Azaleta 12 - Dingin

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Baru saja Azaleta selesai melipat mukena setelah salat subuh, ponsel yang tergeletak di kasur bergetar sekali, menandakan ada pesan yang masuk. Azaleta bangkit, menyimpan mukena di dalam lemari sebelum meraih ponsel. Preview pesan muncul. Dari Ahil.

Tumben, Azaleta mengernyit. Jemarinya bergerak menyentuh preview pesan di layar, menampilkan pesan WA yang dikirimkan Ahil. Sesaat, kedua belah alis Azaleta seolah akan bertaut di tengah saat membaca pesan itu.

"Sibuk?"

Maksudnya apa hari ini Azaleta sedang sibuk dengan pekerjaan atau tidak. Chat-an dengan Ahil memang harus bisa selangkah di depan agar bisa nyambung. Lagi pula, mana pernah Ahil mengirim pesan hanya untuk menanyakan sedang apa Azaleta sekarang. Dihitung pakai jari tangan pun masih tersisa banyak.

"Hari ini syuting jam tiga sore." Azaleta mengetik balasan dengan cepat. "Kenapa?"

Balasan dari Ahil menyusul dengan cepat. "Setengah delapan ada acara atau ngerjain sesuatu? Hal yang urgent, misalnya."

Azaleta berpikir sebentar. Sebenarnya tidak ada, tapi Mami akan berangkat ke Pamulang jam delapan nanti. Azaleta sudah diwanti-wanti untuk tidak ke mana-mana dulu sampai pemesan katering yang mereka kerjakan semalam datang dan mengambil pesanan. Uangnya belum diterima, kata Mami. Notanya apalagi. Jangan ke mana-mana pokoknya. Azaleta meringis, hanya bisa mengangguk patuh saat Mami mengatakannya.

Jemari Azaleta menari lincah di atas touch screen, mengetikkan balasan dengan gesit. "Nggak ada, sih. Tapi Mami nyuruh buat nggak pergi pas sekitar jam delapan. Ada klien yang kudu gue tunggu soalnya."

Sesaat, suasana menjadi hening. Padahal layar sudah menunjukkan pesan terakhir Azaleta sudah bercentang biru, tanda telah dibaca oleh Ahil. Ahil bahkan sempat typing beberapa saat sebelum tidak jadi mengirimkan balasan. Statusnya langsung berubah menjadi terakhir dilihat jam sekian pula.

Meh, Azaleta menepuk dahi. Bikin kepo aja.

Typing. Ahil mengetikkan balasan sebelum sedetik kemudian pesan tersebut muncul. "Setengah sembilan sibuk juga?"

"Nggak kayaknya. Kata Mami klien yang satu ini biasanya tepat waktu. Setengah sembilan kayaknya gue udah free." Azaleta kembali mengetik balasan setelah pesan sebelumnya dikirim. "Kenapa? Kayaknya serius banget."

"Oh, Mama mau lo dateng buat ngukur baju pertunangan. Katanya biar bisa dibikinin dari sekarang."

Oh, begitu. Mulut Azaleta membentuk O, manggut-manggut. "Bisa, bisa. Jam setengah sembilan gue ke rumah lo."

Satu balasan muncul. "Nggak usah."

Lho? Azaleta mengernyit, heran sendiri. Katanya disuruh buat ngukur baju, Azaleta kembali melihat layar ponselnya, mendapati pesan lain dari Ahil.

"Nanti gue yang jemput."

"Nggak usah repot-repot, lah. Gue bisa naik gojek. Atau gocar. Oke?"

"No. Mama sendiri yang nyuruh gue buat jemput lo. Tunggu aja sampai gue dateng."

Setelahnya, status Ahil langsung menjadi dilihat pada pukul sekian, menandakan kalau pria sudah keluar dari aplikasi WhatsApp. Azaleta mencoba protes, mengirimkan beberapa pesan kalau ia bisa pergi sendiri. Sia-sia. Semua hanya ceklis satu, menandakan kalau pemuda itu sudah offline.

Pertunangan akan dilangsungkan tiga minggu lagi, satu minggu sebelum keberangkatan Azaleta ke Eropa untuk tugas liputan yang diembankan Nisa. Awalnya, keluarga Ahil sempat bersikeras untuk segera menikahkan Azaleta dan Ahil secepatnya. Satu bulan paling lambat. Sontak, tanpa diminta, Azaleta menggeleng tegas. Ia tidak ingin tergesa. Betul kalau kebaikan itu sebaiknya disegerakan kalau sudah siap lahir dan batin. Secara lahir, Azaleta dan Ahil siap memanggul ikatan suci dalam waktu dekat.

Namun, bulan depan, Azaleta sudah harus berangkat untuk melakukan liputan di Eropa dalan kurun waktu yang lumayan lama. Pertama, Azaleta tidak ingin sekonyong-konyong meninggalkan Ahil nantinya. Hal itu sedikit banyak tentu akan membuat Ahil tersinggung meski raut wajah pemuda itu tidak menunjukkannya.

Dua, pertimbangan bagaimana keluarga besar Ahil. Dilihat dari ceplas-ceplosnya beberapa tante Ahil saat Azaleta ditunjuk sebagai pemandu acara pernikahan Nayla, bukan hal mustahil kalau salah satu dari mereka akan menjadi 'kompor' kalau tahu Azaleta akan pergi setelah baru saja menikah dengan Ahil. Azaleta paham betul dengan stereotip masyarakat sekitar dan bisa membaca bagaimana keluarga Ahil akan bereaksi.

Tante Mariam dan Om Yusuf mungkin tidak masalah, tapi demi kemaslahatan hati dan jiwa semuanya, Azaleta mengajukan untuk mengundur pernikahan mereka.

Di sisi lain, Tante Mariam dan Om Yusuf—terutama Tante Mariam—tampaknya agak keberatan jika harus mengundur pernikahan putranya. Bulan depan dirasa waktu yang cukup untuk menikahkan Ahil dan Azaleta. Tenang saja, kata Tante Mariam. Tidak perlu mendengar omongan orang lain. Toh, yang nanti akan hidup bersama itu kalian.

Benar juga. Azaleta tampak menimbang-nimbang. Namun, entah kenapa Azaleta merasa melangsungkan pernikahan secepat ini membuat perasaan tidak enak dalam hatinya. Sebelum Azaleta angkat bicara, rupanya, Mami terlebih dulu memberikan usulan. Usulan yang dirasa cukup adil oleh semua pihak, baik Azaleta maupun keluarga Ahil: bertunangan terlebih dulu.

Dengan ini, antara Azaleta dan Ahil ada hubungan yang lebih kuat, tetapi juga memberikan keleluasaan bagi Azaleta untuk bekerja selama masa hubungan tunangan mereka. Tante Mariam manggut-manggut, akhirnya setuju dengan usulan dari Mami.

"Biar kami saja yang menanggung biaya pertunangan mereka, Khalefa," ucap Tante Mariam saat Mami menanyakan tentang biaya pertunangan nantinya. "Khusus pertunangan, kita mungkin cukup mengundang orang-orang terdekat dan kolega. Baru saat pernikahan sekaligus resepsi, kita adakan besar-besaran."

"Ah, jangan begitu, Mariam. Aku jadi tidak enak. Kami akan membiayainya setengah. Begitu juga dengan kalian. Bagaimana?" Mami menawarkan.

"Tidak perlu, Khalefa." Tante Mariam tersenyum. "Kalau pernikahan dan resepsi nanti, silakan. Untuk pertunangan ini, kami bisa menanggung semuanya, kok. Bajunya nanti akan dibuat sendiri di rumahku. Atau kalau Azaleta mau, bisa langsung ambil dari butik. Selebihnya tidak banyak."

Kesepakatan tercapai. Untuk pertunangan, semua sepakat pihak keluarga Ahil yang menanggung. Suasana menjadi hangat. Beberapa kali Azaleta mengintip Ahil dengan ujung mata saat seluruh keluarga makan di meja makan, yang ternyata Ahil melakukan hal yang sama. Keduanya serentak menunduk, malu sendiri.

Desir jantung Azaleta melembut, terutama saat secara tidak sengaja ia melihat Ahik sempat tersenyum beberapa saat. Saat ingin pulang, Ahil hanya berdiri berhadapan dengan Azaleta di depan pintu, seolah ingin mengatakan sesuatu. Azaleta menunggu. Ahil menepuk puncak kepala Azaleta pelan, membuat Azaleta mendongak, mendapati wajah Ahil yang masih datar tanpa ekspresi.

Sudut bibir Ahil terangkat sedikit, meski itu terlihat seperti seringai ketimbang sebuah senyuman. Khas Ahil. "Sampai jumpa."

Azaleta tersenyum. "Bye."

Deru motor Ahil saat meninggalkan kawasan rumah Azaleta, menandai selesainya acara lamaran hari itu. Azaleta menutup pintu rumah dengan cepat, merasakan wajahnya tiba-tiba menjadi panas. Bukan panas membakar, tetapi desir yang menyenangkan, seperti ada sesuatu yang membuat darahnya mengalir cepat ke pipi, membentuk rona merah terutama saat kepalanya menyenandungkan satu nama yang sama: Ahil.

***

"Healah!" Azaleta geleng-geleng, membantu Ragiel mengangkat dua plastik besar berisi nasi kotak. Masih ada seratus plastik lagi, dan mereka baru me ngangkut tiga puluh plastik ke bagasi mobil Arka. "Ternyata elo kliennya. Gue kira siapa."

"Siapa bilang gue yang mesen ini ke nyokap lo?" Ragiel menaikkan sebelah alis, menatap Azaleta lekat-lekat. Keduanya kembali ke dalam, mengambil plastik lainnya untuk segera diangkut.

"Lho?" Azaleta cengo ditempat. "Kalo bukan lo, terus siapa? Arka? Nggak mungkin, deh. Arka 'kan kere. Mana ada dia duit buat pesen sebanyak ini."

"Woi, Let!" Arka yang ada di belakang mereka memelotot. "Gue denger, ya." Cowok itu manyun, hampir melayangkan satu jitakan keras di kepala Azaleta kalau tidak ingat ia juga mengangkat dua plastik besar di kedua tangannya.

Azaleta menoleh, hanya nyengir kuda. "Peace, Ka. Love you." Azaleta memberikan kiss on air pada Arka, yang mana langsung disambut dengan gerakan muntah oleh si bersangkutan.

Azaleta tertawa lepas.

"Mbak Nisa." Ragiel menjawab setelah selesai ikut tertawa. Mereka masih sibuk bolak-balik mengangkat dan meletakkan plastik besar berisi nasi kotak ke bagasi. Kali ini bagasi mobil Ragiel karena bagasi Arka sudah penuh dan tidak memungkinkan untuk diberikan beban lagi. "Sebenernya yang ada acara itu nyokap, tapi minta bantuan Mba Nisa buat nyari konsumsinya. Mbak Nisa pesen ke nyokap lo, trus gue yang disuruh ngambil ke sini. Gitu, deh, kira-kira."

"I see." Azaleta manggut-manggut. "Acara apa? Kayaknya Mbak Nisa nggak pernah cerita bakal ada acara akhir-akhir ini." Gadis dengan hijab hijau muda itu meletakkan jari telunjuk di dagu, tampak berpikir.

"Nggak tau. Acara amal gitu, deh. Acara nyokap, sih, jadi kami kurang tau. Tugas gue sama Mbak Nisa cuma bantu secukupnya aja. Nyokap suka sewot kalo kami kebanyakan turun tangan." Ragiel tersenyum. Semua barang sudah diletakkan ke bagasi. Selesai juga akhirnya. Azaleta mengajak Ragiel dan Arka masuk, menyuguhkan tiga gelas sirup dingin dan dessert dingin dari kulkas. "Thanks." Ragiel mengedipkan sebelah mata, mereguk sirup di depannya.

"It's okay. Maaf seadanya."

"Ini dah lebih dari cukup, kok." Ragiel meletakkan gelasnya ke meja. Untuk beberapa saat, pemuda itu menatap wajah Azaleta lekat-lekat sampai membuat gadis di depannya salah tingkah sendiri. Ragiel tertawa kecil.

"Kenapa?" Azaleta ikut tersenyum geli. "Ada yang aneh, ya, di muka gue?" Gadis itu mengusap wajahnya. Hanya ada keringat. No make up, kecuali lipstik dan bedak tipis. Bersih.

"Nggak ada apa-apa." Ragiel mencondongkan badannya sedikit, menumpukan kedua belah pergelangan tangannya ke paha. "Lo sibuk banget akhir-akhir ini, ya? Padahal gue udah tanya sama Mbak Nisa lo ada jadwal apa nggak pas minggu gue ngajak lo buat hunting foto."

"Sorry banget gue nggak bisa ikutan waktu itu. Pas itu gue lagi—" Azaleta terdiam untuk beberapa saat, seolah-olah ragu ingin melanjutkan. Halah, bilang saja, lah. Sudah kepalang tanggung. Azaleta menghela napas tersenyum sebelum menjawab. "—lamaran."

Baru saja Ragiel ingin membuka mulut, Arka terlebih dahulu menyela. "Oh, wow. Congrats, Let. Semoga lancar sampai pernikahan nanti, ya. Jangan lupa undangannya." Arka mengacungkan jempol.

"Eh, tunangan dulu, sih, Ka. Soalnya gue ada project Ramadan di Eropa, jadi acara pernikahannya mundur dulu sampai gue sama doi siap. Nanti kalau pas nikahannya aja, ya."

"Sip, sip!" Arka mengangguk antusias dengan senyum merekah, berbeda dengan Ragiel yang justru terlihat seperti dingin seketika. Rahangnya mengeras, dengan raut wajah kaku. Arka menyenggol sahabatnya itu, tidak menyadari perubahan sikap Ragiel yang kentara. "Hei, kok lo diem aja?"

"Siapa, Let?" tanya Ragiel penasaran.

"Ah." Azaleta menggaruk pucuk kepalanya dengan telunjuk kanan. "Kalian mungkin nggak kenal. Ahil. Ahil Dharmawan."

"Bentar." Arka membenarkan posisi duduknya, terlihat tertarik dengan nama yang disebutkan Azaleta. "Asa familier. Anaknya Dokter Yusuf Dharmawan itu, ya? Yang kerja di rumah sakit itu." Arka menyebut salah satu nama rumah sakit terkenal di Jakarta. "Yang nyokapnya punya butik gede itu. Iya, nggak?"

"Wow." Azaleta tampak terpukau. "Tau dari mana?" Azaleta memajukan badannya, mulai tertarik.

"Tau aja. Dulu pernah kenalan waktu gue nganter nyokap ke rumah sakit. Ketemu nggak sengaja. Ngobrol-ngobrol, walaupun dia jawabnya pendek-pendek, tapi tetap nyambung, lah." Arka menyengir.

"Oalah." Azaleta terkikik.

"Selamat, deh, kalau gitu." Ragiel tersenyum tipis untuk sesaat, sebelum memudar. Tidak seperti Ragiel yang biasanya. Namun, baik Azaleta mau pun Arka, tidak ada yang menyadarinya. "Semoga lancar sampai akhir."

"Thank you." Azaleta tersenyum, ingin kembali berbincang sebelum ponsel di saku celana bergetar. Azaleta mengeluarkan ponselnya, mendapati preview pesan dari Ahil di layar. Klik, dan Azaleta terbelalak saat membaca chat dari Ahil.

"Gue udah nyampe. Lo ada acara, ya?"

Haduh! Azaleta menepuk dahi saat melihat jam di ujung kiri ponselnya. Sudah setengah sembilan sesuai janji, dan Azaleta malah asyik mengobrol dengan Arka dan Ragiel. Mampus! Semoga Ahil tidak menyemburnya dengan rentetan kalimat pedas nanti.

"Ada temen gue mampir. Masuk aja."

Balasan dari Ahil menyusul cepat. Singkat, jelas, dan padat. "OK."

"Siapa?" tanya Ragiel setelah Azaleta kembali menyimpan ponselnya ke saku celana.

"Ahil," Azaleta menyahut pendek. "Bentar, ya, gue ke depan dulu. Minum aja dulu. Oke?" Tanpa perlu menunggu jawaban dari Ragiel dan Arka, Azaleta bangkit, berlari kecil ke arah pintu depan.

Itu dia. Azaleta mendapati sosok Ahil tengah berdiri di depan pintu dengan tangan kanan memegang ponsel. Dengan kaus hitam polos dan jeans serta sepatu dengan warna senada, Ahil tampak charming. Rambut yang ditata sekenanya menimbulkan kesan menggemaskan. Azaleta menarik napas, mencoba sesantai mungkin saat menghampiri pemuda itu.

"Hai." Azaleta tersenyum, yang dibalas dengan senyum tipis oleh Ahil. "Udah lama?" tanya Azaleta.

"Baru aja." Ahil memasukkan kedua belah telapak tangannya ke saku celana. "Bisa pergi sekarang? Mama udah nungguin. Katanya masih ada yang perlu diurus selain baju pertunangan."

"Gue siap-siap dulu, ya. Nggak enak kalau gini doang." Azaleta menatap nista pada pakaian super santainya. Kaus longgar lengan panjang dengan celana training buluk yang masih nyaman dipakai. "Sepuluh menit. Lo ke ruang tengah aja. Ada temen gue. Katanya pernah kenalan sama lo."

"Oh, ya?" Ahil menaikkan sebelah alis, tampak tertarik. "Siapa?"

"Liat sendiri gih, sana." Azaleta terkekeh, mengajak Ahil menuju ruang tengah, di mana Arka dan Ragiel tengah berbincang di sana. Azaleta berdeham, membuat keduanya menoleh. Azaleta tersenyum, menyentuh bahu Ahil lembut. "Ini Ahil. Hil, itu Arka yang gue bilang pernah kenalan sama lo. Di sebelahnya, Ragiel, partner kerja gue."

Arka tersenyum, langsung berdiri menyambut Ahil dengan ramah. Keduanya berjabat tangan sebentar. "Hai, Bro. Selamat, ya. Leta udah cerita tentang kalian. Lo mungkin nggak ingat gue, tapi gue berutang sama bokap lo. Nyokap sekarang udah nggak kambuh lagi kek dulu."

Ahil tersenyum tipis. "Gue masih ingat. Thanks. Senang dengernya."

Suasana melumer menjadi hangat, kecuali Ragiel yang masih duduk tanpa merasa perlu repot-repot berdiri. Pemuda itu mengepalkan tangan, tanpa disadari oleh semua yang ada, Ragiel berdecih pelan.

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro