04.

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

~ Kalau kamu tersenyum, Antartika meleleh.~

°°°

Tahun 2017

"Friska kerja di mana?"

Mendengar pertanyaanku, Dru tampak kaget. Pagi itu, ketika kami sedang menikmati makan pagi, aku memutuskan untuk membicarakan lagi tentang dirinya. Aku ingin tahu banyak hal tentang perempuan itu dari mulut Dru sendiri. Sungguh, tak ada yang lebih menyakitkan selain mendengar kisah tentang perempuan lain dari suamimu sendiri. Tapi di sinilah aku sekarang, mencoba menggali informasi darinya.

"Kamu sudah berjanji untuk menjawab setiap pertanyaanku tentang dirinya. Jadi, lakukanlah," ucapku santai sembari menyeruput teh cammomile dari cangkir. Hambar, padahal aku sudah menambahkan satu setengah sendok gula di dalamnya.

Dru menghentikan menyendok makanan lalu menjawab, "Divisi personalia di PT. Global Mandiri."

Aku mengingat-ingat nama perusahaan tersebut, lalu manggut-manggut. Walau tak berkecimpung di dunia usaha, sebagai putri Althair, aku hafal nama-nama perusahaan mentereng di negara ini beserta pemiliknya. "Karir yang bagus di sebuah perusahaan yang mentereng," ucapku. "Dan kenapa kamu nggak menikahinya? Apa orang tuamu yang nggak setuju?"

Dru mengangguk. Demi Tuhan, air mataku rasanya mau tumpah.

"Kenapa?" tanyaku dengan suara serak.

Kali ini Dru tampak keberatan menjawab, tapi akhirnya ia tetap berkata, "Klise. Papi dan Mami nggak merestui."

"Karena Friska hanya berasal dari keluarga biasa? Dari kampung? Orang tuanya nggak punya bisnis besar?" tebakku. Dru mengangkat bahu. "Begitulah," jawabnya. "Dia kuliah karena dapat beasiswa. Kami bertemu, dan akhirnya dekat."

Aku kembali manggut-manggut. Dengan kondisinya seperti itu, ia pasti perempuan yang hebat karena mampu menarik perhatian Dru. Kubayangkan, ia akan jadi rival yang berat.

"Suatu saat, aku ingin bertemu dengannya," ucapku kemudian.

"Nessa, please." Dru mengerang keberatan.

"Tenang saja, aku nggak akan melakukan hal buruk padanya. Aku hanya ingin bertemu dan mengobrol. Aku perlu tahu perempuan macam apa yang telah membuat suamiku bertekuk lutut." Aku meletakkan cangkir teh ke meja dengan sedikit kasar lalu bangkit. Tak kuhiraukan tatapan protes dari pria yang masih duduk di ujung meja makan. Ia ikut bangkit dan batal menghabiskan makan paginya. Mengambil tas kerja, ia beranjak. Sebelum langkahnya sampai di ambang pintu, aku berujar, "Al pulang dari LA. Nanti malam Papi meminta kita untuk datang makan malam ke rumahnya."

Dru berbalik. "Dari mana kamu dapat kabar kalo Al pulang?"

"Dia sendiri yang memberitahuku. Kemarin ia menelpon."

Dru mengerutkan kening dengan ekpresi kesal. "Kenapa ia nggak menelponku lebih dulu, toh aku ini kakaknya."

"Mana kutahu," jawabku pendek seraya beranjak lebih dulu meninggalkannya. Dan sejujurnya aku juga tak tahu alasannya. Allen, yang usianya terpaut nyaris sebelas tahun dengan Dru, lebih sering berkomunikasi denganku daripada kakaknya sendiri. Padahal hubungan mereka harmonis.

Rentang usia di antara mereka lumayan jauh karena mereka saudara seayah beda ibu. Ibunda Dru meninggal ketika ia masih kecil. Beberapa tahun kemudian Papinya menikah lagi, dah lahirlah Allen.
Setiap kali ada sesuatu, Allen akan memberitahuku lebih dulu. Kami bahkan sering menelpon untuk membicarkan hal-hal sepele atau sekadar mengobrol menanyakan kabar.

Sedikit berbeda dari kakaknya yang punya pembawaan cuek dan dingin, Allen cenderung lebih periang dan humoris. Ia banyak berbicara dan tertawa. Sejak awal bertemu, kami langsung akrab. Aku suka sekali dengannya. Ia ibarat penawar akan pahitnya hubunganku dengan Dru.

***

Malamnya, aku dan Dru pergi ke rumah Papi dan Mami untuk menghadiri makan malam yang sudah direncanakan. Ketika sampai di sana, beberapa anggota keluarga sudah ada. Papi, Mami, Allen, dan beberapa keluarga Dru yang lain. Uncle Tommy, Tante Inne, dan beberapa sepupu.

Allen yang pertama kali berdiri dan menyambut ketika kami datang. Pemuda itu menghambur, memeluk kakaknya sejenak, lalu berganti memelukku erat dan lama.
"Aku kangen banget sama senyum Mbak Nessa," ucapnya. Aku tergelak. "Dih," jawabku sembari memukul pundaknya. Allen memang tengil, dan aku sudah terbiasa dengan tingkahnya yang kadang bikin kesel dan mesam-mesem.

"Serius. Senyum Mbak Nessa tuh khas, menawan. Kalo Mbak Nessa sudah tersenyum, antartika meleleh." Ia nyengir.

Tuh, kan.

"Gombal. Dapat kalimat itu dari mana?" ucapku lagi.

"Fesbuk," jawabnya seraya tertawa. Kali ini sebuah toyoran kulayangkan ke lengan. Dru yang masih berdiri di sisiku hanya menatap tingkah kami dengan datar lalu memilih untuk beranjak meninggalkan kami.

Menatap kepergiannya sejenak, aku dan Allen saling pandang, lalu sama-sama mengangkat bahu.

"Nah, itu tadi salah satu contohnya. Bongkahan es dari antartika yang nyasar ke sini. Haha." Ucapan Allen membuatku tergelak. Dalam waktu singkat, aku dan adik iparku kembali mengobrol ke sana kemari dengan antusias. Mengabaikan Dru dan beberapa anggota keluarga lainnya yang juga sibuk mengobrol.

***

Perempuan itu menatap sekelilingnya sejenak. Setelah melihat keberadaanku, ia bergerak mendekat.
Setelah mengobrak-abrik dokumen yang diberikan detektif swasta yang kusewa untuk menyelidikinya, kutemukan nomor ponsel perempuan tersebut. Singkat cerita, aku sendiri yang menghubunginya dan meminta bertemu.

Dari foto-foto yang kudapatkan, aku tahu bahwa Friska sosok yang cantik. Aku hanya tak menyangka bahwa dalam kenyatannya, ia jauh lebih cantik.
Sosoknya tinggi, sekitar 170 senti. Tubuhnya ramping dan punya lekukan di sana sini. Begitu pas, tak berlebih. Mengenakan rok motif bunga dengan panjang selutut di padu blouse polos warna putih, ia nampak begitu luar biasa menawan. Rambutnya yang sebahu ia biarkan tergerai. Menciptakan aura segar dan dinamis khas wanita mandiri. Wajah rupawan asli Indonesia, dipadu dengan kulit kuning langsat dan senyum memikat. Astaga, pantas saja suamiku tergila-gila padanya.

Melihat penampilannya, sejujurnya aku merasa insecure. Lihatlah diriku? Kulitku gelap, tubuhku mungil, tak ada lekukan sana sini, dan aku tak seksi. Sementara dia? Anggun seperti model catwalk.

"Mbak Nessa?" Ia menyapa. Aku tersenyum dan menyilakannya duduk.

Friska meletakkan tas yang ia tenteng ke meja, lalu duduk dengan punggung tegak. Nampak sangat percaya diri.

"Semoga kamu nggak kaget karena aku meminta ketemu," ucapku.

"Sejujurnya saya kaget, Mbak. Kita nggak saling kenal, nggak pernah komunikasi, dan tiba-tiba saja Mbak ingin ketemu saya. Jika bukan karena Mbak Istri Dru, saya nggak akan mau ketemu." Ia menjawab sembari menyibakkan rambutnya pelan. Itu hanya gerakan lumrah, tapi ketika Friska yang melakukannya, gerakan itu nampak begitu elegan.

"Kalau begitu, terima kasih banyak atas waktunya, ya. Sejujurnya, aku yakin kamu sudah tahu kenapa aku ingin kita ketemu empat mata." Aku ikut menyibakkan rambutku yang hari itu kukuncir jadi satu. Jiwa kompetisiku seakan meluap-luap.

"Sejujurnya, saya nggak tahu. Karena saya rasa, kita nggak ada urusan." Friska menjawab percaya diri.

"Well...." Aku ikut menegakkan punggung. "Sejujurnya aku hanya ingin tahu, perempuan seperti apa yang sering diajak suamiku untuk berdiskusi tentang banyak hal." Tatapan kami beradu. "Kenapa ia lebih sering menghabiskan waktunya bersama mantan kekasih ketimbang dengan istrinya sendiri."

"Karena dia sudah terbiasa dengan kehadiran saya." Tanpa kuduga, Friska memberikan jawaban seperti itu. Aku merutuk dalam hati, lancang sekali dia.

"Mbak Nessa, kandasnya hubungan kami karena perjodohan kalian nggak lantas membuat komunikasi terputus. Faktanya, Dru lebih memilih untuk mengkomunikasikan segala hal yang ia hadapi dengan saya, ketimbang dengan Mbak. Itu artinya, dia belum move-on dari saya." Perempuan itu berujar tegas.

Rahangku kaku. Dengan penampilannya yang cerdas dan percaya diri, aku sudah menduga perempuan ini akan memberikan reaksi seperti barusan. Pertemuan ini tak akan membahas hal remeh dan bertele-tele. Tapi tetap saja, sikapnya yang terus terang itu membuatku sedikit syok.

"Dan kelak, aku nggak ingin suamiku seperti itu lagi. Bertemu diam-diam dengan dirimu," ucapku.

Friska mengangkat bahu. "Maaf, Mbak. Yang itu nggak bisa saya janjikan. Karena suamimu masih cinta dengan saya."

Tanganku terkepal. Nyaris saja emosiku terpancing dan mengucapkan sumpah serapah.

"Mbak Nessa cantik dan kaya raya. Kenapa Mbak nggak cari lelaki lain saja. Saya yakin, dengan status Mbak Nessa yang seperti ini, Mbak bisa dengan mudah mendapatkan lelaki yang Mbak inginkan."

"Sayangnya yang kuinginkan adalah Dru, karena dia suamiku," jawabku tegas.

Friska mencondongkan tubuhnya ke arahku. "Saya sudah bilang pada Dru, jika pernikahannya gagal, saya akan menerimanya kembali."

Aku terkekeh lirih seraya balas mencondongkan tubuhku ke arahnya. "Dan aku nggak akan melepaskannya semudah itu," ucapku kemudian.

Terlihat jelas bahwa masing-masing dari kami sedang menahan diri untuk tidak menimbulkan tindakan anarki. Friska tengah mencoba menahan diri untuk tidak menarik rambutku, dan aku juga sedang menahan diri untuk tidak menumpahkan air kopi ke mukanya.

"Sekarang aku sudah tahu perempuan seperti apa dirimu. Itu sudah cukup bagiku." Aku menegakkan tubuh lalu bangkit. "Pesanan sudah kubayar. Makan saja." Aku beranjak. Melangkah tergesa menuju mobil di parkiran. Melemparkan tas di kursi penumpang, lalu segera tancap gas.

Baru beberapa kilometer meninggalkan kafe tempat pertemuanku dengan Friska, aku memutuskan untuk menepikan mobil dan berhenti. Pertahanan yang terbangun sejak tadi akhirnya runtuh juga. Memukul kemudi beberapa kali, tangisku pecah. Entah yang mana yang kutangisi.
Menangisi Dru? Ataukah menangisi cintaku yang bertepuk sebelah tangan? Atau mungkin terlampau sakit hati karena perempuan yang dicintai suamiku ternyata cantik rupawan?

Lama menghabiskan waktu menangis, napasku sesak. Penyakit asma yang beberapa tahun ini sudah tidak pernah kambuh, tiba-tiba saja muncul lagi. Dengan napas terengah dan panik, aku membuka tas dengan tangan gemetar. Berharap ada keajaiban hingga dapat kutemukan obat di sana. Nyatanya nihil.
Masih terus mencoba mengobrak-abrik isi tas ketika terdengar ponselku berbunyi. Menatap layar, nama Allen tertera di sana.

"Halo," sapaku buru-buru sambil menegakkan punggung di kursi kemudi. Mencoba mengatur napas yang mulai pendek-pendek.

"Mbak Nessa, ayo makan siang bareng. Aku kangen makan gado-gado sama Mbak." Terdengar suara renyah dari seberang sana.

Aku menelen ludah. Terengah aku memanggil namanya, "Al ...."

"Mbak?"

"Tolong ...." Kali ini suaraku nyaris tertelan kembali ke tenggorokan.

"Mbak Nessa, kenapa?"

"Aku ... nggak bisa napas." Dadaku naik turun makin kencang.

"Share lokasi, akan kuhubungi klinik terdekat!" terdengar suara Allen panik.

Tanganku gemetar mengirimkan lokasi pada Allen. Setelah itu, ponsel di tanganku meluncur jatuh, disusul dengan tubuhku yang limbung ke sisi kursi penumpang, tak sadarkan diri.

***

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro