3-7 | One Missed Call [Part 2]

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

"Just kidding. I just miss you, that's all. Jaga dirimu baik-baik, oke?"

Nada tunggu berdering berkali-kali di speaker ponsel Dylan. Ini ketiga kalinya ia melakukan panggilan telepon, tetapi Chloe masih tidak menjawab. Pemuda itu mendesah pelan, mematikan panggilan dan menatap kosong dinding di depan. Pikirannya berkelana. Layaknya pemuda lain yang memiliki kekasih, Dylan memikirkan perbuatan dan perkataannya tempo hari lalu. Apa ia melakukan kesalahan atau salah berbicara sehingga Chloe menghindarinya seperti ini?

Sekeras apa pun Dylan memikirkannya, ia merasa tidak melakukan kesalahan. Karena koloni cacing di perutnya sudah meraung meminta makan, pemuda itu menyimpan ponselnya di saku dan beranjak. Ia merangkak menuruni tangga ranjang bertingkat dan pergi keluar kamar untuk sarapan bersama Sam.

Di kafetaria, keduanya menikmati telur mata sapi, bacon, roti panggang, dan beberapa sayuran. Sam terus mengoceh, tetapi Dylan tidak mendengarnya sama sekali. Pandangannya sibuk menyisir kafetaria. Bangku di hadapannya kosong. Padahal, di sanalah Chloe biasa duduk dan menikmati sarapan bersamanya. Dylan menusuk bacon di atas nampan dengan garpu, kemudian memasukkannya ke dalam mulut dan mengunyahnya pelan. Kedua netranya masih sibuk melihat kanan kiri, mengamati satu per satu penyintas yang lewat, tetapi tidak ada Chloe di antara mereka.

Setelah sarapannya habis, Dylan pergi ke luar gedung. Matahari belum sampai di puncak, suhunya masih hangat, ditambah pepohonan rindang yang memblokir cahaya sehingga tidak langsung mengenai kulit. Dylan menelusuri jalan setapak sambil mengedarkan pandangan. Di taman yang cukup luas ini, banyak penyintas yang melakukan rutinitas paginya, seperti jogging atau jalan santai. Ada juga yang hanya duduk di bangku komunal untuk berjemur.

Ketika suasana hati sedang buruk, Chloe biasa melampiaskannya di tempat ini, entah lari pagi hingga wajahnya memerah dan seluruh tubuhnya berkeringat, maupun duduk di bangku komunal untuk menjernihkan pikiran. Namun pagi ini, tidak ada presensi dari gadis itu.

Waktu berlalu cepat, jam makan siang telah terlewati. Dylan masih tidak melihat Chloe di kafetaria. Suasana hatinya mendadak buruk. Jika ia melakukan kesalahan, mengapa Chloe harus bersikap kekanak-kanakan dengan menghindarinya seperti ini? Mengapa tidak mengatakan hal yang sejujurnya? Atau justru jika Chloe memiliki masalah dan ingin menyendiri, gadis itu bisa memberitahunya, 'kan? Tentu Dylan akan menjaga jarak dengan gadis itu.

Pemuda berambut cokelat itu menggeleng, berusaha mengenyahkan Chloe dari pikirannya untuk beberapa jam saja. Kini, ia duduk di perpustakaan dengan laptop yang dipinjamnya dari Sam. Kesepuluh jarinya sibuk dengan keyboard. Bekerja sebagai joki sebetulnya tidak terlalu buruk. Mengerjakan tugas anak-anak SMA terasa seperti menyelesaikan tugas-tugasnya sendiri, meskipun ada beberapa materi di kelas yang ia lupakan, sehingga dirinya harus bolak-balik mengecek Google atau Youtube. Belajar secara autodidak bukan hal yang sulit bagi Dylan. Ini semua berkat Sean dan Nancy Grayson, mereka memberinya kombinasi gen yang begitu cemerlang.

Matahari sudah tenggelam di cakrawala, waktu makan malam hampir tiba dan Chloe masih tidak tampak batang hidungnya. Benang-benang di kepala Dylan semakin kusut, suasana hatinya semakin tidak karuan, antara sebal dan khawatir pada sang pacar yang tidak terlihat seharian ini. Setelah makan malam, ia mendatangi kamar Chloe sekali lagi, tetapi ruangan itu masih saja kosong. Dylan juga kembali menghubungi gadis itu, tetapi kali ini ponselnya tidak aktif, membuat keningnya berkerut.

Memang, ketika keduanya tinggal di dunia portal, Chloe beberapa kali menghilang ketika ingin menjernihkan pikiran ataupun ketika mereka berkelahi. Namun, hilangnya Chloe yang sekarang terasa ganjil bagi Dylan. Chloe tidak mungkin bersikap sangat kekanak-kanakan sampai sejauh ini.

*****

Hari semakin larut, langit telah menggelap sepenuhnya, gumpalan kapas mendung menutupi ribuan benda langit yang berkelap-kelip di angkasa. Quentin telah menyelesaikan sif kerjanya hari ini. Pemuda itu berbaring di atas ranjang, membuka aplikasi chatting di ponselnya, dan memutar video yang terakhir dikirimkan oleh Kimberly. Sudah berpiyama, gadis itu mengambil rekaman video sambil berbaring di tempat tidur. Rambut cokelatnya tergerai. Seprai, selimut, dan sarung bantalnya didominasi oleh warna putih. Cahaya temaram di kamar tidur merefleksikan fitur-fitur wajah gadis itu.

"Hai, maaf baru sempat mengabarimu," ucap Kim di dalam rekaman. "Minggu-minggu ini sungguh gila. Bahkan, aku baru bisa bernapas dengan santai di malam hari. Kuharap kau tidak marah, kita sudah lama sekali tidak melakukan panggilan video karena jadwalku yang lumayan padat.

"Kabarku beberapa hari ini baik. Aku tidak menyangka akan sangat menyukai pekerjaan ini." Kim bercerita dengan binar cerah di wajahnya, membuat Quentin menyunggingkan senyum tipis. Kedua pipinya menghangat. "Kuharapa kau bisa segera menyelesaikan apa pun yang kau lakukan di sana dan kembali bersamaku. Tanpamu di sini aku kesulitan bangun pagi. Kau sudah seperti alarm pribadiku," ucap gadis itu sambil tertawa kecil.

Quentin terkekeh. Selama tinggal di atap yang sama, pemuda itu memiliki seribu cara untuk mencegah Kim kembali tidur setelah alarm berbunyi, membuat gadis itu tidak pernah menekan tombol snooze dan terlambat menghadiri kuliah pagi.

"Just kidding. I just miss you, that's all," ucap Kim lagi, "Jaga dirimu baik-baik, oke? Kabari aku setelah kau menerima rekaman ini."

Tiba-tiba, pintu kamar terbuka secara kasar, membuat jantung Quentin seakan berhenti berdetak. Dengan refleks pemuda berambut pirang itu memalingkan pandangan dari ponsel, menarik selimut menutupi tubuhnya.

"Jeez, can you knock?" desis Quentin.

"Quentin, code red!" seru Dylan yang baru saja membanting pintu kamar. Terlihat jelas pemuda itu sedang panik.

"Yeah, apa kode merah yang kau maksud? Sejak-kemarin-puding-cokelat-di-kafetaria-habis-dan-kau-ingin-makan-itu-sampai-rasanya-ingin-mati?" sindir Quentin.

"Quentin, aku serius!" Dylan menatap tajam pemuda di hadapannya. Melihat keseriusan di wajah Dylan, Quentin diam. "Ini soal Chloe. Apa kau melihatnya seharian ini?" tanya Dylan.

Pemuda berambut pirang itu mengernyit. "Tidak. Bukankah seharusnya ia bersamamu?"

"Chloe menghilang seharian. Ia tidak menjawab teleponku, tidak ada di kamar, dan kini ponselnya mendadak tidak aktif."

"Tunggu. Jadi maksudmu Chloe tidak terlihat sejak kemarin?" Quentin mengambil kursi kayu di ujung kamar, kemudian menariknya ke depan ranjang. Pemuda itu mendaratkan bokongnya di tepian matras dan melirik kursi kayu di hadapannya. "Duduk!" titahnya.

Buru-buru Dylan duduk di kursi kayu. "Yeah. Terakhir ia bilang ada urusan dengan seseorang di luar rumah susun dan aku tidak melihatnya lagi sampai sekarang."

"Oke, jadi dengan siapa Chloe pergi?" tanya Quentin.

"Hannah, teman sekamarnya." Dylan menjawab. Ketika menyadari ada sesuatu yang penting dari perkataannya, raut wajahnya berubah cerah. "Hannah adalah perawat di rumah susun ini." Kemudian ia beranjak. "Aku akan pergi ke klinik di lantai satu."

Quentin menoleh ke arah Dylan, lalu mengangguk mantap. "Yeah. Kau tanya perawat yang bernama Hannah itu. Aku akan coba melacak keberadaan ponsel Chloe."

*****

"Hai, Dylan. Mereka bilang kau ingin menemuiku?" Hannah tersenyum sambil berjalan cepat menuju meja informasi klinik lantai satu, tempat di mana Dylan berada sekarang. Ia bertanya-tanya, untuk apa Dylan menemuinya malam-malam begini? Terlebih lagi pemuda berambut cokelat itu terlihat gelisah, seperti ada sesuatu yang mengganggu pikirannya.

Dylan mengernyit. Ketika bertanya soal keberadaan Hannah dua hari ini, resepsionis di klinik mengatakan bahwa gadis berambut cokelat terang itu tidak pernah meninggalkan gedung.

"Sejak kemarin kau bekerja di klinik?" tanya Dylan cepat.

Hannah mengangguk. "Aku ada sif malam sepanjang minggu ini dan terkadang harus menginap."

"Kau tidak bersama Chloe seharian kemarin?" tanya Dylan lagi.

Hannah menggeleng pelan. "Tidak."

Dylan bergeming, lalu menunduk sambil mengembuskan napas kecewa. Raut wajahnya mengisyaratkan kekecewaan sekaligus bingung.

"Dylan, sebenarnya ada apa?" tanya Hannah, alisnya bertaut.

"Ini soal Chloe." Kemudian Dylan menceritakan segalanya tentang Chloe yang tidak kunjung pulang, termasuk ketika gadis itu mengaku pergi bersama Hannah dan ponselnya yang mendadak tidak aktif. Pemuda itu panik, jelas terlihat dari perkataannya yang lumayan cepat.

Hannah mengernyit. Masih mencoba memahami situasi, ia menggeleng pelan. "Itu tidak masuk akal. Untuk apa aku mengajaknya keluar gedung? Sepanjang minggu ini aku sibuk bekerja dan tidak ada waktu untuk pergi bersama Chloe."

Mereka berdua bergeming. Hannah mengambil ponselnya, mencoba menghubungi Chloe. Sama seperti apa yang dialami Dylan, panggilan Hannah tidak terhubung dikarenakan ponsel Chloe masih dalam keadaan tidak aktif.

"Kau benar. Ponselnya tidak aktif." Hannah mengakhiri panggilan telepon. "Apa kalian bertengkar atau semacamnya? Apa ia pernah mengatakan padamu akan pergi ke suatu tempat?"

Dylan menggeleng singkat ketika mengingat apa yang terjadi kemarin. "Kami sempat berdebat kecil soal pekerjaan, tetapi hal itu tidak bisa dikategorikan sebagai pertengkaran. Kurasa bukan itu penyebabnya, dan Chloe tidak pernah bilang akan pergi ke suatu tempat," ujarnya, masih terdengar panik.

Pembicaraan berakhir, senyap untuk sesaat. Baik Dylan maupun Hannah, keduanya dipenuhi oleh pikiran masing-masing. Merasa tidak boleh membuang waktu, pada akhirnya Dylan memecah keheningan. "Aku harus segera kembali ke lantai empat. Kabari aku jika Chloe menghubungimu, oke?"

Refleks, Hannah mengangguk cepat. "O-oke ...." Ucapannya terhenti ketika Dylan berbalik, kemudian berlari kecil menuju pintu klinik, seperti sedang terburu-buru. "Dylan, tunggu!" teriaknya lagi, tetapi pemuda berambut cokelat itu sudah keluar dari klinik. "Bagaimana aku bisa mengabarimu? Aku tidak punya nomor ponselmu dan tidak tahu di kamar mana kau menetap!" teriaknya, tetapi Dylan tidak kembali.

*****

Dylan kembali ke lantai empat, pemuda itu membuka pintu kamar Quentin tanpa mengetuk terlebih dahulu, menutupnya kembali, lalu berjalan cepat menuju meja kecil tempat di mana pemuda keturunan Jepang itu sibuk berkutat dengan laptopnya. "Chloe berbohong padaku."

Quentin mengalihkan pandangan dari layar. "Apa maksudmu?"

"Chloe tidak pergi bersama Hannah. Perawat itu juga bilang ia bekerja seharian dan tidak pernah meninggalkan gedung."

Quentin kembali fokus pada layar. Ia mengusap kasar dagu dan rahangnya yang mengeras. "Damn it, Chloe!" umpatnya.

"Kau menemukan sesuatu?" tanya Dylan.

Quentin mundur, menyandarkan punggungnya pada kursi agar Dylan bisa melihat layar laptopnya lebih jelas. "Aku melacak keberadaan ponsel Chloe selama tiga puluh enam jam terakhir. Kemarin, ia sempat keluar gedung satu jam setelah sarapan," terang Quentin.

Layar laptop Quentin menampilkan maps berwarna monokrom, entah dari aplikasi apa, tetapi satu hal yang Dylan tahu pasti, itu bukan tampilan Google Maps. Pemuda berambut cokelat itu bergeming sejenak sebelum menyadari hal yang ganjil. "Setidaknya Chloe berkata jujur soal ada urusan di luar rumah susun, tapi urusan apa dan ke mana ia pergi?"

"No idea." Quentin menunjuk tampilan maps di layar laptop, menggerakan telunjuknya mengikuti sebuah jalanan lebar dua jalur dengan hutan di kanan kirinya, dan berhenti di satu titik. "Di sini aku kehilangan jejaknya. Aku tidak tahu ke mana dia setelah ini."

Dylan menyipit, lalu menggerakan trackpad laptop Quentin untuk memperbesar tampilan maps. "Mengapa kau tidak bisa melacaknya?"

Quentin mengedikkan bahu. "Antara ponsel Chloe dimatikan, atau tidak ada sinyal internet di sana."

Dylan memperkecil tampilan maps, meneliti satu per satu tempat di sekitar titik di mana Chloe menghilang. Lalu, pemuda itu menyadari sesuatu, ia berhenti menggerakan jarinya di atas trackpad. Netranya sedikit membola. "Zona kuning. Chloe pergi ke zona kuning! Di sana tidak ada sinyal internet!"

"Untuk apa Chloe pergi ke sana? Apa ia lupa bahwa zona kuning udaranya beracun?"

"Well, kami lumayan kebal terhadap partikel radioaktif."

"Sebenarnya ke mana Chloe setelah sarapan itu tidak penting," ucap Quentin lagi. "Setelah jam makan malam, ia kembali ke fasilitas ini." Quentin menggeser jarinya di trackpad, maps di layar laptop kini kembali ke rumah susun, kemudian pemuda itu memperbesarnya. "Sayangnya, sekitar enam jam yang lalu, ponsel Chloe tidak terlacak lagi."

Mendengarnya, Dylan tersenyum. "Chloe ada di sini. Kita tidak perlu mengkhawatirkan soal zona kuning atau apalah. Kita bisa fokus mencarinya di tempat ini, 'kan?" tanyanya antusias.

Quentin mengangguk pelan, sedikit ragu. "Yeah, tapi penyelidikanku ini memiliki kelemahan. Karena maps ini tidak bisa ditampilkan secara tiga dimensi, kita hanya bisa melihat Chloe dari atas. Kita tidak tahu ia ada di lantai berapa dan ruangan apa sebelum menghilang."

"Kau punya metode lain untuk melacak keberadaan ponsel Chloe tanpa internet dan tanpa maps?" tanya Dylan.

Quentin bergeming untuk berpikir, membuat ruangan ini lengang untuk beberapa saat. Kedua netranya bergerak mengamati sekitar, hingga tertuju pada sebuah benda yang sangat pipih di atas meja. "Yeah, aku punya cara lain."

"How?"

Quentin mengambil kartu di atas meja dan menunjukkanya pada Dylan. Pemuda berambut cokelat itu melihat potret Quentin pirang yang mengenakan seragam petugas kebersihan di sana, dengan tulisan 'Sakaguchi Kento' di bawahnya. Lalu, Quentin menyeringai dan berkata, "Dengan ini, aku bisa melakukan apa pun."

Dukung Avenir: Redemption dengan menekan bintang di pojok kiri bawah 🌟

24 Maret 2022

*****

Halo halo, maaf telat update ya! Spesial bangetttt part ini aku bikin panjang, hampir 2000 words karena kemaren telat.

Boleh absen siapa aja yang masih baca Avenir: Redemption? Berhubung sekarang aku ngerjain 3 cerita (DW dan HTGABD juga), aku mau fast update di cerita yang paling banyak ditungguin. Please let me know if you still waiting for this story! Comment di sini ya!🙌

Sampai jumpa di part selanjutnya! 💞

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro