2-15 | Terror [Part 2]

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

"So ... you saw a dozen of zombies?"

Chloe Wilder tidak kunjung tenang dan masih terbayang-bayang oleh penglihatannya. Dirinya mengira, sejak keluar dari dunia portal, ia tidak akan pernah lagi memimpikan sesuatu yang mengerikan. Namun, dugaannya salah.

Untuk menenangkan pikiran, ia mengajak Dylan berolahraga bersama penyintas lainnya di sebuah lahan terbuka dengan pepohonan yang tidak terlalu tinggi, tepatnya di luar fasilitas bertingkat yang mereka tempati sekarang. Pada awalnya, mereka berdua tidak pernah mau melakukan jogging di pagi hari dan langsung turun untuk sarapan. Namun, kali ini berbeda. Chloe berharap dengan mencurahkan segala tenaganya, ia akan kelelahan dan tidak lagi memikirkan penglihatan mengerikan itu.

Setelah setengah jam melakukan jogging, mereka berhenti. Keduanya duduk dan beristirahat di sebuah bangku taman. Chloe mengikat rambutnya menjadi buntut kuda. Anak-anak rambut dan dahinya dibanjiri keringat. Matahari masih merangkak menuju puncak, beberapa penyintas yang usianya kira-kira tiga puluh sampai empat puluh tahunan masih melakukan rutinitas lari pagi di sekitar sana. Beberapa tentara dengan pakaian rapi berjaga di berbagai area bangunan dan taman.

Meskipun tubuhnya sudah lelah, Chloe tidak kunjung tenang. Pada akhirnya, ia memutuskan untuk menceritakan kegundahannya pada Dylan. Sesuai saran dari Sam, Dylan juga berniat mengungkapkan rasa tidak sukanya terhadap Davis, serta memberitahu Chloe bahwa dirinya merasa tidak nyaman ketika gadis itu berbicara atau bahkan tertawa bersama tentara muda itu. Namun, ia menahan diri ketika mengetahui Chloe sedang dilanda rasa frustrasi akibat mimpi dan penglihatannya.

"So ...," respons Dylan setelah mendengar mimpi dan penglihatan Chloe. "You saw a dozen of zombies?"

"Korban bom nuklir." Chloe mengoreksi. Napasnya masih sedikit terengah-engah.

"Dari deskripsimu, kulit mereka rusak parah. Mereka memuntahkan darah, kemudian berlari ke arahmu, menganggap otakmu adalah camilan yang lezat. Ya, mereka zombie, Chloe." Dylan bersikeras. Pemuda itu menyugar poninya yang basah, kemudian menyeka keringat di dahinya.

"No! Mereka masih punya akal dan pikiran! Mereka masih bisa berbicara!" Chloe menghentikan ocehannya, kemudian mendesah pelan. "Nevermind, zombie atau korban nuklir, bukan itu yang kupermasalahkan."

"Lalu?" tanya Dylan sambil meneguk setengah botol air mineral yang dibawanya.

"Mereka mengatakan kata-kata yang sama, berulang kali hingga aku terbangun. 'Aku bisa memperbaiki ini. Seharusnya aku menyelamatkan mereka'. Lalu, siapa pria plontos yang kulihat tadi pagi? Aku tidak punya petunjuk apa-apa soal itu."

Dylan berhenti minum, lalu menutup botol air mineral di tangannya. Ia mendesah pelan, kemudian bersandar di bangku taman sambil melipat tangan di dada. "No idea. Sepertinya Partikel 201X berusaha berbicara padamu."

"Ya, kita tidak seharusnya berdiam diri di dunia portal selama empat tahun. Itu sebuah kesalahan yang fatal!"

"Well, kita tidak tahu akan terjebak selama itu, 'kan?"

"Dan inilah waktunya kita menebus kesalahan, memperbaiki segalanya yang telah terjadi." Kemudian Chloe menunjuk smart watch di lengan kiri Dylan. "Satu-satunya cara menyelamatkan mereka adalah dengan kembali ke tahun 2020 dan mencegah hal itu terjadi, seperti perkataan mendiang ayahmu."

Kening Dylan berkerut. "Whoa, whoa. Kau setuju dengan ide ayahku? Kau ingin membunuh ayahmu sendiri?"

"Aku tidak bilang kita harus membunuh ayahku."

"Kalau begitu, kau punya ide lain? Jika kita kembali ke tahun 2020 tanpa melakukan apa pun, segalanya tidak akan berubah."

"Yeah, kau benar ...." Chloe bergeming sesaat, kemudian mendesah pelan dan turut bersandar di bangku taman. "Kita tinggal pikirkan saja ide lain."

"Sekalipun kau punya ide, kita tidak dapat melaksanakannya jika smart watch ini tidak berfungsi."

"Ya, aku tahu, dan aku benar-benar putus asa sekarang." Chloe mendesah pelan. Gadis itu mengambil botol air mineral dari tangan Dylan, kemudian meneguk isinya hingga habis.

Setelahnya, kedua remaja itu bergeming, tenggelam dalam pikiran masing-masing. Di tengah keheningan yang panjang, Chloe mengeluarkan ponselnya dari saku celana, kemudian mengakses Google. "Aku butuh Quentin dan otaknya. Hingga saat ini, ia masih belum membalas pesanku, Pada akhirnya aku mencari namanya di Google."

"Ya, kau benar-benar terlihat putus asa." Pemuda itu terkekeh. "Kau menemukan petunjuk tentangnya?" tanya Dylan sambil mencondongkan tubuhnya ke arah Chloe agar dapat melihat layar ponsel lebih jelas.

"Aku menemukan akun Instagram Quentin di Google," ujar gadis itu sambil menggulir layar ponsel. "Namun, jika kau membukanya, akan muncul tulisan 'halaman ini tidak tersedia'."

"Quentin menonaktifkan akun Instagram-nya," ujar Dylan sambil mendesah pelan.

"Tepat sekali."

"Tipikal Quentin," gerutu Dylan.

"Itu belum semuanya." Chloe kembali menggulir layar benda pipih itu. "Berdasarkan pencarian itu, aku tidak sengaja menemukan akun Instagram lain." Kemudian gadis itu menyerahkan ponselnya pada Dylan.

Dylan meraih ponsel Chloe. Alisnya bertaut ketika melihat foto profil dan nama yang sama sekali tidak dikenalnya. Pengikutnya hanya sekitar tiga ratus orang. Pemuda itu menggulir layarnya hingga jauh ke bawah, melihat puluhan foto makanan dan gedung-gedung di Kota Moorevale yang diambil dengan filter yang cukup artistik.

"Kimberly Blake? Siapa dia?" tanya Dylan.

"Keep scrolling," ujar Chloe.

Dylan masih asyik melihat foto-foto yang diunggah seorang gadis bernama Kimberly Blake itu. Ketika tidak menemukan sesuatu yang berarti di feeds, pemuda itu kembali menggulir ke atas. Ketika mengecek highlight yang diberi nama emoji bergambar bunga sakura, kedua netra Dylan membola. Di sana, ia menemukan sekitar lima potret seorang gadis berambut cokelat panjang sedang berfoto selfie bersama pemuda berambut hitam dengan kulit pucat yang begitu familier.

"Quentin?" ucap Dylan tak percaya.

"This girl knows Quentin," ujar Chloe.

"His girlfriend?" tanya Dylan skeptis.

"Probably."

"Maksudku ... Quentin bisa jatuh cinta? Seriously?"

Mendengarnya, Chloe tertawa. "He's a human being. Tentu saja ia bisa jatuh cinta!"

Kening Dylan berkerut. Apakah benar pembunuh berdarah dingin sepertinya bisa jatuh cinta?

"Oke, kita kembali pada Kimberly Blake." Chloe kembali menggulir layar ponsel di tangan Dylan. "Aku mencoba mengirimkannya direct message tadi malam, tetapi sepertinya gadis ini tidak aktif lagi di Instagram. Unggahan terakhirnya adalah sebuah foto makanan di akhir tahun 2021. Instagram-nya pun tidak terlihat hidup. Tidak ada tagged picture, tidak banyak pula orang yang berkomentar di foto-fotonya. Dan sejauh ini, dapat kita simpulkan bahwa Quentin masih menetap di Amerika bersama Kimberly setidaknya sampai akhir tahun 2021."

"Kurasa Kimberly ini tipikal gadis introver atau semacamnya." Dylan mengembalikan benda pipih di tangannya pada Chloe. "Dan kau tidak bisa sembarang mengirimkan pesan pada seseorang yang tidak kau kenal!" omelnya.

"Lalu aku harus bagaimana?" respons Chloe dengan nada tinggi, "aku tidak tahu lagi bagaimana cara menemukan Quentin!"

Dylan tidak menjawab, ia menunduk dan mendesah pelan. Chloe ada benarnya. Mereka berdua sudah terlalu putus asa untuk menemukan Quentin, wajar saja jika Chloe sampai bertindak sembrono. Kedua remaja itu terjebak keheningan yang panjang, mereka bersandar pada kursi taman dengan pikiran yang melayang-layang entah ke mana.

Pada akhirnya, Dylan berkata, "Setelah sarapan, kita bisa bertanya pada bagian pencatatan sipil soal Kimberly Blake, seperti kita bertanya soal Kelsey dan Mom. Wanita dengan pakaian rapi dan rambut yang dicepol di balik meja counter, kau ingat?"

Chloe duduk tegak. Rona wajahnya berubah cerah. "Yeah, jika kita beruntung, mungkin gadis itu menetap di fasilitas ini juga."

*****

"Maaf, tidak ada seseorang dengan marga Blake di sini, termasuk Kimberly Blake."

Jawaban dari wanita dengan blazers biru di balik meja counter membuat Dylan dan Chloe kecewa. Pada akhirnya, mereka menyerah. Dua remaja itu berjalan dengan gontai menuju lift, kembali ke kamar masing-masing.

"Dang it!" gerutu Chloe sambil berjalan. "Kita harus mencari cara lain untuk mengakses data kependudukan di luar fasilitas ini."

"Kau ingin kita pergi dari fasilitas ini dan mengakses data di tempat lain?" tanya Dylan yang berjalan di samping Chloe. "Aku yakin dari tempat ini pun kita pasti bisa mengakses database tersebut, tapi bagaimana caranya? Kita hanya penyintas biasa."

"Davis. Aku akan meminta bantuannya," tegas Chloe.

"No." Dylan berhenti berjalan. "Kita tidak akan meminta bantuan Davis."

Chloe mengernyit, turut menghentikan langkahnya. "Why not?"

Dylan membuka mulut, hendak mengeluarkan keluh kesahnya soal tentara muda itu. Namun, rasanya sekarang bukan waktu yang tepat. Alhasil, pemuda itu menjawab dengan alasan lain. "Dia bukan seorang pengangguran. Kita tidak bisa terus-terusan mengganggunya bekerja. Lalu, kau pikir ia punya izin untuk mengakses database kependudukan Amerika? Davis itu tentara, bukan seorang pegawai negeri."

Chloe menggigit bibir, kemudian kembali menggerakan tungkainya menuju lift, Dylan berjalan mengikutinya. Sesampainya di depan lift, gadis itu menekan tombol ke atas, kemudian bersedekap. "Well, kalau begitu aku akan meminta Davis untuk memberiku informasi jika ia bertemu dengan Kimberly Blake di perbatasan zona kuning."

Dylan berdecak kesal sambil menggeleng pelan. "This is useless. Sejak kita sampai di tempat ini, Davis bahkan belum bisa menemukan petunjuk apa pun soal Quentin."

Chloe tidak berkomentar lagi. Ia menengadah, melihat angka kecil di atas pintu otomatis. Masih belasan lantai lagi sebelum pintu di depan mereka terbuka. Karena bosan, gadis itu mengedarkan pandangan ke sekitar. Lantai satu di fasilitas ini cukup sepi, hanya terlihat beberapa penyintas yang baru saja selesai berolahraga maupun sarapan berjalan menuju lift.

Satu per satu penyintas berhenti di depan lift, membuat kerumunan yang cukup ramai. Dari balik bahu seorang wanita paruh baya, Chloe melihat seorang pria dengan seragam berwarna biru-hitam sedang berkutat dengan pel. Janitor cap dengan warna senada menutupi wajah dan helaian rambut pirangnya. Akibat banyaknya penyintas yang berlalu lalang dan meninggalkan jejak sepatu, petugas kebersihan itu harus membersihkan lantai dua kali lebih keras.

Chloe ingat ketika Dylan bercerita bahwa pemuda itu ingin mencari pekerjaan, tetapi Sam malah menyarankan Dylan melamar sebagai petugas kebersihan. Sekarang ia mengerti mengapa kekasihnya itu tidak ingin menerima saran dari Sam.

Ketika petugas kebersihan itu menengadah, pandangan mereka tidak sengaja bertemu. Chloe melihat janggut dan kumis tipis di wajah pria itu. Tanpa Chloe sadari, pintu lift sudah terbuka.

"Chloe?" panggil Dylan, membuyarkan fokus gadis itu. "Kau mau naik atau tidak?"

"Oh, right, sorry," ucap gadis itu kikuk. Ia berjalan cepat menyalip penyintas lain, menyusul Dylan ke dalam lift.

Dukung Avenir: Redemption dengan menekan bintang di pojok kiri bawah 🌟

6 September 2021

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro