02.

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Allen datang ke apartemenku sore hari. Membawakan bunga dan begitu banyak cemilan.
Pemuda yang terakhir kali kutemui sekitar satu tahun yang lalu itu tak banyak berubah.
Kulitnya tetap eksotis, senyumnya masih manis, pembawaannya riang dan ramah. Perubahan kentara mungkin pada postur tubuhnya yang kian menjulang.

Mengenakan sneaker favorit dengan celana jeans robek dan kaos polo, penampilannya selalu terlihat kasual dan trendi. Aku tahu itu bukan barang-barang branded luar negeri sehingga penampilannya bisa dikatakan sederhana.
Sederhana untuk ukuran seorang Allen Sebastian, putra founder PT. Marine Raya Logistic, salah satu Perusahaan Pelayaran ternama di negeri ini, di mana sang Direktur Utama adalah kakaknya sendiri, Dru.

"Duh, yang baru saja diwisuda. Selamat ya," ucapku. Kami berpelukan hangat.
"Makasih, Mbak." Ia berucap girang.
"Makin tinggi saja, deh," komentarku.
"Iya dong." Ia tertawa sembari merangkul pundakku, membuat diriku yang hanya berpostur 160 senti kian terlihat mungil.

"Sudah makan?"

"Belum? Mbak Nessa masak apa?"

"Opor ayam."

"Aku mau." Ia menjawab antusias.

"Tau, kok. Emang sengaja masak opor ayam karena tau kamu bakal datang." Aku mengajaknya duduk di ruang makan.

Dan beberapa menit kemudian, Ia sudah lahap menyantap masakanku sembari mengobrol banyak hal denganku.

Mengambil jurusan ekonomi di Caltech, Allen berkeinginan untuk membuka bisnis sendiri tanpa campur tangan orang tuanya maupun kakaknya. Dan sudah hampir satu tahun ini ia merintis usaha ekspor impor kayu ke luar negeri. Walau masih dalam sekala kecil, semangatnya untuk memulai segalanya dari awal patut diapresisi.
Aku juga senang ia masih mau berbagi cerita padaku tentang semua hal yang ia alami, walau status kami sekarang adalah mantan ipar.

Selesai bersantap, aku dan Allen duduk-duduk di balkon sembari mengobrol. Ia bercerita antusias tentang bisnis baru yang ia jalani.

"Tadi Mas Dru-" Kalimat Allen terputus ketika menyadari tatapan protes dariku. Pemuda itu menyeringai lalu terkikik. "Duh, maaf. Masih haram ya bahasa soal mantan?"

Bibirku mencebik lalu berucap, "Please, don't."

Allen manggut-manggut. "Jadi beneran Mbak Nessa nggak pengen tahu kabar terbaru tentang Mas Dru? Sekadar nanya-nanya kesibukannya sekarang atau-"

"Nope." Aku buru-buru menggeleng. "Aku nggak ingin tahu tentang kehidupan kakakmu. Lagian nggak penting juga, kan? Toh hubungan kami sudah berakhir dan kami bukan siapa-siapa lagi."

"Sekadar menjalin pertemanan pun ogah?"

"Lah, dari awal kan kami memang bukan teman," ucapku.

"Tapi sikap Mbak Nessa masih baik sama aku. Kudengar, Mbak Nessa kadang-kadang juga masih nelpon Papi sama Mami nanyain kabar mereka. Kenapa sama Mas Dru enggak?"

Aku menarik napas sejenak. "Ya karena kamu baik, Papi Yosafat juga, Mami Helen juga," jawabku.

"Berarti Mas Dru nggak baik sama Mbak Nessa, gitu?"

Aku tertegun sejenak, kemudian menyeruput teh hangatku pelan.
Tidak. Aku membatin.

"Kalo kamu ngomongin kakakmu lagi, pulang sana," ucapku.

Allen tertawa. Ia menoyor lenganku dengan gemas. "Jangan usir aku dong, Mbak. Ntar aku nangis," jawabku.

Aku tergelak. "Eww," jawabku.

Lalu kami sama-sama terbahak kemudian mengalihkan obrolan ke topik lain.

***

"Gimana, sudah?" Suara Luna dari seberang sana terdengar bersemangat. Aku bahkan sempat menjauhkan ponselku dari telinga karena suaranya kelewat antusias.

"Apaan?" tanyaku bingung.

"Gimana, sih? Kan aku sudah bikinin kamu akun di Madam Rose. Jadi gimana? Sudah ada yang match belum? Kayak apa orangnya? Cakep? Seksi?" Luna bertanya bertubi-tubi.

Aku menepuk keningku pelan. Astaga, aku baru ingat soal yang itu. Beberapa waktu lalu hanya sempat buka sekali dan cuma utak-atik saja, belum sempat menjalin obrolan dengan siapapun. Setelahnya, aku tak ingat lagi untuk membukanya.

"Gimanaaa?"

"Belum." Aku terkekeh.

"What?" Luna terdengar emosi. "Ness, jangan gitu, dong. Bikinin akun itu nggak gampang, lho. Aku mesti ngisi biodatamu kamu satu persatu, dan itu real. Biar kamu bisa menemukan kebahagiaan, cinta baru. At least, dicoba dulu lah. Siapa tahu kamu bakal ketemu jodoh di sana. Namanya juga usaha. Kalo nggak cocok, kan juga nggak masalah."

Aku menggigit bibir mendengar semua omelan Luna. Untuk menutup menghentikan semua ocehannya, akhirnya aku berucap, "Iya, hari ini aku bakal samperin lagi, deh. Janji."

"Awas ya kalo bohong."

"Iya, iya, ini aku udah otewe ke situsnya."

"Ntar cerita-cerita ya."

"Okay."

Pembicaraan kami akhiri dan aku segera menatap layar komputer, menggerakan layar kursor untuk membuka aplikasi dating dengan tema bunga mawar. Masuk ke akun Putri Salju, keadaan masih sama seperti beberapa waktu yang lalu. Hanya ada satu orang yang match dengan akunku, si I am not Thor. Tanpa membuang waktu, aku mengirimkan pesan padanya.

[Hai.]

Agak berdebar juga menunggu respon darinya. Hingga dalam hitungan detik, notifikasi berbunyi, dan pesanku terbalas.

[Hai.] Ada emotikon senyum di belakangnya.

Aku sempat takjub. Wow, cepat sekali ia merespon. Apa ia sedang menganggur? Atau curi-curi waktu di tengah jam kerja seperti diriku?

[Username-mu keren.]

[Sama, kamu juga. Putri Salju.] Ia membalas.

[Jadi aku harus memanggilmu apa? I am not Thor?]

[Thor. Panggil itu saja.]

Aku mendelik. [Tapi namamu I am not Thor?]

Ia membalas dengan mengirimkan banyak emotikon tertawa, lalu mengetik, [Sejujurnya aku suka nama itu. Hanya ingin terlihat kalem dan keren saja, maka kutumbahkan 'IamNot']

Aku terbahak.

[Lalu aku harus memanggilmu apa? Putri? Atau Salju?]

Entah kenapa kalimat garing itu mampu membuatku tersenyum.
[Putri.] Aku membalas.

Obrolan kami terus berlanjut dengan asyik, menanyakan banyak hal sepele seperti hobi, makanan kesukaan, film dan juga hal lainnya. Aku menjawab semua sekenaku. Pria itu belum tentu akan kutemui, jadi aku bebas menjawab apapun, tanpa sesuai fakta. Lagipula, toh hanya soal hobi, siapa peduli.

Aktivitas mengobrol online itu sempat terjeda sejenak ketika Linda masuk ke ruangan.
"Mbak, sudah jam satu, lho?" Ia mengingatkan. Aku menatapnya dengan bingung. "Kenapa?" tanyaku.
"Mbak Nessa belum makan," jawabnya. "Mau kupesankan sesuatu?" Linda menawarkan.

"Ya sudah, pesenin makan siang, ya. Kayak biasanya."

"Siap." Linda menjawab dengan riang lalu beranjak keluar. Aku menatap punggungnya yang lenyap di balik pintu lalu memuji dalam hati, betapa baiknya perempuan itu. Bahkan untuk urusan makan pun, ia lebih perhatian daripada tubuhku sendiri.

Sambil menunggu Linda datang membawakan makanan, obrolanku dengan Thor kembali berlanjut. Remeh, tapi cukup membuatku terhibur. Sampai akhirnya, ketika kami sama-sama hendak mengakhiri percakapan kami, Thor menulis pesan lumayan panjang.

[Putri, aku nggak tahu hubungan kita kelak akan seperti apa. Apakah kita akan bertemu, berteman, atau kemudian menjalin hubungan lebih. Atau mungkin, ini hanya akan sekadar menjadi cerita antara Thor dan Putri yang cukup berakhir sampai di sini. Tapi karena ini adalah aplikasi serius untuk mencari pasangan, aku ingin bilang bahwa, I was married before.]

Aku tertegun. Wait? Dia ... pernah menikah.

Karena lama tak memberikan balasan, Thor kembali mengiriku pesan.
[Putri, are you there?]

Aku tergagap. Berpikir sejenak, akhirnya aku pun memberikan balasan.

[Anak?]

[Nggak ada.]

Aku terdiam lagi. Mencoba menimbang sikapnya barusan. Well, dia sudah jujur tentang masa lalunya dan aku hargai itu. Mungkin ia juga sedang berpikir sama dengan diriku; mencoba move-on dari luka di masa lalu dan berharap menemukan kebahagian baru. Baiklah. Mungkin ini campur tangan semesta karena telah mempertemukan kami agar sama-sama menaut kembali hati yang pernah tercerai berai.

Menarik napas panjang, aku memutuskan untuk memberikannya balasan.
[Aku juga tak berhasil dengan pernikahanku yang dulu.]

***

Pernikahan itu terjadi atas dasar perjodohan. Papa dan Yosafat Sebastian berteman baik, hingga akhirnya ide untuk menikahkanku dengan putra pertamanya tercetus. Selain untuk menjalin hubungan baik, PT. Marine Raya Logistic memang berniat mengakuisisi PT. Sentra Energy, perusahaan milik Papa.

Sebagai anak tunggal, aku memang tak pernah berniat untuk mengambil alih perusahaan. I have my own passion. Namun ketika dihadapkan pada kenyataan bahwa perusahaan itu akan diakuisisi, disusul dengan rencana pernikahan, aku berontak tak rela. Sempat menolak keras keinginan Papa, namun nihil.

"Ness, Papa sudah semakin tua, keadaan perusahaan sedang tidak baik-baik saja. Akuisisi ini adalah cara final dan terbaik yang mampu Papa lakukan. Termasuk rencana pernikahanmu dengan putra pertama keluarga Sebastian. Tak ada pilihan lain. Ini jauh lebih baik daripada collapse, karena ada banyak perut yang harus kita pikirkan nasibnya." Bagitulah kata Papa waktu itu.

"Tapi, Pa---"

"Papa sudah bertemu dengan lelaki itu. Dia pria yang baik dan mampu diandalkan. Kalian pasti bahagia." Beliau seolah menjanjikan.

Akhirnya, aku tak berkutik.

Beberapa hari kemudian pertemuan keluarga dilakukan. Dan itu adalah pertama kalinya aku bertemu Dru, calon suamiku. Tinggi, tampan, sorot matanya dingin, ekspresinya datar. Bisa ditebak, awalnya pasti ia juga menolak rencana pernikahan kami. Entah apa yang akhirnya membuatnya tetap menerima pernikahan bisnis ini.

Sebetulnya, walau dulu pernah punya kekasih sewaktu kuliah, aku tak punya impian muluk-muluk tentang kehidupan pernikahan. Tak mengharap ada kehangatan berlebih maupun keromantisan antar pasangan. Mungkin karena dulu Papa dan Mama juga menikah melalui proses perjodohan, tak ada cerita cinta secara berlebihan hingga panas membara.
Jadi aku berpikir, mungkin pernikahanku nanti juga takkan jauh berbeda.

Dan itu benar.

Dru memang pria yang bertanggung jawab. Ia memperlakukanku dengan baik dan hormat. Ia sayang pada Papa dan Mama, ia juga mampu memimpin perusahaan dengan baik. Tapi, pernikahan kami hampa. Tak ada kehangatan. Tak ada ucapan manis dan romantis. Semua datar. Aku tahu bahwa ia tak mencintaiku.

Walau begitu, awalnya aku baik-baik saja. Tak ada cinta bukan berarti tak bisa hidup bersama, kan? Papa dan Mamaku sudah membuktikannya. Mereka langgeng sampai sekarang, minim konflik berlebihan. Asal tak ada KDRT, tak ada perselingkuhan, maka pernikahan masih tetap bisa berjalan.

Tak apa bila tak ada cinta yang membara, asal aku dan Dru bisa bergerak seirama untuk membuat pernikahan kami baik-baik saja. Dia tak mencintaiku, aku juga takkan mencintainya. Biasa saja, agar tak ada yang tersakiti.

Nyatanya konsep itu buyar.

Begitu mudahnya aku terpesona pada Sosok Dru yang tampan luar biasa. Begitu mudahnya aku tenggelam dalam kedua matanya yang dingin dan kelam. Merasakan cinta yang panas membara layaknya gadis remaja yang jatuh cinta untuk pertama. Mendamba dengan sepenuh jiwa raga.

Ketika hatiku luluh, ketika aku jatuh cinta padanya semakin dalam, aku harus menghadapi kenyataan bahwa Dru punya hubungan gelap dengan Friska, perempuan yang ia pacari selama kuliah. Ternyata selama ini mereka sering bertemu secara sembunyi-sembunyi.

Akhirnya, di tahun kedua pernikahan kami, aku memutuskan menyerah.

Aku melepaskan pria itu.

***

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro