12.

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Korsika terletak di sebelah barat Italia, 160 km sebelah tenggara Perancis Daratan, dan sebelah utara Sardinia. Pulau ini berada di laut Mediterrania dan terkenal akan garis pantainya yang indah serta dua ratus pantai yang tersebar di pulau tersebut. Bisa jadi, ini adalah pulau Bali-nya orang perancis.

Dru memesan hotel di Ajaccio, ibu kota Korsika dan tempat kelahiran Napoleon Bonaparte, kaisar Perancis terbesar dalam sejarah. Kota ini penuh dengan koleksi seni yang tekenal dan juga pantai yang menawan. Sudah lama aku memimpikan datang ke sini. Bermula ketika Milly berkali-kali memamerkan pengalaman bulan madunya di sini. Pulau dengan arsitektur kuno nan mengagumkan, breezy vibe khas Eropa, bukit karang yang siap didaki, serta pantai-pantai yang tenang dengan pasir selembut bedak bayi. Sungguh membuat jiwa petualangku meronta-ronta.

Sayangnya, keinginan untuk bulan madu ke tempat ini kandas. Dru disibukkan dengan pekerjaan sesaat setelah kami menikah. Selain itu, bulan madu sepertinya memang tak ada dalam daftar rencana untuk dua orang yang menikah tanpa cinta. Buat apa?

Dan pada akhirnya, beginilah sekarang. Aku sampai di tempat ini, dengan mantan suami, tinggal sekamar dengan ranjang terpisah, ironis sekali, bukan?

“Ness? Nessa?”

Panggilan itu membuatku tergagap. Aku mengalihkan pandangan dari Palm Beach yang membentang di depan hotel lalu menoleh ke arah Dru yang berdiri di sisiku. Sepertinya ia sudah berusaha memanggilku berkali-kali.

Are you okay?” Ia bertanya cemas. “Kamu beberapa kali nggak merespon panggilanku?”

Aku berdehem. “Uhm, yeah. Hanya … sedang menikmati pemandangan,” jawabku buru-buru.

Dru manggut-manggut. “Aku sedang bertanya padamu? Apa makan paginya perlu kutukar dengan menu yang sesuai seleramu? Kamu seperti nggak berkenan menyantapnya.”

Tatapanku singgah ke arah hidangan di atas meja. “Oh, nggak perlu. Aku akan makan.” Aku buru-buru beranjak, duduk di depan meja lalu mulai melahap sarapanku. Dru bergerak dan ikut duduk di hadapanku untuk ikut makan. Rupanya ia juga baru melahap sarapannya. Kami makan sambil berdiam diri. Situasi berubah canggung sekarang.

“Aku belum membuat list tempat-tempat yang akan kita kunjungi. Kuserahkan padamu saja ingin kemana, dan aku akan ikut.” Dru bersuara.

Aku kembali mengarahkan tatapan ke arah panti di depan Palm Beach lalu berujar, “Aku ingin jalan-jalan sebentar di pantai.”

Okay ---,”

“Sendirian,” potongku.

Dru menatapku dengan ekspresi protes. Seolah ia sedang mengatakan bahwa ia takkan mengijinkan aku pergi sendirian.

“Hanya lima belas menit, okay? Aku ingin jalan-jalan di dekat sana, sebentar saja, lalu kembali ke sini dan kita akan menyusun rencana untuk bepergian bersama.”

Dru tak merespon. Tapi akhirnya ia hanya mengangguk.

Sesaat setelah selesai menghabiskan makan pagi, aku melesat dan berjalan-jalan di pantai dengan bertelanjang kaki, merasakan pasir lembut menggelitik ujung jemari. Sementara Dru, berdiri di balik jendela kamar hotel sembari mengawasiku.
Membayangkan raut mukanya yang manyun karena kutinggal sendirian, aku tertawa lirih.

Awalnya aku hanya ingin jalan-jalan di pantai lima belas menit saja, atau bahkan kurang dari itu lalu memutuskan kembali ke hotel. Entah kenapa, akhirnya terbersit untuk menikmati deru ombak yang tenang lebih lama. Dua puluh menit malah. Alhasil, seperti yang sudah kuduga, Dru menyusulku ke pantai.

“Sudah lebih dari lima belas menit. Aku takut kamu hilang,” ucapnya sambil berlari kecil menghampiriku. Aku memutar bola kesal, lalu menatapnya kesal, “Baru telat lima menit, Dru,” protesku. Pria itu hanya mengangkat bahu. “Kamu sendiri yang bilang lima belas menit di sini, lalu kembali, dan kita akan jalan-jalan bareng.”

Aku menarik napas, lalu berbalik. “Ya sudah, ayo kembali ke hotel.” Aku beranjak cepat meninggalkannya.

***

“Jadi, kita mau ke mana? Sudah kamu putuskan?” Dru bertanya tak sabaran beberapa detik ketika kami baru saja sampai di kamar hotel. 

“Place d’Austerlitz and Grotte Napoleon,” jawabku sembari meraih segelas jus jeruk di meja dan meneguknya pelan.

“Oke.” Dru menjawab tak kalah antusias. Mengenakan celana kargo dan kaos pendek yang dipadu kemeja, ia sigap menenteng kamera. Penampilannya yang kali ini begitu santai, menciptakan daya tarik yang berbeda. Hangat, tampan, dan membumi. 


“Kita akan ke sana dengan mobil sewaan.” Dru berujar. Aku mengangguk. Mengambil tas slempang berisi dompet dan ponsel, aku bergerak mengikuti Dru.
Berjarak sekitar lima kilometer dari hotel, kami sampai di Place d’Austerlitz sepuluh menit kemudian.

Place d’Austerlitz didominasi oleh monumen besar yang didirikan tahun 1938. Terletak di sisi barat, monumen patung Napoleon Bonaparte berada di puncak piramida berundak granit yang dapat dinaiki dengan tangga yang dibingkai oleh patung dua elang. Konon prasarti miring ini seolah melambangkan kebangkitan, kemenangan dan pencapaian besar kaisar.


Place Auterlitz juga dikenal dengan Place Du Casone, yaitu tempat dengan bangunan tua yang konon dulunya dipakai Napoleon Bonaparte menghabiskan masa kecil. Di belakang taman, ada sebuah batu besar yang dinaman Grotte Napoleon, atau Napoleon’s Cave, di mana tempat itu digunakan anak muda tersebut untuk memimpikan penakhlukan dan kemuliaan.

Cuaca terik dan tak banyak pengunjung di Place Auterlitz sehingga aku bisa leluasa menaiki undakan, melihat patung, dan juga batu besar yang disebut gua. Dru setia mengikutiku dan menjawab pertanyaan-pertanyaan remeh yang kulontarkan. Termasuk arti-arti bahasa perancis yang terukir di dinding maupun lantai granit. Satu lagi yang juga baru kutahu darinya, ternyata Dru fasih berbahasa Perancis.

Setiap kali aku mengajaknya berbicara, ia akan antusias menjawab. Kedua matanya berbinar, wajahnya semringah, dan ia banyak tersenyum. Bahkan ketika aku secara tak sengaja menumpahkan cola dari botol yang hendak kuminum, ia tertawa lepas. Aku pernah melihat ekspresinya itu. Di foto-foto, bersama Friska. Sekarang, ekspresi itu ada di sini. Dekat denganku.


Puas berkeliling Place Auterlitz, kami memutuskan untuk kembali ke hotel dan makan siang di sana. Dru menawarkan untuk pergi ke museum, tapi aku menolak.
“Besok saja. Sekarang aku lelah, ingin tidur siang sejenak,” ucapku sembari menjatuhkan tubuhku ke ranjang.

Dru manggut-manggut. “Butuh pijitan?”

Aku menatapnya dengan mata berkilat. “Jangan coba-coba,” peringatku. Pria itu terkekeh. “Hanya menawarkan untuk memijit kakimu. Aku tahu kelelahan setelah berjalan-jalan mengitari Place Auterlitz. Tapi kalau kamu nggak bersedia juga nggak apa-apa. Aku ingin duduk-duduk di luar,” jawabnya.

Aku terdiam sejenak.

“Bagaimana? Masih nggak tertarik kupijit?” Dru kembali menawarkan.

Tak segera menjawab, toh akhirnya aku mengangguk. “Hanya kaki saja, kan?” tanyaku. Dru mengangguk. “Pasti,” jawabnya.

“Baiklah. Aku mau,” ucapku kemudian.

Dan begitulah akhirnya. Dru beranjak duduk di ujung ranjang lalu memijit kakiku pelan. Mulai dari jemari kaki, pergelangan, hingga betis. Ini bukan pertama kalinya Dru menyentuhku. Tapi kali ini sentuhannya terasa lebih berbeda. Lebih lembut, hangat, dan … enak.
Saking menikmati, aku bahkan sampi ketiduran.

***

Jam lima sore, aku dan Dru memutuskan untuk duduk-duduk di teras kamar. Menikmati teh hangat dan cemilan sembari menatap detik-detik matahari terbenam.

“Kamu pernah ke sini sebelumnya?” Aku membuka obrolan.
Dan tak kusangka, Dru menjawab cepat, “Pernah. Sekali.”

Aku menatapnya dengan was-was. Pantas saja bahasa Perancisnya fasih dan dia lumayan hafal tempat-tempat di sini. “Kapan? Dengan siapa? Friska?” tebakku.

“Bukan. Dulu sekali aku pernah ke sini, dengan teman-teman kuliah,” jawabnya.

Tatapanku kembali beralih ke bibir pantai. Menyaksikan beberapa orang berjalan-jalan di sana.
“Kalau dengan Friska, pernah liburan kemana?”

Terdengar Dru mengerang. “Ness, please. Bukan maksudku untuk menyembunyikan sesuatu darimu. Tapi percayalah, ketika kita membicarakan Friska, kita pasti akan bertengkar lagi. Dan aku nggak mau itu terjadi. Kupikir aku sudah cukup memberitahumu tentang dirinya. Itu masa lalu, dan di antara kami sudah selesai.”

Aku tak bersuara. Karena sebetulnya Dru benar. Membicarakan tentang Friska akan membuatku sakit hati, dan sudah bisa dipastikan kami akan bertengkar kembali. Tapi tetap saja, aku tak bisa menahan diri untuk selalu bertanya tentang dirinya. Karena aku belum puas mengorek semua hal tentang mereka.

“Sejak kapan kalian benar-benar putus hubungan?” tanyaku.

“Sejak kita bercerai.”

“Apa dia mencampakkanmu?”

“Tidak ada siapa mencampakkan siapa. Faktanya, hubungan kami memang sudah selasai sejak kita menikah. Waktu itu aku masih sering bertemu dengannya untuk mengobrol, bertukar pikiran, dan membicarakan hal-hal remeh padanya. Nggak ada kisah romantis.” Dru menjawab cepat.

“Sekarang dia di mana?”

“Sungguh, aku nggak tahu. Setelah kita berpisah, aku bilang padanya kalau aku nggak bisa bertemu dengannya lagi. Beberapa kali ia ke rumah tapi aku menolak bertemu karena kupikir di antara kami sudah selesai, nggak ada lagi yang perlu dibicarakan. Bahkan sekadar menjalin hubungan pertemanan pun aku nggak bisa, karena aku marasa nggak pantas. Setelah itu, kami hilang kontak. Sudah.”

Aku mengangguk-angguk sambil menjatuhkan pandangan pada langit kemerahan.

“Jadi apa yang ingin kamu tanyakan lagi tentang Friska? tanyakan saja semuanya, sekarang. Setelah itu berjanjilah bahwa kita akan mengakhiri membahas tentang perempuan itu.”

Aku merutuk. “Berani-beraninya kamu mengatur tentang apa yang ingin kutanyakan. Kalau aku ingin menanyakan tentang Friska, maka akan kutanyakan. Kalau enggak, ya enggak,” protesku.

Dru menarik napas. Ia mengangguk lelah. “Baiklah. Terserah. Tanyakan saja apa yang ingin kamu tanyakan, maka akan kujawab semuanya.”

Bahwa perempuan adalah makhluk yang paling rumit, sepertinya benar. Karena sekarang aku sendiri tak mengerti dengan jalan pikiranku. Tadi sewot ketika Dru menolak membahas tentang Friska, sekarang malah tambah kesal karena ia bersedia membicarakan tentang dirinya.
Astaga.

“Besok saja kita bicara lagi.” Aku beranjak. Masuk ke kamar dengan muka masam.

***

Larut malam entah pukul berapa, aku terbangun tiba-tiba ketika merasakan dinding di belakang tempat tidur bergetar dengan kekuatan yang cukup untuk menghentakkan kepala tempat tidurku. Menyipit, aku menatap sekeliling berikut ke arah dinding di belakang tempat tidur.

Duk!

Duk!

Lagi-lagi suara berisik terdengar dari sana. Sepertinya, tempat tidur di kamar sebelah membentur dinding dengan tempo cepat.

Menatap ke arah ranjang Dru, tampak pria itu berbaring dengan mata terbuka. “Sama, suara itu juga membuatku nggak bisa tidur,” jawabnya seolah menjawab pertanyaanku.

Aku menatapnya bingung, berusaha mencari tahu apa yang terjadi, tapi ia hanya mengangkat bahu.

“Apa yang terjadi ---” Belum sempat kalimatku berlanjut, keributan di kamar sebelah kembali terjadi. Lagi-lagi dinding di belakang tempat tidur bergetar. Disusul rintihan dan juga … erangan.

Ahhhh…

Uhhhhh….

Yes! Oh yes! Yes!

Oh yes, Babe!

Keningku mengernyit, menatap kembali ke arah Dru yang masih saja berbaring santai. “What the--,”

“Ada maraton seks di kamar sebelah.” Dru menyahut. “Pertandingan mereka sudah dimulai sejak sekitar dua jam yang lalu dan sepertinya belum ada tanda-tanda akan selesai.” Ia terkekeh kikuk.

Aku ternganga. Hah?

Suara derit kasur kembali menggema dari kamar sebelah. Dinding di belakang ranjang tidurku kembali bergetar. Serius, kalau ini terjadi terus, tembok itu bisa roboh.

Ahhh…

Uhhhh….

F*ck me!

Faster, Babe! Fasteeerrr!!!

Lagi-lagi erangan terdengar. Aku dan Dru saling pandang sejenak. Pria itu kembali terkekeh lalu duduk bersandar. “Terdengar seru sekali ya?” ujarnya.

Aku menggigit bibir. Mukaku rasanya memerah karena malu. “Apa kita pernah seseru itu ketika bercinta? Pasti memalukan sekali jika kedengaran orang,” ucapku.

Dru tertawa lirih. Ia menggeleng. “Sejujurnya, kita asyik. Hanya saja … nggak seberisik itu.”

Tatapan kami kembali beradu. Dan kali ini benar-benar canggung. Terlebih ketika desahan dan erangan dari kamar sebelah kian sering dan nyaring.

“Akan kuhubungi resepsionis.” Aku turun dari tempat tidur. Tiba-tiba hentakan di bagian belakang ranjang tidurku kembali menghujam dan bergetar, kali ini lebih keras.
Reflek aku dan Dru bangkit dari tempat tidur lalu mendekatkan telinga kami ke dinding sambil bersikap waspada. “Jangan-jangan ada yang cedera?” tebakku.

“Aku khawatir ada yang patah,” bisik Dru.

Dan sekian detik kemudian pria dari kamar sebelah berteriak, “Oh, I’m comiingg, Babe!”
Terdengar ranjang berderit sekali lagi, lalu suasana hening.

Aku kembali bersitatap dengan Dru sembari menelan ludah. Ia menggigit bibir lagi. “Sepertinya sudah selesai,” bisiknya.

Aku manggut-manggut. “Baiklah, ayo tidur.” Buru-buru aku naik ke tempat tidur dan menarik selimut hingga leher. Dru pun melakukan hal yang sama. Ia naik ke ranjang, dan menarik selimut hingga pinggang. Kami berdiam diri. Hingga akhirnya Dru bangkit, lalu melepas kaosnya dan melemparkannya ke keranjang tempat baju kotor.

“Kenapa kamu melepaskan kaosmu?” tanyaku.

“Gerah.” Ia menjawab pendek lalu kembali ke ranjang. “Ayo tidur.” Ia menarik selimut lalu menariknya hingga pinggang kemudian berbaring membelakangi, menunjukkan punggungnya yang terbuka ke arahku.

Menatap AC yang menyala, aku menggigit bibir. Entah kenapa tiba-tiba aku juga merasa gerah.

***

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro