1-5 | What Should I Do?

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

"Apa yang harus kulakukan untuk mencegah semua ini terjadi?"  Chloe Wilder

Chloe Wilder membuka kedua netra dan mengedarkan pandangan ke sekitar. Ia melihat langit Kota Moorevale berwarna oranye keruh, bercampur dengan debu yang berterbangan di udara. Suhu tinggi sungguh membuatnya tak nyaman. Gadis itu sedikit merasakan sakit ketika kepalanya bergesekan dengan permukaan yang keras dan berpasir. Dengan sisa tenaga yang ada, ia berusaha untuk bangun dan duduk tegak.

Bencana nuklir telah terjadi.

Gadis itu memicingkan mata ketika melihat gedung perkotaan yang tak lagi utuh. Chloe bergidik ngeri ketika menyadari bahwa yang berserakan di sekitarnya tidak hanya puing-puing bangunan dan kendaraan saja, melainkan juga tubuh manusia.

Chloe terbatuk-batuk, sekuat tenaga untuk berdiri dengan kedua tungkai yang melemah akibat rasa takutnya. Mendadak lambungnya bergejolak ketika melihat kondisi mayat di sekitarnya. Tubuh mereka dipenuhi oleh luka bakar radiasi, memerah dan melepuh. Gadis itu menutup mulutnya, berusaha untuk tidak memuntahkan sesisi perutnya.

Gadis dengan iris hazel itu melangkah, pandangannya menyisir ke sekitar, berharap tidak menemukan jasad yang dikenalinya dan memperparah mimpi buruk di siang bolongnya.

"Jangan Kelsey ... jangan Mom ... kumohon ...," lirihnya.

Tiba-tiba, kedua tungkai gadis itu membeku. Kedua netranya membulat sempurna ketika melihat sesosok mayat yang berbaring di hadapannya. Kulit cantiknya memerah, terdapat luka bakar di beberapa bagian pipi dan lengan. Pandangannya menatap kosong ke depan, menandakan tak ada lagi kehidupan di dalam dirinya.

Chloe mengerjap. Kristal bening mengalir di pipinya, bibirnya bergetar, berusaha menahan tangis dan nyeri di dadanya. Perlahan, Chloe bersimpuh dan membawa jasad itu ke dalam pelukan. Chloe terisak, mengubur wajahnya di bahu gadis itu.

"Kelsey ... no, no, no ...," ucapnya parau. Figur saudari yang amat disayanginya tidak merespons. Gadis itu berharap semua yang dilihatnya hanya bualan belaka.

Chloe mendongak ketika mendengar pergerakan. Gadis itu mengedarkan pandangan dan melihat bayangan seseorang di kejauhan. Ia memicingkan mata, berusaha untuk melihat siapa yang berdiri di balik debu dan radiasi yang memenuhi udara sekitar.

"Q?"

Pemuda keturunan Jepang itu berjalan ke arahnya, sedikit hati-hati dengan menghindari puing-puing bangunan dan jasad manusia di sekitar. Kedua tangan gadis itu bergetar. Ia meremas blouse yang dikenakan Kelsey. Di tengah keputusasaan, rupanya ada setitik harapan yang mengembalikan senyumnya.

"Kau ... hidup ...," lirih Chloe.

Ketika jarak mereka hanya tinggal sekitar lima meter, Quentin berhenti berjalan. Pemuda itu mengamati kedua lengannya yang perlahan memerah dan melepuh. Chloe menatap horor luka bakar yang lambat laun memenuhi kulit pucat pemuda itu. Tubuh pemuda itu limbung, Chloe membaringkan tubuh Kelsey dengan hati-hati, kemudian beranjak dan berlari menghampiri Quentin.

Chloe menangkap Quentin tepat ketika pemuda itu terjatuh. Gadis itu membaringkan Quentin di tanah akibat tidak sanggup menahan bobot tubuh pemuda itu. Terdengar cicitan halus dari hidung dan mulutnya ketika Quentin berjuang untuk tetap sadar, terlihat jelas bahwa pemuda itu kesulitan untuk bernapas akibat menipisnya oksigen di sekitar. Pemuda itu terbatuk-batuk, darah segar keluar dari mulutnya.

"Hey hey hey, Brother, stay with me. You will be okay, just hang on," bisik Chloe.

Quentin menautkan jarinya dengan gadis itu erat. Chloe dapat merasakan tangan kasar itu bergetar hebat. Quentin membuka mulutnya, berjuang untuk mengeluarkan beberapa patah kata.

"You ... can ... prevent ... this ...," bisik Quentin, nyaris tak terdengar.

"So tell me! Apa yang harus kulakukan untuk mencegah semua ini terjadi?" tanya Chloe, suaranya meninggi.

Tautan jari mereka melonggar, lengan Quentin terjatuh ke tanah. Kini, tiada lagi embusan napas yang tercekat, pandangan pemuda itu kosong. Untuk kedua kali, Chloe kehilangan figur saudara yang dicintainya. Darahnya mendidih, gadis itu memekik untuk melampiaskan emosi. Tidak ada yang merespons, hanya terdengar samar-samar gaung dari teriakannya.

Amarahnya kini berganti menjadi luka yang mendalam. Chloe mengubur wajahnya di dada pemuda itu, membiarkan tubuhnya bergetar hebat dan air bening membasahi hoodie yang dikenakan Quentin.

Chloe membuka kedua netranya. Gadis itu menegakkan tubuh, napasnya terasa sesak, jantungnya berdetak semakin cepat. Pandangannya mengedar, sedikit tenang ketika menyadari bahwa semua yang dilihatnya hanyalah bunga tidur. Waktu menunjukkan pukul dua dini hari dan Chloe sedang duduk di ranjangnya yang empuk.

Gadis itu mengerjap, kristal bening mengaliri pipinya. Chloe berusaha mengatur napasnya menjadi normal kembali. Ia menekuk lutut, kemudian mengubur wajah di atasnya.

"Apa yang harus kulakukan?" gumamnya sambil terisak.

*****

Mercedez-Benz putih itu melesat dengan kecepatan rata-rata, kemudian berhenti tepat di kediaman keluarga Grayson. Waktu menunjukkan pukul tiga sore, tepat satu jam setelah kelas selesai. Dylan Grayson membuka pintu penumpang belakang, kemudian keluar dari kendaraan.

"Terima kasih untuk hiburannya, Kawan. Milkshake di Stop Burger memang yang terbaik!" Dylan sedikit membungkukkan tubuh untuk melihat Sam dan Abby di bangku depan melalui jendela mobil.

"Anytime, Buddy. Kami paham perang dingin dengan ibu sendiri adalah hal yang sangat menyebalkan!" respons Sam.

Abby mendesah pelan di bangku pengemudi. "Sekarang aku malah rindu bertengkar dengan Mom."

"Aaaw, Babe ...." Sam menekuk wajah. Pemuda berkulit eksotis itu mengelus lembut pucuk kepala Abby, mencoba menghibur sang kekasih yang kehilangan ibunya akibat ledakan Vortex Laboratory.

"Kalau begitu ... aku akan masuk ke rumah." Dylan menginterupsi mereka. "Terima kasih sudah mengantarku, Abby."

"Tidak masalah." Abby membalas dengan senyum.

Setelah berpamitan, Dylan memutar tubuh dan melangkah menuju pintu pagar rumahnya.

"Hei, Dylan!" teriak Sam.

Dylan yang merasa terpanggil, berbalik badan dan menoleh ke arah Sam, mempersilakan pemuda itu untuk melanjutkan ucapannya.

"Bicaralah dengan ibumu!" seru Sam.

"I will!" balas Dylan.

Setelah mobil sedan milik Abby meninggalkan lokasi, Dylan membuka pintu rumah. Pemuda itu mengedarkan pandangan dan melihat presensi Nancy di meja makan. Wanita paruh baya itu sedang mengupas apel dengan pisau kecil sambil menonton tayangan televisi. Dylan membaca sekilas headline berita yang tertera.

[MALAM INI! Debat Calon Presiden Amerika Serikat 2020: Aldrich Caldwell Jr. vs Michael Everett]

Dylan meneguk saliva. Setelah mengumpulkan seluruh keberanian, pemuda berambut cokelat itu melangkah menuju dapur, mengambil peeler dari dalam laci dan duduk di hadapan sang ibu.

"Biar kubantu," ucapnya sambil mengambil salah satu apel di atas meja, kemudian mulai mengupas kulitnya.

"Jangan kupas terlalu banyak, simpan sebagian untuk besok," jawab Nancy singkat.

Dylan mengangguk. Pemuda itu mencuri pandang ke arah Nancy. Wanita itu tidak membalas tatapannya sama sekali.

"Dari mana Mom mendapat apel sebanyak ini? Kukira kita sedang berhemat?" tanya Dylan, membuka percakapan. Memang, di atas meja terdapat mangkuk besar berisi banyak sekali buah berwarna merah itu.

"Jangan khawatir, ini semua sedang diskon."

Keheningan meliputi ibu dan anak itu. Dylan tidak tahu lagi bagaimana memulai percakapan dengan Nancy. Sepertinya sudah tiba saatnya untuk fokus pada topik utama.

"I'm sorry. Aku menyesali semuanya," lirih Dylan. Pemuda itu meletakkan apel dan peeler di atas meja.

Nancy berhenti mengupas apel, melirik putra semata wayangnya.

"Aku tidak bermaksud membohongimu. Waktu itu ... aku pergi ke Portland bersama dua temanku untuk berlibur di akhir pekan. Well, salah satunya berusia jauh lebih tua dariku, jadi Mom tidak perlu khawatir, ia menjagaku dengan baik sepanjang perjalanan. Ketika kami sampai di lokasi, kami tidak menyangka bahwa ayahnya temanku ... sudah meninggal." Dylan bercerita panjang lebar.

"Oh my God ... I'm sorry," lirih Nancy, menutup mulutnya dengan satu tangan. "Apakah temanmu tidak mengetahui hal itu sebelumnya?"

"Tidak. Pria itu bilang pada temanku bahwa dirinya akan merantau untuk bekerja, tetapi tidak pernah ada kabar darinya, maka karena itu kami mengunjunginya."

"Lalu ... mengapa kau bolos selama seminggu?"

Dylan terdiam sejenak. "Setelah mengetahui kematian sang ayah dan pergi mengunjungi makamnya, temanku terlihat sangat depresi, jadi aku menemaninya selama beberapa hari dan membolos sekolah. I can't help it. Aku ... merasa bahwa dia adalah diriku ketika kehilangan Dad." Ia terpaksa untuk sedikit berbohong, meskipun pemuda itu juga menceritakan hal yang sebenarnya. Tidak mungkin, 'kan, jika ia bercerita bahwa Prof. Ryouta terbunuh oleh Sean?

"Honey ...." Nancy meraih tangan Dylan, dielusnya permukaan kulit sang anak. "Lain kali, kau hanya perlu menceritakannya padaku, 'kan? Kau tahu betapa khawatirnya aku?"

Dylan mengembuskan napas berat. "Yeah, ini salahku."

Nancy mengulas senyum tipis. Wanita paruh baya itu menatap lekat netra sang anak.

"Kau ... seakan-akan menyimpan banyak rahasia dariku." Nancy mengeluarkan isi hatinya. "It's like ... I don't recognize my son anymore."

Seakan ribuan anak panah menghunjam jantungnya, Dylan merasakan nyeri di dada ketika sang ibu mencurahkan isi hatinya. Sejak terpapar Partikel 201X, pemuda itu banyak merahasiakan kepergiannya ke dunia portal. Ia juga tidak banyak menceritakan kesehariannya pada Nancy karena tidak banyak pula yang dapat ia bagi.

Puncaknya terjadi ketika Dylan merahasiakan tujuan utamanya pergi ke Portland. Wanita itu merasa terkhianati ketika mengetahui bahwa perjalanan itu bukanlah trip resmi dari sekolah.

"Kau benar-benar mirip dengannya," lirih Nancy, "Sean juga banyak menyimpan rahasia di belakangku. Aku tidak tahu eksperimen apa yang dilakukannya beberapa tahun ini. Yang kutahu, ia selalu lembur, ketika aku bertanya, ia hanya bilang bahwa penemuannya akan membawa pengaruh besar bagi dunia sains dan suatu saat ia akan memberitahuku segalanya. Namun, kematian menjemputnya terlalu cepat. Aku ... tidak tahu apa-apa tentang suamiku sendiri."

Dylan menggigit bibir dan menunduk, tak berani menatap langsung kedua netra sang ibu.

"Aku ... tidak bermaksud untuk menjadi seperti Dad, merahasiakan segalanya padamu," lirih Dylan penuh penyesalan. "Setelah Dad tiada, aku lebih nyaman untuk tidak banyak bicara. Lagi pula ... kehidupan SMA-ku agak monoton, tak banyak yang bisa kuceritakan. Jika itu yang Mom inginkan, aku akan mencoba untuk kembali membuka diri padamu."

Nancy menggeleng. "Tidak perlu memaksakan diri, Mom hanya tidak ingin kau berbohong."

Perlahan, Dylan melirik sang ibu yang duduk di hadapannya, kemudian mengangguk.

"Just promise me you will never keep secrets from me again, okay?" tegas Nancy.

Dylan mengangguk perlahan. "Jadi ... Mom sudah memaafkanku?"

Wanita berusia pertengahan empat puluhan itu mengukir senyum. "Mom sudah lama memaafkanmu."

Perlahan, kurva lengkung terulas di wajah tampan pemuda itu. Dylan beranjak, ia melangkah menuju Nancy dan memeluk wanita itu erat. Nancy balas melingkarkan lengannya di tubuh sang anak.

"Terima kasih sudah memaafkanku," bisik Dylan.

"Terima kasih juga sudah berjanji untuk selalu berkata jujur." Nancy melepas pelukan putra semata wayangnya. "Apa yang kau inginkan untuk makan malam?"

Dylan mengedikkan bahu. "Kita sedang berhemat, jadi ... apa saja yang ada di kulkas tidak masalah."

"Kalau begitu Mom akan membuat apple pie untuk camilan. How about it? Banyak tugas yang harus kau kerjakan untuk mengejar ketinggalan, 'kan?"

Dylan tersenyum lebar, memperlihatkan deretan gigi-giginya yang rapi dan mengangguk antusias. "Yeah, I love apple pie!"

Dukung Avenir: Redemption dengan menekan bintang di pojok kiri bawah 🌟

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro