Bab 30 : Duel

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Area duel berada di gedung ujian di lantai tertinggi. Di dalam lift yang membawaku ke sana, aku melihat pantulan diri. Aku tidak ingat kapan aku bercermin terakhir kali. Namun, aku yakin, hari ini wajahku telah berbeda dari biasanya. Clowny yang merupakan cerminan diriku tidak memiliki mata yang setajam ini saat menatap. Mataku lebih gelap sekarang, bukan karena warna matanya, tetapi apa yang ada di dalamnya. Kuubah gaya rambutku dari kucir dua menjadi kucir kuda. Ini disebabkan karena kucir dua sudah terlihat kekanakan dan aku memerlukan gaya rambut yang lebih fleksibel saat bertarung. Kalau kalian bertanya, kenapa tidak dipotong saja? Itu karena aku terlalu sayang. Bagiku, rambut adalah ciri khas bukan hanya sekadar mahkota kepala yang menghias. Aku belum mau mengganti ciri khasku.

Lift itu akhirnya berhenti. Aku keluar dan disambut sebuah lorong panjang. Lorong polos berwarna abu-abu yang mungkin ditujukan agar orang yang melewatinya tidak berpikir macam-macam yang dapat membebankan pikiran. Mereka perlu rileks. Pikiran tenang sebelum sesuatu hal yang besar terjadi.

Arena duel itu berbentuk seperti koloseum. Aku bagaikan gladiator yang akan berhadapan dengan singa; memberikan pertunjukan yang memukau bagi penonton. Teman-teman kelasku dan yang lainnya menonton dari tribune yang ada di atas. Mereka bersahut-sahutan memanggil namaku dan Arennga yang kini berdiri di seberang sana, di sisi lain arena.

Lampu LED menerangi seluruh tempat. Lampu sorot menerangi kami berdua sebagai bintang utama. Sebelum acara dimulai, Kepala Sekolah sendiri memberi sambutan dalam bentuk hologram 3D yang melayang di udara.

"Selamat kepada Arennga Victor Nata dan Chloe Anastasia karena kalian bisa sampai ke tahap ini. Sangat jarang sekali duel penentuan diadakan sampai sudah seperti acara yang sakral bila terjadi. Maka dari itu, beruntunglah kalian yang telah memecahkan rekor ini."

Setelah kata-kata sambutan yang dapat membuat sedikit dadaku membusung, acara selanjutnya adalah penyampaian peraturan.

"Soal-soal yang ada tidak akan muncul seperti biasanya, tetapi 'tertempel' di sekitar kalian. Soal-soal akan diatur dari yang tersulit, menengah, sampai yang termudah. Begitu juga dengan nilainya. Nilai-nilai akan dirunut dari yang terkecil sampai yang terbesar. Itu artinya, soal yang ada paling atas adalah soal termudah dengan nilai terbesar. Saya harap penjelasan itu dapat dimengerti. Satu peraturan sederhana yang terakhir: kalahkan lawan kalian sampai hit point-nya habis!"

Tidak ada larangan? Oke, bagus. Aku bisa menggunakan seluruh strategi yang terpikirkan.

Dengan berakhirnya pidato Kepala Sekolah, hitungan mundur pun terjadi. Di detik kelima, soal-soal digital seperti kertas berwarna putih muncul memenuhi arena dengan cepat. Seperti kata Kepala Sekolah, mereka semua "tertempel". Soal-soal itu melingkupi seluruh arena tempatku berada sampai ke atas membentuk kubah. Kami seperti dikurung di dalam sangkar berbentuk setengah bola. Entah bagaimana para penonton dapat melihat kami, tetapi aku tidak dapat melihat ke "luar".

Dengan adanya bunyi "teeet!" kencang di akhir hitungan mundur, duelku dengan Arennga resmi dimulai.

Aku dan Arennga saling mengeluarkan avatar. Tanpa basa-basi, mereka semua langsung saling menyerang. Meskipun tanpa adanya poin kerusakan, serangan-serangan yang dilontarkan terasa brutal. Clowny mengeluarkan bola-bola warna-warni seperti hujan. Semua itu Arthur halau dengan mudah. Suara teriakan penonton memecah konsentrasiku saat mereka melihat itu semua. Ditambah dengan komentator yang berbicara terus, penderitaanku lengkap sudah.

Saat aku sedang memilih soal, tiba-tiba Clowny terlempar ke arahku. Ada luka sayat digital di dadanya. Getaran sesuatu membentur dinding pelindung membuatku refleks menoleh ke belakang. Arthur berulang kali melemparkan pedang-pedangnya dengan sengaja untuk mengganggu konsentrasiku.

Aku geram. Saatnya membalas.

Sambil menghindari pedang-pedang yang meluncur, Clowny mengeluarkan lidah api. Semburan jingga kemerahan yang panas menyapu arena. Bagai air yang tumpah dari langit, api Clowny membanjiri; membuat pandangan kabur karena api dan gelombang panas.

Di dalam kobaran yang membuat gerah, Arthur tampak berlindung di balik perisai besarnya. Sambil maju menahan lidah api yang terus menjulur, si ksatria mungil menghunus pedang.

Aku tidak bisa mempertahankan skill lidah api Clowny kecuali aku ingin membakar otak sebelum pertunjukan utama dimulai. Dalam kesempatan yang singkat itu, Arthur mendorong menggunakan tamengnya, mementalkan Clowny. Sebelum mencapai tanah, dengan sigap Arthur melemparkan pedangnya pada avatarku.

Aku menangkapnya sebelum jatuh. Kulempar Clowny dengan cepat; memberikannya skill. Dua bilah pisau raksasa muncul di tangannya. Avatarku menghalau pedang yang dilemparkan Arthur.

Trang!

Pedang dan pisau mereka bertemu. Arthur dan Clowny saling dorong. Tidak ada yang mau menyerah, sampai akhirnya avatar Arennga memberi dorongan lebih pada lawannya. Clowny terpental; menggunakan pisau sebagai tumpuan, ia menerjang kembali. Diputarnya pisau bagai beliung.

Arthur melayani serangan itu. Excalibur terhunus menantang. Senjata tajam mereka kembali beradu. Aku maju ke level dua. Pisau Clowny mengeluarkan api.

Clowny mundur hanya untuk memberikan putaran tornado api. Arthur menghindar, melemparkan pedangnya. Avatarku mengelak, tetapi tidak dengan yang selanjutnya. Hujan pedang menanti.

Para penonton bersorak melihat aku kewalahan. Ini tidak boleh terjadi terus. Aku tidak boleh sampai kalah. Sudah sampai sejauh ini. Aku harus mencari waktu yang tepat untuk mengeluarkan jurus pamungkas.

Dengan gesit sambil menghindari pedang-pedang yang melayang, Clowny menembakkan bola-bola api. Arthur mengelak, bertahan menggunakan pedang melayang yang dijadikan satu membentuk tameng. Kesempatan! Aku memberikan cincin berapi pada Clowny. Dua cincin terbakar itu terbang berputar ke arah Arthur.

Aku mencari celah agar bisa mengambil soal teratas untuk memberikan poin kerusakan yang besar, tetapi dengan meminimalkan terbakarnya otak. Namun, usaha minimal itu harus dibayar dengan jerih payah mendapatkan soal itu terlebih dahulu.

Aku berlari ke arah dinding, mencoba melompat dari atasnya. Kupanggil Clowny sebagai pijakan agar aku bisa naik. Arennga sepertinya sadar dengan apa yang akan kulakukan. Dia juga melakukan hal yang sama.

Satu langkah besar, aku berhasil melompat. Kupegang pinggir arena dengan kuat sambil menyuruh Clowny untuk naik. Satu tolakan cepat dan aku pun meloncat ke atas. Aku tahu tidak mungkin aku bisa menggapainya. Maka, saat aku berada di ujung tertinggi sebelum jatuh, kulempar Clowny untuk mengambilnya.

Arennga juga melempar Arthur untuk menghentikan Clowny, tetapi baju zirahnya yang berat menyebabkan dia jatuh lebih cepat sebelum mencapai titik tertinggi.

Dapat! Aku berhasil! Saatnya untuk pertunjukan utama sekaligus penutup. Aku membaca soal itu dengan cermat. Tidak boleh ada yang terlewat.

"Clowny!" Kutunjuk langit-langit. "Badai api." Sebuah skill yang kudapat sebagai tambahan karena latihan yang kujalani.

Clowny mengeluarkan tiga bola api dari tangan. Memutarnya seperti bermain juggling, lantas melemparkannya ke atas. Bola-bola api Clowny semakin membesar sampai di satu titik, tiga bola itu berhenti.

"Serang," perintahku sambil menunjuk Arthur yang mengambil sikap bertahan. Dengan ini, akan kuakhiri semua.

Bola-bola api meluncur dengan cepat tanpa henti. Setiap bola api itu membentur tanah, sebuah tornado api muncul. Awalnya berukuran kecil, kemudian bertambah besar seiring bola-bola api yang berjatuhan di tempat yang sama. Arena yang luas seketika terasa sempit karena badai api yang memenuhi. Warna jingga api membutakan pandangan. Angin panas berembus sangat kencang sampai keringat mengucur deras.

Penonton semakin menggila. Sorakan bersahut-sahutan. Aku tersenyum puas.

Seiring dengan skill yang selesai efeknya, api di arena mulai mengecil kemudian padam menyisakan asap yang mengepul. Dalam kebul abu-abu yang perlahan menghilang, dapat kulihat siluet Arennga yang membungkuk. Senyumku pudar. Mataku membulat tak percaya. Arthur masih ada di sana dengan hit point yang masih tersisa seperempat. Tubuhnya diselimuti seperti tameng yang melindunginya dari depan ke belakang bagai seperempat bola yang memanjang.

"Mana bisa?!" pekikku. Itu adalah skill dengan persentase kerusakan terbesar yang kutahu.

"Kau pikir hanya kau sendiri yang punya kemampuan baru?" Arennga membalas dengan congkak. "Memangnya kenapa aku rela berlelah-lelah mengikuti semua kegiatan class meeting itu?"

Aku geram. "Sial ...."

"Tidak sepertimu yang hanya mengandalkan serangan. Latihan kerasku telah menghadiahiku pertahanan dan serangan yang lebih kuat."

Aku tidak tahan lagi. Sekali lagi kuserang dengan bola-bola api dan lidah api Clowny. Arthur mengelak dan menyerang dengan pedang ganda. Aku yang terlalu emosi gagal fokus dan mengakibatkan Clowny terlambat mengelak. Luka digital melintang dari bahu ke perut. Efek glitch mulai terlihat.

Arennga memakai skill Excalibur untuk yang ke sekian kali, tetapi kali ini pedang besar itu tidak dihunuskan pada Clowny, melainkan ditancapkan di tengah arena sebagai pijakan. Arthur berdiri di atasnya. Arennga berlari lantas melompat menggunakan Arthur sebagai batu loncatan, mendapatkan soal termudah di kala aku hanya bisa memandangnya di tengah keterpurukan mengetahui aku gagal menggunakan skill pamungkas.

Lelaki itu mendarat, berguling, lantas menjawab dengan cepat. Arthur mengangkat pedangnya tinggi. Aku berusaha menghentikannya sebelum skill itu berhasil diselesaikan. Namun, bola-bola api dengan mudah ditangkis lalu dikembalikan. Aku gagal.

Tanah di bawahku bergetar. Retakan-retakan muncul diiringi tombak-tombak yang mencuat. Clowny berusaha melompat menghindar. Namun, kemunculan tombak-tombak itu yang cepat dan rapat menyulitkan Clowny bergerak. Satu tombak yang gagal avatarku hindari berhasil mengait pakaiannya. Gemerincing lonceng terdengar ketika ia berusaha untuk turun.

Kilatan-kilatan muncul dari masing-masing tombak, menyatu membentuk seperti jaring laba-laba. Clowny berteriak-teriak saat kilatan itu menyambar-nyambarnya. Walaupun aku tahu ia hanya sekumpulan data digital, tetapi melihatnya tersiksa begitu membuat hatiku sakit. Penonton di luar arena bahkan terdengar mengiba.

Tombak ternyata bukan satu-satunya senjata pamungkas milik Arthur. Di atas sana, ratusan pedang melayang siap menghunus. Kilap logamnya yang terkena cahaya lampu LED menyilaukan mata, bagai ratusan lampu sorot yang diarahkan sekaligus. Dengan satu ayunan cepat, pedang-pedang itu melesat ke arah Clowny.

Aku berusaha memberikan pertahanan terakhir berupa dua bilah pisau raksasa. Ukurannya yang besar sementara posisi Clowny yang tidak mendukung membuat avatarku hanya bisa mengayun-ayun tak keruan. Beberapa pedang dapat terelak, tetapi yang lainnya meluncur dengan mulus. Hit point avatarku terus menerus berkurang sampai di satu titik, aku tidak sanggup lagi melihat apa yang terjadi.

Apiku telah padam. Semangatku telah lenyap.

Kurasakan tanah bergetar kembali. Tombak-tombak yang mencuat perlahan menghilang, begitu juga dengan Clowny. Titik-titik cahaya putih perlahan melayang terbang dari figur avatarku. Tak lama kemudian, Clowny lenyap.

"Pemenangnya Arennga Victor Nata!!!" Komentator berseru dengan lantang, sorakan para pendukung memenuhi arena. Di tengah riuhnya suara mereka, aku merasa kosong. Ada yang hilang.

Aku jatuh berlutut meratapi kekalahanku. Butir-butir air mata yang jarang kukeluarkan jatuh. Tidak pernah aku merasa segagal ini.

Seseorang mendekatiku. Aku mendongak sambil mengusap air mata. Arennga. Dia berlutut; menyejajarkan pandangannya denganku.

"Sekarang kau bisa tertawa sepuas hati. Kau sudah menang," kataku dengan suara rendah. Arennga hanya melihatku lurus. Aku dibuatnya salah tingkah.

Penonton kami mulai bertingkah. Aku bahkan bisa mendengar, "Cie! Cie! Cie!" yang terus menerus, atau, "Cium! Cium! Cium!" yang tiada henti. Merasa tidak ada urusan lagi di sini, aku memutuskan pergi.

"Hei," kata Arennga pelan. Aku mengurungkan kepergianku. Dengan wajah yang masih datar, dia berujar, "Sudah kukatakan aku yang akan jadi juara umum." Sialan, bahkan di saat terakhir dia masih bisa menyombongkan diri.

"Utangku pada seseorang telah lunas. Kita bisa mengakhiri rivalitas ini. Dan ... karena kau sudah sampai sejauh ini. Aku mengakuimu." Sebuah kalimat yang tidak aku sangka akan keluar dari bibir tipis itu.

"Arennga—"

"Sepertinya kita tidak pernah berkenalan dengan baik." Arennga menjulurkan tangan. "Aku Arennga, panggil saja Ren."

Aku menyambut tangan itu. Tangan yang menggenggam dengan ketulusan. Kuat dan hangat. "Aku Chloe. Senang dapat berkenalan denganmu."

-oOo-

A/N

Uwaaaah, bab terakhir. Enggak nyangka bisa sampai sini juga :""D

Sampai jumpa di epilog 'v')/

Semoga menghibur!

Diterbitkan: 31-3-2021

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro