1-2 | Home [Part 2]

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

"Perang nuklir itu, apa yang telah Dad lakukan, segalanya belum selesai."   Chloe Wilder

Wilder's Mansion, Moorevale, USA
5 November 2020, 07.00 PM

Suara dentingan halus garpu dan pisau yang beradu menghiasi ruang makan keluarga Wilder. Prosesi makan malam kali ini sungguh khidmat, tak ada satu pun yang membuka suara. Chloe dan kedua orang tuanya asyik menikmati premium tenderloin steak di hadapan mereka.

Setelah kepulangannya ke Moorevale, semuanya berubah.

Chloe kehilangan kontak dengan Dylan dan Quentin sekaligus. Di sekolah, ia tidak melihat Dylan menghadiri kelas Fisika bersamanya. Chloe bahkan menanyakan keberadaan pemuda itu pada Abby. Nihil, sahabatnya pun tidak mengetahuinya. Memang, Dylan beberapa kali membolos kelas dan sering menonaktifkan ponselnya.

Kehilangan kontak dengan Quentin adalah hal yang biasa. Chloe tahu bahwa pemuda keturunan Jepang itu butuh waktu untuk menenangkan diri. Namun, tetap saja Chloe merasa khawatir pada sosok yang sudah ia anggap sebagai kakaknya sendiri. Rutin mengecek kotak masuk Gmail adalah hobi baru Chloe, berharap ada balasan surel dari Quentin.

Chloe sendiri tidak banyak berbicara di dalam rumah, gadis itu bahkan tidak menyambut kedatangan ayahnya dengan antusias seperti biasa. Tentu saja, sejak mengetahui fakta gelap tentang Theo, perasaannya terhadap sang ayah pun berubah. Freya menyadari perubahan pada putrinya, sedangkan Theo baru menyadari saat istrinya bercerita.

"How is your school, Pumpkin?" Freya membuka percakapan.

"All good," jawab Chloe singkat sambil mengunyah potongan tenderloin.

"How is your friends?" tanya Freya lagi, "kau tidak pernah menceritakan soal teman-temanmu pada kami."

"Yeah, berbeda dengan Kelsey yang selalu membicarakan tim cheerleader-nya tanpa henti." Theo terkekeh.

Ya, karena di sekolah, orang yang selalu bersamaku hanya Kelsey atau Dylan. Lagi pula, Kelsey adalah bintang sekolah, temannya banyak. "Mereka baik-baik saja." Apa yang diucapkan Chloe berbeda dengan hatinya.

"Kau boleh memperkenalkan mereka pada kami kapan-kapan, Pumpkin." Theo menambahkan.

"Salah satu dari mereka ... tidak masuk sekolah hari ini. Ayahnya baru saja meninggal, mungkin ia masih berduka," jawab Chloe jujur.

"How about the others?" tanya pria itu lagi.

Chloe mengedikkan bahu, membuat Theo dan Freya saling bertukar pandangan, bergeming sesaat.

"Dad melihat riwayat kartu kreditmu—" Ucapan Theo terhenti ketika Freya tiba-tiba menyikut lengannya. Wanita itu memberikan kode lewat kedua netranya.

"Biar aku saja," bisik Freya.

"Ada apa dengan kartu kreditku?" tanya Chloe cuek, masih sibuk dengan garpu dan pisau di kedua tangannya.

"Jadi ... Mom mendapatkan telepon dari Principal Graham ...."

Ucapan ibunya membuat Chloe bergeming. Gadis itu berhenti memotong daging tenderloin di depannya.

"Beliau mengatakan bahwa Chloe Wilder membolos selama empat hari minggu lalu. Selama itu, kau juga banyak melakukan transaksi kartu kredit di ... Kota Portland?" Freya menyelesaikan ucapannya.

Chloe meneguk saliva. Gadis itu kembali memotong daging secara perlahan, berpura-pura tidak mendengar perkataan ibunya. Ia benar-benar lupa bahwa absen di sekolah dan riwayat kartu kredit tidak bisa dimanipulasi, meskipun Kelsey sudah bersedia menutupi hal itu dari kedua orang tuanya.

"Apa terjadi sesuatu, sehingga kau memutuskan untuk membolos dan memakai uang hingga ribuan dolar di Portland?" tanya Theo.

"Chloe, look at us," lirih Freya saat Chloe tak kunjung menjawab.

Chloe menurut, ia mendongak ke arah ayah dan ibunya.

"We're your parents. Kau bisa bercerita apa pun pada kami," lirih Theo.

Gadis berambut merah itu memutar bola matanya kesal. Apa yang harus ia ceritakan pada ayahnya yang tidak pernah ada di rumah? Mengapa Theo harus bersusah payah berperan menjadi ayah yang baik sekarang? Padahal, sebelumnya pria itu tidak pernah peduli pada keadaan Chloe.

"Kau baru saja memutar bola matamu di depan kedua orang tuamu?" Nada suara Theo sedikit meninggi.

"Theo! We talked about this!" tegur Freya.

"Dari mana kau mendapat perilaku tidak sopanmu? Apa semua itu kau dapatkan dari teman-temanmu yang hobi membolos? Seperti Dylan Grayson yang juga membolos bersamamu?" Theo tidak menghiraukan peringatan istrinya.

"Kita berjanji untuk bicara baik-baik dan tidak menghakimi!" ujar Freya.

"Kau lihat perilaku putrimu? Itu yang terjadi padanya jika kita terlalu lembut padanya—"

Chloe meletakkan garpu dan pisaunya di atas piring dengan kasar. "Memangnya kenapa jika aku membolos?"

Pasutri Wilder menghentikan perdebatan mereka. Atensi mereka kembali pada putri semata wayangnya.

"Do you guys really care about me?" tanya Chloe dingin.

"Of course we care about you!" tegas Freya.

Chloe tertawa remeh. "So, ask Dad. Di mana ia ketika aku mengalami kecelakaan setahun yang lalu?"

"Ada pekerjaan penting di New York yang tak bisa ditinggal!" seru Theo.

"Aku koma selama empat hari dan dirawat inap selama seminggu. Apa Dad tidak punya waktu sehari saja untuk menjengukku? Kita punya jet pribadi! Moorevale bisa ditempuh oleh jet hanya dalam waktu kurang dari dua jam!" bentak Chloe.

"I did that for—"

"For what? Money?" Chloe bersandar di kursi makan sambil melipat kedua tangannya. "Untuk apa semua uang itu? Oh, tunggu! Jangan katakan bahwa semua uang itu untukku, karena itu semua hanya kebohongan belaka!"

"Chloe Wilder!" bentak Theo.

Keheningan meliputi keluarga Wilder. Beberapa pelayan dan koki yang berdiri tidak jauh dari meja makan saling melirik, tidak tahu harus bagaimana menyikapi keadaan yang canggung ini.

"Who are you?" lirih Chloe, pada akhirnya memecah keheningan. Gadis itu melirik Theo tajam. "Aku tumbuh tanpa kau, Dad. Selama ini, kukira aku sudah mengenal ayahku dengan baik, tapi ternyata tidak. Jangan berlagak kau yang paling tahu tentangku!"

"Chloe ...," sanggah Freya.

"Kau menuhankan uang! You never care about anything but money!" bentak Chloe pada Theo. Ia menjeda perkataannya sambil mengatur napas.

"Saat dewasa kelak kau akan mengerti betapa berharganya uang!" elak Theo.

"Many people will get hurt because of you, Dad! Your ambitions!"

"What do you mean?" tanya Theo.

Chloe menggeleng perlahan. "I'm not that stupid, Dad. I know what you did, semua perbuatan kotormu."

"Chloe, what are you talking about?" tanya Freya.

Theo mengernyit, tidak paham apa yang dikatakan putrinya. Namun, ia tidak bisa membiarkan harga dirinya jatuh begitu saja. Ia harus bertindak tegas atas kelancangan putrinya.

"You're grounded for a week! Tidak ada waktu untuk keluyuran sepulang sekolah!" putusnya.

"Terserah. Lagi pula, tidak ada bedanya dengan hari-hari lain, 'kan? Dad memang selalu mengekangku, melarangku pergi ke segala tempat." ucap Chloe dingin.

"Dad akan memblokir kartu kredit dan debitmu! Tidak ada shopping bersama Kelsey!" ancam Theo lagi.

"Aku tidak peduli." Gadis itu menggigit potongan tenderloin terakhirnya, bersikap sedikit cuek karena ia sempat menarik cadangan uang cash di Portland. "Are you guys done?"

"Chloe!" tegur Freya.

Chloe tidak menggubris, ia beranjak dari kursi makannya, kemudian berjalan cepat menaiki tangga menuju kamarnya.

"Young Lady! Kami belum selesai berbicara!" teriak Theo.

Terdengar suara pintu kamar yang terbanting, membuat pasutri Wilder sadar bahwa apa yang mereka katakan pada putrinya adalah sia-sia.

Chloe bersandar di pintu kamar, kedua tangannya terkepal kuat. Gadis itu berusaha menormalkan napasnya yang memburu dan jantungnya yang berdetak cepat. Di satu titik, ia tidak kuasa menahan emosinya, tangisnya pecah, bibirnya bergetar hebat. Chloe duduk bersandar di daun pintu sambil menekuk kakinya, kemudian mengubur wajahnya dengan kedua tangan.

"I hate you ... I hate you all," lirihnya sambil terisak.

Tiba-tiba, ia merasakan ketukan halus di pintunya. "Chloe?" lirih Freya.

"Leave me alone!" bentak gadis itu.

Freya tidak menjawab. Wanita itu bergeming di depan pintu kamar putrinya selama beberapa saat sebelum memutuskan untuk pergi. Pada akhirnya, Chloe dapat mendengar langkah kaki ibunya menjauh dari sana.

Selama beberapa menit ke depan, hanya terdengar isakan halus di kamar gadis itu. Setelah lelah menangis, ia merogoh benda pipih di dalam saku piyamanya.

"Perang nuklir itu, apa yang telah Dad lakukan, segalanya belum selesai." Chloe bergumam.

Chloe memutuskan untuk menghubungi Dylan. Ibu jarinya mengetuk layar beberapa kali sebelum ia melekatkan ponselnya di telinga.

"Hi! I'm Dylan! Sayang sekali saat ini aku sedang tidak bisa dihubungi. Mungkin ponselku kehabisan baterai atau memang tidak ingin dihubungi. Haha, just kidding. Tinggalkan pesan suaramu setelah tanda 'BIP'!" Terdengar rekaman suara Dylan dari dalam speaker, menandakan ponsel pemuda itu sedang dalam keadaan tidak aktif.

"Apa yang harus kulakukan sekarang?" gumamnya sambil memeluk kedua tungkainya.

Pada akhirnya, gadis itu memutuskan untuk mengirim pesan suara untuk Dylan. Ia mengetuk layar ponselnya beberapa kali. Saat benda pipih itu dalam keadaan standby, Chloe mendekatkan benda itu ke mulutnya dan mulai berbicara. Entah sepanjang apa pesan yang akan diterima Dylan, Chloe tidak peduli. Setelah pesan suara itu dikirim, Chloe mengunci ponselnya, kemudian kembali memeluk kaki sambil mengembuskan napas berat.

Rasanya sunguh menyebalkan, gadis itu benci sendirian. Tiba-tiba saja, memori indah sepanjang perjalanan menuju Kota Portland terlintas di kepalanya, canda dan tawa yang tidak mungkin terulang kembali. Rasa sesak di dadanya kian menyiksa ketika ia mendengar suara Dylan dan Quentin di benaknya.

"Kita akan tetap hidup setelah melewati hari ini, bahkan seterusnya. Kita akan pergi ke homecoming dan lulus dari Moorevale High bersama-sama!"

"Ketika mengenalmu lebih jauh, aku mulai menganggapmu sebagai adikku. Dan aku akan sangat membenci diriku sendiri jika sesuatu yang buruk terjadi padamu."

Chloe tak kuasa menahan gejolak emosinya. Gadis berambut merah itu mengubur wajah, mencoba meredam tangis yang kembali pecah.

"I need you guys ...."

Dukung Avenir: Redemption dengan menekan bintang di pojok kiri bawah 🌟

Poor Chloe😔

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro