaksa harus bergantian menolong mereka.

"Hei, Kawan-Lawan!" Itu Saka. Dia lari mengejar kami bersama tiga temannya dan avatar mereka dengan senjata menantang.

"Mischa, bersiaplah!" perintahku.

Chloe yang lari di samping kananku memprotes. "Mischa tidak akan fokus, Ren! Memang mudah lari sambil melihat soal yang membuat pusing?!"

Aku mendengkus. Badut konyol itu ada benarnya. Aku terlalu banyak berharap pada satu orang. Akhirnya, aku menyuruh Mischa untuk naik ke punggungku dan fokus untuk mengerjakan soal sebelum kesempatan yang ada hilang.

"Cepat!" titahku saat gadis itu ragu. Aku terus mendesak walaupun keraguan tidak luntur dari wajahnya.

Tidak mendapat respons yang diharapkan, aku menggendongnya paksa diiringi sentakan dan ringisan kecil. Mischa seperti tidak menyangka aku akan melakukan hal itu, pula dengan Chrys dan Chloe.

Sambil terus berlari, aku fokus mempertahankan keseimbangan karena ada beban tambahan dan keselamatan yang harus dipertahankan. Chrys dan Chloe tidak banyak bicara.

Ujung gang yang memperlihatkan jajaran bangunan lainnya mulai dekat. Getaran tanah terasa diiringi akar-akar yang mencuat dan membentuk jaring-jaring yang menghambat setiap pergerakan. Serpihan-serpihan bangunan berjatuhan karena akar-akar Lakshmi merambat dan menembus dinding-dinding tinggi gedung.

Kami semua berbelok tajam ke kiri ketika sampai di luar gang. Di mulut tempat kami keluar, akar terjalin seperti untaian benang kusut. Merasa belum aman sepenuhnya, aku memerintahkan semua untuk bergerak lebih jauh.

Pegal. Lelah. Dehidrasi.

Aku jatuh terduduk ketika mendapat tempat yang cukup aman untuk beristirahat di sebuah celah antara gedung yang lain. Di antara dua bak tempat sampah besar. Di bawah tangga yang memutar.

Aku terengah; mencari udara sebanyak-banyaknya. Dadaku naik turun memasukkan oksigen sebanyak yang dia bisa. Kausku basah dan menempel lekat di dada dan punggung. Keringat membanjiri setiap inci kulit.

Mischa memberiku air minumnya. Aku menolak halus. Kubuka tutup botolku sendiri, tetapi tenaga yang ada seolah hilang. Ditambah keringat yang membanjiri tangan, semakin sulit untuk mencengkeram.

Chrys membantuku sambil berkata, "Aku tidak menyangka kau akan melakukan itu. Kukira bakal aku yang disuruh." Dia tergelak kecil.

Kuterima bantuannya tanpa menjawab. Langsung kuhabiskan setengah isi botol minuman isotonik itu dalam sekali tenggak.

"Pelan-pelan, Ren," komentar Chrys.

"Haaah ...."

Kutatap bulir-bulir keringat yang berjatuhan dari bawah dagu. Mereka menetes ke atas tanah dan menguap tak lama kemudian. Keringatku nyata, tanah itu hanya sebentuk data digital. Sangat menarik memikirkan bahwa sesuatu yang asli dan rekaan, dapat berinteraksi sedemikian rupa. Mana yang nyata? Mana yang maya?

Apa aku nyata? Apa kalian nyata? Apa hidup benar-benar ADA? Atau jangan-jangan semua yang kita alami ini hanya simulasi seperti yang dikemukakan dalam teori simulasi kehidupan? Semua ini hanya simulasi ....

Semua data simulasi ini, ada untuk satu tujuan.

Namun, untuk apa?

~~oOo~~

Beta reader: n_Shariii

A/N

Ayo, berikan kesan kalian pada bab ini!

Kritik dan saran yang membangun saya nantikan.

Jangan lupa memberi vote kalau suka ceritanya.

Terima kasih sudah membaca. 'v')/

Salam literasi!

***

Diterbitkan: 31/10/2021

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro