Bab 40

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Chrys menghela napas berat. Dia menyandarkan punggung dan menutup wajah dengan kedua tangan.

Kusodorkan lagi roti bulat yang terbungkus plastik transparan. "Untukmu," aku mengulang penawaran lebih jelas. "Ambil kalau kau ingin berbaikan."

Anak itu mengintip dari balik jemari. Mata birunya kini semendung langit yang akan hujan. Ditambah ketiadaan cahaya mentari yang kini digantikan lampu-lampu neon, pancaran keceriaan di matanya kini sirna.

Kami memang tidak sedang bermusuhan, tetapi rasanya entah kenapa seperti itu dan aku yang jadi tokoh jahatnya, padahal Chrys yang suka menghindar dan kini bersikap dingin. Kalau dia memang butuh waktu dan berniat memaafkan dirinya sendiri lalu bergerak maju kemudian, dia tidak akan berlarut-larut seperti ini.

Ayo, ambil, Chrys, tanganku sudah pegal.

Perlahan, anak itu mengambil roti di tanganku dengan hati-hati seperti kuda yang meraup apel saat akan dijinakkan.

"Aku siap mendengarkan," kataku sambil menghela napas lega. Kumakan rotiku seraya meninjau kelap-kelip Kota Dvat.

Namun, Chrys tetap diam sembari memakan camilannya. Pipinya menggembung, matanya menatap nanar ke cakrawala.

Sunyi merambati kami. Hanya ada suara kunyahan yang menemani. Saat semua roti telah habis, Chrys baru bicara. "Maaf, kalau aku bersikap menyebalkan," katanya, "dan membuat kalian khawatir." Matanya mengunci lantai dengan sayu, jelas menghindari kontak mata denganku.

Alisku naik satu. Aku ingin menanggapinya dengan, "Syukurlah kalau kau sadar," tapi sekarang bukanlah waktunya berkelakar dan aku tidak yakin Chrys mau mendengar sebuah balasan. Aku tidak tahu anak itu tipe yang hanya butuh didengarkan atau perlu solusi juga. Jadi, aku memilih diam.

"Aku hanya ... tidak tahu harus bersikap bagaimana." Si anak pirang mencengkeram plastik bekas roti sampai berbunyi. "Semua itu salahku—"

Pikiran itu lagi. Aku ingin sekali mencengkeram lehernya dan berteriak sekencang mungkin di depan wajah Chrys bahwa itu bukan salah siapa-siapa. Kalau bisa, akan kubenturkan kepalanya sampai dia lupa bahwa dia pernah kecelakaan hingga berpikir bahwa kegagalan kami adalah karena tindakannya. Sayangnya, hal itu tidak boleh kulakukan atau keadaan akan jadi lebih buruk.

"Kalau aku tidak gegabah, kita mungkin sudah memenangkan fase tiga."

Tahan, tahan. Biarkan dia mengeluarkan semua keluh kesahnya. Jangan sampai keinginan untuk menghajar anak itu terealisasi.

"Kau tahu ... kadang aku merasa tidak pantas bersanding denganmu, atau Chloe," lanjutnya sambil mengangkat bahu. "Bahkan Mischa, dia punya keunggulan yang tidak kumiliki. Aku hanya seseorang yang kelewat hoki bisa sampai di sini."

Perasaan tidak layak. Impostor syndrome. Padahal sudah berusaha keras, tapi menganggap bahwa semua usahanya hanya keberuntungan belaka. Tidak menghargai diri sendiri.

Ada jeda panjang diiringi helaan napas berat. Chrys tidak berkata-kata lagi, membuatku berpikir ini adalah lampu hijau kalau aku ingin membalas.

"Chrys." Aku memegang bahunya lembut, mengesampingkan keinginan untuk menjatuhkannya dari rooftop. Mata anak itu memejam keras seperti bocah yang siap dipukul menggunakan sapu oleh orang tuanya. "Aku sudah bilang berulang kali kalau bukan salahmu kita tidak juara di fase ketiga. Kecelakaan tidak bisa diprediksi. Mungkin memang bukan takdirnya kita jadi juara di fase itu. Kau pun sudah berusaha keras, 'kan? Jika kau memaksakan diri saat itu, siapa yang tahu apa yang akan terjadi? Kau bisa bayangkan?"

Kening Chrys mengerut dalam.

"Satu hal lagi." Aku mencengkeram bahunya lebih keras sampai dia meringis kecil. "Jangan pernah remehkan dirimu sendiri. Kau adalah juara tiga dari SeS. Bukan dengan keberuntungan kau bisa sampai di sini. Kau punya kualitas tersendiri yang tidak dimiliki Mischa, Chloe, bahkan aku."

Chrys melirikku dari sudut mata.

"Kau layak bersama kami, Sobat," hiburku. "Kalau kau tidak istimewa, kau tidak akan pernah ada di sini denganku, Chloe, Mischa, dan Pak Ben." Aku mengusap bahunya. "Kau juga seorang prodigy."

Sikap Chrys berubah 180 derajat dibanding saat aku datang. Entah sebab perkataanku atau karena mendapat pencerahan lain. Dia menatapku penuh dengan mata birunya yang berkaca-kaca. Berpaling, anak pirang itu mengusap indra penglihatannya. Dengan senyum yang mengembang—meskipun masih terlihat sedih—dan netra yang memantulkan cahaya kota, anak itu berjanji, "Aku tidak akan seperti itu lagi. Maafkan aku sekali lagi karena sudah membuat kalian khawatir."

Aku menepuk punggungnya. "Begitu, dong," seruku.

Kuturunkan lengan dari tubuh Chrys. Kutatap Kota Dvat yang semakin bising dilatarbelakangi semburat ungu gelap dengan cahaya-cahaya yang memancar. Lembayung tak lama lagi hilang dan digantikan malam hari.

"Sudah hampir waktunya makan malam," laporku seraya melihat jam di tangan. "Ayo, balik." Aku berdiri. "Para gadis mungkin khawatir karena kita belum terlihat dari tadi."

Chrys mengulurkan tangan kanannya, membuat alisku naik. "Tolong," katanya. "Rasanya pantatku dilem ke kursi."

Aku tidak bisa untuk tidak tersenyum. Humornya sudah kembali. Kugenggam tangannya erat dan kutarik anak itu berdiri. Hal yang tak kuantisipasi adalah Chrys balik menarikku sampai aku terjungkal ke depan. Dengan sigap, dia menangkapku dalam rengkuhannya. Mataku seketika membulat. Belum pernah aku dipeluk sebelumnya seperti ini.

"Em, Chrys?" Rasanya sangat canggung sekali. Dua orang lelaki berpelukan di rooftop, dilihat oleh orang banyak diiringi suara musik yang sayup-sayup. Aku ingin melepaskan diri, tetapi Chrys menahanku.

"Sebentar," katanya lirih. Dia meletakkan kepala di bahuku.

Rasanya hangat, meskipun agak aneh. Dapat kurasakan detak jantungnya berpacu. Aku memeluk balik anak itu.

"Kau sudah mendingan?" tanyaku. Kuusap-usap punggungnya lembut.

Chrys mengurai peluk dengan cepat kemudian. Pipinya yang putih bersemu. "Maaf kalau aku membuatmu risi," katanya sok tegar sambil berpaling, menghindari kontak mata. Satu tangannya menutup mulut seperti orang batuk.

Aku tersenyum simpul. Kuusap bahu kanan yang terasa berat karena kepala anak itu. "Tidak apa, kau sedang membutuhkannya."

Si Anak Pirang mengangkat kedua sudut bibirnya dengan mata biru yang sayu.

Dirasa tidak ada lagi yang harus dilakukan di sini dan Chrys pun sudah baikan, kami turun ke lantai dua untuk makan malam. Namun, Chrys berubah pikiran di tengah jalan.

"Aku belum siap bertemu mereka," ungkapnya saat kami di lift. Pantulan wajahnya di dinding metal menguratkan kerisauan.

"Kenapa? Mereka akan lebih khawatir lagi kalau kau tidak muncul." Aku menyilangkan kedua tangan di depan dada.

Lawan bicaraku menggigit bibir bawah. Kedua tangannya bertaut dan jempolnya bermain berputar-putar. "Apa tidak akan aneh kalau aku tiba-tiba muncul seolah tidak ada hal yang terjadi padahal seharian ini aku murung seperti bocah?"

Tumben dia mengakui masih kekanak-kanakan.

"Konyol." Aku mengerling. "Justru seharusnya kau muncul untuk memberi tahu bahwa semua sudah baik-baik saja, bukannya menghindar dan membuat lebih banyak pertanyaan. Kau bisa bayangkan, kan, Chloe pasti akan berkata, 'Ha? Apa maksudnya anak itu—' " Aku buru-buru berhenti karena suara tiruanku terdengar sangat menggelikan. "Kau mengerti maksudku."

Chrys mengernyit, matanya menyipit, dan mulutnya menganga meskipun tidak sampai muat satu gajah. "Aku tidak berpikir demikian," timpalnya.

Aku berniat akan membalas ketika lift berdenting dan pintu lift terbuka. Segerombolan orang masuk di lantai enam dan memisahkan aku dan Chrys sehingga kami tidak bisa lanjut bercakap-cakap.

Kami baru bisa bernapas lega di lantai tiga ketika semua keluar dan kembali menyisakan aku dan Chrys. Tak lama kemudian, lantai dua tujuan kami. Pintu terbuka, aku keluar, tapi si Anak Pirang tetap di dalam. Aku menahan pintu lift dengan kaki. Sambil menggerakkan dagu ke arah kanan, aku memaksanya lagi, "Ayo!"

Chrys mendesah. Bahunya merosot. Tidak punya pilihan atau aku akan diam di sana sampai dia mau, anak itu akhirnya mengalah dan mengikutiku ke ruang makan.

"Mudah, kan? Kau tinggal ikut makan malam untuk formalitas seperti di film-film, lalu Chloe dan Mischa akan menganggap semua sudah baik-baik saja."

"Iya ...." Anak pirang itu menggaruk belakang kepala. "Tapi, aku kan, memang sudah baik-baik saja."

Aku tersenyum miring. "Itu lebih bagus. Tidak ada kepura-puraan ataupun hal lainnya."

Di ruang makan, beberapa meja telah penuh oleh pengunjung lain. Aku melihat ke sana kemari: ke meja-meja di sudut ruangan, tempat lauk-pauk prasmanan, ke tempat camilan, sampai aku akhirnya mendapati dua orang gadis yang kucari-cari sedang bersantap di sudut kiri terjauh terhalang tiang-tiang. Salah satu gadis di sisi kanan mengenakan hoodie merah dengan leging hitam, sementara yang satunya bersweter ungu dengan celana panjang putih. Kontras dengan kami yang masih berpakaian olahraga SeS habis latihan tadi.

"Mereka di sana," tunjukku. Aku langsung menggiring Chrys ke tempat Chloe dan Mischa, melewati orang-orang yang membawa nampan makanan dan/atau bergelas-gelas minuman warna-warni.

Chloe menoleh ketika sadar kami mendekat. Matanya berbinar dan mulutnya menganga sebelum kemudian mengunyah cepat. "Akhirnya kalian datang!" serunya nyaring. Aku refleks melirik ke sekeliling takut mengganggu orang-orang di sekitar.

"Ha ... hai," sapa Chrys canggung. Anak itu celingukan ke bawah karena tidak mendapati kursi lain.

"Kalian ambil makan dulu sana, nanti kami carikan kursi kosong untuk kalian."

Biasanya aku tidak suka diperintah oleh gadis itu, tapi untuk saat ini, tidak ada pilihan. Perutku sudah keroncongan dan tidak terlihat kursi kosong di mana pun. Akan jadi sebuah keajaiban jika saat kami datang Chloe sudah bisa menyediakannya.

"Ayo, Chrys," ajakku.

Pilihan makan malamku jatuh kepada kentang tumbuk, salad sayur, daging sapi iris lada hitam, dan dilumuri saus tomat serta mayonais. Karena berbentuk all you can eat, aku bisa memadukan apa pun yang kusuka. Minumanku cukup air bening bermineral. Sementara itu, Chrys lebih memilih daging steik yang dilumuri saus jamur dengan kentang goreng memenuhi setengah piring.

Kami kembali ke meja Chloe-Mischa dan keajaiban yang kukatakan sebelumnya terbukti. Dua kursi telah tersedia. Entah dari mana, tidak penting juga (dengan kebanggaan yang luar biasa Chloe memberi tahu kami bahwa dia meminta salah satu petugas untuk mengeluarkan kursi tambahan). Aku dan Chrys menikmati makan malam kami berdua saja karena para gadis sudah menandaskan isi piring mereka.

"Akhirnya kau kembali," kata Chloe memecah keheningan.

Aku melirik Chrys karena perkataan gadis itu pastinya bukan tentang aku. Si Anak Pirang lagi-lagi bersemu sampai ke telinga. Dia mengangguk pelan.

"Maaf kalau aku membuat kalian khawatir," sesal Chrys. Dia menatap Mischa yang ada di sebelahnya. "Maafkan aku yang malah mendiamkanmu, ya, Cha."

Mischa mengangguk mafhum. Dia tersenyum kecil. "Aku paham," katanya. "Kau hanya butuh waktu dan tempat untuk menjernihkan pikiran. Tidak ada yang menyalahkanmu, Chrys."

Chloe menggerakkan kepalanya ke atas dan ke bawah dengan cepat seperti patung hiasan di dasbor mobil. "Benar, benar," gadis itu membeo.

"Sudah kubilang, tidak ada yang menyalahkanmu. Kau hanya overthinking dan berpikir kalau dunia akan berakhir kalau kita gagal." Aku menandaskan semua makananku dan menyilangkan sendok dan garpu di tengah piring. Kuhabiskan pula air di gelas dalam beberapa teguk.

"Iyaaa, maaf kalau aku malah jadi bertingkah menyebalkan." Anak pirang itu memakan kentang-kentang gorengnya cepat seperti orang yang belum makan sebulan.

"Sudah maaf-maafannya, ini bukan hari raya." Chloe menghentikan sesi penyesalan Chrys. "Omong-omong, Arennga, apa kau sudah memeriksa pin avatarmu?"

Aku terentak sekejap sebelum akhirnya tenang kembali.

"Kau tidak apa-apa, Ren?"

"Kau kenapa, Kesatria?"

Aku menggeleng sebentar untuk menghilangkan kekecewaan terhadap diri sendiri.

"Aku gagal," sesalku. Ketiga wajah di hadapanku menatap dengan raut yang sama. "Virus itu lebih lihai dari perkiraanku. Dia menghentikan proses pemindaianku dan memaksa sistem avatar untuk mengunci data yang sedang kuperiksa."

"Jadi?" Kening Chloe mengernyit. "Jelaskan secara sederhana, Jenius. Aku tidak mengerti tetek bengek teknologi."

"Intinya, aku gagal. Dan satu-satunya jalan untuk menyelesaikan semua keresahan ini adalah dengan memberi tahu Pak Ben."

"Kau mau ambil risiko?" Chloe bertanya sengit.

"Akan kuambil kalau itu memang bisa menyelamatkan semuanya."

"Sejak kapan kau punya superhero syndrome?"

"Sepertinya itu sudah jadi insting dasar untuk memberitahukan bila ada sesuatu yang tidak beres?" Aku bertanya balik karena Chloe sepertinya mempertanyakan niatku. "Kenapa juga jadi kau yang khawatir?"

"Tentu saja aku khawatir! Kalau kau ketahuan merusak sistem, ancamannya dikeluarkan bahkan dipenjara. Kau lupa apa kau juga pernah hampir dikeluarkan tahun lalu? Coba kau pikir matang-matang! Dasar tidak peka!" cecarnya lalu berpaling dengan wajah merah.

Kenapa tiba-tiba jadi peka?

"Teman-Teman," Chrys kembali pada nalurinya sebagai penengah. "Sebaiknya kita tidak ribut di meja makan. Orang lain akan terganggu."

Aku menghela napas. Kutenangkan diri terlebih dahulu. Entah kenapa, setiap aku berbicara dengan Chloe bawaannya selalu ingin mengumpat dan adu mulut.

"Pak Ben setidaknya harus tahu hal ini," ujarku pada akhirnya, setenang mungkin. "Lebih baik mengantisipasi daripada terlambat."

Aku berdiri sambil membawa piring kotor.

"Hei, kau mau ke mana? Jangan gegabah!"

Tentu saja aku tidak akan gegabah, Badut Konyol. Aku tidak akan mengapa-apakan lagi programnya sebelum aku bicara dengan Pak Ben.

Aku menyimpan piring kotor ke tempatnya di sudut ruangan, lalu mengirimi guru pembimbing kami itu pesan singkat pribadi sambil bergegas kembali ke kamar.

"Bapak ada waktu malam ini? Aku ingin mengobrol."

Sayangnya, pesan balasan tidak segera datang dan baru muncul ketika aku tiba di kamar; merebahkan diri di kasur sambil menatap langit-langit.

"Bapak masih ada urusan. Mungkin beres tengah malam. Mungkin kita bicarakan besok pagi saja?"

Aku menatap nanar layar ponsel. Jempolku bergerak tak bertenaga. Aku membalas dengan dua huruf, "Ok."

Kemudian, kulempar ponselku ke sudut kasur.

~~oOo~~

A/N

Beberapa bab lagi harusnya tamat. Sayang sekali aku gak jago bikin roller coaster emosi .-.

...

Diterbitkan: 26/08/2024

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro