Bab 38

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Aku memanggil Arthur, lalu menekan salah satu tombol. Sekat di sekitarku menebal menjadi putih, memberikan ilusi luas tak terbatas. Kata-kata melayang di depanku dengan dua tombol pilihan di bawahnya.

Apa kau siap?

Ya. Tidak

Ya.

Semua jendela antarmuka menghilang. Dari ketiadaan, butir-butir cahaya kuning keemasan berputar di satu titik sebelum akhirnya memadat. Semua kerlip itu membentuk sesosok hijau dengan kaki besar berkuku belah, tangan gempal memegang pentungan kayu sebesar orang dewasa, dada menonjol berperut buncit, dan muka sejelek babi hutan botak dengan cincin hidung. Semua kejelekannya hanya tertutup sepotong kain di antara selangkangannya.

"Dari semua jenis monster yang ada, mereka memilih monster template yang selalu ada di game fantasi." Aku berpaling pada Arthur. "Ayo, kita urus cepat. Ini akan mudah."

Si makhluk hijau menerjang. Arthur lekas menghunus pedang dengan tameng di depan tubuh. Makhluk kecil itu melompat ketika si monster menghantamkan senjatanya ke tanah tempat avatarku berdiri. Dengan satu sabetan, pedang Arthur mengoyak tengkuk si monster sampai menjerit.

Arthur melompat lagi dengan punggung lawannya sebagai pijakan. Si monster menghalau Arthur dengan pentungannya, tetapi avatarku menangkis dengan tameng dan pedang. Bentuk kecil diriku meloncat mengelak serangan, lalu dengan satu tolakan seperti pegas, dia memenggal lawannya dengan satu ayunan melengkung.

Makhluk hijau itu terbuyar dan menghilang jadi cahaya. Angka di papan skor di atas pun bertambah.

Ronde kedua langsung kuterima begitu pemberitahuan muncul. Kali ini, seekor manusia berkepala banteng berwarna cokelat gelap dengan bersenjatakan golok. Arthur dan aku langsung menghadapinya. Seperti sebelumnya, monster ini dan monster-monster selanjutnya dapat kukalahkan dengan cepat.

Namun, saat ronde mencapai dua digit, otakku mulai terbebani. Nilai mungkin makin besar, tetapi level monster juga semakin tinggi dan sulit. Aku tidak bisa lagi hanya diam seperti di level awal. Monster-monster digital memaksaku bergerak untuk mengambil sudut pandang dan titik buta yang aman untuk mengatur strategi.

"Aku akan istirahat sebentar." Aku duduk bersila dan mengatur napas sestabil mungkin. Kupijat kening dan pangkal hidung untuk meredakan sakit kepala.

Arthur menghampiri dan menyandarkan kepalanya pada lenganku.

Waktu terus berjalan dan aku tidak tahu orang lain sudah sampai mana. Akan buruk bila aku tertinggal. Kuputuskan untuk lanjut meskipun kepalaku masih terasa sakit.

Aku berdiri, lantas menekan tombol untuk lanjut ke level selanjutnya. Monster baru muncul. Seekor rubah penuh otot sebesar gajah dengan ekor sembilan yang melecut-lecut bagai tentakel.

Makhluk itu melolong keras sampai telingaku sakit. Ekornya lantas menghunus seperti mata tombak yang diikat pada tali. Arthur melompat menghindar sebelum dirinya hancur selayaknya tanah yang dia pijak sebelumnya. Dengan tameng dan pedang yang diayun-ayunkan, avatarku menahan setiap serangan ekor yang datang.

Aku memberikannya Excalibur. Arthur langsung menerjang menggunakan ekor-ekor yang datang sebagai pijakan. Si rubah melecut-lecutkan ekornya sampai Arthur terlempar menabrak penghalang. Hewan buas itu melolong keras menyebabkan gelombang yang mendorong hingga penghalang yang melindungiku rasanya bergerak.

Di tempat sekosong ini, tidak ada apa pun yang dapat dijadikan perlindungan. Meskipun begitu, aku tetap berlari menghindar agar tidak terkena pengaruh serangannya. Arthur di sisi lain, masih berusaha berdiri dan berlindung di balik tamengnya.

"Arthur!" panggilku. Aku memberinya skill dua pedang karena sepertinya kecepatan adalah kunci di pertarungan kali ini. Tamengnya terlalu menghambat meskipun berguna untuk menahan serangan yang berat.

Arthur mengelak tatkala lecutan angin menyilang menujunya. Dengan cekatan dia menghindari setiap cakar, ekor, dan gigitan. Menumpu pada kaki kecilnya, Arthur melompat. Makhluk digital itu menyabetkan kedua pedang dengan laju. Saat kakinya tepat memijak di kepala si rubah, Arthur bergerak seperti kilat, berputar menyerupai pisau pemotong rumput.

Lolongan bercampur dengan pedang yang mengoyak bagian-bagian tubuh. Arthur memantul-mantul seperti bola di dalam kungkungan ekor-ekor si rubah. Bulu-bulu beterbangan dan potongan-potongan ekor terburai jadi cahaya. Sayangnya, waktu penggunaan skill dua pedang telah habis bersamaan dengan satu lecutan dari ekor si rubah yang tepat mengenai tameng Arthur yang kembali.

Avatarku terlempar lagi untuk yang kedua kalinya sampai menghantam tembok pembatas.

"Lawan yang tangguh." Aku berteriak padanya, "Kita lakukan lagi dan bergeraklah lebih cepat!"

Si rubah kini menerjangku. Dia menghunus kuku-kuku tajamnya dan mencakar-cakar bola pelindungku. Ada sensasi terdorong sampai aku mau tidak mau harus berlari menghindar. Aku mengambil salah satu sudut, lalu kuberi lagi Arthur skill.

"Arthur, sekarang!" perintahku.

Arthur menerjang cepat. Dia menebas seluruh ekor sampai habis. Tanpa terganggu ekor-ekor lagi, dia mengoyak punggung si rubah, menghindari cakar-cakar kaki depan lawannya, dan berhasil mendaratkan kedua pedang di antara mata si monster. Serangan fatal yang membuat hit point si monster yang sudah sedikit menjadi nol. Makhluk itu pun menghilang.

Akhirnya beres.

Aku jatuh berlutut. Kepalaku semakin berdenyut. Memaksa otak terus menerus berpikir disertai latihan fisik benar-benar kombinasi yang tidak sehat. Aku harus menyudahinya sebelum aku pingsan karena kelelahan.

Aku berdiri perlahan. Kulihat papan skor yang menunjukkan poin seribuan. Aku tidak tahu itu sudah lumayan atau masih jauh dibanding dengan yang lain. Memang tidak seharusnya membanding-bandingkan, tetapi dalam hal kompetisi lain cerita.

Kutekan tombol tidak dan kusudahi sesi ini. Dinding putih tebal kembali berubah menjadi dinding transparan. Aku melihat ke sebelah dan bilik-bilik lain ternyata sudah kosong.

Mungkin teman-teman yang lain sudah menyerah lebih dulu dan beristirahat.

"Kembalilah, Arthur." Kukembalikan Arthur dalam bentuk pin ikosahedron.

Tempatku yang di area pinggir memudahkanku untuk pergi ke bagian tribune-tribune dengan cepat. Di salah satu bangku kayu, Chrysan, Chloe, dan Mischa sudah duduk-duduk sambil minum dari kotak pendingin. Pak Ben ikut berbincang-bincang dengan mereka sambil berdiri. Tumben.

"Hoi, Kesatria!" panggil Chloe sambil melambai. Aku membalasnya refleks.

Pak Ben berbalik padaku, lalu mengambilkan sebotol air dari peti es. "Kau tidak apa-apa, Arennga?" tanyanya.

Aku menerima botolnya. "Agak pening sedikit," akuku. Kuteguk setengah botol sekaligus.

"Hei, hati-hati," peringat Chloe. Aku malah batuk dikatai seperti itu.

"Kau terlalu memaksakan diri. Padahal Bapak sudah bilang jangan, kan?" Sang guru pembimbing geleng-geleng.

"Kau hebat, Ren," puji Chrys. Wajahnya masih lesu dan saat dia minum pun terasa tidak bertenaga. Dasar anak ini.

Pak Ben menghela napas berat. "Tenang saja, Chrysan, kau keluar lebih dahulu bukan berarti kau buruk," ujarnya. "Hari ini masih hari pertama latihan minggu ini, masih ada dua hari lagi."

Sayangnya, hal itu tidak memberi Chrys semangat.

"Kalian sudah dari tadi di sini?" tanyaku. Kuhabiskan setengah sisa botol dalam sekali teguk lagi. Sepertinya aku benar-benar kehausan.

Chloe mengedik. "Tidak juga." Gadis itu minum dari sedotan sebelum menjawab lagi. "Kau saja yang terlalu lama di dalam."

Aku berbalik untuk mengintip area Tim Ascent. Rupanya bilik-bilik mereka juga telah kosong.

"Kita cukupkan sampai sini," Pak Ben memberi tahu. "Sebaiknya kita segera pulang agar bisa cepat istirahat dan mengevaluasi hari ini."

Aku sangat setuju dengan itu. Rasanya aku ingin berbaring dan mengistirahatkan otakku.

...

Ketika pulang, kami tidak langsung ke ruang kumpul untuk evaluasi, tapi dibiarkan untuk istirahat dan makan siang terlebih dahulu. Aku memilih ke kamar dahulu untuk mengambil napas, begitu juga dengan Chrys.

Di jalan menuju kamar, aku sebisa mungkin memecahkan suasana dan berusaha mengembalikan suasana Chrys ke titik minimal: tidak murung dan terus menyalahkan diri sendiri. Aku peduli? Ya. Semua ini agar pertandingan dan kerja sama tim tidak runtuh.

"Kau baik-baik saja, Sobat?" tanyaku basa-basi.

Chrys menatapku balik dengan mata sayu. "Ya, sangat baik," jawabnya.

Kupikir kebalikannya.

"Hei," panggilku lagi. "Aku benci melihatmu seperti ini." Sedikit kejujuran sepertinya tidak apa-apa. "Kau tahu, aku yang seharusnya frustrasi saat ini, tapi nyatanya tidak, 'kan?"

Chrys menggeleng. "Kau berbeda." Anak itu menghela napas. Apa yang berbeda dariku? "Kau itu ... bagaimana aku mengatakannya ... prodigy? Ajaib?"

Alisku mengerut. Baru kali ini aku mendengar pendapat seperti itu tentangku. Apa yang istimewa dari orang sepertiku?

"Jelaskan," pintaku. Pendapatnya tentangku mungkin bisa jadi cara untuk memahaminya lebih dalam.

"Akhir-akhir ini, kau jauh berbeda dari saat kita bertemu." Mata birunya seolah tenggelam dalam kegelapan. Apa itu? Rasa iri? "Pengelolaan emosimu jauh lebih baik, kau cerdas ... kau ... entahlah, aku tidak yakin akan mengatakan apa lagi."

Hah, apa? Ada apa dengannya?

Kami sudah sampai di kamar dan Chrys baru akan pergi ke ruang tidur ketika aku mengadangnya. "Kau ini kenapa?" Aku memegang bahunya; menuntut penjelasan. "Kalau kau memang iri denganku katakan. Agar tidak ada lagi masalah dalam tim ini."

Anak berambut pirang itu menggeleng. "Tidak," jawabnya. Dia mengedikkan bahu, lantas melenggang pergi. Chrys membalut tubuh dengan selimut tanpa melepas sepatu lebih dahulu.

Aku duduk di sofa. Kupegang kepala yang terasa semakin berdenyut.

Aku salah apa? Aku sudah melakukan apa sampai Chrys bersikap seperti itu? Dia iri? Namun, lebih terlihat seperti kesedihan di matanya. Ataukah dia merasa tidak pantas di tim karena sudah menyebabkan kami hilang kesempatan di fase terakhir? Merasa sedih aku bisa paham. Akan tetapi, bila dia sampai berpikir tidak pantas, itu sudah keterlaluan. Aku sudah bilang dia tidak salah apa-apa. Pak Ben juga sudah bilang. Tidak ada yang menyalahkannya.

Aku menggeleng. Tidak, tidak. Terlalu dini untuk menyimpulkan. Aku harus menggali lebih dalam. Pintu kamar tidur terbuka, tetapi Chrys masih membungkus diri. Haruskah aku mengobrol lagi dengannya atau biarkan dia lebih dulu?

"Aaargh!!"

Kepalaku yang pening semakin sakit. Mungkin aku harus makan siang dulu dan mengisi bahan bakar agar nanti bisa mengatur percakapan apa saja yang keluar.

Aku berdiri lalu menghampiri Chrys dari ambang pintu. "Chrys, kau mau ikut makan, tidak?" ajakku. Biasanya anak pirang itu sangat semangat dengan urusan perut. "Chrys?"

Tidak ada jawaban. Kebiasaan.

"Chrys, jangan biasakan silent treatment, orang jadi tidak tahu masalahmu apa." Aku bersandar pada kosen pintu seraya bersedekap. "Lebih baik kau katakan ada masalah apa sebelum aku mengambil tindakan."

Sejujurnya aku tidak yakin tindakan apa yang akan kuambil. Mungkin mengadu kepada Pak Ben, tapi aku tidak yakin juga apa hal tersebut akan berpengaruh atau tidak.

Tidak kusangka, ancamanku berhasil. Chrys menyembulkan kepalanya dari balik selimut. "Biarkan aku sendiri dulu," balasnya. "Aku akan ikut berkumpul nanti, makan malam juga. Jadi, tenang saja." Dia mengatakan semua itu dengan nada rendah, seperti kucing yang meminta makanan.

Aku menghela napas. Terserahlah.

...

Setelah makan, aku bergegas ke ruang kumpul karena Chloe memberiku pesan agar segera datang. Aku mengecek kamar untuk memeriksa Chrys dulu, tapi ternyata anak itu sudah tidak ada. Semoga saja dia sudah ada di ruangan.

Di ruang kumpul, semua sudah hadir. Chrys sedang memakan camilan berupa kue-kue serupa kue mangkuk dan biskuit. Chloe di sebelahnya berpaling padaku dengan mulut penuh dan sudut bibir yang berserakan remah-remah cokelat.

"Kau terlambat," katanya. "Biskuitnya mau habis."

Aku menghela napas lega, lantas duduk di salah satu kursi.

"Tidak apa-apa, habiskan saja. Aku baru makan," timpalku. Kuperhatikan Chrys diam-diam. Dia menunduk sambil makan cepat seperti tupai. Sesekali matanya juga mencuri pandang padaku dan ketika mata kami berserobok, dia buru-buru memutus kontak.

"Kalian ada masalah apa, sih?" tanya Chloe sadar dengan gerak-gerik kami. Tangannya sibuk membersihkan sisa-sisa biskuit di pinggir bibir.

"Aku tidak ada masalah," sahutku. Kutunjuk orang yang memang memilikinya dengan dagu. "Kau sebaiknya tanya Chrys."

Chloe menyikut anak lelaki di sampingnya yang tiba-tiba diam mematung ketika kusebut namanya. Chrys menggeleng cepat panik.

Sebelum masalah masuk ke tahap lebih lanjut, Pak Ben tiba di ruangan. Keletak sepatunya menggema. Dan dengan sapaan, "Selamat siang, Anak-Anak, kalian sudah makan siang?" pertemuan dimulai.

Pak Ben pertama-tama—seperti biasa—memuji kami dengan performa hari ini. Lalu, beralih ke inti pertemuan: evaluasi.

"Arennga, kau menjadi orang terakhir yang selesai, kerja bagus." Pak Ben memberiku jempol. "Namun, jangan memaksakan diri seperti tadi lagi, ya? Bapak tahu kepalamu pasti sakit karena berpikir terus menerus. Kalau dilanjutkan terus, kau tidak akan bertanding secara maksimal."

Aku mengangguk. "Baik, Pak, aku mengerti."

Pak Ben beralih pada Chrys. Dia tersenyum, tetapi keningnya mengerut. "Chrys, seperti yang Bapak bilang sebelumnya, menjadi yang pertama keluar tidak menjadikan dirimu buruk, oke? Kau sudah berjuang. Kau tinggal meningkatkan semangatmu lagi. Tidak perlu berkecil hati."

Chrys hanya mengangguk. Aku tidak tahu apa dia serius mendengarkan atau hanya agar Pak Ben senang.

"Chloe dan Mischa juga sudah berjuang keras hari ini. Kalian menampilkan performa yang bagus. Terutama Mischa, Bapak melihat progres yang signifikan. Tolong pertahankan atau tingkatkan, ya?"

Kepala gadis pemalu itu naik turun samar. Pipinya memerah dan sudut bibirnya naik.

"Secara garis besar, kalian sudah menampilkan performa yang bagus, meskipun ada beberapa catatan selain yang telah Bapak sebutkan sebelumnya," lanjut Pak Ben. "Bapak akan mulai dari Chrys dulu, ya." Guru pembimbing kami menatap serius lawan bicaranya. "Chrys, fokusmu yang kurang membuat koordinasimu dengan Krishna jadi tidak maksimal. Beberapa kali Krishna kena hajar dan hit point-nya hampir mencapai nol. Bapak berharap kau bisa meningkatkan performamu besok, ya." Dia lalu beralih pada Mischa. "Mischa, usahakan pergerakanmu lebih cepat lagi, ya? Meskipun pertahanan Lakshmi sangat kuat, di fase terakhir nanti, serangan menjadi kunci untuk mengalahkan lawan. Chloe, Clowny masih sering kehilangan targetnya. Hal itu akan menyia-nyiakan skill yang telah kau berikan. Dan Arennga, seimbangkan stamina dan jurus-jurusmu."

Kami semua mengangguk. Meskipun evaluasi ini terhitung singkat, tetapi Pak Ben tepat menunjuk apa saja kekurangan kami.

"Baiklah, Semua, kalian bisa kembali ke kamar dan lanjut istirahat. Tetap fokus dan terus jaga semangatnya. Pertemuan dibubarkan."

Sekarang, aku dan Chrys bisa lanjut menyelesaikan permasalahan kami.

~~oOo~~

A/N

Sayang sekali update-nya jadi molor gini. Yang tadinya mau 2 hari sekali jadi malah lebih, padahal aku mau cepat-cepat tamat ._.

...

Diterbitkan: 18/08/2024

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro