Azaleta 8 - Sepasang Mata

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

"Non, ada yang nyariin." Ijah melongok dari balik pintu saat Azaleta mengatur posisi hijabnya. "Mau jemput katanya."

Dahi Azaleta langsung mengernyit. "Deka?" Azaleta memastikan, karena, rasanya ia tidak menghubungi Deka untuk menjemputnya hari ini.

Ijah menggeleng pasti. "Bukan. Itu tuh, cowok yang datang malem-malem pas Nyonya nggak ada. Kemarin juga datang ke sini buat jemput Non Leta, eh, Non malah pergi sama Den Deka."

Gerakan Azaleta langsung terhenti saat kepalanya menyembulkan satu nama. "Ragiel?"

"Mungkin." Ijah menggaruk tengkuknya yang tidak gatal. "Nggak tau namanya siapa, Ijah cuma ingat mukanya. Yang jelas itu dia."

Azaleta tampak berpikir untuk sesaat. Rasanya, ia tidak membuat janji apa-apa dengan Ragiel. "Terus, Ragiel-nya di mana? Ruang tamu?" Azaleta lantas mengambil tas tangan yang tergeletak di atas kasur, menyampirkannya di bahu kanan.

"Beranda."

"Lho?" Sepasang alis Azaleta bertaut. "Kok gitu? Sofa di ruang tamu raib emang?"

Ijah manyun, mendengkus pelan. Ia sudah biasa dengan ucapan nyeleneh dari putri majikannya yang satu ini. "Nggak, Non. Sofanya dimakan rayap tadi malam." Ijah balas nyeletuk.

"Hah!?" Azaleta memelotot, menjengit. "Serius lo?"

"Ya, nggak atuh, Non." Ijah menepuk dahi. "Wong dia ditahan sama Nyonya di depan pintu, nggak ditawarin buat masuk lagi. Gimana mau duduk di ruang ramu?"

Azaleta langsung melongo saking speechless-nya. Wah, bahaya ini! Gadis itu dengan cepat keluar dari kamar, diikuti Ijah di belakangnya. Kalau sampai Mami sendiri yang menghadapi Ragiel, hanya ada tiga kemungkinan. Satu, diterima dengan baik dan penuh senyum ramah. Dua, ditilik dulu first impression-nya. Tiga, nah ini yang paling bahaya, disuruh angkat kaki dalam waktu kurang dari tiga detik.

Langkah Azaleta terhenti, berdiri tepat di belakang Mami. Dari gelagatnya, Mami tampak menilai Ragiel dari ujung rambut sampai ujung kaki. Untuk ukuran pemuda yang mencari Azaleta, Ragiel agaknya bukan tipe ideal Mami meski penampilannya terlihat seperti pemuda milenial umumnya. Anting dan liptint, dua hal yang identik dengan perempuan itu melekat pada Ragiel, membuat Mami memicingkan mata, berlama-lama meneliti telinga dan bibir Ragiel.

"Hai." Azaleta mencoba memecah kecanggungan, menyapa pemuda yang berdiri di beranda itu. "Lama nunggunya?"

Ragiel tersenyum simpul. "Baru aja."

"Oh." Azaleta langsung meneggak ludah saat Mami meliriknya tajam sebelum meninggalkan putrinya itu dengan langkah lebar. Tidak ada satu kata pun, hal yang tidak pernah ia lihat pada Mami. Paling minimal, Mami mendoakan agar Azaleta lancar dalam melakoni pekerjaan dan mengantar putrinya itu sampai ke pintu. "Gue ketinggalan sesuatu?" Azaleta sedikit menelengkan kepalanya, menatap Ragiel yang mengangkat bahu.

Ragiel berdeham, memasukkan kedua telapak tangannya ke saku celana. "Bisa kita berangkat? Takutnya macet kalau udah jam segini."

"Perasaan gue nggak minta jemput, deh." Azaleta menyejajarkan langkah, berjalan di samping Ragiel sebelum cowok itu membukakan pintu mobil untuknya. "Dalam rangka apa, nih? Lo nggak kesurupan jin atau apa gitu? Jin beneran, ya, bukan Jin BTS."

Ragiel yang sudah siap di kursi kemudi lantas menarik persneling, perlahan-lahan meninggalkan kawasan rumah Azaleta dan daerah komplek. Benar saja. Sudah hour traffic rupanya, gadis itu melirik jam tangannya. Semoga aja nggak telat, pikir Azaleta. Hari ini taping perdana mereka sebagai partner kerja memangku sebuah acara talkshow.

"Nggak, tuh. Pengin aja. Kenapa? Nggak boleh, ya?" Ragiel menyahut tanpa mengalihkan pandangannya dari depan.

"Boleh, sih, boleh. Minimal kasih tau dulu lah pas malamnya. Biar gue nggak kaget atau pergi duluan."

Ragiel tersenyum tipis. "Toh, terakhir kali gue chat elo buat ngasih tau, lo malah kabur besoknya." Cowok itu mengucapkannya seolah tanpa beban.

Jleb! Azaleta langsung mati kutu di tempat.

Ragiel terkekeh pelan, membuat deretan giginya yang putih tampak memesona di mata Azaleta. "Nggak, gue becanda. Sebenernya gue mau ngasih tau lewat chat tadi malam, tapi gue kecapean. Ketiduran di mobil, itu pun Arka yang bopong ke kamar." Cowok dengan rambut cokelat gelap yang sebagian helainya menutupi dahi itu terkikik. "Childish banget, ya, gue?"

Mau tak mau, Azaleta ikut terkekeh geli. "Iya, lo childish banget. Baru nyadar, ya?"

"Wah, wah. Lo orang kedua yang berani nyebut gue kayak gitu, young lady, setelah kakak gue tentunya." Ragiel geleng-geleng. "Gue hargai kejujuran lo. Thanks." Cowok itu mengedipkan sebelah matanya, menggoda Azaleta yang saat ini melayangkan satu jitakan di kepalanya. "Hei, sakit!"

Azaleta manyun, mengibaskan tangan. "Mami ngomong sesuatu?" Azaleta mengubah topik pembicaraan. Dilihat dari gelagat Mami dan Ragiel saat berhadapan di depan pintu tadi, pasti Mami mengatakan sesuatu pada pemuda yang satu ini. Entah baik atau buruk---dalam arti lain, wallahualam.

"Hm...." Ragiel tampak berpikir untuk sesaat sebelum menggeleng dengan kedua belah bahu mengedik. "Nggak, tuh."

"Halah! Jangan bohong kau, El Nino!" Azaleta mendengkus kencang.

"El Nino, njir!" Ragiel langsung terbahak. "Lo kira gue sejenis badai gitu? Dasar, La Nina! Eh, cocok juga, tuh. El Nino sama La Nina. Cie! Ngasih kode, ya?" goda Ragiel sebelum cowok itu mengaduh kesakitan saat Azaleta mencubit perut sampingnya berulang kali. "Aduh! Iya, ampun! Hei, sakit, Let! Iya, iya, maaf."

Azaleta memelotot tajam. "Jujur atau gue lempar lo dari ruangan Mbak Nisa, ntar."

Ragiel terkekeh. "Serius. Nggak ada apa-apa, kok. Santai aja. Cuma nanya nama sama ada keperluan apa. Yaaa, pertanyaan standar, lah." Pemuda itu masih fokus dengan jalanan di depan. Traffic masih berjalan agak lamban. Sepertinya setengah jam lagi mereka baru sampai ke kantor.

"Trus?"

"Nggak ada. Cuma itu."

"Nggak percaya."

"Ya udah." Ragiel mengangkat bahu, menyeringai geli. "Emang nggak ada apa-apa, kok. Btw, lo udah sarapan?"

Azaleta menggeleng.

"Coba buka bagian bawah dasbor. Gue nyimpen makanan di situ. Roti ama susu doang, sih, tapi lumayan lah, ya."

Benar saja, Azaleta menyodorka tangan, mengambil sebungkus roti dan sekotak susu yang ada di sana. "Eh, tapi ini sarapan lo, kan?" Azaleta menatap Ragiel dari samping. Dengan posisi ini, Azaleta bisa melihat jelas struktur wajah Ragiel yang menawan. Dengan sepasang iris cokelat tua, hidung mancung, kulih seputih salju tanpa cela, bibir yang dipulas liptint ala-ala boyband Korea, dan anting di kedua belah telinga. Keren, tidak norak. Itu yang bisa Azaleta lihat. Wajah pemuda di sampingnya itu memang tampan.

"Ha? Nggak, itu buat lo, kok."

"Kok gitu?"

"Nggak mau?" Ragiel balas bertanya, membelokkan mobilnya ke kanan di mana traffic sudah mulai longgar.

Azaleta menimbang-nimbang. "Lo pulang jam berapa tadi malem?"

"Kenapa?"

"Jawab aja, elah!"

Ragiel tampak berpikir untuk beberapa saat. "Jam sebelas atau dua belas, sih, kayaknya. Lupa."

"Clubbing?" tebak Azaleta.

Kali ini, Ragiel yang manyun tiga senti. "Nggak, lah. Jadwal gue akhir-akhir ini padet mulu, mana sempat buat main. Belum lagi project sama lo. Ini pun gue bisa jemput biar bisa sekalian jemput Arka. Searah soalnya," jelas Ragiel.

"Oh." Azaleta baru sadar kalau Arka tidak ikut serta bersama Ragiel sedari tadi. "Ke mana si Arka? Pulang?"

"Hu um." Ragiel mengangguk lantas memelankan laju mobil ketika hampir sampai di depan sebuah rumah bergaya minimalis dengan warna hitam dan putih mendominasi. Di depan pagar, terlihat Arka berdiri, menunggu dengan mata melirik ke jam tangan sembari bersedekap. "Turun, kuy. Kita pindah ke belakang," ajak Ragiel seraya membuka pintu mobil, memberi isyarat pada Arka untuk mengambil alih kemudi.

Azaleta mengangguk, membuka pintu mobil, menuju jok belakang. "Hai, Arka! Gimana rasanya bopong Ragiel ke kamar?" Dengan santai, Azaleta berceletuk sembari memperbaiki posisi duduknya di samping Ragiel.

"Halo, Leta! Wah, kayaknya lo kudu coba sendiri. Berat, pastinya. Untung sayang. Coba kalau nggak, udah gue lempar aja ke pinggir jalan dia." Arka menyeringai geli.

Alih-alih cemberut, Ragiel justru terbahak keras. "Sial lo! Gue nggak seberat itu."

"Kenyataan, Bro." Arka terkekeh. "Gue lebih milih ngangkat Azaleta daripada elo."

"Lo sentuh dia, awas! Gue potong urat nadi lo."

"Sadis!"

Azaleta tertawa. "Aw, gue direbutin dua cowok ganteng. Meleleh hayati, Bang."

"Dih! Lebay, Let. Seriusan. Lo out of character banget kalau gitu." Arka bergidik, membuat Azaleta semakin tertawa geli.

Tawa Azaleta baru berhenti saat menyadari ada sepasang mata yang terus mengawasi mereka, bahkan sejak ia dan Ragiel keluar dari komplek perumahan Azaleta. Gadis itu melirik ke luar jendela, sebelum sepasang mata itu menghilang saat mobil mereka bergerak pelan, bersiap untuk menuju taping perdana Azaleta dan Ragiel.

Jadi, Azaleta melirik ke arah Ragiel yang masih terkekeh geli, mereka terus diikuti sedari tadi?

[TBC]

UPDATE! (nggak nyante). Bujug ini isinya filler nggak guna semua wakakaka. Enjoy pas nulisnya, trus meringis pas bacanya wakakaka. Pelan-pelan, ya. Ini emang agak lambat alurnya, plus masih draft pertama.

Btw,


Aku diajak Ratu Paus a.k.a PrythaLize buat lomba cepet-cepetan namatin novel masing-masing wakakak. Karena jumlah chapter sama jumlah kata per chap-nya mirip, trus kami sama-sama pakai sistem tulis-up-tulis-up alias first draft, aku terima wakakaka.

Siapa yang bakal menang nanti, ya wakakaka. Ray atau Paus? Secara, premis kami itu kayak ujung ke ujung wakakakka. Jauuuh. Silakan mampir ke akun PrythaLize buat liat-liat Red String. Unyu, cakep, khas Ratu Paus.

Cheers! Mohon bantuan kalau nemu typo atau kejanggalan lainnya.







Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro