Ayah

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Entah apa yang membuatku tak fokus menatap guru sejarah yang tengah mengajar di depan. Pikiranku melayang. Kata Ayah langsung memenuhi kepala. Seingatku Ayah masih baik-baik saja tadi. Tak ada yang salah. Beliau masih sehat-sehat saja. Yah, kecuali rona pucat di wajahnya sejak beberapa hari yang lalu.

Ayahku gemar bekerja, pagi-siang-malam, ia habiskan untuk bekerja. Namun, beliau bukan orang yang melalaikan tugasnya sebagai seorang Ayah. Beliau masih mempunyai waktu untukku. Bercanda, tertawa bersama sudah menjadi kebiasaan kami sehari-hari.

Aku sempat merasa aneh, saat beliau berkata kemarin. Seolah akan terjadi sesuatu yang buruk. Rasa aneh itu tak hinggap lama, aku segera melupakannya ketika melihat Ayah tertawa karena candaan ibu. Ibu dan Ayahku memang orang yang humoris. Aku senang berada di tengah-tengah mereka.

Hidup kita sederhana, tidak begitu kekurangan juga tidak begitu kelebihan. Sederhana saja. Kami tak pernah menuntut banyak. Apalagi aku, seorang gadis yang sangat disiplin dalam hal keuangan. Ayah yang mengajarkanku hidup hemat. Membeli sesuatu dengan uang tabungan sendiri, hingga tak perlu membebani Ayah dan Ibu ketika aku butuh sesuatu.

Ah, aku jadi rindu Ayah. Ingin rasanya cepat pulang, makan malam bersama dan bercanda bersama. Apalagi ketika Ayah telah membuka bajunya, meninggalkan kaus singlet di tubuhnya. Wanginya itu, sangat kusuka. Juga ketika Ayah berkeringat, aku menyukainya karena ia terlihat lebih tampan. Keringat hasil kerja kerasnya untuk menghidupi kami takkan pernah kulupa bagaimana baunya.

Seseorang menepuk bahuku. Aku menoleh, ah rupanya sahabatku. Ia bertanya mengapa aku merenung, kujawab sedang rindu ayah. Ia tertawa.

*
Jam pulang hampir saja tiba. Lima menit lagi, aku pulang. Tak sabar rasanya melahap semua masakan Ibu.

Akhirnya pulang. Aku bergegas keluar kelas, menghampiri kakak yang pasti sudah menunggu di depan sekolah.

Aku berlari kecil, menyenandung lagu apa saja. Aku tersenyum, lalu melambaikan tangan ke arah kakakku yang sedang  berdiri dengan motor maticnya. Aku berjalan perlahan. Sampai di sana, aku menyapanya. Saat hendak mengambil helm, kakakku memelukku, sangat erat.

"Kak, kenapa?" Beberapa menit berlalu, tetap saja pelukannya tidak terlepas. Pertanyaanku seolah angin lalu saja. Bahuku sepertinya basah. Aku menyangka kakakku ini menangis. Tapi, masa iya cowok menangis? Di depan umum pula.

"Nanti, kakak kasih tahu. Kita pulang dulu ya." Ucapannya lembut sekali. Ia melepas pelukannya mengusap air matanya sendiri, lalu tertawa. Aku memandangnya bingung.

"Ah, maaf ya. Kakak nangis."

"Enggak malu kak? Diliatin anak-anak sini lho. Hihi." Aku menusuk perutnya dengan telunjuk. Itu merupakan kebiasaan kita.

"Ya enggaklah. Orang enggak kenal juga, ngapain malu. Ya udah pulang yuk."

"Kakak jelek kalau nangis tau." Aku tertawa, lalu naik ke atas motornya. Kita berdua pulang.

*
"Kak kok enggak ada orang? Ayah mana? Ibu?" Aku bertanya, namun kakakku ini masih belum menjawabnya. Dia hanya memelukku.

Firasatku tak enak. Apa yang terjadi sebenarnya? Mengapa aku merasa Ayah jauh sekali?

"Kak, jawab!"

"A-Ayah ada di rumah sakit."

"Hah! Ayah kenapa? Ayah enggak lagi sakit kan?"

"Kita berdoa saja, semoga semuanya baik-baik saja."

Dalam hati, aku mengaamiini ucapan kakak.

*
Malam menjelang. Belum ada kabar dari Ibu. Aku, kakakku dan adikku hanya diam, memandangi televisi. Tak ada yang bersuara.

"Kak, kok Ibu belum ada kabar?" Kakakku tak menjawab. Ia hanya memandangi televisi dengan pandangan kosong. Sedangkan adikku, fokus bermain tab miliknya.

Hatiku rasanya tak karuan. Jantungku berdetak lebih cepat, tanganku terasa dingin. Tiba-tiba saja batinku merasa Ayah sudah tak ada. Namun, segera kutepis pemikiran seperti itu.

Aku melangkah menuju kamar. Mengistirahatkan badan, mungkin membuat perasaanku lebih tenang. Tapi tidak, saat aku merubuhkan tubuhku ke kasur. Pikiranku malah melayang ke mana-mana.

Tiba-tiba saja senyuman Ayah memenuhi kepalaku. Apa jadinya aku jika Ayah benar tiada? Bagaimana hancurnya aku? Apa yang akan terjadi dalam hidupku jika Ayah tiada? Pertanyaan-pertanyaan seperti itu, juga memenuhi isi kepalaku.

"Aku kenapa sih? Ya Allah, sembuhkan Ayah," ucapku, berdoa.

Jantungku terasa berdetak jauh lebih cepat. Tanganku terasa sangat dingin. Firasat apa ini?

Aku teringat ucapan ayah dua hari yang lalu, saat aku dan Beliau sedang keluar rumah membeli cemilan.

"Yah, tadi, aku lihat si itu main ke rumah temennya sampe jam segini. Itu kan enggak baik Yah." Ayah tertawa.

"Enggak apa kok, asalkan jangan sampai keluyuran ke mana-mana. Kalau di rumah saja, tak apa." Saat itu aku mulai kesal karena Ayah tidak sependapat denganku, tapi itu hanya sebentar setelah itu, aku berpikir yang Ayah katakan adalah benar.

"Kamu tahu, Ayah tuh temennya banyak. Ayah punya temen bandar narkoba, maling, pengedar, tukang selingkuh. Semua Ayah jadikan teman. Tapi hanya teman saja. Buktinya, sampai sekarang Ayah tidak terpengaruh dengan apa yang mereka lakukan. Kamu harus bisa menjaga diri, boleh berteman dengan teman yang buruk. Tapi jangan ikut apa yang mereka lakukan. Berbaurlah, jangan jadi orang yang anti sosial." Saat itu aku hanya bisa mengangguk.

"Inget. Jangan pernah jadi orang yang sombong, jangan jadi orang yang pendendam. Itu enggak baik."

"Ya, Yah." Hanya kata itu yang dapat aku ucap.

Aku keluar kamar, yang kulihat hanyalah kakakku yang berjalan mondar-mandir, dengan gelisah. Tangannya memegang telpon yang mungkin saja dari Ibu.

Kulihat tangannya bergetar, wajahnya menyendu, air matanya meluruh. Ada apa ini?

Kuhampiri adikku. Ia masih sibuk bermain game. Kakakku selesai bertelepon. Ia menghampiriku, memelukku erat. Sangat erat. Ia menangis, sesenggukan. Aku hanya diam karena tak tahu apa yang terjadi.

"Ayah udah enggak ada." Seketika itu juga aku menangis, sambil menggeleng tak percaya.

"Kakak bohong kan? Ayah sehat kok tadi. Enggak, kakak pasti bohong. Ya kan?" Aku tetap menggeleng. Berusaha tak mempercayai apa yang baru saja kakak ucapkan. Namun sayang, hatiku lebih dulu mempercayainya hingga aku menangis lebih keras. Histeris. Memanggil nama Ayah berkali-kali.

Kakakku tengah memeluk adikku sambil menangis juga. Kami hancur. Benar-benar hancur. Dadaku sesak. Aku ingin ini mimpi. Aku ingin ini bukan nyata. Ayahku, Ya Tuhan. Ayahku tak mungkin tiada.

Aku menangis sejadi-jadinya, meraung, bahkan berteriak. Ini mimpi, pasti ini mimpi. Air mata tak hentinya mengalir dari kedua mataku.

Kugumamkan nama Ayah berkali-kali. Tidak. Ini pasti mimpi. Tampar aku sekarang juga, kumohon. Ayahku masih ada. Dokter itu pasti bohong. Aku memeluk kakak, menangis di dada bidangnya. Hanya nama Ayah yang aku gumamkan. Sedangkan kakak, hanya beristigfar.

Tetangga, berbondong-bondong memasuki rumahku. Bertanya kenapa. Sebagian dari mereka menenangkanku, memelukku, mengusap punggungku.

*

Ayahku benar-benar tiada. Aku ingin sekali tak mempercayainya. Walau tangisan telah mereda. Tetap saja pikiranku kosong, hanya nama Ayah dan wajahnya yang kuingat.

Kupeluk baju Ayah yang belum dicuci, bau keringat masih menempel di baju itu. Aku menghirupnya dalam. Merasakan bekas keringatnya. Aku tak ingin lepas dari baju itu, seolah dia adalah Ayahku.

Katanya, Ayah akan dimakamkan di kampung halamannya. Dua jam dari rumahku. Kini, aku tengah berada di dalam bus sewaan. Kakakku dan adikku berada di sampingku. Baju Ayah yang kupegang tak henti kuciumi. Ya Tuhan, wanginya saja masih ada, mengapa raganya tidak?

Sampai di sana, orang-orang telah mengerumuni rumah nenek. Aku tak kuasa menahan tangis, kakiku lemas seolah tak bisa berdiri lagi. Akhirnya, aku digendong kakak sambil menangis. Kupeluk erat lehernya. Sambil menyenandungkan kata Ayah berkali-kali.

Aku diturunkan tepat di depan pintu. Di sana, ada Ibuku yang juga sama hancurnya denganku. Aku berlari, mengampiri beliau, memeluknya erat, menciumnya kemudian. Semua keluargaku menangis. Hanya suara tangisan yang mampu kudengar.

Seseorang menyuruhku menghampiri Ayah. Dengan langkah perlahan aku menghampiri tempat Ayah. Hatiku hancur tak bersisa melihat Ayahku benar-benar terbujur kaku dihadapanku. Wajahnya pucat, dengan hiasan senyum kecil di bibirnya. Tangisku makin pecah melihat wajahnya. Segera kupeluk beliau, kuciumi seluruh lekuk wajahnya, kening, mata, pipi, semuanya tak luput kucium berkali-kali. Kubisikkan kata cinta di kupingnya. Sekali lagi, aku memeluknya erat. Seolah tak ingin lepas. Kuciumi lagi wajahnya, sambil mengusap air mata agar tak jatuh tepat di wajahnya.

Giliran kakak dan adikku yang memeluk Ayah. Aku dipeluk oleh dua orang sepupuku. Mereka menangis bersamaku. Membisikkan kata kuat berkali-kali. Namun aku tak bisa. Aku hancur hari ini. Sesak sekali rasanya dadaku.

Kini, tak ada lagi canda tawa darinya, tak ada lagi senyum yang biasa aku lihat sehari-hari. Tak ada lagi penyemangat disaat aku jatuh.

Aku tahu, mulai hari ini, semuanya tak lagi sama.

Untuk ayahku yang tlah jauh di sana. Aku ucapkan terimakasih dan maaf. Aku mencintaimu Ayah.

Tamat.

Hai. Huaah. Akhirnya selesai juga oneshootnya. Gimana? Jelek ya. Huhu, maafkan aku.

Aku pub oneshoot ini, dalam rangka ultah alm Ayahku. Sebagian dari cerita adalah fakta yang aku alami sendiri beberapa bulan yang lalu. Jangan tanya bagaimana hancurnya aku saat itu. Bisa dibayangkan sendiri mungkin.

Selama aku hidup, aku enggak pernah ngasih hadiah, apapun itu kepada ayahku. Kenapa? Karena beliau enggak suka hadiah. Katanya, beliau hanya butuh doa. Doa telah kupanjatkan sehari-hari. Sebagai tanda terimakasih karena beliau yang sudah suport aku dalam hal nulis. Ini hadiahnya. Walaupun dia enggak bisa baca ini. Tapi tak apa, aku yakin dia tau apa yang aku lakukan hari ini.

Sekian dan terimakasih.

120118

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro