Bab 5: Letupan

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Setelah sarapan bersama, semua tim menuju lokasi latihan yang ada di pusat kota. Masing-masing perwakilan memiliki kendaraannya sendiri. Kami diantar dengan mobil yang sama dengan yang menjemput dari bandara. Pak Alvin yang menjadi sopir kami kembali.

"Untuk sekarang dan seterusnya, Bapak yang akan menjadi sopir pribadi kalian," katanya diiringi tawa ringan.

Chrys menyeletuk (yang menurutku cukup sensitif), "Bapak seorang Alafathe, apa kekuatan Bapak kalau boleh tahu?"

"Precogniton. Bapak bisa tahu kalau di jalan nanti kita pasti bakal kena macet," kelakarnya.

"Woah, Esper," sahut Chloe sambil bertepuk tangan pelan.

Aku melihat ke jalanan. Kendaraan besar, kecil, ramping, berlalu-lalang memenuhi jalanan. "Sepertinya tanpa kekuatan itu juga aku bakal tahu," tukasku.

Chrys memukul bahuku. Chloe mengatai kalau aku hanya iri. Aku tidak menghiraukan mereka. Pak Ben melerai dan berakhir dengan kesia-siaan. Mischa hanya melihat dalam diam sambil sesekali tersenyum. Selanjutnya duo berisik itu lanjut membayangkan betapa kerennya bisa meramal masa depan.

Aku jadi teringat sepasang Alafathe yang pertama kali kutemui, Olivia dan Alva. Apa kekuatan mereka? Apa mereka ancaman? Haruskah aku khawatir? Ini memang hanya pertandingan persahabatan, tetapi sesuatu yang salah terus menghantuiku. Semua pikiran tentang kemungkinan apa yang bisa terjadi terus berputar sampai aku tidak sadar sudah melewati taman kota, kemacetan perempatan, dan keluhan Chrys betapa panasnya isi mobil.

"Kau akan berubah dari emas menjadi cokelat," sindirku pada lelaki itu yang tengah mengipas-ngipas leher. Bahkan AC yang telah dinyalakan masih tetap tidak bisa mendinginkan suasana.

"Dan kau akan meleleh seperti gula kemarin—"

Aku memelototinya. Dia seketika diam. Bisa-bisanya dia mengungkit sesuatu yang bisa menimbulkan kesalahpahaman.

Tempat latihan kami berada di sebuah gedung berbentuk stadion sepak bola. Infinite Stadium. Nyatanya, itu adalah gedung olahraga serbaguna yang memiliki luas tiga kali lipat lapangan sepak bola (heran kenapa aku bisa tahu?). Atapnya terbuat dari kaca dengan kisi-kisi berbentuk heksagonal melengkung. Jika dilihat lebih teliti, atap itu membentuk seperti gelombang yang naik turun. Kalau dilihat dari jauh dengan sudut yang tepat dalam garis lurus, atap itu akan membentuk pola lambang tak terbatas—∞—yang menjadi asal namanya.

Sebelum kami memulai latihan, semua tim dikumpulkan terlebih dahulu dalam sebuah ruangan seperti aula dengan kursi-kursi berjajar yang disusun melengkung dan layar proyektor. Kami akan mendapat pengenalan singkat yang disampaikan oleh para pembimbing dari masing-masing perwakilan.

Kami disuruh menunggu sambil mereka menyiapkan segala hal.

Manusia itu makhluk sosial. Tanpa diperintah pun, orang-orang akan berkumpul dengan sesama mereka. Kami di area kiri, Ascent di tengah, Canidae di kanan. Chrys masih berusaha mendekati Olivia. Dia sengaja mengambil kursi di dekatnya agar bisa ada alasan mengobrol.

"Katakan, Oliv, apa kau sudah ada yang punya?" tanya Chrys sambil menopang dagu. Olivia hanya tersenyum. Aku menggeleng tak percaya. Bisa-bisanya dia berlaku seperti itu.

"Belum," jawab gadis itu singkat.

"Dari para laki-laki ganteng yang ada di sini, siapa yang akan kau pilih?" pancing Chrys.

Olivia menggeser tubuhnya sedikit sampai bisa melihatku. Mata kami bertemu. Dia tersenyum. Seketika sebuah rasa menyengat menjalar di kepalaku. Aku langsung memalingkan pandangan.

Apa itu? Serangan mental?

"Arennga? Serius?" Chrys bertanya seolah aku tidak pantas mendapatkan siapa pun. "Dia itu seperti bongkahan es. Lebih baik memilih yang sudah pasti saja." Lelaki itu melanjutkan seolah aku tidak ada. Obrolannya dengan Olivia tidak aku ikuti lebih jauh karena ada sesuatu yang mengganjal dalam diriku.

"Kau kenapa, Ren?" tanya Chloe khawatir. "Kau sakit? Wajahmu merah."

Aku menggeleng.

"Dia terkena gombalan Olivia," celetuk Chrys tiba-tiba.

Wajah Chloe berubah kecut. Matanya berkedut-kedut. "Menyesal aku bertanya."

"Baguslah," sahutku. "Harusnya kau khawatirkan dirimu sendiri daripada aku."

"Dasar menyebalkan!" Gadis itu merengut memalingkan pandang sambil melipat tangan di depan dada.

Briefing dibuka oleh pembimbing dari SMA Prima Sophia, Bu Eva. Guru wanita itu mengenakan gaun merah panjang dengan balutan blazer hitam. Kontras dengan warna dinding dan hologram berwarna biru transparan, ia menjadi pusat perhatian seisi ruangan dibandingkan dengan materi itu sendiri.

"Hanya satu lapangan besar yang akan menjadi pusat latihan hari ini. Karena hari ini berupa adaptasi dengan teknologi, sudah cukup dengan membagi area itu menjadi tiga."

Bu Eva kemudian menunjukkan pembagian lapangan yang dimaksud menggunakan hologram. Stadion yang memanjang dari barat ke timur tampak jelas bagian-bagiannya. SMA Scienta et Social mendapat lapangan timur. SMA Prima Sophia di tengah. SMA Magna Prudentia di barat.

Giliran beralih kepada pembimbing dari SMA Magna Prudentia, Canidae. Pak Oxa, berambut hitam agak ikal dengan bentuk wajah oval dan berkacamata besar. Dia menjelaskan tentang teknis latihan yang akan dilakukan untuk hari ini dan sedikit gambaran untuk dua kali pertemuan berikutnya.

"Sesi latihan kali ini cukup mudah. Kalian akan ditempatkan di sebuah arena acak. Akan ada banyak soal yang disebar di seluruh tempat," jelas Pak Oxa. Tangannya bergerak ke sana-kemari. "Kalian hanya perlu menjawab soalnya secepat mungkin dan pergi ke tempat yang telah ditentukan untuk melawan soal final. Ada pertanyaan dulu sejauh ini?"

Semua menggeleng.

Pak Ben maju menjelaskan. "Untuk pertemuan berikutnya, tiga tim akan digabung dalam satu arena besar. Kekompakan, strategi, kecepatan, semua harus digunakan agar dapat mencapai tujuan akhir yang diinginkan. Nilai dihitung dari akumulasi setiap anggota yang menjawab. Masing-masing akan mendapat soal yang berbeda. Monster remedial akan keluar bila jumlah nilai yang didapat kurang dari 75%. Satu soal yang berhasil dijawab akan memberikan tambahan lima penanda soal yang akan muncul di peta. Jawab semua soal dan kalian akan tahu tempat akhir yang harus dituju.

"Jika tidak ada pertanyaan tambahan, setiap tim dipersilakan untuk mengikuti pembimbingnya masing-masing ke arena," pungkas Pak Ben.

Satu per satu orang pergi meninggalkan ruangan. Kami menjadi tim yang keluar terakhir. Melewati lorong di kanan, kemudian menuruni undakan, kami tiba di sebuah lapangan yang kini telah disekat menjadi beberapa bagian menggunakan dinding transparan. Begitu kami masuk, suasana berubah seperti di dunia lain. Semua berwarna putih. Aku tidak dapat melihat ke luar. Namun, orang yang di luar masih bisa melihat ke dalam. Dinding itu bekerja seperti cermin dua arah.

Chrys menjadikan kedua jempol dan telunjuknya bingkai seperti seseorang yang sedang membidik objek untuk di foto. Bergantian dia mengarahkan pada Chloe yang langsung menunjukkan dua jari, Mischa yang malu-malu, dan aku yang memberinya jari tengah.

Suara yang entah dari mana asalnya menggema. "Sebentar lagi kita akan mulai. Kalian akan diberi arena acak. Bisa saja itu hutan, gurun, sabana, taman bunga, bahkan perkotaan sekalipun."

Setelah suara itu berhenti, lantai yang tadinya putih memunculkan garis-garis hitam membentuk kotak-kotak. Perlahan, garis-garis itu terus bertambah dan membentuk sebuah bentang. Seperti tanah liat yang dipilin, benda-benda yang semula abstrak bermunculan dan menjadi wujud yang sempurna dalam sekejap. Batu, pohon pinus yang menjulang, semak belukar, daun-daun cokelat berguguran, kabut tipis. Hutan musim gugur.

Kulemparkan pin avatar ke atas. "Mewujudlah, Arthur!"

Sesosok kesatria berbaju zirah lengkap berwarna perak dengan bulu burung merah di helm muncul dari titik-titik cahaya yang keluar dari pin avatar. Bersenjatakan pedang besar dan tameng bergambar naga, wujud itu seukuran pinggangku.

Teman-teman yang lain menyusul. Mereka berseru bersamaan.

Clowny, avatar milik Chloe. Berwujud badut dengan riasan tebal, memakai pakaian konyol bermotif polkadot dengan gerincing lonceng menghiasi topi bertanduk dua. Tampangnya boleh menggelikan, tetapi serangan api yang dihasilkan bisa sampai membuatku kewalahan saat melawannya. Benar, aku mengakui kemampuannya.

Chrysan dan Krishna. Salah satu awatara Deva Vishn yang hanya memakai celana kuning dan berhiaskan sehelai bulu merak hijau di kepala menjadi avatar anak konyol itu. Sangat disayangkan. Tapi, aku jadi tahu bagaimana wujudnya kalau Chrys sedang bertingkah "di luar kecerdasannya yang biasa" dan memutuskan untuk mewarnai dirinya sendiri menjadi biru lalu pura-pura sedang berkamuflase jadi langit.

Bagai keluar dari teratai yang kuncup, Lakshmi, avatar milik Mischa begitu anggun. Layaknya seorang dewi yang bermahkota emas dengan lingkaran cakra di belakangnya. Tangan kanannya terangkat sedada dan tangan kirinya memegang bunga teratai. Makhluk digital itu mengenakan kain sari merah yang dililitkan ke seluruh tubuh serta dihiasi kalung dan gelang emas. Aku masih belum bisa menerima kalau avatar secantik itu bisa mengalahkan banyak orang.

"Ok, siapa yang akan menjadi pemimpin?" celetuk Chloe.

"Aku—"

"Aku."

Aku langsung melihat Chrys. Wajahnya seperti tidak menduga jawaban yang sama.

"Jangan-jangan kita—"

Aku melotot.

"Aku tidak yakin kau punya bakat memimpin," sindirku.

"Aku juga tidak yakin kau punya hal tersebut," Chloe menyahut sinis. Mataku memicing padanya.

"Hei, begini-begini aku juga bisa memimpin," timpal Chrys sambil menunjuk dirinya sendiri dengan percaya diri.

"Oh. Jadi, kenapa kau mau menjadi ketua tim?"

Chrys berusaha menghindari tatapanku. "Jangan tersinggung ya, hanya saja ... kau itu agak egois ...." Suaranya mengecil di akhir kalimat. Dia tampak gugup dengan respons yang akan kuberikan.

"Apa?"

Chrys meledak. "Aku tidak ingin dipimpin oleh orang yang hanya mementingkan dirinya sendiri, okey? Mengertilah. Dari awal kau terlihat menutup diri. Chloe dan Mischa juga tidak mau dipimpin olehmu." Anak itu menatap orang-orang yang dimaksud untuk meminta persetujuan, tetapi mereka malah memalingkan pandangan.

"Dari mana kau tahu?"

"Jadi, siapa yang menjadi ketua?" ulang Chloe.

"Aku." Aku dan Chrys menjawab bersamaan.

Hitung mundur sudah dimulai dan beberapa penanda soal berbentuk oktahedron sudah melayang di beberapa tempat; bersinar, berkelip-kelip.

"Orang pertama yang mendapat soal yang akan jadi ketua," usul Chloe.

Aku dan Chrys bertatapan.

Tepat saat tanda dimulainya latihan berbunyi, aku langsung melesat mengambil kristal soal. Chrys berlari di sampingku. Dia melempar senjata Krishna yang berbentuk cakram bergerigi agar mengenai kristal yang dipilih. Merah—Matematika. Aku menghalaunya dengan melempar tameng Arthur. Denting logam beradu. Chrys menggerutu.

"Curang!" katanya kesal.

Aku tersenyum miring. "Strategi."

Semakin dekat dengan tujuan, aku mempercepat langkah. Kugapai satu cabang besar pohon dan menjadikannya tolakan untuk berayun. Aku melompat, Chrys meniru. Tangan kami menggapai sampai hampir beradu.

"Dapat!" Kutunjukkan kristal berwarna kuning pada Chrys. Fisika.

"Aku yang dapat!" Chrys memegang kristal berwarna hijau. Biologi.

"Kalian payah! Kalian *****! Kalian *****!" Sumpah serapah Chloe yang telah lama tidak kudengar keluar seperti badai. Gadis itu mencak-mencak. "Kalian malah membuat kita mendapat soal dua kali lipat dalam sekali jalan!"

Kristal yang Chrys dan kupegang pecah. Tak lama berselang, suasana hutan menjadi berubah. Suhu udara turun. Angin bertiup kencang. Daun-daun berguguran dengan cepat. Awan bergelung. Dua lembar soal hologram berwarna putih melayang bersamaan.

[SOAL]

[Lihat ke atas! Bila kecepatan angin yang membawa badai adalah 10 m/s, dan jarak kalian adalah satu kilometer, berapa kecepatan minimal untuk sampai ke tempat pengungsian yang jaraknya lima kilometer sebelum badai dapat menyerangmu?]

[SOAL]

[Jelaskan mengapa beberapa hewan mamalia membutuhkan proses hibernasi saat musim dingin!]

Setelah kujawab soal itu dengan yakin, bar berwarna biru transparan memuat hasil jawaban dan langsung memberikan nilai. Aku mendapat hasil sempurna, tetapi akumulasi nilai memberikan nilai 73%.

Cih, sial.

Awan gelap yang muncul semakin dekat. Angin bertiup membawa daun-daun jingga terbang berputar. Petir menyambar-nyambar. Kilat menggelegar. Suhu menjadi rendah. Dari gumpalan kumulonimbus, pusaran angin turun dengan sangat cepat membawa sosok raksasa yang memijak tanah dengan kasar. Tanah bergetar. Daun dan debu beterbangan disapu angin mini yang mengelilingi tubuh si monster.

"Marshmallow raksasa!" seru Chrys.

Dia tidak bercanda. Sosok raksasa yang datang seperti gumpalan awan putih menonjol-nonjol layaknya permen kapas berwarna putih. Wajahnya hanya berupa dua titik mata dan satu garis bergerigi yang tampak mengejek. Angin puting beliung yang menyelimuti bagian bawah badan dan kedua lengannya yang menyerupai bor menjadi pertahanan dan senjata yang sempurna.

Aku melihat sekeliling. Hanya satu—

Suara geraman muncul dari arah belakang. Seekor beruang grizzly raksasa berwarna cokelat berdiri dengan dua kaki. Cakarnya terangkat dan mulutnya terbuka siap menerkam.

Dua monster sekaligus. Masing-masing memiliki hit point lima ratus. Baru soal pertama dan sudah dihadapkan dengan situasi yang tidak menguntungkan.

Sungguh sial.

Suara raungan dan angin yang bertiup kencang menandai pertarungan pertama dalam latihan ini.

~~oOo~~

Beta reader: n_Shariii

A/N

Ayo, berikan kesan kalian pada bab ini!

Kritik dan saran yang membangun saya nantikan.

Jangan lupa memberi vote kalau suka ceritanya.

Terima kasih sudah membaca. 'v')/

Salam literasi!

***

Diterbitkan: 05/09/2021

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro