2-3 | Double Trouble [Part 1]

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

"We were just young ... and dumb."

Setelah melakukan rutinitas bela dirinya dan mandi, Chloe Wilder berjalan menuju ruang keluarga sambil membawa segelas banana smoothie. Atensinya tertuju pada Dylan yang sedang duduk di sofa dengan buah pisang di tangannya. Buah yang masih segar itu diselimuti cahaya putih kebiruan, perlahan permukaan kulitnya menghitam dan mengkerut. Setelahnya, pemuda itu mengembalikan buah di tangannya menjadi segar kembali. Ia melakukan hal yang sama berulang-ulang hingga Chloe bosan melihatnya.

"Sampai kapan kau mau memainkan pisang itu dengan partikel di tubuhmu?" tanya Chloe. Ia mendaratkan bokongnya tepat di sebelah Dylan.

"Hingga aku bosan, mungkin?" jawab Dylan. Atensinya masih tertuju pada buah di tangannya. "Aku hanya ingin melatih kekuatanku."

"Kau melakukannya setiap saat." Chloe meneguk banana smoothie di tangannya, kemudian bergeming sesaat. "Sudah sekitar dua puluh malam sejak terakhir kita mencoba untuk pulang."

"Mungkin lebih?" Dylan berhenti membuat buah di tangannya membusuk. Cahaya putih kebiruan di smart watch-nya meredup. Ia mengupas kulit pisang di tangannya, kemudian mengambil menggigitan pertama dan mengunyahnya perlahan. "Aku tidak percaya akan mengatakan ini, tapi aku merindukan rutinitasku sebagai anak SMA. Bahkan aku rindu mengerjakan tugas."

"Yeah. Aku pun rindu bangun pagi-pagi. Aku rindu suara klakson mobil Kelsey ketika ia menjemputku setiap pagi dan pergi ke sekolah bersama-sama," tambah Chloe.

"This parallel world sucks, right?" tanya Dylan. "Tidak bisa dipercaya aku sempat ingin tinggal selamanya di dunia seperti ini. Basically, kita seperti tinggal di acara televisi hitam putih tahun 1940-an."

"Bedanya, kita sendirian di sini. Tanpa penonton, sutradara, make up artist, atau aktor-aktor lainnya." Chloe mendesah pelan. "We were too young, dumb, and--"

"But you're not broke!" seru Dylan.

"Yeah." Chloe kembali meneguk banana smoothies-nya. "We were just young ... and dumb."

Kedua remaja itu diliputi keheningan panjang, masih asyik dengan makanan dan minuman masing-masing.

"I have a theory." Chloe memecah keheningan.

"What theory?" jawab Dylan tanpa memalingkan pandangan.

"Setiap kali mencoba pulang, partikel di tubuhmu selalu menyakiti kita berdua, 'kan?"

"Yeah, lalu?"

"Bagaimana jika kita menahan sakit dan terus mencoba hingga berhasil pulang?" ujar Chloe serius.

"What?" Dengan cepat Dylan menoleh. "Kau ingat seberapa sakit partikel itu menyengat kita? Kau bahkan menangis ketika terakhir kali kita mencoba!"

"Tapi partikel itu bekerja sesuai keinginan kita," sanggah Chloe. "Coba pikirkan. Jika kita bersungguh-sungguh ingin pulang, mungkin partikel itu akan mengerti dan mengizinkan kita pulang?"

"Chloe, ini sebuah partikel, bukan materi pengabul permohonan! Kita tidak tahu apa akar masalah dari semua ini, apa alasannya partikel itu tidak membiarkan kita pulang."

"Tapi ideku bisa kita coba, 'kan?" Chloe bersikeras. "Lagi pula, akhir-akhir ini kau rutin melatih kemampuanmu. Aku yakin kau dapat mengendalikan partikel itu lebih baik dari sebelumnya."

Dylan menelan gigitan terakhir pisang yang sedang dinikmatinya, kemudian bergeming sesaat.

"Mau sampai kapan kita berdiam diri dan pasrah dengan keadaan? Apa kau tidak ingin pulang?" tanya Chloe.

Meskipun saran Chloe terdengar konyol di telinganya, tetapi mereka tidak akan bisa pulang jika tidak mencoba kembali. Mau tidak mau, ia harus bertanggung jawab sudah menyeret gadis itu ke dalam masalah.

"Fine." Pemuda itu beranjak dari posisi duduknya. "Kita coba lagi."

Chloe mengangkat kedua alisnya. "Sekarang?"

"Lebih cepat lebih baik, 'kan?"

Meskipun ragu, Chloe mengangguk. Gadis itu meletakkan gelas kosong di atas coffee table, kemudian beranjak dan berdiri berhadap-hadapan dengan Dylan.

"Promise me one thing," pinta Dylan.

Chloe menjawab dengan anggukan. "Sure. Apa itu?"

"Hentikan aku jika kau sudah tidak mampu lagi menahan sakit," ucap Dylan.

Chloe mengangguk mantap. Keduanya menautkan jari, pandangan mereka tertuju satu sama lain. Debaran di dada kedua remaja itu semakin tak terkendali, pikiran-pikiran liar mulai menguasai otak mereka, disertai dengan antusiasme yang besar.

"Are you ready?" tanya Dylan.

"More than ready." Chloe mengangguk mantap.

Lampu neon di smart bracelet yang dikenakan Dylan menyala. Cahaya putih kebiruan menjalar di lengan pemuda itu, begitu pula dengan Chloe. Keduanya memejamkan mata, bersiap menahan sengatan listrik yang akan menyakiti mereka lagi.

"Sejauh ini baik-baik saj--ah!" pekik Dylan. Ucapannya terhenti ketika partikel kecil itu mulai menyengat tangannya. Begitu pula Chloe, gadis itu memejamkan mata dan meremas tangan Dylan sekuat tenaga untuk menahan rasa sakit.

"Berhenti! Tanganku seperti terbakar!" pekik Chloe, membuat Dylan refleks melepas genggamannya. Cahaya di telapak tangannya meredup.

"Kau baik-baik saja?" tanya Dylan.

Chloe mengangguk sambil mengatur napas.

"Kau masih ingin mencobanya?"

"Yeah, tunggu sampai nyeri di tanganku hilang." Gadis itu mengusap-usap telapak tangannya yang berdenyut.

Dengan sigap Dylan meraih lengan gadis itu, lalu memutar balik waktu sekitar tiga puluh detik. Partikel 201X menggelitik permukaan kulit Chloe, hingga perasaan nyeri itu hilang.

"Oh, well ... thanks," ucap Chloe.

Dylan kembali mengulurkan tangannya pada Chloe. "Kau siap?"

Chloe mengangguk yakin. "Yeah. Kali ini, keinginan kita untuk pulang harus lebih kuat dari sebelumnya." Kemudian, gadis itu menyambut uluran tangan Dylan.

Dylan dan Chloe kembali mencoba untuk pulang. Mereka memejamkan mata ketika Partikel 201X menyelimuti kedua tangan. Lagi, sengatan listrik itu menyakiti mereka. Ketika tidak mampu menahannya, Dylan menghentikan perbuatannya sejenak. Setelah itu, mereka kembali mencoba, berkali-kali hingga perasaan nyeri itu tidak terlalu mengganggu mereka seperti sebelumnya.

"Pikirkan rumah, pikirkan Mrs. Grayson, pikirkan apa pun yang ada di dunia nyata!" perintah Chloe sambil meringis.

Dylan menurut. Pemuda itu memejamkan kedua netra, membayangkan bagaimana rupa sang ibu di kepalanya. Ingin sekali ia mencurahkan kerinduannya pada wanita itu, berharap dirinya dapat memeluk Nancy saat ini juga dan memohon maaf telah melanggar janjinya.

Begitu pula Abby dan Sam. Dylan merindukan momen yang bisa mereka lakukan sepulang sekolah, membayangkan segarnya milkshake yang biasa mereka nikmati di Stop Burger. Ah, Dylan juga merindukan hari-hari di mana ketika ketiganya saling berbagi cerita, menertawakan apa pun yang terdengar konyol di telinga mereka, hingga tak terasa langit Kota Moorevale sudah menggelap dan ketiganya memutuskan untuk berpisah.

Chloe tidak memikirkan siapa pun di keluarganya. Gadis itu hanya membayangkan interior ruang tamunya yang kembali memiliki warna. Ia juga membayangkan dirinya berhadap-hadapan dengan cermin dan melihat pantulan seorang gadis cantik berambut merah dengan sepasang netra hazel di sana. Sungguh, ia nyaris lupa bagaimana rupa bayangannya sendiri. Sudah terlalu lama ia berada di dunia hitam putih sialan ini.

Tiba-tiba saja, sosok Quentin Ryouta yang sedang tersenyum tergambar jelas di kepala gadis itu. Perlahan, Chloe menyunggingkan senyum tipis, seolah-olah pemuda keturunan Jepang itu benar-benar ada di hadapannya.

Cepatlah pulang! Apakah kau dan Dylan benar-benar akan membiarkanku sendirian di sini?

Konsentrasi Dylan buyar ketika mendengar rintihan Chloe. Ketika Dylan melonggarkan cengkeramannya, Chloe malah meremas pergelangan tangan pemuda itu semakin kuat.

"Aku masih bisa menahannya! Keep going!" seru Chloe.

Perlahan, partikel bercahaya itu mulai menyelimuti mereka secara keseluruhan. Di satu titik, tubuh kedua remaja itu seakan-akan mati rasa. Tidak ada lagi sengatan yang mereka terima. Sebagai gantinya, sejoli itu merasakan energinya berangsur-angsur habis. Kedua tungkai mereka nyaris tidak sangup lagi menahan bobot tubuh.

Keduanya terisap ke dalam cahaya menyilaukan. Ada sedikit perasaan melayang, sesuatu yang sudah lama tidak mereka rasakan, menandakan perpindahan dimensi yang mereka lakukan berhasil. Ketika Partikel 201X meredup, pandangan Dylan kabur. Perlahan, kesadarannya menurun. Tubuh pemuda itu terhuyung ke depan, tetapi dengan sigap Chloe menangkapnya.

"Dylan!"

*****

Dylan Grayson membuka mata, menatap langit-langit berwarna putih dengan lampu yang tidak menyala. Partikel 201X yang mengobati kerusakan tubuhnya perlahan meredup. Ia mengedarkan pandangan ke seluruh penjuru ruangan yang gelap, kemudian melihat Chloe bersimpuh di lantai, tepatnya di sebelah sofa ruang keluarga Wilder, tempat di mana dirinya berbaring. Pemuda itu mengamati tubuh Chloe yang kini telah memiliki warna, lalu ia menatap lekat binar cerah di manik gadis itu.

"Akhirnya kau siuman!" seru Chloe, tak sanggup lagi berkata-kata.

"What happened?" tanya Dylan parau.

"Kau pingsan sekitar sepuluh menit setelah kita sampai di dunia nyata."

"We did it?"

Chloe mengulas senyum lebar dan mengangguk antusias sebagai jawaban.

"Bagaimana bisa?" tanya Dylan, masih sedikit linglung.

"Who cares? Kita bisa pikirkan jawabannya nanti. Yang terpenting sekarang kita sudah kembali!" seru Chloe lagi.

Dylan tidak tahu bagaimana harus merespons, bibirnya kelu, tak sanggup mengucapkan sepatah kata pun. Senyum di bibirnya mengembang, ia mengelus lembut pipi Chloe.

"Oh my God ... I miss your hazel eyes," lirih pemuda itu, "it's been so long. Aku hampir saja lupa warna matamu."

Chloe membalas dengan senyuman. Perlahan, Dylan menegakkan tubuh, lalu Chloe menyambutnya dengan pelukan. Keduanya saling berdekapan sebagai luapan kebahagiaan mereka. Chloe tertawa kecil ketika Dylan memeluknya begitu erat.

"Hei! Kau akan membuat tulang rusukku remuk!" kekeh Chloe.

"We're home! Kau tahu betapa senangnya aku?" jawab Dylan, bagaikan anak kecil yang baru saja diberi permen gulali yang sangat besar.

Karena terlalu banyak bergerak, Dylan secara tidak sengaja menghirup partikel debu yang ada di permukaan sofa, kemudian bersin beberapa kali. Ia melepas pelukannya dan mengedarkan pandangan ke sekeliling. "Mengapa sofamu berdebu sekali? Dan mengapa ruang tamu ini gelap? Kau tidak menyalakan lampunya?"

Mendengar pertanyaan itu, Chloe bungkam. Senyumnya pudar.

Dylan kembali bertanya, "Di mana penghuni mansion-mu? Apa yang mereka katakan ketika kau tiba-tiba kembali?"

"Itulah masalahnya," ucap Chloe sambil menekuk wajah.

Melihat senyum Chloe memudar, ekspresi wajah Dylan mendadak serius. "Apa maksudmu?"

"Ada yang aneh di sini. Bisa berdiri? Aku ingin menunjukkan sesuatu."

Dukung Avenir: Redemption dengan menekan bintang di pojok kiri bawah 🌟

5 Juni 2021

*****

Hayoloh, hayoloh, ada apa ini kira-kira?😱

Ahaha maaf ya dipotongnya di sini, ntar jumlah wordsnya kebanyakanSampai ketemu minggu depan!🥰

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro