2-11 | The Quest [Part 2]

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

"Moorevale tidak aman untuk beberapa puluh tahun ke depan, kita harus mencari tempat tinggal baru di negara bagian lain."

Chloe Wilder berbaring santai di ranjang bertingkat bagian atas sambil bermain game puzzle di ponselnya. Matahari di luar gedung semakin meninggi. Dengan menyibukkan diri di dalam kamar, waktu terasa cepat sekali berlalu. Gadis itu baru melepas pandangannya dari ponsel setelah mendengar seseorang mengetuk pintu kamar. Diletakkannya benda pipih itu di atas ranjang, kemudian ia menuruni tangga yang terbuat dari besi dan berjalan menuju pintu untuk membukanya.

Ketika pintu terbuka, pemuda berambut cokelat tua dengan warna iris yang sama berdiri di sana, melemparkan senyum untuknya.

"Oh, hai!" Chloe mundur satu langkah dan membuka pintu lebih lebar lagi, mempersilakan Dylan untuk masuk. "Come in!"

Dylan masuk ke dalam ruangan dan mengedarkan pandangan ke sekitar. Kamar Chloe tidak berbeda jauh dengan miliknya, tetapi barang-barangnya lebih tertata rapi dengan aroma vanilla memenuhi udara sekitar.

"Kau baru menetap sekitar tiga hari dan aroma shampoo-mu sudah memenuhi kamar ini?" tanyanya.

"Oh, itu karena Hannah jarang tidur di kamar ini," jawab Chloe. Ia kembali memanjat untuk duduk di ranjang atas.

"Your roommate?" Dylan turut memanjat tangga besi.

Chloe mengangguk. "Hannah sibuk bekerja sebagai perawat, terkadang lembur dan tidak pulang. Jika ia tidur di klinik, aku sendirian di sini."

Dylan duduk bersila di atas ranjang, tepat di hadapan Chloe. "Akhir-akhir ini Mom juga sibuk dengan pekerjaan barunya. Aku ingin mengunjunginya siang ini setelah pekerjaannya selesai."

Obrolan kedua remaja itu terhenti ketika mendengar daun pintu yang bergesekan dengan lantai. Di sana, hadir seorang wanita berusia sekitar dua puluh lima tahun dengan rambut cokelat panjang dan pakaian perawat berwarna hijau kebiruan.

"Oh, sorry to interrupt," ujarnya cepat sambil memijat pelipisnya, kemudian menoleh ke arah Chloe. "I forgot to bring my phone."

"It's okay." Chloe turun dari ranjang sambil menoleh ke kanan kirinya. "Di mana ponselmu?"

"Mungkin aku meninggalkannya di atas meja? Terakhir kali aku masih mengisi baterainya," ujar wanita itu.

Chloe berjalan menuju meja di sudut ruangan dan mencabut sebuah iPhone berwarna putih dari charger, kemudian menyerahkannya pada wanita itu.

"Thanks, Chloe." Wanita itu tersenyum, kemudian melirik Dylan di atas ranjang.

Chloe yang paham akan situasi ini langsung berucap, "Hannah, ini Dylan. Dan Dylan ...." Kemudian melirik pemuda yang sedang duduk di atas ranjang. "Ini Hannah, teman sekamarku."

"Nice to meet you, Dylan, tapi maaf, aku sedang terburu-buru," ujar Hannah cepat.

Dylan mengangguk cepat dalam kecanggungan. "It's okay, Hannah. Kita bisa mengobrol kapan-kapan."

"Aku harus kembali ke klinik," ucap Hannah pada Chloe, "kau ingin aku membawakanmu camilan untuk nanti malam?"

Dengan cepat Chloe menggeleng. "Oh, no, no, kau tidak perlu repot-repot."

"Jangan khawatir, aku tidak merasa direpotkan." Hannah melempar senyum untuk yang terakhir kalinya pada Chloe, kemudian berbisik, "Your boyfriend is totally cute!"

"Hannah!" cicit Chloe dengan semburat merah di pipinya.

Mendengarnya, wanita berambut cokelat itu hanya terkekeh, kemudian dengan cepat menutup pintu kembali. Terdengar langkah kaki yang kian memudar dari arah luar. Chloe kembali merangkak naik ke ranjang.

"Kalian berdua terlihat akrab." Dylan membuka percapakan.

Chloe tersenyum sambil mendaratkan bokongnya di atas ranjang dan duduk berhadapan dengan Dylan. "Yeah, aku tidak menyangka akan cepat akrab dengannya. Kemarin kebetulan Hannah pulang lebih cepat, dan pada akhirnya kami begadang bersama, saling bercerita tentang segala hal! Mengingat aku sulit akrab dengan seseorang ... kurasa tidur di kamar yang sama dengan Hannah adalah suatu keberuntungan."

"Hannah seperti figur saudari yang baik."

"I know, right?"

"Ngomong-ngomong ... kau sudah mencari cara bagaimana mencari Quentin?"

"Aku tidak punya ide lain selain mengirimkannya e-mail." Chloe mengambil ponselnya dan membuka aplikasi Gmail. "Dengan sinyal WiFi seadanya, aku berhasil mengirimkan pesan tadi malam. Mari berharap ia akan membacanya."

Dylan mengernyit. "Tunggu, di sini ada WiFi?"

Chloe mengangguk. "Yeah, Hannah yang memberitahuku."

"Mengapa tidak ada yang memberitahuku soal ini? Kalau aku tahu di sini ada sinyal WiFi, aku bisa mencari keberadaan semua orang!" keluh Dylan.

"How?"

"Instagram?"

Chloe mendesah pelan. "Aku sudah melakukan itu, Dylan, tapi sepertinya semua orang yang kita kenal tidak lagi mengakses Instagram-nya. Aku bahkan mengunjungi akun Kelsey dan unggahan terakhirnya adalah tahun 2022! Padahal, gadis itu selalu mengunggah segala hal di Instastory-nya hingga lima post dalam sehari!"

"Kau tidak akan pernah tahu bagaimana keadaan mereka jika kau tidak mengirimkan pesan," ujar Dylan, lalu mengambil benda pipih dari dalam saku celananya.

Sekitar satu menit ke depan, Chloe membantu Dylan menghubungkan ponselnya dengan internet. Senyum di wajah pemuda itu mengembang, rasanya seperti keluar dari kehidupan primitifnya yang membosankan dan lahir kembali sebagai manusia modern yang dapat melihat dunia lebih luas lagi.

"What are you doing?" tanya Chloe.

"Mengirim direct message untuk Abby dan Sam," jawab Dylan. Namun sebelum itu, ia melihat-lihat profil kedua sahabatnya terlebih dahulu.

"Kau menemukan sesuatu?" tanya gadis itu.

Pemuda itu masih menggulir layar ponsel. Kedua netranya berhenti di satu unggahan yang begitu menarik perhatian. Ia memperbesar tampilan dan melihat Abby berfoto di depan Moorevale High School dengan toga berwarna navy, sekitar dua tahun yang lalu. Senyumnya secerah mentari kala itu.

"Kau benar, Abby tidak mengunggah apa pun sejak tahun 2022," ucap Dylan kecewa.

Berbeda dengan Sam yang entah mengapa tidak mengunggah foto kelulusannya. Feeds Instagram-nya dipenuhi oleh segala sesuatu yang berhubungan dengan basket dan buku. Suasana hati Dylan sempat memburuk, tetapi senyumnya kembali setelah mengecek highlight sahabatnya itu.

"Sam mengunggah foto sebuah buku, secangkir kopi, seprai putih ... sekitar tiga minggu yang lalu!" seru Dylan.

"He survived!" seru Chloe tidak kalah antusias.

Tanpa keraguan, Dylan mengirim direct message untuk Sam, kemudian mendongak ke arah Chloe. "Selesai. Sekarang, kita hanya tinggal menunggu balasan."

*****

Jam dua siang, setelah mengunjungi Chloe di kamarnya dan makan siang bersama, Dylan pamit lalu bergegas mengunjungi sang ibu. Ia keluar dari dalam lift dan berjalan menelusuri koridor lantai dua yang dindingnya didominasi oleh cat berwarna putih bersih, begitu pula lantainya yang terbuat dari keramik dengan warna yang sama. Di sana, banyak orang-orang dewasa berpakaian rapi berlalu-lalang. Pemuda itu menoleh ke kanan dan kiri, membaca setiap papan tanda yang tertera di pintu, hingga menemukan ruangan yang dicarinya.

Pemuda berambut cokelat itu mengintip melalui kaca di daun pintu, melihat presensi sang ibu yang berdiri di depan ruangan sambil menunjuk papan tulis, menjelaskan sesuatu dengan antusiasme yang besar. Di hadapannya, banyak anak-anak usia sekolah dasar yang duduk bersila di lantai matras, menaruh atensi pada wanita itu. Tanpa sengaja, Nancy melirik ke arah pintu, pandangannya bertemu dengan Dylan. Wanita paruh baya itu tersenyum, memberi isyarat untuk menunggu sebentar lagi.

Beberapa menit berlalu, pada akhirnya pintu ruangan terbuka. Anak-anak dari berbagai usia dan etnik berhamburan dari dalam sana, saling mengobrol dan berbagi canda tawa sambil menggendong ranselnya. Beberapa dari mereka berlari kecil untuk saling mengejar, bermain balap-balapan untuk menentukan siapa jagoan yang lebih dulu sampai di kamar masing-masing. Melihatnya, senyuman terulas di wajah Dylan. Setelah ruang kelas kosong, pemuda itu masuk untuk menemui sang ibu.

"Mereka terlihat sangat ceria," ucap Dylan. "Aku tidak pernah tahu Mom memiliki sedikit bakat untuk menjadi guru."

Wanita itu tersenyum. "Mengajar murid-murid sekolah dasar bukan hal yang sulit. Kau hanya perlu bersabar dan bersikap lembut pada mereka."

"Tapi berbeda sekali dengan pekerjaanmu dulu sebagai pegawai bank." Dylan mondar mandir, membalas ucapan Nancy sambil mengamati gambar-gambar yang ditempel di dinding; berbagai macam makhluk hidup seperti anjing, kucing, dan manusia, gambar pemandangan, serta bangunan kecil yang terlihat seperti rumah. Mayoritas terbuat dari pensil warna dan krayon. Dylan berani bertaruh itu semua adalah karya murid-murid Nancy.

"Mau bagaimana lagi? Guru sebelumnya telah memiliki uang yang cukup dan pergi meninggalkan fasilitas ini. Mereka memintaku untuk menggantikannya," ucap Nancy sambil merapikan barang-barangnya di atas meja guru. "Lagi pula, aku tidak perlu mengajar layaknya guru di sekolah formal. Semua ini bertujuan agar anak-anak yang menetap di fasilitas ini memiliki kegiatan yang positif. Maksudku, belajar sambil bermain akan terasa lebih menyenangkan, bukan?"

Dylan menoleh ke arah sang ibu. "Tunggu. Kita bisa pergi meninggalkan fasilitas ini?"

"Kita tidak bisa tinggal di sini selamanya dan menjadi beban pemerintah, 'kan?" jawab Nancy sambil menggendong handbag-nya, kemudian berjalan menghampiri sang anak. "Kalau kau mau, kita bisa pergi sekarang, tapi apa kita sudah memiliki rumah baru untuk ditinggali? Apa kita sudah memiliki tabungan yang cukup untuk bertahan hidup? Moorevale tidak aman untuk beberapa puluh tahun ke depan, kita harus mencari tempat tinggal baru di negara bagian lain."

"Kau benar, Mom, kita tidak bisa menunggu hingga radiasi nuklir di Moorevale membaik." Dylan bergeming sesaat. "Bagaimana jika aku mencari pekerjaan juga?"

Nancy terkekeh. "Mereka tidak mempekerjakan remaja di bawah umur."

"Aku menghilang tahun 2020 dan kembali tahun 2024, tidak ada yang tahu bahwa aku terjebak di dunia portal, 'kan? Yang mereka tahu, usiaku kini 22 tahun!"

"Oh, no. Mom tidak bisa membiarkanku melakukan itu."

"Oh, come on!" rengek Dylan. "Moorevale High School sudah tamat. Di saat-saat darurat seperti ini aku tidak memiliki kewajiban apa pun sebagai pelajar. Setidaknya, biarkan aku membantumu mencari uang."

Nancy mendesah pelan, kemudian tersenyum sambil mengelus pucuk kepala sang anak. "Well, kalau kau sudah bersikeras, aku tidak bisa memaksa."

Dylan merengut, tetapi mengangguk pada akhirnya. "Mengapa kau tidak pernah berhenti memperlakukanku seperti anak kecil?"

"Because I lost you twice, and I won't let that happen again."

Dylan menatap lekat netra cokelat tua sang ibu. Perlahan, senyumnya mengembang. Ya, wajar saja sang ibu bersikap sangat protektif padanya. Karena hanya dirinyalah yang Nancy punya sekarang.

Atensinya kembali pada gambar-gambar yang ditempel di dinding. Ada satu gambar yang menarik perhatiannya; sebuah keluarga kecil berbentuk stickman yang terdiri dari ibu, ayah, dan dua orang anak laki-laki. Uniknya, sang seniman menggambar cincin besar berwarna kuning keemasan di atas kepala pria dengan janggut di wajahnya, serta sepasang sayap besar yang terbuat dari bulu-bulu yang terlihat halus.

"Mom, siapa yang mengambar ini?" tanya pemuda itu.

Nancy mengikuti arah pandangan Dylan. Perlahan, senyumnya memudar. "Ah, ini gambar salah satu muridku yang kehilangan ayahnya akibat serangan nuklir itu."

Dylan bergeming, tidak bisa melepas pandangannya dari gambar tersebut. Sosok pria malaikat itu mengingatkannya pada seseorang. Suasana hatinya mendadak mendung, wajah mendiang sang ayah lagi-lagi tergambar jelas di kepalanya.

"Semua orang mengalami masa-masa sulit ketika nuklir itu dijatuhkan. Bagi beberapa orang, dua tahun tidaklah cukup untuk menyembuhkan diri dari luka," lirih Nancy.

"I know. Ini semua juga pasti berat untukmu," jawab Dylan. Dari nada bicaranya, ia tahu bahwa sang ibu merasakan kerinduan yang sama dengannya. Namun, dirinya tidak ingin terlihat lemah di hadapan Nancy. Pemuda itu tersenyum simpul, kemudian menoleh ke arah ibunya. "Apa lagi yang kita lakukan di sini? Let's go!"

Nancy mengangguk. Kemudian, ibu dan anak itu pergi meninggalkan ruang kelas. Namun, langkah mereka terhenti ketika melihat seorang anak laki-laki dengan kulit eksotis dan rambut ikal berdiri di koridor sejak tadi. Usianya sekitar tujuh tahun.

"Andrew?" tanya Nancy.

Anak laki-laki yang bernama Andrew itu mendongak. "Mrs. Grayson?"

"Where's your brother? Apa ia tidak menjemputmu hari ini?" tanya wanita itu lagi.

Bocah itu menggeleng. "I don't know. Sepertinya ia terlambat menjemputku."

"Di lantai mana kau tinggal dan berapa nomor kamarmu? Bagaimana jika kami yang mengantarmu pulang?" Nancy menawarkan bantuan.

Andrew tersenyum manis dan menggeleng cepat. "It's okay, Mrs. Grayson. Kakakku berpesan bahwa aku harus menunggu di sini."

Derap langkah kaki di ujung koridor mengalihkan atensi ketiganya. Binar cerah muncul dari kedua netra Andrew. Secepat kilat bocah itu berlari ke arah seorang pemuda yang sedang berjalan menghampirinya.

"Sam!" pekiknya.

"Hey, Kawan!" sapa pemuda dengan rambut dan warna kulit yang sama seperti Andrew. Ia merentangkan lebar-lebar tangannya, bersiap menyambut pelukan bocah berusia delapan tahun itu.

Mendengar nama itu, refleks Dylan menoleh. Kedua netranya membulat sempurna ketika melihat sosok yang begitu familier, tetapi dengan kondisi fisik yang lebih dewasa. Sambil memeluk Andrew, pemuda berjanggut dan berkumis tipis dengan piercing di kedua telinganya itu membalas pandangan Dylan.

"Sam?" Dylan terperangah, mulutnya terbuka lebar.

Sosok itu tidak menjawab, masih bergeming, sama terkejutnya seperti Dylan. Namun perlahan, ia melepas pelukan tubuh mungil itu, kemudian menyunggingkan senyum.

"Hey, Buddy. Long time no see."

Dukung Avenir: Redemption dengan menekan bintang di pojok kiri bawah 🌟

1 Agustus 2021

*****

New character unlocked:

Part ini puanjangggggg nyampe 2k words. Apa sih yang nggak buat readers Avenir🤗❤️

Waktu Chloe nabrak seseorang di part sebelumnya, banyak banget yang jawab Q, tapi sayangnya salah😅  Buat yang nebak Sam, selamat, jawaban kalian benar!

Sampai jumpa lagi minggu depan. Vote-nya jangan ketinggalan ya!

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro