3-9 | Rosewood Forest [Part 1]

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

"Kurasa kau harus mencoba menyisir Rosewood Forest."

Sekitar enam puluh jam yang lalu

"Kau yakin akan baik-baik saja dengan keputusanku?" tanya Dylan yang terakhir kalinya pada Chloe.

Untuk bekerja sebagai joki, tentu ia harus mendapat persetujuan dari sang pacar. Di tengah lorong lantai empat yang sepi, setelah sarapan pagi, keduanya berdiri berhadap-hadapan. Dylan menatap kedua netra hazel sang pacar dengan penuh harap. Pemuda itu jadi terlihat seperti anak anjing yang sedang memelas–imut tapi juga menyebalkan–di mata Chloe. Meskipun berat, gadis itu akhirnya mengangguk. "Yeah, lakukan apa yang kau sukai. Kau membutuhkan uang, 'kan?"

"Seratus persen yakin?" tanya Dylan, dan Chloe mengangguk sekali lagi. Air muka Dylan semakin cerah. Pemuda itu tersenyum lebar. "Kalau begitu, aku akan pergi ke kamar Sam di lantai enam untuk bertanya soal detailnya." Dengan cepat pemuda itu mengecup pipi Chloe. "Sampai jumpa saat makan malam!"

Sebelum Chloe sempat bicara lagi, pemuda itu sudah melesat menuju lift. Chloe ingin sekali menahan kekasihnya, tetapi ia sendiri yang bilang akan baik-baik saja dengan pekerjaan yang akan dilakukan Dylan. Gadis itu menekuk wajah ketika pintu lift tertutup dan bergerak naik ke lantai enam.

"Is he dumb?" gerutu Chloe, "apa ia tahu arti ucapan 'lakukan apa pun yang kau sukai' dari seorang gadis itu justru adalah sebaliknya?"

Dengan perasaan jengkel, Chloe berjalan pelan menuju kamarnya. Gadis itu menggigit bibir, berusaha memerintahkan diri sendiri untuk berhenti merasa kesal. Ia memejamkan mata, mendesah pelan. Menjadi seorang joki bukan pekerjaan yang Chloe sukai. Dengan mengerjakan tugas orang lain demi uang, Dylan secara tidak langsung mendukung pembodohan di negeri ini. Namun, kondisi ekonomi keluarga Grayson berbeda dengan keluarganya. Sean telah tiada, dan Nancy-lah yang harus berperan mencari nafkah. Sudah sewajarnya jika Dylan ingin membantu sang ibu.

"Tapi memangnya tidak ada pekerjaan lain?" gerutu Chloe lagi. Namun, mengeluh di belakang Dylan adalah perbuatan yang sia-sia. Ia memejamkan mata sekali lagi dan menghela napas dalam-dalam, berusaha mengusir emosi negatifnya. Sekalipun Chloe melarang, Dylan akan terus merengek hingga gadis itu berkata iya. Jadi, tidak ada gunanya memperburuk suasana hati dengan terus memikirkannya.

Ketika sampai di ujung lorong, Chloe berbelok. Gadis itu memicingkan mata. Di kejauhan, ia melihat presensi seorang pemuda gondrong dengan rompi antipeluru berdiri di depan pintu kamarnya. Ketika mendengar langkah kaki, sosok itu menoleh.

"Apa yang kau lakukan di sini?" tanya Chloe ketika gadis itu telah sampai di depan kamarnya, "kau tidak bekerja?"

"Sedang tidak bertugas," jawab Davis sambil tersenyum. "Aku tidak tahu nomor teleponmu, jadi aku mendatangi kamarmu dan rupanya tidak ada orang. Pas sekali, si pemilik kamar baru saja kembali."

"That's weird. Kau tidak pernah mendatangi kamarku sebelumnya." Chloe terkekeh canggung. Akibat berdebat dengan Dylan, ia merasa tidak memiliki energi lagi untuk bersosialisasi. Rasanya ingin segera masuk ke dalam kamar dan berbaring seharian.

"Yeah, itu karena ada yang harus kubicarakan denganmu."

"Soal Quentin?" tanya Chloe. "Ah, aku lupa mengabarimu. Beberapa hari lalu aku dapat kabar darinya bahwa ia masih hidup, jadi kau tidak perlu repot-repot mencarinya lagi."

Davis mengangkat kedua alis, lalu tersenyum. "Wow, benarkah?"

Chloe mengangguk. "Yeah. Dia benar-benar sehat. Selama ini Quentin menetap di Portland, dan ia baru menemukan cara bagaimana menghubungiku beberapa hari lalu."

Davis tersenyum. Tentara muda itu turut merasakan kebahagiaan yang Chloe rasakan, meskipun ia sendiri tidak pernah bertemu dengan sosok Quentin secara langsung. "Aku turut senang kakakmu masih hidup, sungguh, dan satu lagi, aku tidak pernah merasa direpotkan. Relax," jawabnya tulus.

"That's very kind of you." Chloe tersenyum tipis. "Jadi, apa yang ingin kau bicarakan?"

"Oke, jadi, aku pergi ke Kota Moorevale dua hari yang lalu." Davis mulai bercerita.

Chloe yang awal mulanya tidak menunjukkan minat sama sekali, ekspresi wajahnya mendadak serius. "Kau pergi ke Moorevale? Untuk apa?"

"Kau pernah memberitahuku soal anak kucing yang mengalami mutasi genetik, jadi aku pergi untuk mengecek separah apa hewan-hewan di sana. Sayangnya, aku tidak menemukan anak kucing yang kau maksud." Davis melanjutkan ceritanya. "Di mana kau menemukannya?"

"Di sebuah gang kecil dekat rumahku. Itu anak kucing yang usianya baru beberapa minggu. Mungkin ia tidak berhasil bertahan hidup?" Chloe menebak-nebak. "Aku hanya melihat satu ekor anak kucing yang cacat, sisanya tampak normal."

"Meskipun begitu, aku tetap harus mengecek seisi kota, siapa tahu ada hewan-hewan yang bermutasi selain anak kucing itu. Itu perintah dari atasanku," ujar Davis, "sayangnya, saat itu waktuku sempit, aku belum menjelajah hingga ke seluruh sudut kota."

"Kurasa kau harus mencoba menyisir Rosewood Forest."

"Rosewood Forest?"

"Itu hutan kecil di kota kami, letaknya tepat di sebelah Vortex Laboratory yang hancur tahun 2019. Kau tahu soal itu, 'kan?" tanya Chloe. Davis menjawab dengan anggukan. "Mungkin saja kau menemukan hewan-hewan yang bermutasi di sana. Seperti kelinci hutan misalnya?"

Davis memperlihatkan raut wajah kesal. Ia menggaruk kepala belakangnya kasar. "Ah, merepotkan!" gerutunya.

"Moorevale mungkin terlihat seperti kota kecil karena penduduknya tidak banyak, tapi areanya luas. Ditambah dengan luasnya Rosewood Forest." Chloe tersenyum simpul.

"Kalau begitu, kau mau pergi ke sana? Menjadi pemandu wisataku?" Kemudian Davis mengoreksi perkataannya. "Ah, tidak tepat jika ini disebut wisata. Mungkin lebih tepatnya ... penunjuk jalan?"

"Jadi ... kau mengajakku ke Kota Moorevale?" tanya Chloe lagi.

Davis mengangguk. "Yeah. Kau lebih tahu Moorevale jika dibandingkan denganku."

Chloe bergeming. Kini Quentin sudah ditemukan, tidak ada lagi alasan untuk tetap berhubungan baik dengan Davis. Ditambah lagi, ia tidak tahan jika harus mendengar ocehan Dylan ketika cemburu. Menjauh dari pemuda di hadapannya adalah tindakan yang tepat.

Namun, kini Davis membutuhkan bantuannya. Selama ini, tentara muda itu rela direpotkan oleh Chloe. Sangat tidak etis jika Chloe menolak permintaan itu, 'kan? Selama ini, Davis sudah bekerja keras membantunya mencari Quentin, meskipun di akhir pemuda itu muncul sendirinya dengan identitas palsu dan usaha Davis jadi tidak ada artinya.

"Jadi ... bagaimana?" tanya Davis, membuyarkan lamunan Chloe.

"Huh?" Gadis itu berkedip sekali.

"Soal menjadi penunjuk jalan?"

"Oke. Kurasa pulang sebentar ke rumah bukan hal yang buruk," balas Chloe cepat.

Mendengarnya, Davis tersenyum lebar. "Great! Temui aku di lobi satu jam lagi. Aku akan menyiapkan hazmat untukmu."

"Whoa! Kita berangkat sekarang?" Chloe bertanya sekali lagi untuk memastikan.

"Jika pergi sore hari, kita akan sampai terlalu larut. Lagi pula, besok aku akan sangat sibuk. Aku juga harus segera memberi laporan tentang anak kucing itu pada atasanku," jawab pemuda itu.

"Oh ...." Chloe bergeming sesaat sambil menggigit bibir. "Baiklah."

"Oke. Sampai jumpa satu jam lagi." Setelah mendapat persetujuan Chloe, Davis tersenyum, kemudian berlalu meninggalkan gadis itu. Sol karet dari boots yang dikenakan Davis berdecit halus, lama kelamaan semakin mengecil. Pandangan Chloe mengikuti ke mana pemuda itu pergi, hingga menghilang di persimpangan lorong.

Gadis berambut merah itu mematung di depan pintu kamar, kemudian mengembuskan napas panjang. Ia sedikit bimbang dengan keputusannya. Apakah ia harus kembali ke Moorevale bersama Davis?

"It's okay, Chloe, ini untuk yang terakhir kali. Setelah malam ini, aku tidak akan menemuinya lagi." Gadis itu bermonolog. Dikeluarkanlah ponsel dari saku celananya. Ia membuka aplikasi chatting dan mengirimkan pesan untuk Dylan. Gadis itu mulai mengetik.

Davis mengajakku ke Kota Moorevale. Mungkin aku akan sibuk sampai jam makan malam.

Chloe bergeming sejenak, lalu mengetik lagi.

Mau ikut bersama kami?

Gadis itu mengernyit, mengetuk backspace beberapa kali hingga seluruh pesan terhapus. "Yeah, dan mereka akan saling membunuh sepanjang perjalanan. Ide yang bagus, Chloe."

Dylan Grayson, pemuda itu adalah pangkal dari semua masalah ini. Ia mudah cemburu dan terlalu emosional. Chloe mendesah pelan. Lebih baik ia tidak perlu memberitahu sang pacar. Kedua jempolnya kembali mengetik.

Aku ada urusan dengan Hannah di luar rumah susun. Kau bisa makan siang dan makan malam duluan bersama Sam.

Gadis itu selesai mengetik. Sesaat setelah menekan tombol 'send', Chloe menyesali perbuatannya. "Astaga, mengapa aku harus mengirimkan pesan seperti itu? Aku jadi terlihat seperti akan pergi kencan di belakang Dylan," keluhnya.

Chloe hendak menekan pilihan 'unsend', tetapi Dylan sudah membacanya terlebih dahulu dan menjawab 'oke'. Gadis itu mengunci ponsel, lalu menyimpannya kembali ke dalam saku. Ia menunduk, menatap kosong lantai di bawah kakinya sambil menghela napas panjang.

"Tidak apa-apa, aku tidak melakukan hal yang salah, kecuali bagian berbohong pada Dylan, tentu saja. Namun, ini bukan kencan atau semacamnya. Ini adalah bentuk balas budiku pada Davis," tegas Chloe pada dirinya sendiri.

Dukung Avenir: Redemption dengan menekan bintang di pojok kiri bawah 🌟

9 April 2022

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro