Bab 42

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Hari pertandingan final.

Akhirnya, hari ini pun tiba. Setelah tiga hari terakhir latihan dengan kemarin sebagai waktu untuk mengatur strategi, kami siap untuk fase akhir. Setidaknya untukku, karena ketiga temanku yang lain sepertinya tidak berpikir sama. Mereka terus berdebat siapa yang cocok untuk maju di giliran pertama. Pak Ben bahkan sampai geleng-geleng karena sudah tidak tahan, setiap diarahkan, perdebatan akan mulai kembali.

"Kau yang seharusnya maju duluan!" tunjuk Chloe padaku. Padahal aku sudah bilang kalau aku akan jadi garda terakhir kalau semua tumbang. "Justru agar semua bisa kau libas tanpa kami harus ikut bertarung."

Perkataan Chloe memang masuk akal, jika mengasumsikan kalau aku adalah yang terkuat di antara mereka. Aku bisa mengalahkan dua atau tiga orang, dan Chloe, Chrys, atau Mischa dapat menangani sisanya. Pertandingan berakhir dengan cepat, semua senang. Namun, tidak hanya kekuatan yang menjadi faktor penentu.

"Kita juga harus memikirkan strategi," kataku sambil bersedekap. Punggung bersandar di sofa ruang kumpul. Aku ingin menumpangkan kaki, tapi tidak sopan di hadapan Pak Ben. "Setiap elemen memiliki kelebihan dan kekurangan. Akan tidak efektif dan tidak baik bagiku bila semua hanya aku yang tangani. Contohnya elemen air Zea akan lebih efektif bila melawan elemen api Chloe. Lagi pula, otakku bisa sakit dan aku bisa saja pingsan karena kelelahan kalau bertarung terus-terusan."

Alasan egoisku, aku ingin bertarung dengan Alva di fase terakhir ini dan menjadi penutup pertandingan yang menakjubkan.

"Ingat juga, ini adalah ajang untuk kalian unjuk gigi." Pak Ben akhirnya turun tangan sekali lagi setelah mengusap-usap wajah frustrasi. "Saat yang tepat untuk menunjukkan kepada semua orang hasil latihan kalian sebagai individu yang sudah berkembang."

Chloe cemberut. Pipinya menggembung sampai bisa meledak kapan saja. Yang lain tidak memberikan respons yang lebih baik. Setelah setuju aku sebagai pemain terakhir, tinggal menentukan siapa yang pertama, lalu pemain kedua dan ketiga mengikuti.

Tidak disangka, Mischa memutuskan untuk jadi pemain pertama.

...

Stadion Infinite dihias meriah. Rangkaian bendera segi tiga warna-warni yang diikatkan ke tiang-tiang lampu berhiaskan tali selaksa warna sudah berjajar dari tempat parkir. Banner besar berdiri di salah satu sudut menampilkan rangkaian acara apa saja pada hari ini dengan pertarungan kami sebagai pertunjukkan utama. Di atas stadion, melayang cukup jauh dari tanah, balon udara besar berekor kain panjang bertuliskan secara vertikal Olimpiade Sains Persahabatan yang ditambatkan dengan tali. Ini baru bagian luar, bayangkan bagaimana keadaan di dalam.

Para reporter telah menunggu kami di sepanjang jalan ke pintu masuk stadion. Mereka buru-buru mempersiapkan peralatan dari dalam mobil ketika kami lewat. Orang-orang semakin banyak mengerumuni di depan stadion, bahkan sampai ada beberapa jurnalis yang ingin mewawancarai. Untungnya, Pak Ben dengan sigap mengambil alih dan selalu mengatakan kalau kami harus bersiap untuk pertandingan, mengeluarkan kami dari situasi untuk menjawab padahal sebagian dari kami tidak suka disorot kamera dan dikerumuni banyak orang.

"Kalau aku sempat diwawancarai, akan kukatakan kalau aku siap menendang pantat mereka semua," ujar Chloe berapi-api tepat ketika pantatnya sendiri menyentuh kursi di ruang kami dapat beristirahat dan membicarakan strategi.

Aku duduk di kursi lain sambil meminum air dari botol yang disediakan pihak panitia. "Kau yakin tidak akan mempermalukan diri sendiri di hadapan kamera? Kau kan, jagonya," sindirku.

"HA! Mana ada!" balasnya. Dia mencomot sepotong kue mangkuk warna merah muda dengan taburan cokelat warna-warni yang sengaja disediakan di meja.

Sebelum pertandingan kami benar-benar dimulai, kami dikumpulkan di sebuah ruangan berwarna krem yang cukup besar. Ruangan berbeda dari yang biasa kami gunakan di fase-fase sebelumnya. Dan hanya ada kami. Tim Ascent entah di mana, mungkin di ruang sebelah.

Lima kursi dengan sandaran empuk berhiaskan ukiran rumit yang terbuat dari kayu mengelilingi meja jati rendah dengan kaki berbentuk mulut naga mengaum diletakkan di tengah ruangan. (Sangat mewah, seperti sedang di rumah taipan bermata sipit.) Di sisi lain, sofa panjang diapit oleh dua sofa yang lebih kecil menghadap sebuah papan tulis putih. Tanaman-tanaman hijau berdaun lebar dalam pot memenuhi sudut-sudut ruangan. Jendela-jendela berkerai terbuka di seberang sofa dan papan tulis memberikan pemandangan lorong stadion yang langsung menghadap lapangan.

Hanya kami berempat di sini, tidak ada Pak Ben. Beliau sedang mengurus sesuatu dan berjanji akan kembali sebelum pertunjukkan utama dimulai. Aku, Chloe, Chrys, dan Mischa disuruh menunggu dan diperbolehkan untuk menonton acara hiburan yang akan dimulai sebentar lagi.

Sewajarnya orang yang akan berhadapan dengan pertunjukkan besar, kami tidak bisa bersikap santai. Aku jadi banyak minum dan sering pergi ke kamar mandi yang pintunya berada di sebelah sisi area sofa dan papan tulis. Aku mungkin percaya diri dapat mengatasi semua ini, tapi aku tidak bisa berbohong kalau aku juga takut mengecewakan banyak pihak.

Chloe mengunyah cepat dan hampir menghabiskan kue-kue dalam waktu 15 menit kalau tidak diingatkan oleh Chrys tentang diabetes. Si Anak Pirang sendiri berjalan mondar-mandir sambil melihat tanaman-tanaman hias; jelas mengalihkan perhatiannya dari apa pun, tetapi matanya kembali lagi ke lapangan di mana telah banyak orang berkumpul untuk mulai pertunjukkan sebentar lagi. Mischa, gadis yang akan jadi pemain pembuka, menjadi orang yang paling tertekan tidak diragukan lagi. Dia terus menekuri pin avatar yang memancarkan hologram Lakshmi. Beberapa kali menggulir-gulirkan layar, bergantian antara tab status, skill, kustomisasi, dan yang lainnya.

Chloe berusaha menenangkan si Gadis Pemalu dengan memberi kue-kue, tapi seringnya ditolak.

Aku ikut memberi semangat pada Mischa setelah menjawab cepat pertanyaan konyol Chrys tentang nama ilmiah tanaman hias Aglonema yang ada di sini. "Kau bisa," kataku. "Kau sudah berjuang keras bersama kami, dan pastinya Pak Ben sudah mengarahkanmu dengan sangat baik. Kami yakin kau pasti bisa."

Mischa tersenyum tipis. "Terima kasih," balasnya. Tentunya kata-kataku barusan hanya terdengar seperti bualan belaka.

Lalu, hening beberapa saat sampai Pak Ben datang dan berteriak, "Ayo, Anak-Anak, acaranya mau dimulai," membuatku hampir terlonjak dari kursi.

Kami semua berdiri. Tidak lupa merapikan pakaian agar tidak terlihat acak-acakan. Cukup pikiran saja, jangan juga kaus dan celana panjang olahraga khas SeS yang akan mewakili Altherra. Terakhir, aku menyugar rambut sambil becermin dengan ponsel agar penampilanku semakin maksimal.

"Kalian sudah ganteng dan cantik, ayo!" pinta Pak Ben lagi.

Kami digiring melalui lorong panjang dengan satu sisi menghadap lapangan hijau di mana panggung besar berdiri di salah satu sisi. Aku tidak tahu apakah itu panggung betulan atau solid hologram, mengingat kami juga akan bertarung di sana, meskipun tempat kami baku hantam sepertinya tidak akan menghabiskan separuh lapangan. Setelah beberapa saat, kami menuruni tangga di sisi kiri dan ditempatkan di bangku cadangan yang sudah disulap sedemikian rupa: kursi panjang empuk, meja penuh camilan, pengawalan di sisi kiri dan kanan oleh orang-orang besar bersetelan jas; membuatku malah tidak nyaman dengan mereka.

Stadion Infinite masih seperti yang kuingat: luas, penuh dengan penonton di tribune, meriah. Atapnya melengkung bergelombang dengan aksen warna biru dan putih. Bedanya sekarang, di tengah lapangan terdapat panggung besar seperti kataku tadi, dengan ornamen-ornamen dan tata lampu sorot yang berkelip-kelip seperti lampu disko. Di dinding atas tribune teratas, berjalan tulisan dalam lampu LED berwarna merah: Scienta et Social Altherra vs Prima Sophia Ascent – Berjuang Penuh Semangat – Junjung Tinggi Sportivitas, dan kata-kata penyemangat lainnya yang bergerak berbaris-baris.

Para penonton sibuk berteriak dan bersiul-siul. Di antara mereka banyak yang memegang tongkat cahaya sehingga terlihat—dari tempatku duduk—seperti kerlip bintang yang menyaru di antara lautan manusia berbagai warna. Hampir di setiap sudut orang-orang memegang setidaknya satu buah, yang lainnya berupa bendera segi tiga dan jari raksasa mengacungkan telunjuk.

Sirene mengaum di seluruh penjuru lapangan, mengawali pembukaan acara. Dari arah kanan dan kiri panggung, berjajar dengan rapi sekelompok marching band berpakaian meriah dengan berbagai alat musik. Para penonton bersorak mengiringi xylophone dan drum yang ditabuh para pemain. Mereka baris berbaris membentuk pola melingkar di depan panggung, membuat formasi, lalu diam di tempat sambil membiarkan kelompok penabuh drum lain masuk ke lapangan seraya terus bermain musik.

Ketika ratusan drum ditabuh bersamaan, bulu kudukku langsung merinding mendengarnya, seperti musik yang digunakan untuk sebuah ritual kuno. Harmoni yang terpancar dari ketukan yang berawal pelan dan kolosal layaknya sebuah panggilan untuk makhluk agung yang sangat dihormati. Lama-kelamaan, tempo dari drum mencepat, menghasilkan dua ketukan yang saling bersahutan. Xylophone kembali berdenting, menjadi latar suara yang memberikan tekstur suara tajam di antara tabuhan yang menggema. Musik terus berdentum dan langit-langit stadion perlahan meredup. Area yang seharusnya memperlihatkan langit kini telah berubah menjadi proyeksi angkasa gelap dengan kerlip bintang. Ketika tempo semakin mencapai puncak, langit stadion telah berubah menjadi malam sepenuhnya. Gema drum saling bergantian dengan denting xylophone, dan ketika musik berhenti berkejaran dalam harmoni yang pas, kembang api meluncur dari sisi-sisi lapangan dan meledak di langit-langit stadion menjadi kumpulan cahaya warna-warni yang menyebar. Tabuhan drum kembali terdengar setiap kembang api meluncur ke atas diiringi oleh sorak-sorai penonton di sepenjuru Infinite Stadium.

"Wow," aku tidak pernah terkagum seperti ini sebelumnya. Permainan cahaya dari solid hologram—aku yakin itu—dan gabungan musik yang dibuat seagung itu membuat napasku berhenti sedetik. Meskipun acara ini adalah olimpiade, tapi acara penutupan ini sudah seperti olimpiade olahraga yang itu.

Tidak hanya aku yang berpikir seperti itu. Chrys di sebelah kananku ternganga dengan mata berbinar-binar. Dia bahkan sampai tidak berkedip untuk waktu yang lama. Tidak adanya komentar konyol darinya selain menimpaliku dengan, "Yeah, wow." membuktikan bahkan Chrys pun sampai tidak bisa berkata-kata.

Di sisi lain, Chloe sampai berkaca-kaca sambil bergumam, "Indah sekali." Tangannya menutup mulut dan sesekali dia mengusap air mata yang mengalir. Mischa di sebelah Chrys mengatupkan kedua tangan di depan dada. Aku tidak bisa melihatnya jelas, tapi sepertinya dia juga seperti kami—mengingat gadis itu tidak banyak bicara dari awal kami bertemu—hal itu tidak aneh.

Tepat setelah kembang api selesai, asap merah muda dan biru muncul di panggung. Sepasang pria dan wanita yang sangat kukenal karena sudah sering terlihat belakangan ini di pembukaan dan penutupan setiap fase membuka acara.

Diony Shu yang bersetelan jas hitam memperkenalkan dirinya bersama rekannya, Minerva Athene yang bergaun merah berkelip-kelip. Mereka mungkin terlihat kecil karena jarak pandang, tapi empat layar hologram yang melayang di keempat sisi lapangan membantu menampilkan wajah-wajah mereka yang berseri.

"Selamat pagi, Ascent dan semua penonton di seluruh penjuru dunia!" sapa Diony Shu bersamaan dengan langit-langit stadion yang kembali normal. "Dan selamat datang di fase terakhir dari Olimpiade Sains Persahabatan Tiga Negara!"

Minerva Athene menyambung, "Karena fase ini adalah fase terakhir yang istimewa, maka sudah sepatutnya dirayakan! Sebelum kita menuju acara puncak, mari kita dengarkan sambutan sepatah dua patah kata dari ...."

Mari kita lewati bagian itu karena sangat tidak penting. Setelah sambutan yang membosankan, acara diseling dengan pertunjukkan musik. Band yang katanya sangat digandrungi di Ascent—menurut Chrys karena dia secara kebetulan juga menyukai band itu—mengisi acara. Vokalis pria yang berambut gondrong dengan jaket kulit hitam ala geng motor bernyanyi dengan lantang. Penonton mengikuti dengan semangat. Di satu titik, aku tidak merasakan acara ini untuk kami melainkan hanya untuk hiburan biasa semata.

"Kau tidak menyukainya, Ren?" tanya Chrys. Pinggulnya bergoyang-goyang dan kedua tangan serta pundaknya bergerak mengikuti irama.

Aku mengangkat bahu. "Entahlah," jawabku tak acuh. Aku berusaha menikmati pertunjukkan dari lagu ke lagu, tapi pikiranku tidak bisa lepas dari acara besar yang akan kami hadapi.

Pak Ben datang dari arah belakang panggung dan menginterupsi. "Ayo, Anak-Anak, bersiap-siap, acara utamanya sebentar lagi dimulai," katanya, menghentikan Chrys dan Chloe yang bergoyang.

Aku yang pertama berdiri dan mengikuti Pak Ben. Dia tersenyum simpul, lalu mengangguk lemah seolah mengatakan, "Kalahkan mereka, Jagoan, kau pasti bisa."

Aku refleks mengangguk balik. Kami keluar dari bangku cadangan dan bersiap di sisi lapangan.

Seiring dengan gelaran musik yang selesai, Diony Shu dan Minerva Athene mengumumkan bahwa inilah saatnya pertunjukkan utama. Para penonton bersorak girang. Musik latar seperti pengiring pertarungan dalam gim serupa drum mengalun dengan tempo cepat. Panggung yang kukira terbuat dari solid hologram kemudian bergerak mundur.

"Inilah saat-saat yang kita tunggu!" seru si Pembawa Acara Pria. "Para peserta, silakan masuk ke arena!"

Aku berbalik sekali lagi kepada Pak Ben. Beliau memberi satu jempol dan mengangkat kedua sudut bibirnya. "Lakukan seperti yang sudah kita sepakati," katanya.

Aku balik memberinya ibu jari, lalu berpaling ke depan. Kuacungkan kepalan tangan ke udara. "Ayo, kita menangkan pertandingan ini," ucapku.

Chrys tersenyum, memperlihatkan gigi-giginya sampai matanya terpejam. "Tentu saja!" balasnya.

"Harus!" Chloe menimpali. "Akan kubuktikan pada mereka siapa yang terkuat!"

"Aku akan berusaha sekuat tenaga!" kata Mischa.

"Tim SeS, sukses!" Aku mengucapkan yel-yel Chrys dulu yang tidak pernah kubayangkan akan kukatakan. Chloe, Chrys, dan Mischa mengikuti dengan antusias.

"SUKSES!" ulang mereka.

~~oOo~~

A/N

Sudah masuk pertandingan final, bersiaplah untuk melihat kata tamat beberapa bab lagi 🔥🔥🔥

MWM resmi berakhir di tanggal 31 Agustus pukul 23.59, tetapi cerita ini akan terus berlanjut update, dan semoga saja bisa tamat bulan ini 🔥

...

Diterbitkan: 09/09/2024

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro