Segmen 8

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng


"Teman? Hanya "teman" atau teman dekat?" selidik Freya.

Mauri menyunggingkan seulas senyum. "Sebenarnya Trea dan Maia bertetangga. Mereka sudah dekat sejak kecil. Aku adalah sahabat Trea. Yah, aku juga sahabat Maia."

Mauri tak mengetahui apa reaksi kalimatnya barusan pada tiga wanita cantik itu. Mereka membeku. Tampak syok dengan penjelasan Mauri.

"Bertetangga katamu?" Kathleen bertanya hati-hati.

Mauri mengamati ketiga wanita di depannya lekat-lekat. Senyum masih tersungging di bibirnya.

"Kalian pasti Zooey, Freya, dan Kathleen," tunjuk Mauri satu-satu dengan tepat, "Maia sudah bercerita banyak tentang kalian pada kami."

"Aku ketinggalan apa, nih?" Maia tiba-tiba nimbrung.

"Lo sih, kebanyakan berantem sama Trea." Mauri ngomel dalam bahasa Indonesia. Dia kembali menoleh pada trio Tim Sembilan.

"Jangan khawatir. Kami sudah tahu semuanya, kok."

Ketegangan di wajah ketiganya berganti penasaran. Tawa Mauri dan Trea terdengar renyah.

"Maia sudah menceritakan semuanya pada kami. Termasuk gagasan penculikan dan pemalsuan kematian itu." Kali ini Trea yang bersuara.

"Kupikir itu tindakan yang romantis, meski aku tak bisa membenarkan bagian pemalsuan kematian itu." Trea berkata lagi. "Terima kasih karena sudah menjaga Maia kami. Dia sudah seperti adik kecil kesayangan kami."

Maia mengangguk kuat-kuat. "Betul sekali. Mereka kakak kesayanganku juga."

"Kalau kami?" Kathleen tak tahan untuk tidak bertanya.

"Kalian kakak kesayanganku juga." Maia tersenyum lebar.

Maia benar-benar punya virus senyum yang sangat menular. Dalam sekejap lima wanita itu terinfeksi virus Maia dan tersenyum bersama-sama.

"Oh ya, ada satu hal lagi yang ingin kuumumkan sekarang." Maia berkata penuh semangat. Namun, pengumumannya terinterupsi sejenak oleh kedatangan pelayan yang membawakan pesanan mereka. Setelah pelayan selesai meletakkan makanan, Maia kembali melanjutkan ucapannya yang terputus.

"Aku sudah mendaftar kuliah di Universitas Waseda."

Minuman yang tengah diteguk Trea dan Mauri langsung tersembur. Ekspresi mereka kaget berat. Kathleen dan Freya terperangah. Sementara Zooey masih anteng berwajah datar. Karakter wajah epik favoritnya.

"Kamu serius?"

"Lo serius?"

Maia mencomot yakiniku di mangkuk. "Yakin banget. Aku sudah mengikuti tes kelulusan setara high school. Tinggal ikut sekolah bahasa Jepang dan aku siap jadi mahasiswi Waseda."

"Ya Tuhan." Trea membekap mulutnya. "Kapan lo mutusin hal ini?"

"Sejak Angela kecelakaan," Maia nyengir, "aku pikir sambil menunggu kesembuhannya lebih baik aku menyibukkan diri juga, kan?"

"Eh, itu memang bagus sih. Tapi sepertinya terlalu mendadak gini." Trea jujur. "Terus kenapa pilih Waseda coba? Otak lo itu bahkan bisa ikut ujian masuk Todai."

"Karena ada lo di sana." Maia menunjuk Trea dengan sumpitnya.

"Gue?"

Zooey yang sedari tadi diam akhirnya angkat bicara. "Maia, bisakah kita bicara dalam bahasa Inggris saja? Aku tidak terlalu paham bahasa Indonesiamu yang tidak baku itu."

Maia menoleh. Trea tersipu malu.

Duh, kebiasaan kalau kumpul sama Maia ya gini ini. Nyablak tak jelas.

"Kami bisa bahasa Indonesia tapi tidak terlalu lancar dengan bahasa gaul kalian."

"Oke, aku minta maaf." Maia langsung mengubah pilihan bahasanya ke bahasa internasional yang multi ras dan anti gegar budaya.

"Trea adalah tetanggaku di Indonesia dan kebetulan dia juga tetangga apartemenku di sini.

Alis Zooey terangkat tinggi. Kebetulan yang aneh.

"Dia istri Take Takeru," lapor Maia lagi.

Alis Zooey makin terangkat tinggi. Dia tahu sekali siapa itu Take Takeru. Belakangan ini nama aktor terkenal itu santer terdengar setelah film-film yang dibintanginya sukses mencapai box office.

Sepertinya pernikahan sang aktor diadakan secara tertutup. Karena Zooey tak pernah membaca satupun artikel tentang pernikahan Take Takeru.

"Dan bagusnya, Trea akan kuliah di Waseda juga. Tapi dia akan mengambil program Magister. Dia bisa jadi mentorku nanti."

"Kamu serius?" Freya menyelidik.

"Dua rius.” Maia tersenyum.

Hening. Tak ada seorangpun yang bicara. Semua tenggelam dalam pikiran masing-masing. Dari semua yang duduk di meja itu, sepertinya Zooey yang paling memaklumi keputusan Maia.

Zooey yang terhitung paling dekat dengan Maia. Dari awal pertemuan mereka di Indonesia hingga sekarang, Zooey paling banyak menghabiskan waktu bersama Maia dibanding kedelapan rekan satu tim yang lain.

Secara khusus David bahkan meminta Zooey dan saudaranya, Jacque, untuk "menjemput" Maia di Indonesia.
Penjemputan yang dibungkus dengan drama penculikan yang super dramatis.
Zooey pula yang dengan kenekatan menemani Maia kabur sejenak dari tali hubungan David dan sang mantan tunangan yang ruwet. Bahkan pasca kecelakaan tragis yang menimpa Maia, Zooey selalu siap sedia di sisi wanita itu.

Kali ini Zooey maklum sangat kenapa Maia akhirnya mengambil keputusan ini. Maia sosok wanita yang cerdas. Saat kehidupan masa remajanya direnggut paksa oleh David, sampai kapan pun Zooey tetap memandang aneh ide gila David yang menikahi gadis berselisih umur sangat banyak, Zooey paham bahwa Maia butuh menunjukkan eksistensi dirinya.

Mata Zooey menatap lekat sosok manis di depannya. Saat tersenyum, lesung pipi Maia tercetak jelas. Membuat siapapun pasti langsung jatuh hati padanya. Dan Maia jelas bukan tipe orang yang pelit berbagi senyum. Kapanpun, dalam suasana hati apapun, Maia tetap terus tersenyum.

Zooey merenungi perasaannya sendiri. Ada bersit kehangatan saat Maia menyatakan bahwa mereka adalah keluarga. Penerimaan Maia yang tulus akan dirinya membuat hati Zooey bahagia. Jujur itu adalah hal berharga dalam hidup Zooey selama ini.

Penerimaan.

"Oke, aku akan membantumu juga, Maia." Zooey akhirnya memecah keheningan.

Mata Maia berbinar "Benarkah itu? Bagus! Kalau begitu, kita harus belanja sekarang."

"Belanja apa?"

"Aku perlu banyak literatur. Otakku harus dipanaskan sebelum kuliah, kan?" Maia tertawa.

"Akan kutemani kamu berbelanja."

"Em ..., maafkan aku, Mai. Tapi aku tak bisa ikut." Mauri bersedih.

"Eh, kenapa?"

"Aku sudah ada janji dengan seseorang. Yah, ini berkaitan dengan kepindahanku ke sini."

"Kamu yakin tak ingin meminta bantuan David?" Maia menyentuh lengan Mauri.

Mauri menggelengkan kepala. "Tidak. Urusanku sebentar lagi selesai, kok. Tinggal mengajukan dokumen-dokumen yang diperlukan saja."

"Baiklah kalau begitu."

"Maafkan aku juga, Mai. Tapi kali ini aku absen dari jadwalmu."

"Hah, kamu juga Trea? Kalian tega banget, sih?"

"Aku harus periksa kakiku." Trea menunjuk kakinya yang terbalut gips.

"Oke." Ada raut kecewa tergambar di wajah cantik Maia. "Tapi besok-besok temani aku, ya?"

"Sip, kamu bisa tanyakan apa pun yang kamu mau." Trea bangkit diiringi Mauri.

"Maafkan kami, tapi kami harus pergi sekarang. Terima kasih untuk makan malamnya."

Sepeninggal Trea dan Mauri, mereka berempat kemudian melaju ke sebuah toko buku. Dilanjutkan memborong beberapa makanan untuk dibawa ke rumah sakit. Malam ini Maia memang berencana menunggui Angela yang baru selesai menjalani satu tahap operasinya.

Koridor rumah sakit sudah lengang saat Maia datang. Ini memang bukan jam jenguk tapi Maia tak peduli. Saat tiba di kamar Angela dan mendapati wanita itu tengah tertidur pulas, Maia langsung beralih ke kamar Andrew. Pria itu juga tertidur pulas efek obat penenang yang disuntikkan suster.

"Kok semua pada tidur, sih?" Maia berkata sendiri.

Diletakkannya termos berisi sup seafood di atas nakas samping tempat tidur Andrew. Tangan Maia membenahi letak selimut Andrew yang melorot. Pelan dia keluar kamar dan kembali beranjak ke kamar Angela.

Namun, langkah Maia terhenti di tengah koridor. Matanya menyipit, memastikan bahwa penglihatannya memang baik-baik saja.

Di depan pintu ruang rawat inap Angela, berdiri sesosok tubuh tinggi dan langsing. Cahaya redup koridor memberikan efek sephia pada rambut pirang wanita itu. Seolah tahu sedang diamati, wanita itu menoleh. Pandang mereka bertemu. Maia tersenyum pada wanita itu. Namun, wanita cantik di sana tak membalas senyumnya.

Maia cuek. Dia melangkah mendekati pintu kamar Angela dan menyapa wanita itu ramah, "Selamat malam. Anda juga ingin menjenguk Angela?"

Wanita itu memandangi Maia lekat-lekat. "Who are you?"

"Oh, kita belum sempat berkenalan. Aku saudara Angela."

"Saudara." Wanita itu membeo dengan nada hampa.

Entah kenapa Maia langsung melirik kaki wanita itu. Hatinya langsung lega setelah melihat kaki wanita itu jelas-jelas menapak lantai. Karena itu berarti wanita ini bukan hantu. Maia meringis dalam hati.

"Tapi maafkan aku, sepertinya jam berkunjung sudah usai. Akan kusampaikan jika Anda menjenguk Angela. Ngomong-ngomong siapa nama Anda?"

"Venus Gerritsen."


Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro