Dru-Ness Moment #2

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Nessa mematut bayangannya di cermin, lumayan lama. Hadap kanan, hadap kiri, menatap tubuhnya dari ujung kepala hingga ujung kaki. Setelahnya, ia mendesah lirih lalu melangkah mendekati Dru yang tengah duduk bersandar di headboard ranjang sembari membaca.

"Dru," panggilnya.

"Hm." Dru menjawab pendek, dengan tatapan yang tak beralih dari buku di tangannya.

"Aku mau oplas." Nessa kemudian menjawab.

Terbatuk, Dru mendongak lalu menatap istrinya dengan syok. "Hah? Gimana gimana?" Ia melepas kacamata yang ia kenakan. "Oplas? Operasi Plastik maksudnya?" Ia memastikan.

Nessa mengangguk tanpa ragu. "Iya, aku mau operasi plastik."

"Apanya yang mau dioperasi?"

"Payudara sama bokong."

Mendengar jawaban Nessa, Dru kembali ternganga. "What?!"

Kali ini tatapannya berubah serius. Kacamata yang telah ia lepas ia letakkan di atas meja dekat ranjang, bersama dengan buku yang tadi dibaca. Menyingkap selimut yang menutup bagian bawah tubuh, ia menurunkan kaki untuk mengubah posisi duduk. Duduk di pinggiran ranjang dengan posisi menghadap Nessa, ia menatap perempuan itu dengan bingung.

Hari ini mereka sudah menghabiskan waktu seharian di rumah karena libur. Bergelung di sofa, bercinta, pindah ke tempat tidur, bergelung di bawah selimut, bercinta lagi, begitu terus. Tak ada yang aneh dengan diri Nessa. Ia terlihat bahagia, dan menikmati momen kebersamaan mereka. Lantas, kenapa sekarang tiba-tiba ia menunjukkan keinginannya yang - menurut Dru, agak di luar logika? Dru kenal betul dengan istrinya, bahwa perempuan ini punya standar kecantikan sendiri.

"Why, Ness? Something wrong?" Ada nada khawatir dalam kalimatnya. Ia meraih pinggang istrinya dan pelan membawanya mendekat.

Nessa menatap Dru dengan ekspresi cemberut. Menangkup kedua payudara yang tertutup kaos longgar tipis sepaha, ia berujar, "Lihatlah, Dru. Payudaraku tepos, bokongku juga. Pengen diapain gitu, kek. Biar bisa kelihatan lebih montok sedikit."

Dru mengalihkan pandangannya pada dada Nessa. Menatap dua gunung mungil yang selalu saja mampu membuat darahnya berdesir. Demi Tuhan, Nessa memang tak punya badan berlekuk seperti perempuan pada umumnya. Tapi, sungguh, dengan segala yang ia punya saat ini, ia sudah sulit mengendalikan diri. Setiap inci dari tubuhnya adalah luar biasa. Membuatnya senantiasa ingin berlama-lama menjelajajah dan mengecap setiap rasa.

"Jadi ..." Dru berujar dan menatap istrinya lembut. "Apa yang tiba-tiba membuatmu terpikir untuk melakukan operasi?" Kalimatnya pelan dan sabar.

Nessa tak segera menjawab. "Pengen nyenengin kamu aja," ucapnya kemudian. "Kalau aku punya payudara dan bokong yang lebih berisi, montok, barangkali aja kamu jadi lebih ... seneng."

Dru mengulum senyum. "Apa aku pernah protes dengan payudara dan bokongmu? Apa aku pernah ... nggak puas dengan apa yang kamu punya?"

Lagi-lagi Nessa tak segera menjawab. "Nggak, sih. Tapi ...."

Kali ini Dru yang menarik napas dengan sabar, lalu tersenyum lembut. Ia menarik istrinya makin dekat, mengapit kakinya dengan kedua paha. Tangannya bergerak, menarik ujung kaos Nessa yang longgar.

"Ngapain?" tanya Nessa bingung.

"Ngecek." Dru menjawab pendek seraya meloloskan kaos itu melewati kepala Nessa, lalu melemparkannya ke sembarang arah. Meninggalkan Nessa yang berdiri bingung hanya dengan mengenakan bra dan celana dalam. Menatap tubuh perempuan itu sejenak, tangannya kembali bergerak, kali ini ke punggung Nessa untuk melepaskan kait bra tersebut. Sekali tarik, benda itu mampu ia singkirkan.

Dengan sorot mendamba, Dru berlama-lama menatap tubuh istrinya. Walau sudah lama menikah, ia takkan pernah berhenti untuk mengagumi.

"Mau ngecek apa?" tanya Nessa, masih dengan ekspresi bingung.

Pertanyaan Nessa dijawab Dru dengan senyum nakal. Kemudian tangan lelaki itu bergerak, menangkup payudara istrinya dengan kedua tangan. "Lihat, kan? Ini sudah pas di tanganku."

Nessa mengerang. "Dru ...."

Mengabaikan protes tersebut, Dru mengangkat tubuh Nessa dengan ringan lalu menempatkan perempuan itu di pangkuannya untuk kemudian mempertemukan bibir mereka. Mencium perempuan itu dengan dahaga, yang segera disambut dengan rasa yang sama. "Kamu sudah cantik dengan apa adanya dirimu, Sayang. Nggak ada yang perlu ditambah ataupun dikurang." Lelaki itu berujar pelan, di sela-sela napas yang tersengal karena ciuman panas yang baru saja mereka lakukan.

Setelah kembali mempertemukan bibir mereka, kali ini tangan lelaki bergerak leluasa menyusuri punggungnya yang terbuka, lalu turun ke pinggul. Meremasnya lembut. "Yang ini juga pas." Dru berbisik. "Sekarang, ayo kita cek yang lain."

Nessa terkikik ketika merasakan tubuhnya dibanting pelan ke ranjang. Dru menempatkan perempuan itu di bawah dirinya lalu kembali menghujaninya dengan cumbuan. Ia berhenti sejenak untuk sekadar meloloskan kaosnya melewati kepala kemudian melemparkannya jadi satu di lantai dengan kaos milik Nessa tadi.

Ketika Nessa merasakan lelaki itu menggila dengan ciuman dan sentuhan di mana-mana, ia mulai protes. "Kamu nggak lelah? Seharian ini kita sudah---"

"Aku mau lagi ... dan lagi ...." Dru memotong sambil kembali melumat bibir perempuan tersebut. Membuatnya hanya mampu mengerang tanpa mampu berkata-kata. "Kamu sudah luar biasa, Ness. Everything about you is ... beautiful. Jadi berhentilah berpikir untuk merubah hal-hal yang sudah cantik dari sananya. Oke?" Lelaki itu berbisik di telinga Nessa sembari menggigitinya kecil-kecil.

Dan pada akhirnya, Nessa tak mampu menjawab. Bukan karena merasa kalah adu argumen, tapi karena lelaki itu membuatnya tak mampu berkata-kata selain mengeluarkan erangan-erangan yang tak jelas. Tak apa, toh ia tak sendiri. Karena Dru pun sudah mulai berisik. Mendesah tak tentu arah.

Hmmphh...

Oplas?

Oh, lupakan saja.

***

Hai, ketemu lagi... Semoga tulisan singkat ini bisa mengobati rasa kangen pada Dru-Ness, ya.

See you.

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro