4-2 | Swindler [Part 2]

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Chloe Wilder duduk di depan meja makan kecil berbentuk persegi. Permukaannya dilapisi taplak putih berbahan satin, cahaya dari lilin di atas meja mengalahkan lampu temaram di langit-langit ruangan. Gadis itu melihat beberapa pasangan duduk di meja lain, menikmati makan malam seperti dirinya. Semuanya tampak necis dengan dres dan jas mewah. Beberapa bercakap-cakap, meskipun ia tidak bisa mendengar obrolannya akibat suara biola dan harpa yang mengalun lembut di telinganya. Lalu, seorang pelayan laki-laki menghampiri mejanya, meletakkan piring besar berisi potongan daging salmon panggang beserta dressing dan sayurannya. Satu piring lagi yang berisi daging tenderloin dan mashed potato diletakkan di seberangnya.

Jika dirinya berkesempatan melakukan fine dining, tentu saja ia akan mengajak Dylan. Namun ... siapa laki-laki di hadapannya ini? Rambut cokelat klimis yang dilapisi hair gel, janggut tipis, iris abu-abu tua, serta fitur-fitur lainya tidak terpatri dalam memori Chloe. Usianya mungkin tidak berbeda jauh dengan Quentin.

"Kau tidak menyentuh martini-mu," ujar laki-laki itu sambil melirik gelas kaca di hadapan Chloe. Ia memotong daging tenderloin, menusuknya dengan garpu, dan memasukkannya ke mulut.

Chloe tidak menjawab, ia melirik gelas kaca di hadapannya. Tunggu ... apakah aku sudah legal untuk menenggak minuman yang mengandung alkohol?

"Hei," lirih laki-laki itu sambil tersenyum. Ia meletakkan garpu dan pisaunya, lalu meraih tangan Chloe dan mengelusnya lembut. Chloe menatap sepasang iris abu tua itu. Lengang sejenak, hanya terdengar alunan biola dan harpa yang begitu romantis. "Aku tahu fine dining ini telah dibatalkan berkali-kali. Karena berkali-kali gagal booking, jadwal sif-mu yang padat, pekerjaanku, lalu bla bla bla, tapi kuharap kau masih ingin duduk dan makan malam bersamaku," ucap sosok itu, "atau ... kau masih saja memikirkan pekerjaan?"

Chloe membuka mulut, hendak menjawab, tetapi diurungkan kembali. Meskipun ingin, entah mengapa ia tidak bisa mengeluarkan suara. Padahal, banyak yang ingin ia tanyakan. Siapa dia? Pekerjaan apa? Tempat apa ini?

"Kau bisa menceritakan apa pun padaku." Sosok itu tersenyum manis.

Tiba-tiba, seorang pelayan meletakkan piring kecil berisi sepotong cheesecake dua lapis di atas meja, membuat Chloe dan laki-laki itu menoleh.

"Maaf, kami tidak pesan matcha cheesecake," ujar pemuda berambut cokelat itu cepat ketika melihat kue dengan lapisan hijau pucat di atas dan putih kekuningan di bawah.

Pelayan itu mengernyit. "Benarkah?" Ia mengambil tablet dari dalam saku apronnya, mengetuk layarnya beberapa kali, kemudian membaca sesuatu. "Mohon maaf, tapi di sini tertulis Anda memesan matcha cheesecake."

Pemuda itu tidak terima, lalu berdebat kecil dengan si pelayan. Ucapan keduanya terdengar samar di telinga Chloe. Indra pendengarannya menangkap suara statis tipis-tipis. Sambil menepuk-nepuk telinganya yang berdengung, ia melirik dessert di hadapannya, kemudian kembali melirik pelayan dan pemuda misterius itu. Lantunan biola tiba-tiba mendominasi sekitar, membuat Chloe semakin tidak bisa mendengar ucapan mereka.

Sepeninggalnya si pelayan, pemuda di hadapannya memasang muka sendu, terlihat jelas bahwa ia merasa bersalah. Suara biola meredup ketika ia berkata, "Maafkan aku, aku tahu kau membenci matcha. Aku meminta mereka menggantinya dengan tiramisu cheesecake, tetapi sedang kosong."

Chloe mengernyit, merasa semakin bingung. Meskipun bukan favoritnya, matcha bukan rasa yang ia benci. Lalu, gadis itu melirik sepotong kue di hadapannya. Entah mengapa melihat lapisan cheesecake berwarna hijau di lapisan teratas membuat selera makannya hilang. Malam ini, ia tidak bernafsu menikmati apa pun yang mengandung matcha.

"It's ... okay. Aku hanya tinggal menyingkirkan lapisan teratas dan memakan lapisan cheesecake terbawah, 'kan?" kata Chloe ragu-ragu.

Pemuda berambut klimis itu mengangguk. "Yeah, jika kau tidak masalah dengan itu."

Hening kembali untuk beberapa saat ke depan. Si pemuda kembali melahap tenderloin-nya, sedangkan Chloe sibuk dengan garpu kecil, menyingkirkan lapisan matcha di kue itu dan mulai menikmati bagian terbawah. Tiba-tiba, garpunya mengenai sesuatu yang keras. Gadis berambut merah itu menggali dessert di hadapannya hingga menemukan cincin emas putih dengan permata kecil. Alisnya kembali bertaut, ia merasa semakin bingung. Dipindahkannya cincin itu ke tepi piring, kemudian Chloe mengambilnya.

"Apa ini?" tanya Chloe sambil menunjukkan cincin yang berlumuran cheesecake pada pemuda di hadapannya.

"Ah, kau menemukannya!" ujar pemuda itu ceria. Ia mengambil cincin di tangan Chloe dan membersihkan permukaannya dengan tisu.

"Tunggu. Itukah sebabnya pelayan itu memberikan dessert dengan rasa matcha? Agar aku menyingkirkannya dan menemukan cincin itu di lapisan terbawah?" tanya Chloe.

"Yup!" Pemuda itu tersenyum. "Kuharap kau tidak sepenuhnya membenci makan malam hari ini."

Chloe ingin berucap kembali, tetapi entah mengapa lidahnya mendadak kelu. Pemuda itu meraih tangan Chloe, menatap lekat kedua iris hazel gadis itu, kemudian menyebutkan nama seseorang yang cukup familier, tetapi terdengar samar di telinga Chloe. Tanpa jeda, pemuda itu melanjutkan perkataannya, "Will you marry me?"

Tentu Chloe ingin menolak. Siapa yang tidak merasa ngeri setelah tiba-tiba dilamar oleh seseorang yang tidak dikenal? Lagi pula, usianya baru tujuh belas tahun dan belum pantas untuk bertunangan. Namun, hormon bahagia malah membanjiri tubuhnya. Pipinya terasa hangat, hingga tanpa sadar sebuah senyum manis terulas di wajahnya. Debaran jantungnya menjadi lebih cepat. Chloe menutup mulut, air mata bahagia jatuh dari sudut matanya. Dengan keyakinan penuh, ia mengangguk. Pemuda di hadapannya itu menghela napas lega dan menyunggingkan senyum lebar. Kemudian, dipasangkannya cincin itu di jari manis kiri Chloe.

Lalu, Chloe membuka mata dan pemandangan itu hilang. Pemuda misterius, lilin yang menyala di atas meja, martini dan matcha cheesecake, cincin emas putih, semuanya berganti menjadi langit-langit berwarna putih bersih. Detak jantungnya memelan. Telinganya tidak lagi mendengar alunan biola dan harpa. Kini semuanya hening, sampai-sampai gadis itu bisa mendengar napasnya sendiri. Chloe mendesah kasar sambil mengusap kedua mata.

"Lagi-lagi bermimpi aneh," keluh Chloe setelah sadar bahwa ia kembali ke ruang isolasi serba putih sialan itu.

Kini, Chloe berbaring di atas brankar dengan pakaian pasien berwarna biru muda. Entah sudah hari keberapa Chloe merasa dirinya berada di antara hidup dan mati. Ia tidak tahu hari apa dan jam berapa sekarang. Gadis itu hanya bisa memperkirakan waktu dari jadwal makan dan mandinya. Tiga kali dalam sehari, seorang perawat mengantarkan makanan ke kamarnya. Dibandingkan prasmanan di kafetaria, makanan yang mereka berikan jauh lebih parah. Meskipun memenuhi angka kecukupan gizi hariannya, makanan yang diterima Chloe selalu hambar dan tidak pernah bervariasi.

Terpenjara di ruangan putih steril selama berhari-hari memengaruhi kondisi mentalnya. Ketika dr. Valentine atau perawat lain mendatanginya demi keperluan medis, ia hanya bisa pasrah. Kini, seorang tentara selalu berjaga di depan pintu kamar, membuatnya tidak bisa lagi menyakiti orang-orang dan berlari meninggalkan ruangan. Semuanya diperparah dengan mimpi-mimpi pemberian Partikel 201X yang selalu datang tiap malam. Tidak hanya mimpi aneh seperti tadi, terkadang benda kecil itu memberinya mimpi buruk. Acap kali Chloe menangis sendirian. Ia ingin bermain ponsel, ingin pergi ke luar menikmati sinar matahari, ingin mengobrol dengan seseorang sambil menikmati sesuatu yang manis untuk asupan hormon bahagia di tubuhnya, seperti puding cokelat di kafetaria.

Ah, itu dessert kesukaan Dylan.

Mengingat Dylan membuatnya semakin hancur. Dibandingkan sedih, ia justru marah pada dirinya sendiri. Ketika emosinya membuncah, ia biasa menyalurkannya dengan berolahraga maupun berlatih bela diri. Namun, kini tubuhnya begitu lemah setelah sampel darah dan sumsum tulangnya diambil. Untuk berjalan pun rasanya sulit. Terkadang, ia masih merasakan nyeri di beberapa bagian tubuhnya. Tidak ada cara lain selain berbaring seharian. Selain itu, obat penenang selalu memberinya rasa kantuk. Tanpa sadar, ia terlelap dan ketika bangun, mimpi buruk itu tidak kunjung pergi. Chloe masih terjebak di tempat sialan ini. Namun, lama kelamaan ia terbiasa menghadapi rasa kantuk setelah dr. Valentine mengurangi dosis obat penenangnya.

Chloe tahu dirinya harus mencari cara untuk kabur. Kali ini, ia tidak boleh gegabah. Gadis itu mengedarkan pandangan ke seluruh penjuru kamar, seperti sedang mencari sesuatu. Kemudian, ia melihat gantungan infus kosong di sebelah ranjangnya. Karena Chloe sudah bisa mengonsumsi makanan padat, mereka tidak lagi memberinya nutrisi atau obat dalam bentuk cairan.

Tiba-tiba, Chloe mendapatkan ide cemerlang. Ia duduk tegak secara perlahan, lalu meraih kaitan besi di puncak gantungan itu. Dengan kemampuan seadanya, ia berusaha melepas kaitan dengan tangkainya. Seharusnya mudah, karena tangkai dan kaitannya hanya dihubungkan dengan semacam kuncian yang terbuat dari plastik. Ia meringis sambil terus mengerahkan tenaganya, kemudian berhenti dan mengatur napas. Ia melakukannya berkali-kali hingga kaitan itu terlepas dari pangkalnya. Senyumnya mengembang ketika kaitan besi itu telah berada di tangannya.

Pintu otomatis terbuka, dua orang perawat perempuan yang bukan Hannah masuk ke dalam ruangan. Chloe buru-buru menyembunyikan kaitan infus di balik bajunya, kemudian melirik tangan dua perawat itu. Tidak ada makanan, itu artinya sekarang waktunya untuk mandi.

Benar-benar waktu yang tepat!

Dibantu dua perawat tadi, Chloe duduk tergak. Ia menyembunyikan kaitan tersebut di antara baju dan tangannya, lalu perlahan turun dari ranjang dan berjalan menuju pintu. Ada satu orang lagi yang menunggunya di depan pintu. Chloe menoleh ke arah sosok itu, lalu sedikit terkejut ketika melihat Davis yang berpakaian tentara lengkap sedang berdiri di sana. Tiap harinya, ia selalu bertemu dengan tentara yang berbeda. Henderson juga pernah ditugaskan menjaganya tempo hari lalu. Namun, dirinya tidak pernah menyangka bahwa Davis juga mendapatkan tugas untuk menjaganya. Itu artinya, tentara muda itu sudah tahu bahwa klinik ini menjadikannya tikus percobaan dan tidak melakukan apa pun untuk menolongnya.

Keduanya berpapasan di depan pintu otomatis dan saling bertatapan. Merasa ditipu, Chloe memalingkan pandangan dari Davis. Perasaannya semakin kacau saja. Gadis itu berjalan perlahan melewati Davis, dituntun oleh dua perawat yang berada di kanan kirinya. Dengan helaan napas berat, tentara muda itu mengekori ketiganya. Pemuda itu melihat kekecewaan dari sepasang iris hazel Chloe.

Seandainya gadis itu tahu bahwa dirinya pun kini berada dalam situasi sulit.

Chloe berjalan menelusuri lorong panjang yang atap, dinding, serta langit-langitnya berwarna putih bersih. Kaki telanjangnya berdecit halus ketika bergesekan dengan ubin. Tatapannya kosong ke depan. Setelah Hannah, kini Davis pun mengkhianatinya. Apakah perjalanan mereka ke Kota Moorevale juga adalah bagian dari jebakan? Mengapa bisa gadis itu tidak menyadarinya? Mengapa ia bisa semudah itu memercayai seseorang yang baru dikenalnya? Jangankan orang-orang baru, bahkan Theo Wilder, sosok yang ia percaya sejak kecil pun memiliki sisi gelap yang tidak pernah Chloe ketahui sebelumnya.

Gadis itu merasa ada yang salah dengan dirinya. Mengapa ia bisa bersikap senaif itu? Padahal, Quentin pernah berpesan untuk tidak memercayai siapa pun di dunia ini. Pemuda keturunan Jepang itu mengajarinya untuk menjadi perempuan yang tangguh dan tegas. Namun, kini ia terjebak dalam situasi sialan ini karena tak mampu berkata 'tidak' pada pemuda yang berusaha menggodanya. Sungguh konyol!

Ah, tapi siapa Chloe ini? Memangnya ia boleh membicarakan soal 'kepercayaan'? Bahkan, gadis itu sendiri pun tidak bisa menjaga kepercayaan Dylan. Mungkin inilah karma dari segala perbuatannya pada pemuda itu.

Sambil tertatih-tatih, Chloe berbelok di persimpangan lorong. Dengan tatapan sayu, ia mengedarkan pandangan ke sekeliling. Lampu-lampu fluorescent berjajar di langit-langit, di antaranya terdapat ventilasi udara dengan sekat besi yang sisi-sisinya berukuran sekitar setengah meter. Di kanan kirinya terdapat pintu dengan jendela kaca besar. Di dalamnya, Chloe dapat melihat brankar-brankar yang disekat oleh kain berjajar di sepanjang ruangan. Beberapa brankar ditempati pasien dengan pakaian yang sama dengannya. Beberapa pintu otomatis memiliki stiker yang sama seperti kamarnya, bertuliskan 'RESTRICTED AREA'. Ada pula ruangan yang aroma obat-obatannya sangat kuat. Meskipun Chloe tidak dapat melihatnya dengan jelas, di dalamnya banyak dokter dengan sneli putih bersih sedang sibuk dengan alat-alat laboratorium, seperti labu erlemeyer dan mikroskop.

Chloe hanya keluar kamar dua kali dalam sehari ketika ia mandi dan beberapa kali jika ia perlu buang air. Rutenya selalu sama, dari kamarnya menuju kamar mandi, begitu pula sebaliknya. Sulit mencari jalan keluar jika ia tidak bisa bebas berjalan-jalan. Lagi pula, dua perawat dan satu tentara selalu mengawasinya. Dirinya bahkan tidak tahu di mana lokasinya sekarang. Tempat ini terisolasi. Ia tidak melihat orang lain selain tenaga kesehatan dan tentara–meskipun jarang–yang berlalu lalang. Tidak ada penyintas ataupun pasien rawat jalan, hanya ada pasien yang terbaring lemah–mereka mungkin saja bernasib sama dengannya.

Gadis berambut merah itu sampai di kamar mandi. Hanya di sinilah ia dibiarkan sendirian. Tentara dan perawat yang menjagannya menunggu di luar. Itu tidak masalah, karena Chloe tetap dapat menjalankan rencananya.

Di dalam kamar mandi seluas 2 x 2 meter ini terdapat toilet duduk dan shower. Dindingnya dilapisi mosaik keramik berwarna putih. Chloe menoleh ke arah pintu, memastikan telah menguncinya. Setelah itu, ia naik ke atas toilet dengan hati-hati, lalu mendongak ke arah ventilasi dengan sekat besi yang berada di dekat langit-langit. Tubuhnya ramping, dirinya pasti bisa masuk ke dalam sana. Karena tempat ini terisolasi, Chloe tidak punya cara lain selain mencoba kabur lewat sana.

Sambil berjinjit dan menjaga keseimbangan, ia mencongkel sekat besi yang menutupi ventilasi dengan kaitan infus yang dicurinya. Seharusnya mudah karena sekat tersebut tidak dikunci dengan baut. Setiap mandi, Chloe mencoba berbagai cara untuk membuka ventilasi tersebut. Ia pernah mencoba mencongkelnya dengan pulpen dan batang kayu kecil yang ia temukan di kamar, tetapi nihil. Kaitan infus ini terbuat dari besi, seharusnya sekarang ia bisa membukanya.

Chloe mengarahkan seluruh tenaganya sambil meringis. Namun, sekeras apa pun ia mencoba, sekat itu tidak kunjung terbuka. Lama kelamaan, amarahnya timbul. Meskipun telah mencongkel dengan tenaga terbesar yang dipunyainya, ventilasi itu tetap tidak mau terbuka. Gadis itu menyerah, napasnya memburu. Ia mencengkeram erat kaitan besi di tangannya sambil menatap intens ventilasi di dinding. Chloe ingin sekali berteriak, tetapi ia tidak ingin menarik perhatian.

Napasnya kian tak beraturan, ia turun dan mendaratkan bokong di atas tutup dudukan toilet. Sambil menunduk, ia mengatur napas untuk mengenyahkan amarahnya, tetapi nihil. Sambil memejamkan mata, ia melempar kaitan besi di tangannya dengan kasar, menghasilkan bunyi nyaring ketika benda itu beradu dengan lantai.

"Is everything okay?" tanya salah satu perawat di luar kamar mandi sambil mengetuk pintu.

"Yeah!" Chloe berteriak.

Apa semuanya baik-baik saja? Tentu tidak. Dalam kondisi seperti sekarang, Chloe tidak punya mekanisme penangan yang baik untuk meregulasi emosinya. Sudah berhari-hari ia hanya menangis hingga dirinya merasa bahwa menumpahkan air mata saja tidak cukup untuk membuat perasaannya menjadi lebih baik. Chloe berdiri, menanggalkan seluruh pakaiannya dan menyalakan shower. Ia membiarkan air dingin mengaliri seluruh tubuh. Masih memejamkan mata, ia menyandarkan keningnya ke tembok.

Rasa sesak di dadanya kian menyiksa, ia tidak sanggup lagi menahan emosinya. Di bawah pancuran shower, gadis berambut merah itu menangis tersedu-sedu, cukup lama hingga ujung-ujung jemarinya keriput. Chloe tidak peduli lagi dengan orang-orang yang menunggunya di luar. Ia hanya ingin sendirian, menghilang dari realitas yang telah menghancurkannya hingga berkeping-keping.

Jika saja Chloe tidak membenci sang ayah sebegitu dalam, lalu memutuskan untuk mencari keluarganya dan pulang tepat setelah dirinya kembali dari dunia portal, apakah semuanya akan berbeda?

Dukung Avenir: Redemption dengan menekan bintang di pojok kiri bawah 🌟

14 Juli 2022

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro