2-17 | Time Bomb

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Haloooo, maaf banget nggak up lebih dari dua bulan. Spesial buat kalian, part ini jumlah katanya 2000+ 🥰

Happy reading

*****

Tidak jauh dari pintu masuk klinik, Chloe Wilder duduk di ruang tunggu yang cukup luas. Gadis itu baru saja selesai menemui dr. Valentine perihal medical check-up yang dilakukannya tempo hari lalu. Beruntungnya, tidak ada hal serius yang menimpa gadis itu. Chloe benar-benar sehat dan tidak perlu mengonsumsi obat-obatan maupun suplemen.

Pintu utama terbuka secara otomatis, terdengar banyak pasang sol military boots yang bergesekan dengan lantai. Chloe mengalihkan pandangannya dari ponsel, mendapati belasan tentara berjalan memasuki ruangan secara bersamaan. Seluruhnya membawa senapan berburu.

Tidak jauh dari barisan pria-pria gagah itu, Chloe melihat petugas kebersihan yang sedang pengepel lantai. Janitor cap menutupi helaian rambut pirangnya. Butuh sekian detik bagi Chloe untuk menyadari bahwa ia pernah melihat pria itu sebelumnya.

Lagi-lagi, petugas kebersihan malang itu harus mengepel dua kali akibat banyaknya tentara yang melintas, meninggalkan jejak-jejak sepatu. Meskipun begitu, pria itu tidak terlihat kesal. Chloe bertanya-tanya, bagaimana bisa pria itu tidak mengeluh ketika harus bekerja lebih keras daripada yang seharusnya?

Meskipun terhalangi oleh banyaknya tentara yang melintas, Chloe masih bisa melihat pria itu mengepel dengan santai. Lagi-lagi, pandangan mereka bertemu secara tidak sengaja. Berbeda dengan sebelumnya, kali ini petugas kebersihan itu tersenyum. Bayangan dari topi yang dikenakannya menutup sebagian wajah pria itu. Chloe mengerjap beberapa kali, lalu mengedarkan pandangan ke sekitar. Ruang tunggu itu sepi, tidak ada orang di sekitar.

Gadis itu kembali menatap pria berjanggut dan kumis tipis itu. Petugas kebersihan itu jelas-jelas tersenyum padanya, membuat kening Chloe berkerut.

"Chloe?"

Sapaan dari seseorang membuyarkan fokus Chloe. Gadis itu menoleh, mendapati Davis berdiri di sampingnya, dengan kaus berwarna hitam dan rompi antipeluru, dilengkapi dengan short-barreled riffle di tangannya.

"Hai, Davis!" Chloe menyapa balik. "Sedang bertugas?" tanyanya ketika melirik senapan di tangan pemuda itu.

"Tidak, justru aku baru saja selesai bertugas," balasnya, masih tersenyum. "Apa yang kau lakukan di sini?"

Chloe mengedikkan bahu. "Menunggu Dylan. Kami baru saja mengunjungi klinik."

"Davis!" teriak Henderson yang berdiri di kejauhan. Refleks, Chloe dan Davis menoleh.

"Aku akan menyusul nanti!" Davis balas berteriak.

Henderson tidak ambil pusing. Pria kekar dengan rambut model undercut itu mengedikkan bahunya cuek, kemudian berbalik, bergabung bersama tentara lainnya. Mereka menghilang di balik pintu lift.

"Hari ini cukup menyebalkan dan aku benar-benar butuh udara segar," ucap Davis, "kau sedang santai? Mau jalan-jalan bersamaku?"

Chloe mengangguk, kemudian beranjak. "Sure."

Mereka berjalan menelusuri lobi yang siang ini dipenuhi banyak manusia. Wajar saja, jam makan siang baru saja berakhir dan semua orang menggunakan kesempatan ini untuk beristirahat sejenak dari pekerjaan mereka. Begitu pula dengan para penyintas yang jenuh akibat menetap di kamar terus menerus. Keduanya keluar dari gedung melalui pintu utama, melangkah mengikuti jalan setapak membelah pepohonan dengan batang berdiameter kecil di kanan kiri mereka.

"Tadi kau bilang harimu buruk. What happened?" Chloe membuka percakapan.

"Kami mendapatkan laporan, ada anak rusa berkaki enam melintas di jalanan dan nyaris menabrak Rover yang dikendarai oleh seorang tentara, kira-kira tiga puluh kilometer dari perbatasan. Setelah diselidiki, rupanya rusa tersebut datang dari hutan yang berjarak sekitar lima kilometer dari jalanan itu."  Sambil berjalan, Davis bercerita. "Hutan itu masih termasuk zona kuning. Kurasa kau dapat menarik kesimpulan dari ceritaku."

"Rusa itu mengalami mutasi genetik?" tanya Chloe.

Davis mengangguk. "Aku dan belasan tentara lainnya ditugaskan ke hutan itu." Kemudian pemuda itu mengembuskan napas berat. "Ah, aku benci sekali harus menembak satu per satu hewan yang kami temukan di hutan itu, sekalipun mereka terlihat normal. Rusa, kelinci, babi hutan, dan masih banyak lagi."

"Tidak bisakah kau membiarkan hewan yang tidak mengalami mutasi genetik untuk hidup?"

Davis menggeleng. "We can't do that. Hutan itu dikategorikan sebagai zona kuning. Meskipun sebagian besar hewan tidak mengalami mutasi genetik, tubuh mereka tetap membawa partikel radioaktif selama kurang lebih dua tahun."

Keduanya melihat kursi taman di dekat jalan setapak, kemudian memutuskan untuk mengobrol sambil duduk. Davis menyandarkan senapannya di sisi samping kursi yang mereka tempati.

"Beberapa hari lalu kami menemukan penyintas lain yang tinggal sendirian di pondok kecil tepat di tengah-tengah padang rumput." Davis mendesah pelan, kemudian menunduk dan menggeleng. "Seorang kakek tua dan cucu perempuannya. Tidak ada pemuda Asia berusia sekitar dua puluh lima tahun dengan rambut hitam dan lesung pipi di kedua sisi."

Chloe mencebikkan bibir. "I can't blame you. Quentin memang menghabiskan sebagian besar hidupnya dengan bersembunyi dari semua orang."

"Kakakmu sedikit aneh." Davis terkekeh.

"Itulah caranya untuk bertahan hidup." Chloe bergeming sejenak, kemudian mendongak ke arah pemuda di sampingnya. "How about you? You have a family?"

"I had a family," jawabnya, "aku tidak pernah melihat mereka selama bertahun-tahun, sampai hampir lupa bagaimana rupanya jika saja aku tidak menyimpan foto mereka."

"Kau tinggal di tempat yang berbeda dengan mereka?"

"Yeah, bahkan jauh sebelum aku menjadi tentara. It's complicated." Pemuda itu balas menoleh. "I used to have a dog too, a Pomeranian."

"Itu sebabnya kau tidak suka melakukan pekerjaan ini?" tanya Chloe lagi.

Davis mengangguk pelan. "Pada tahun 2023, kami memulai perburuan. Lokasi yang kami kunjungi adalah perumahan elit. Banyak hewan-hewan peliharaan yang ditinggalkan di sana. Ketika bertugas, aku melihat seekor Pomeranian berdiri di depan pintu." Pemuda itu mendengkus. "Aku mengarahkan senapanku padanya. Kedua tanganku bergetar hebat. Aku tidak bisa melakukannya, binatang malang itu mengingatkanku pada anjing yang kumiliki saat kecil. Pada akhirnya Henderson yang melakukannya untukku."

Mendengarnya, Chloe turut mengembuskan napas berat. "Itu pasti berat untukmu."

"Seandainya saja mereka bisa melakukan sesuatu untuk hewan-hewan itu, tetapi manusia yang terluka masih menjadi prioritas." Rahang Davis mengeras, kemudian berkata dengan sedikit geram.

"Kalau begitu, terlalu banyak hewan yang harus kalian selamatkan." Chloe menimpali.

"Yeah, lagi pula ... tidak ada dana untuk menyembuhkan hewan-hewan itu. Untung saja kami tidak diperintahkan untuk menembak mati hewan-hewan di zona hijau juga," ucap pemuda itu pasrah.

Keduanya diliputi keheningan selama beberapa saat. Davis duduk santai, bersandar pada kursi taman sambil bertumpang kaki, sedangkan Chloe menunduk, mendadak kuku-kuku di jari tangannya terlihat sepuluh kali lebih menarik siang ini dan ia memutuskan untuk memainkannya.

"Bagaimana dengan Kota Moorevale? Apa kau pernah mengunjungi kota itu dan berburu hewan di sana?" tanya Chloe memecah keheningan.

Davis menggeleng. "Kami belum pernah ditugaskan di kota itu."

"Aku pernah menemukan anak kucing dengan dua kepala dan tiga mata di sana. Saat itu, aku merasa seperti tokoh utama di film zombie."

Pemuda gondrong berjanggut itu terkekeh. "Tidak ada zombie di dunia ini. Kau terlalu banyak menonton film."

"Well, kita tidak tahu bagaimana keadaan di zona lain, 'kan?"

"Makhluk hidup di zona merah dan hitam akan langsung meregang nyawa sebelum bermutasi menjadi zombie." Davis mengedikkan bahu. "Lagi pula tidak semua hewan yang mengalami mutasi genetik memiliki wujud fisik yang buruk. Justru sebaliknya, radiasi menganugerahi binatang-binatang itu kecantikan yang tidak pernah bisa dibayangkan sebelumnya."

Mendengarnya, Chloe menoleh, binar wajahnya mendadak cerah. Gadis itu sedikit tertarik pada ucapan Davis. "Benarkah? Secantik apa?"

"Um, aku tidak tahu bagaimana mendeskripsikannya. Mereka aneh, tapi ... cantik. Aku bisa menunjukkannya padamu kalau kau mau." Davis tersenyum.

Obrolan mereka terhenti akibat ponsel di saku celana Chloe bergetar. Gadis itu mengambilnya, kemudian menjawab panggilan telepon tersebut. "Hai, um ...." Gadis itu menjeda perkataanya. "Aku sedang jalan-jalan di luar. Jangan beranjak dari sana, aku akan menyusulmu." Setelah itu, Chloe mengakhiri panggilan.

"Dylan?" tanya Davis.

Chloe mengangguk, kemudian beranjak dari posisi duduknya dan kembali memasukkan benda pipih itu ke saku. "Aku sangat tertarik pada tawaranmu, sungguh. Bisakan aku melihatnya lain waktu?"

"Of course, tapi tolong rahasiakan ini dari semua orang, terutama Henderson. Aku tidak diperbolehkan membawa hewan ke fasilitas ini."

Chloe mengangguk. "Tidak masalah."

"Soal pencarian Quentin, aku akan mengabarimu lebih lanjut," jawab pemuda berjanggut tipis itu, kemudian ia turut beranjak dari bangkunya. "Ayo kembali ke gedung!"

Chloe mengangguk lagi, kemudian berbalik badan dan melangkahkan kedua tungkainya di jalan setapak, begitu pula dengan Davis yang berjalan di sampingnya. Keduanya bergegas kembali ke rumah susun.

*****

Di depan klinik, Chloe melihat Dylan berdiri di sana, menunduk, atensinya tertuju pada ponsel. Tangan kirinya menenteng kantong kertas kecil berwarna cokelat berisikan suplemen penambah darah. Setelah ia dan Davis berada di jarak yang cukup dekat, barulah pemuda itu mendongak.

"Where have you been?" tanya Dylan pada Chloe.

"Berjalan-jalan di luar," jawab gadis itu.

Dylan melirik pemuda berambut gondrong yang berjalan di samping Chloe. "Bersama Davis?"

"Yeah," jawab Chloe lagi.

Ketika Chloe dan Davis berhenti tepat di hadapannya, Dylan melipat kedua tangan di dada, bersikap sok mengintimidasi. "Why?" Kemudian ia melirik Davis. "Bukankah seharusnya seorang tentara berjaga di luar gedung? Mengapa kau malah bersantai-santai?" sindirnya.

"Dylan," tegur Chloe.

"Apa pekerjaan tentara sesantai itu sampai kau punya waktu untuk--umph!" Ucapan sembrono Dylan terhenti ketika Chloe buru-buru menutup mulutnya.

"Sorry about that," ujar Chloe pelan pada Davis, sedikit merasa malu akibat perlakuan Dylan. "Aku akan kembali ke kamarku."

"Yeah." Davis mengangguk canggung. "See you next time?"

Dylan buru-buru melepas cengkeraman tangan Chloe di mulutnya. "Yeah, kembalilah bekerja dan--umph!--Abaikan saja--kami--berdua!" Ucapan pemuda itu semakin tidak jelas akibat Chloe masih berusaha menutup mulutnya. Davis terkekeh pelan. Ia berjalan menjauh dari kedua ramaja itu dan menghilang di balik pintu lift.

Pada akhirnya, Chloe melepas cengkeraman tangannya dari mulut Dylan. "What was that?" desis gadis itu.

"What was that?" Dylan bertanya balik. "Kau jalan-jalan dengannya?"

"Yeah, why? He's not a bad guy, relax!" desis Chloe lagi.

"Bukan itu yang kupermasalahkan!" ucap Dylan sedikit keras, membuat orang-orang yang berada di sekitar klinik mengalihkan atensi pada mereka. Emosi yang dipendamnya selama ini meledak begitu saja. Chloe berdecak kesal, ia menarik tangan Dylan untuk menjauh dari sana.

"Hei! Kita belum selesai bicara!" protes pemuda itu.

"Lihatlah sekelilingmu! Kau membuat keributan di depan klinik!" bisik gadis berambut merah itu. Setelah berada sedikit jauh dari depan klinik, Chloe melepas genggamannya dan berhenti berjalan, kemudian berbalik menghadap pemuda itu. "Lalu kenapa? Are you jealous?"

"Yeah, you're my girlfriend!"

Chloe mendengkus kesal sambil memijat pangkal hidungnya, kemudian mendongak menatap kekasihnya yang begitu rewel. "Aku tidak pernah melihat Davis seperti itu! Aku mempertahankan hubungan pertemananku dengannya demi menemukan Quentin! Hanya ia tentara yang dapat menghubungkan kita dengan dunia luar!"

"Tapi kini kau terlalu dekat dengannya!" Mendadak, Dylan ingin berbicara panjang lebar. "Aku lega bisa mencoret Quentin dari daftar-pemuda-tidak-tampan-yang-bisa-merebut-kekasihku, tetapi kemudian Davis datang. Ada apa dengan pesona pemuda-pemuda yang berusia jauh lebih tua darimu?"

"A-apa?" Chloe sedikit menganga akibat kehilangan kata. Ia mengernyit sambil menggeleng pelan. "Kau pernah cemburu pada Quentin juga? He's like a brother to me!"

"I don't know, it's like a pattern. Quentin, Davis, mereka semua berusia jauh lebih tua darimu dan aku ...." Dylan mengacak-acak rambutnya kasar. Ia tahu sekarang bukan saatnya mengungkit kekesalannya di masa lalu, tetapi pemuda itu tidak dapat menahannya. "Aku merasa sangat kesal, itu saja."

"Okay, so, how about Abby?" Mendadak Chloe memiliki banyak energi untuk berdebat. Gadis itu turut melipat tangannya di dada. "Aku membiarkanmu bersahabat dengannya."

Mendengarnya, alis Dylan bertaut. "Abby is my best friend and she's not even here!"

"Tapi kau pernah suka padanya, dan Quentin juga tidak ada di sini, mengapa kau malah membahas pemuda itu?" ucap Chloe.

Dylan tertegun. Ia kalah telak, tetapi ego dalam dirinya tidak mau menyerah begitu saja. "Okay, kita berhenti membicarakan Quentin dan Abby."

"Dylan, kumohon, singkirkan pemikiran konyolmu. Kita tidak bisa menemukan Quentin dan kembali ke malam Homecoming jika kau terus begini." Kali ini, Chloe mencoba merendahkan nada bicaranya.

"Tapi aku selalu kesal ketika melihatmu mengobrol dengan Davis. Kita harus memikirkan cara lain untuk menemukan Quentin tanpa bantuannya!"

"Kita sudah memikirkan segala cara! Instagram, Gmail, tidak ada yang bisa menghubungkan kita dengan Quentin kecuali kita mencarinya sendiri ke luar sana!"

"So let's find him!" ucap Dylan enteng.

"Not that easy! Kita tidak punya petunjuk ke mana harus mencari!" geram Chloe. "Kali ini tidak seperti Portland, kita tidak memiliki informasi yang cukup harus pergi ke mana dan bahaya apa yang akan menanti kita! Itu semua bisa jadi lebih berbahaya dari ayahmu. No offense." Gadis itu menekan kalimat terakhirnya. "Kita sekarang buta arah, Dylan. Sadarlah! Ditambah lagi dengan radiasi di luar sana."

"Kita akan mencari tahu caranya, dan kita selalu menemukannya. Tanpa Davis, tentu saja." Dylan bersikeras.

"Terserah." Chloe mengakhiri perdebatan. Sepasang kekasih itu tidak saling melontarkan argumen selama beberapa detik. "Jernihkan pikiranmu terlebih dahulu dan kembali padaku setelah kau menemukan cara menemukan Quentin tanpa bantuan Davis." Gadis berambut merah itu berbalik badan dan berjalan menjauh dari Dylan, hingga menghilang di tengah kerumunan manusia.

Rahang Dylan mengeras, emosinya kian berkecamuk, pandangannya menerawang jauh hingga punggung Chloe tidak terlihat lagi. Dirinya sedikit dirundung rasa bersalah. Seharusnya ia tidak perlu bersikap menyebalkan ketika cemburu. Seharusnya ia tidak perlu mengungkit kekesalannya di masa lalu. Namun, Chloe adalah pacarnya, manusiawi jika dirinya tidak ingin gadis itu dekat dengan pemuda lain, 'kan? Lagi pula, Sam bilang bahwa ia harus mengutarakan perasaan cemburunya pada Chloe agar gadis itu mengerti.

Pada akhirnya, Dylan mendesah pelan, kemudian melangkahkan kedua tungkainya menuju lift. Pemuda itu butuh ketenangan, berharap segera menemukan cara untuk menemukan Quentin tanpa bantuan tentara menyebalkan dan sok tampan itu.

Dukung Avenir: Redemption dengan menekan bintang di pojok kiri bawah 🌟

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro