14.

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Rasanya aku baru sempat terlelap sekejap manakala pagi menyapa. Menatap jam besar di dinding, pukul tujuh lewat sepuluh menit. Apa aku tidur selama itu? Kenapa rasanya baru sekian menit saja. Menggeliat, aku baru tersadar bahwa sisi tempat tidurku telah kosong. Menatap seisi ruangan, sepi. Kamar mandi juga lengang. Tak ada tanda-tanda seseorang di sana.

“Dru?” panggilku. Tak ada jawaban. Buru-buru aku menyingkap selimut lalu turun dari ranjang. “Dru?” panggilku lagi. Berharap ia ada di teras, ternyata nihil. Bergerak kembali ke kamar untuk mengecek barang-barang pribadinya, semua masih aman. Ponselnya tergeletak di sisi ponselku, sementara baju dan juga tasnya masih berada di tempatnya semula.
Astaga, bisa-bisanya aku berpikir kalau ia kabur? Tapi, mengingat apa yang terjadi semalam, pantas saja ‘kan kalau aku merasa curiga?

Untuk pertama kalinya aku menyaksikan pria itu menangis tergugu. Untuk pertama kalinya bahunya luruh, rapuh. Dan untuk pertama kalinya aku menyaksikan ia terpuruk sedemikian rupa. Wajar jika akhirnya aku dilanda perasaan was-was.
Jangan-jangan Dru kabur? Atau ia pergi tak tentu arah dengan perasaan campuraduk? Apa ia keluar dengan perasaan tertekan dan berniat melakukan hal-hal di luar dugaan. Membayangkan saja, seketika aku bergidik ngeri.

“Dru, semoga kamu nggak melakukan hal macam-macam,” desisku.

Setelah mencuci muka secara kilat di wastafel dan mengganti bajuku dengan kaos longgar lengan pendek, aku berpikir untuk mencari keberadaan Dru. Yang akan kulakukan pertama adalah bertanya pada  resepsionis, jika ternyata tak membuahkan hasil, maka aku akan mendatangi setiap sudut L'Île-Rousse untuk mencarinya.

Menguncir rambut dengan asal, aku beranjak ke arah pintu. Belum sempat menyelesaikan kunciran rambut, gagang pintu bergerak dan pintu terbuka. Dru muncul dengan napas terengah. Tubuhnya dipenuhi keringat hingga kaos dan celananya basah. Mengenakan sepatu olah raga, mungkin dia baru saja menghabiskan waktunya untuk lari pagi.

Menatap diriku yang baru saja menguncir rambutku dengan asal, pria itu bertanya bingung, “Mau ke mana?”

“Mencarimu,” jawabku cepat. “Aku bangun dan kamu nggak ada. Jadi kupikir ---.”

“Tadi aku jogging. Kamu masih tidur pulas jadi nggak kubangunkan.” Pria itu bergerak, melepas kaosnya yang basah oleh keringat dan melemparkannya ke keranjang baju kotor. Mengambil air minum di kulkas lalu menenggaknya habis.

“Aku mandi dulu. Tadi aku sudah minta pada pelayan untuk mengantarkan sarapan ke sini. Mungkin sebentar lagi datang.” Ia beranjak ke kamar mandi. Meninggalkanku yang masih berdiri mematung. Menatap ke arah kaos kotor yang teronggok di ranjang, aku menggerutu, “Bisa nggak sih nggak buka baju secara sembarangan di depanku? Aku ‘kan terganggu.”

Tiba-tiba pintu kamar mandi dan Dru melongokkan kepala dari sana. “Kamu bilang sesuatu?”

“Enggak.” Aku buru-buru menjawab sambil menggeleng.

Menatap Dru yang seolah masih tak puas dengan jawabanku, aku berbalik. “Mau ke teras sebentar,” ucapku.

***

Sarapan datang lima belas menit kemudian. Kami menikmati hidangan dalam hening. Dru lebih banyak diam, sementara aku sendiri bingung ingin memulai obrolan seperti apa.

“Apakah masih ada tempat di L'Île-Rousse yang ingin kamu kunjungi?” tiba-tiba Dru bertanya ketika aku masih asyik dalam lamunan.

“Ness?” Dru kembali memanggil. Aku menatapnya, lalu balik bertanya, “Kalo kamu? Apakah kamu masih ingin di sini?”

“Aku ngikut kamu. Kalau kamu masih ingin di sini ya aku temani. Kalau ingin kembali ke Ajaccio ya ayo. Tadi aku sudah mengecek keadaan mobil dan perbaikannya sudah beres.”

Aku terdiam sejenak, lalu akhirnya menjawab, “Sore saja kita kembali ke Ajaccio. Aku masih ingin berkunjung ke Mercusuar.”

Dru hanya mengangguk tanpa menjawab. Keadaan kembali hening.

“Dru--,”

“Aku minta maaf soal semalam ya, Ness.” Dru memotong. Tatapan kami beradu. “Maaf telah membuatmu kaget. Sejujurnya, sudah lama mimpi buruk itu tidak datang menghantui. Hanya kadang-kadang saja ketika ingatan akan anak kita berkelebat. Jadi--.” Kalimatnya terbata. Mata itu tak bisa bohong. Gelap, kelam, dan masih ada jutaan luka di sana.

Terdengar Dru menarik napas berat. Ia memalingkan wajah lalu menggigit bibirnya dalam-dalam. “Kalau ingat, tetap saja rasanya sesak.” Kalimatnya lirih.

Aku berinisitif untuk meraih tangan Dru dan menggenggamnya lembut. Pria itu sempat kaget dengan perbuatanku. Namun akhirnya ia membalas menggenggam tanganku erat lalu tersenyum kecut.

“Aku nggak ingin merusak momen liburan ini, Ness. Tapi entah kenapa, sekarang mood-ku rasanya campuraduk,” ucapnya.

Aku mengangguk tanda mengerti. Aku pernah seperti ini, bertahun-tahun lalu. Trauma akan kecelakaan yang merenggut anakku, aku berjuang melawan rasa cemas, rasa takut, sedih berlebihan hingga terkadang mengalami gangguan tidur. Kadang diserang mimpi buruk persis seperti yang dialami Dru.
Rasanya masih sakit, sampai sekarang.

Dan benar apa yang Papa katakan. Aku dan Dru memang butuh waktu untuk saling menyembuhkan. Mungkin karena luka kami sama, maka kami bisa mengatasinya.

“Ayo ke Mercusuar,” ajakku.

Dru patuh mengiyakan ajakanku. Setelah sarapan, kami memutuskan ke sana. Menikmati tempat itu tanpa banyak bicara.

***

Sejak menghabiskan hari-hari di di L'Île-Rousse, Dru menjadi lebih pendiam. Dalam perjalanan kembali ke Ajaccio, ia juga lebih banyak diam. Bahkan ketika kami telah sampai di hotel pun, ia tak banyak bicara. Hanya sepatah dua kata untuk menjawab setiap pertanyaan yang kulontarkan.

Dan jujur aku merasa takut dengan perubahannya. Seolah dihadapkan kembali pada Dru dari masa silam. Pendiam, tak ekspresif. Padahal aku suka Dru yang sekarang, yang akhir-akhir ini akrab kulihat. Dru yang baru, yang banyak bicara, banyak tersenyum, dan banyak tertawa.

“Dru?” panggilku. Pria yang tengah duduk di teras menatap laut lepas itu menoleh. “Ya?” Ia menjawab pendek. Wajahnya masih muram.

“Tentang rasa takut, sedih, dan cemas berlebihan yang kamu alami, sudah datang ke dokter?” tanyaku hati-hati.

Terdiam sejenak, akhirnya Dru mengangguk. “Setelah kehilangan anak kita dan juga … dirimu, aku melakukan segala cara untuk bisa mengatasi rasa bersalah yang terus menghantui. Berkonsultasi ke dokter, melakukan segala yang Ia sarankan, bepergian, bahkan rehat dari pekerjaan, semuanya. Tapi tetap saja, aku nggak menyangka kalau proses penyembuhan diri itu akan berlangsung selama ini.” Ia  berucap getir.

Dru terdiam lagi. Kedua matanya kembali menerawang. Melirik jam di dinding, hampir sebelas malam. Pria itu seolah tak beranjak dari tempat duduk, dan aku enggan untuk meninggalkannya.

Menatap keadaan kami dengan perasaan ironis, tiba-tiba aku ingat perkataan Allen. Sometimes two good people end up in a toxic relationship. Dan bisa jadi itulah yang terjadi. Ternyata selama ini, kami saling melukai.

“Tidurlah dulu, aku ingin ke pantai sebentar. Aku butuh udara segar.” Aku bangkit. Dru buru-buru ikut bangkit. “Akan kutemani,” ucapnya.

“Nggak usah. Aku akan ke sana sendiri,” putusku.

“Akan kutemani.” Dru mengulangi kalimatnya.

“Aku ingin sendiri dulu, Dru.”

“Bersama, atau enggak sama sekali.” Kalimat Dru kali ini terdengar lebih tegas.

Aku menggigit bibir kesal lalu bergerak meninggalkannya dengan langkah panjang. Tak terlalu menggubris ketika akhirnya pria itu tetap mengikuti.

Sepanjang bibir pantai kususuri dengan kaki telanjang. Merasakan pasir halus menggelitik jemari kaki. Sementara Dru tetap patuh mengikuti langkahku. Ia berujar manakala kami terlalu jauh meninggalkan kawasan hotel.

“Ayo kembali.”

“Kamu duluan aja,” jawabku.

“Ness?” Pria itu menarik lenganku namun aku menyentakannya dengan kasar kemudian kembali berjalan. Kali ini dengan langkah tergesa.

“Ada apa denganmu?” Dru mengikuti, kembali mencoba menghentikan langkah.

Mendorong tubuh Dru menjauh, aku berbalik. Merasakan air mataku sudah merebak. Tak ingin Dru mengetahui tangisku, aku bergerak dan masuk ke dalam air.

“Tinggalkan aku sendiri, Dru. Aku ingin berenang dulu. Kamu kembali saja ke hotel,” jawabku dengan suara tercekat. Air laut yang tenang kuterjang hingga membuat bajuku basah seketika.

“Nessa!” Terdengar Dru ikut bergerak masuk ke dalam air.

Ketika kurasakan langkahku semakin jauh ke dalam, hingga batas air telah sampai ke pinggang, Dru menarik kembali lenganku. Sempat terjadi tarik menarik, akhirnya pria itu berhasil meraih pinggangku dan membawa mendekat ke arahnya. Ketika tatapan kami beradu, air mataku berjatuhan tanpa mampu kutahan.

“Anak kita--,” suaraku tercekat.

Kening Dru mengernyit.

“Jika dipikir-pikir lagi, semua itu salahku, kan, Dru? Andai aku nggak buru-buru menyetir ke tempatmu, andai aku mau bersabar sedikit saja menunggu hingga kamu pulang, aku nggak akan kecelakaan. Aku nggak akan membunuh anak kita! Ya, kan?!” jeritku.

Dru menatapku syok. “Nessa …,” desisnya.

“Aku yang salah, Dru! Aku yang salah!” Aku meremas kaos Dru, pria itu menggeleng berkali-kali.

“No…,” erangnya. “No, it wasn’t your fault. Bukan….” Kalimatnya terdengar putus asa.

Dan perasaanku membuncah, kalap seketika. Mencoba melepaskan diri dari Dru agar bisa menenggelamkan diri di air. Berharap cara itu mampu melenyapkan segala kerumitan dalam kepala.

“Nessa!” Dru mencengkeram bahuku dan mendekapku erat. Aku Meronta beberapa kali namun tak membuahkan hasil. Lengan pria itu menyelimuti tubuhku dengan kokoh. Hingga akhirnya aku luruh, kelelahan, dan terisak.

Mengangkat tubuhku dengan ringan, ia membawaku ke daratan. Tangisku tak kunjung berhenti. Kutumpahkan semua di dada Dru. Pria itu tetap mendekapku erat, mengecup puncak kepala dengan dalam. “Bukan,” bisiknya. “Bukan salahmu.” Ia berujar berulang-ulang. “Aku yang salah. Aku yang salah, Ness.” Suaranya bergetar, dan dekapannya makin erat.

Ia membawaku kembali ke hotel. Melangkah tergesa dengan tubuh yang sama-sama basah. Dalam perjalanan ke sana, lirih Ia kembali berbisik, “Masih ada kesempatan, Ness. Ayo kita mulai segala dari awal. Kita perbaiki semua satu persatu.”
Kecupan itu kembali kuterima, kali ini di kening.

***

Ketika membuka mata di pagi harinya, lengan kokoh itu melingkari tubuhku dengan sikap protektif. Beringsut perlahan, aku menatap sosok kekar yang tengah memelukku. Ternyata ia sudah terjaga.

“Aku nggak bersikap kurang ajar. Kalau nggak gini, aku takut kamu kabur lagi,” jawabnya.

Beradu tatap sejenak, aku beringsut membelakanginya. Sosok itu tetap kubiarkan melingkupi diriku.

Kupejamkan mata, mengingat kembali kejadian semalam. Setelah sempat berniat menenggalamkan diri ke lautan, setelah kami ribut-ribut, Dru membawaku kembali ke hotel. Memaksaku segera mengganti baju yang basah, memesankan teh chamomile hangat, lalu setia menungguku tenang. Padahal aku tahu pasti bahwa kondisi psikis Dru juga tak lebih baik dariku.

Semalam, kesepakatan itu akhirnya terlontar.

Kami akan memulainya segalanya dari awal lagi. Bersama-sama mengumpulkan serpihan hati yang telah tercerai berai, lalu merangkainya satu demi satu.

“Dru,” panggilku.

Terdengar Dru hanya menyahut pendek.

“Aku lapar,” ucapku lagi. Dru menarik lengan yang melingkupi diriku lalu buru-buru bangkit. “Akan kuminta pelayan mengantarkannya ke sini.” Ia meraih gagang telepon dan terdengar melakukan reservasi. “Kalau dalam lima menit makanan belum datang, akan kudatangi mereka,” ujarnya.

Aku mengulum senyum lalu bangkit, melangkah menuju kamar mandi. “Aku mandi dulu.”

***

Kami melewati waktu sarapan persis seperti pertama kali datang; hangat dan ceria. Dru mulai banyak bicara lagi, berkelakar ini dan itu yang terkadang dibarengi tawa. Melihatnya seperti itu, tanpa sadar aku pun ikut tersenyum. Sejak semalam, tak lelah aku merapal doa. Semoga ini adalah keputusan terbaik untuk kami berdua.

“Dru, mau kutunjukkan sesuatu?”

Dru mendongak dan menatapku bingung. “Apa?”

Aku bangkit dari kursi, mengambil ponsel yang tergeletak di meja dekat ranjang. Dru ikut bangkit dan melangkah mendekatiku dengan ekspresi penasaran.
Mengutak-atik ponselku sejenak, aku menemukan apa yang kucari.

“Ini.” Aku menunjukkan foto itu padanya.

Menelengkan kepala, Dru menatap layar ponselku dengan saksama. “Apa ini?”

“Foto USG anak kita dulu. Aku masih menyimpannya sampai sekarang,” jawabku.

Dru menatapku dengan mulut ternganga, lalu beralih ke arah layar ponsel. Buru-buru ia meraih ponsel dari tanganku lalu menatap foto di layar dari segala arah. Mendekatkan ke wajah, menyipitkan mata, menatap dari samping, lalu mendekatkan ke wajahnya lagi.

“Dia yang mana?” kalimatnya antusias.

Jemariku bergerak, menunjuk sebuah titik kecil di layar. “Ini,” ucapku.

Dru mengikuti petunjukku dengan patuh. “Serius?”

Aku mengangguk.

Kedua mata Dru seketika berkaca-kaca. Ia tertawa haru. “Lucu, nggemesin,” ucapnya. Masih dengan ponsel di tangan, ia bergerak ke ranjang, berbaring di tengkurap di sana, lalu kembali asyik menatap foto buram di layar ponsel yang kini ia letakan di atas kasur. Terlihat jelas kedua matanya yang basah dan bibirnya yang tersenyum haru.
Dan tanpa bisa ditahan, senyum itu akhirnya menular padaku, termasuk kedua mataku yang kini ikut basah. Ah, ternyata sesayang itu padanya.

“Ness,” panggil Dru dengan nyaring.

“Hm?”

“Nanti kita bikin kayak ini lagi, ya. Sepuluh,” ucapnya riang.

Aku mendelik. Hah?

***

Note:
Halo, terima kasih sudah setia mengikuti Mas Dru, sabar nungguin dia nongol.
Terima kasih juga sudah ngasih vote dan ngeramein kolom komentar. I Love U, all.

Kalau ada typo, kasih tau ya. Jemariku kadang khilaf. Terlalu capek ngelus-ngelus dada Mas Dru yang alot. #eh?

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro