Azaleta 2 - Bertemu Ahil

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

"Let, lo ada-ada aja, deh. Masa bisa ampe gosong? Itu sepuluh kilo buat orang semua. Bukan buat kucing." Nadine menangkup kedua pipinya panik. Apa kata dunia kalau sampai begini? Jangankan kata dunia! Bayangan gosip emak-emak soal daging-rendang-gosong ini saja sudah cukup mual membayangkannya.

"Tenang. Slow, Girl! Masih bisa ditangani." Azaleta mengambil spatula kayu di dekatnya, mulai bekerja ekstra cepat dan tangkas. "Cuma bagian bawahnya aja, kok. Atasnya nggak."

"Nggak apa-apa, nih? Yang makan nggak pada koit, kan?"

"Nggak. Paling kejengit doang." Azaleta memutar bola mata.

Ayolah! Itu hanya sepersekian persen dari tumpukan daging yang dimasak. Untung masih ada kampiun lain yang bisa menutupi kekurangan mereka.

Lagipula ini bukan kesalahannya. Pemuda itu yang salah. Siapa suruh datang dan membuat keheningan seketika? Ah, Azaleta tidak mau tahu. Pokoknya pria itu yang salah!

"Yee, mana bisa gitu, Neng. Elo yang salah. Pake acara terpesona segala." Nadine mencibir.

"Elo juga sama. Siapa yang duluan coba?" Azaleta mencebik, tidak terima untuk kesekian kalinya. Sekonyong-konyong, tidak pernah ada kata "gosong" dalam kamus Azaleta selama memasak.

"Ehe. Tapi beneran ganteng tuh orang. Sayang gue nggak tau namanya," ucap Nadine setengah kecewa, "atau gue tanya Deka aja, ya? Aha, bener juga!"

"Lo tuh, ya! Fangirl tingkat akut."

"Biarin saja. Daripada gue fangirling-an artis nggak jelas, mending yang ini. Orangnya udah jelas di depan mata," tukas Nadine.

"Apa kata elo dah." Azaleta mengangkat tangan, menyerah sepenuh jiwa. Azaleta melirik jam tangannya, kemudian berdiri usai melepas celemek kotor akibat cipratan rendang.

"Mau kemana, Let?"

"Ngeliat keadaan kue. Mau ikut?" Azaleta menawarkan.

Nadine menggeleng. "Nggak. Tapi, kalo lo balik, titip donat sama pukis, ya?"

"Sip! Tenang aja," seloroh Azaleta seraya mengacungkan jempol. Gadis itu menepuk-nepuk gamis cokelat terang yang ia kenakan, dengan gesit berjalan menuju halaman rumah Rani.

Azaleta tidak bisa tenang sebelum memastikan semua berjalan teratur. Meninggalkan pengawasan kepada Rani hampir sebelas-dua belas dengan menyerahkan separuh tanggung jawab. Atau, mungkin lebih tepatnya: membiarkan sepersepuluh kue hilang!

"Ran, ini kok nggak sesuai dengan jumlah tampah? Teteh ngitungnya udah pas, lho, tadi." Azaleta mendesis tajam. Oh, demi kue donat pesanan Nadine! Azaleta tidak sebodoh itu untuk ceroboh kedua kalinya.

"Anu, Teh. Tadi kuenya diminta sama anak-anak," jawab Rani lirih, "Rani nggak tega, jadi Rani kasih aja. Nggak taunya, yang lain ikutan minta."

Ya Rabbi! Azaleta langsung menepuk dahi, geregetan sendiri. "Aduh, Rani! Teteh udah bilang jangan kasih dulu. Ini, kan akibatnya," omel Azaleta.

Meski tidak setajam sebelumnya, Rani tetap merasa bulu kuduknya meremang. Ia memilin ujung hijabnya, merasa tidak enak. "Maaf, Teh."

Azaleta masih tidak terima. "Kamu pikir dengan maaf kuenya bisa balik? Mikir, Ran! Mikir tuh pake otak, jangan pake hati melulu."

Tuh, kan! Azaleta itu sebenarnya tipe triple murah. Murah senyum, murah marah, dan murah maaf. Untung saja ada tipe murah maaf. Kalau tidak, mungkin Azaleta akan melempar Rani melesat sampai ke atap.

"Ngapa, Let? Marah-marah mulu. PMS, ya?" Deka datang dengan tergesa-gesa. Niat buru-burunya hilang saat melihat Azaleta berkacak pinggang sambil mengomeli Rani.

Wah, gawat ini! Deka membatin cemas.

"Ini Dek, kue hilang seratus. Gara-gara Rani tuh ngasih ke anak kecil." Azaleta merengut.

Deka ternganga sesaat, sebelum tertawa geli. Memang apa salahnya ngasih kue ke anak-anak?

"Eh, salahnya?" Azaleta menggaruk tengkuk, bingung. "Coba gue pikir dulu."

"Gue tanya nih, ya. Tuh kue ntar ke perut siapa?" Deka balik berkacak pinggang, persis seperti ayah memarahi anaknya.

"Tamu undangan," jawab Azaleta.

"Anak-anak termasuk tamu undangan, nggak?"

"Ya, termasuk, lah. Gimana sih?"

"Nah, itu elo tau!" seru Deka girang, "ya, hukumnya sama aja. Semuanya bakal balik ke tamu. Ah, elo mah konslet, Let."

Bujug! Azaleta cengo mendadak. "Aje gile. Bukan gitu, Dek. Maksud gue-"

Deka mengibaskan tangan, memotong cepat. "Denger, ya. Lagian, yang namanya anak-anak mana tau sama jadwal atau tata tertib kayak orang dewasa. Kalo mau kue, minta. Kalo nggak dikasih, nangis. Elo mau tanggung jawab kalo emaknya ngamuk?"

"Iya deh," seloroh Azaleta, "gue minta maaf."

"Hn."

Deka melirik jam tangan yang dikenakan Azaleta, teringat sesuatu. Ustaz yang mengisi ceramah akan segera pulang. Tidak enak jika sampai tidak memberikan apa-apa untuk perjalanan pulang. Untuk urusan honor, itu lain cerita. Deka tidak ingin mereka dicap sebagai jelangkung: seenak jidat mengundang, tapi pulang tidak memberi apa-apa.

"Tunggu dulu! Lo mau nyuruh gue bungkusin makanan buat ustaz, gitu? Buat berapa porsi nih?" Azaleta menyambar tak sabaran.

"Secukupnya aja."

"Antar ke mana? Gue nggak tau yang mana orangnya." Azaleta menggaruk kepalanya, bingung sendiri.

"Duh, Leta!" Deka menepuk jidat. "Gampang itu! Bungkusin aja, deh. Banyak nanya lo, ah."

"Iya, iya! Sabar dikit, napa." Azaleta cemberut sebelum -tanpa sadar- mencari masalah lain. Gadis itu berdiri, bersiap kembali ke kampiun lauk setelah mengambil beberapa donat da pukis untuk Nadine. "Btw, cowok tadi siapa, Dek? Pacar lo?"

"Itu mulut apa cabe, Let?" sindir Deka seraya menjitak kepala perempuan yang tengah duduk di dekatnya itu. "Amit-amit gue main sama sesama cowok."

"Oh, iya!" Azaleta cengengesan. Lupa kalau Deka itu laki-laki. Habis mukanya putih unyu kayak cewek sih, Azaleta terkikik usai berlari sebelum Deka meledak.

"LETAAA!"

---------------------o0o---------------------

Azaleta meremas jemarinya gugup. Ia bisa merasakan telapak tangannya basah karena keringat dingin.

Deka sialan!

Kalau begini caranya, lebih baik Azaleta berpikir seribu kali terlebih dahulu. Bayangkan kalau Azaleta harus melanglang cantik di depan ustaz itu seraya memperkenalkan diri. Kalau diterima sih alhamdulillah. Kalau ustaznya tidak mau, nah, lho. Di mana harga dirinya akan ditaruh? Dia perempuan, lho! Aduh! Di mana harga dirinya aka ditaruh setelah ini? Azaleta mengusap wajahnya.

"Dek, please, jangan marah, ya?" bujuk Azaleta, manyun. Salahnya juga sih keceplosan soal wajah Deka yang imut seperti perempuan di depan orangnya langsung.

"Jujur nih, ya, Let. Gue tuh juga kesel kalo diejek terus. Apalagi dikatain cewek. Itu juga belum ucapan lo soal "berapa hari lagi?"." Deka memasang wajah cemberut. Untungnya jemaah sebagian besar sudah pulang, sehingga tidak perlu menyaksikan pertengkaran terheboh abad ini.

Azaleta melongo. Iya juga sih, tapi kan itu cuma bercanda. Masa sih Deka segitunya ngambil hati? Deka nggak seru, ah, Azaleta ikutan cemberut.

"Iya, deh. Gue salah. Maafin gue, ya, Deka Ganteng." Azaleta kembali membujuk dengan penekanan kuat pada kata "ganteng". "Gue bakal lakuin apa aja, deh, buat elo. Ya, ya?"

"Apa aja?" Deka menaikkan alis, menyeringai.

"Eng, asal jangan minta yang aneh-aneh. Kayak kissu-kissu gitu."

"Idih! Siapa juga yang mau dicium ama elo? Mending-hmph!" Azaleta membekap mulut Deka dengan gerakan kilat. Gila! Deka ngomong nggak tau sikon. Kenceng kayak toa pula. Kalau ada yang denger gimana, Azaleta menepuk dahi.

"Lo ngomong jangan asal cablak, dong. Ntar dikira kita mau mesum lagi," sentak Azaleta.

Deka merengut sebal. "Lagian elo juga yang ngasih kode begituan."

"Ya nggak gitu juga kali, Dek. Lo mau kita dirajam rame-rame? Itu 'kan cuma perumpamaan."

Deka meremas rambut, frustrasi. Untuk pertama kalinya, Deka merasa otak Azaleta sudah pindah ke tempat lain dan melakukan salat hajat sebagai syukuran atas berhasilnya melarikan diri.

Untung sayang, pikir Deka.

"Lo harus anter makanan buat ustaz. Sekarang!" tandas Deka. Ha! Biar sekalian saja ia berlaku jahat.

Azaleta cengo, ternganga lebar. "Lo becanda, ya? Ogah gue!"

"Gue nggak mau tau. Janji, lho. Katanya terserah gue mau nyuruh apa."

Lha, ini namanya terjebak pancingan sendiri. Terpaksa. Demi yang namanya janji, Azaleta rela melakukan apa yang diinginkan Deka. Cukup sekali Azaleta mempermalukan diri seperti ini, dan cukup sekali pula Deka memerintahnya. Parahnya lagi, Azaleta lupa menanyakan ciri-ciri ustaznya. Mau maju, bingung mendadak. Mundur, sayang. Apalagi, kata Deka, ustaznya sudah tidak ada di masjid. Kemungkinan sudah menuju parkiran mobil. Walhasil, Azaleta berdiri bengong di parkiran sambil mencari objek sasarannya. Persis seperti anak gadis yang sedang kasmaran.

"Eh, gue emang gadis, deng. Gue kan masih perawan. Leta bego!" Azaleta merutuk dirinya sendiri. Tanpa disadari, laki-laki yang diduga Azaleta sebagai amit-amit-kalau-itu-pacar-Deka berdiri di hadapannya, menatap bingung pada Azaleta yang menggetok kepalanya sendiri.

"Lo Azaleta, kan?"

Azaleta tersentak. Eh, sejak kapan dia nongol cantik di sini? Tunggu dulu! Dia tau nama gue? batin Azaleta bingung.

"Eng...."

"Lo yang ngurus rendang waktu itu, kan? Yang mau ditimpuk sama Deka," kejar pemuda itu.

Waduh, dia ingat lagi, Azaleta panik.

"Gue Ahil." Lelaki itu memperkenalkan nama. "Gue sering ngeliat elo di teve. Gue nggak nyangka presenter kayak lo ikutan kegiatan kayak ini. Yah, you know lah...."

"Ustaz...." Azaleta masih ragu. Nih orang beneran ustaz yang ngisi acara ceramah tadi, bukan sih? Ngomongnya aja pake "gue-elo". Atau kepalanya terbentur dinding masjid? Azaleta memajukan wajah tanpa sadar.

"Gue tau kalau gue ganteng. Tapi jangan pelototin gue kayak gitu juga," sentak Ahil seraya menarik wajah, "dan, ya, gue bukan ustaz. Mungkin yang lo maksud itu papa gue."

"Oh." Azaleta tersadar. Gadis itu teringat sesuatu, dengan cepat menyerahkan bakul berisi makanan kepada Ahil. "Titipan dari Deka. Deka titip salam."

"Ini bukan yang gosong, kan?" Ekspresi Ahil menjadi kaku usai menyambut bakul yang disodorkan Azaleta.

Azaleta buru-buru menyahut, setengah malu. "Nggak kok. Masa sih gue ngasih yang gosong."

"Kali aja." Ahil mengedikkan bahu sebelum tersenyum tipis tanpa Azaleta sadari. "Gue harus balik, by the way." Ahil melambaikan tangan, berjalan menuju mobil begitu saja. Azaleta hanya bisa bengong saat mobil yang ditumpangi Ahil semakin menghilang dari pandangannya.

"Ih! Amit-amit dah!" Azaleta bergidik sesaat, sebelum mengambil langkah seribu. Tangannya mengepal, setengah tidak ikhlas untuk mempertahankan apa yang ada di dalamnya.

Kertas berisi nomor WA Ahil.

[Bersambung]

[Cerita ini diikutsertakan dalam ajang #GrasindoStoryInc]

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro