CHAPTER 6 Ego

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Varisa, Francia, Desember 2212

Wajah Zev merah padam. Napasnya memburu. Cuping hidungnya kembang kempis. Matanya bergerak menelusuri layar ponsel. Ibu jarinya beberapa kali mengusap, menggulir, dan mengetuk layar benda tersebut.

"Keparat!" makinya. "Apa-apaan orang-orang ini? Apa mereka sinting? Bisa-bisanya menulis hal seperti ini?"

"Tenanglah, Zev." Vincent berusaha meredam amarah bosnya. Mereka tengah berada di kantor sekarang dan Zev pasti tak ingin karyawannya mendengar keributan yang dia buat. Meski ruangan itu kedap suara, tetapi tidak ada salahnya jika mereka berhati-hati.

"Tenang, katamu?" Zev meletakkan ponselnya dengan kasar ke meja. Ia lantas bangkit, menatap kota dari jendela kantornya. Kedua tangannya dimasukkan ke saku celana.

"Apa kau tak membaca komentar-komentar yang mereka tujukan padaku? Orang-orang itu menghujatku seakan-akan mereka makhluk paling suci di dunia. Dan sundal keparat itu, dia berpura-pura lemah. Tidak mendendam katanya! Kalau ada acara penghargaan untuk orang munafik, aku yakin sundal itu akan memenangkannya dengan sangat mudah. Dan orang-orang idiot itu dengan mudah dikelabui. Seharusnya ada regulasi tentang standar minimal tingkat intelegensi yang harus dimiliki seseorang untuk bisa mengakses internet, agar tidak muncul sampah-sampah dunia maya seperti mereka."

Vincent menghela napas panjang. "Aku tahu perasaanmu."

Zev mendengkus. Ia tak yakin lelaki itu paham perasaannya. Vincent tak pernah dihujat karena sesuatu yang bahkan tak pernah dia perbuat.

Sejak Blanche mengunggah videonya seminggu yang lalu, kolom komentar dan direct message pada akun media sosial perusahaan maupun akun pribadinya dipenuhi hujatan, ujaran kebencian, bahkan ancaman. Mereka bahkan menaikkan tagar #ApologizeToBlanche.

Meski sempat ragu, Vincent kemudian menambahkan, "Mungkin, kalau kau mau menurunkan sedikit egomu dan meminta maaf secara terbuka--"

Alis Zev terangkat. Mata biru safir itu menatap tajam sang asisten. Raut wajahnya begitu dingin. "Meminta maaf, katamu?" Pria itu mendecih. "Dalam hal ini, jika ada yang harus minta maaf, sundal itulah yang mestinya bersujud dan mencium kakiku."

"Tapi, jika kau tidak meminta maaf pada Blanche, kariermu bakal terancam. Bukan hanya itu, penggemarnya terkenal fanatik. Mereka pasti akan--"

"Diamlah, Vince!" sentak Zev. Pria itu memijit keningnya. Kepalanya sakit. Dia berjalan menjauh dari jendela menuju meja kerjanya, kemudian duduk. "Aku memanggilmu ke sini bukan untuk mendengar nasihatmu. Aku ingin tahu bagaimana hasil penyelidikanmu."

"Well ...."

Zev dapat melihat lelaki itu duduk gelisah di depan meja kerjanya. "Katakan saja. Apa kau mencurigai seseorang?"

"Aku belum berani bilang apa-apa. Kau tahu, aku perlu bukti," ujar Vincent pelan. Lelaki itu membetulkan posisi kacamatanya, kebiasaan ketika dia sedang gelisah atau gugup.

Mata Zev menyipit. Tubuhnya condong ke depan. "Jadi, kau sudah menemukan sesuatu?"

"Yaaah ... sedikit."

"Jangan bermain-main padaku, Vince!" hardik Zev tak sabar. "Katakan saja padaku siapa orangnya!"

"Itulah masalahnya, Zev." Bahu Vincent melorot. Ia mendesah. "Aku tak tahu."

Rasanya Zev ingin meledak. "Apa maksudmu kau tak tahu? Sudah hampir tiga minggu, Vince! Tiga minggu! Apa saja yang kau lakukan selama ini? Aku tidak membayarmu hanya untuk ongkang-ongkang kaki! Kau tadi terkesan sudah mempunyai nama. Kenapa malah berbelit-belit? Apa kau ingin menyembunyikan pelakunya dariku? Kau mencoba mengkhianatiku?" cecar pria itu.

Mata Vincent melebar. Dia menggeleng kuat-kuat. Ia segera menepis tuduhan pria itu. "Tentu saja tidak! Kau salah paham, Zev. Aku berhasil mempersempit waktu pencarian itu berlangsung. Aku butuh daftar orang-orang yang mungkin memiliki kesempatan mencuri desainmu. Dari sana aku baru bisa mempersempit daftar tersangka. Jadi, kumohon, bersabarlah."

Zev menatap lelaki itu sekian detik lamanya. Pandangannya begitu penuh selidik. Ia curiga ada yang disembunyikan oleh asistennya itu. Namun, ketika tak mendapatkan tanda bahwa Vincent berbohong, ia pun mendesah. "Baiklah," katanya akhirnya. "Barikan aku daftar orang-orang itu padaku nanti sore."

"Tapi, Zev, aku per--"

"Nanti sore, Vince!" Lelaki itu memotong perkataan sang asisten dengan tegas.

Vincent akhirnya mengalah. "Baiklah."

"Buktikan kalau kau memang lulusan terbaik jurusan IT di L'Académie Francia-dan aku serta keluargaku tidak salah karena sudah memungutmu."

Vincent menegang. Namun, raut wajahnya tidak menunjukkan emosi apa pun. Lelaki itu bangkit dari duduknya dan keluar dari kantor dengan tangan terkepal.

Ponsel Zev berdering. Ibunya menelepon. Lelaki itu menunggu ponselnya berdering hingga tiga kali sebelum mengangkatnya. "Ya, Mom?"

Dengan nada khawatir, wanita di ujung sambungan bertanya, "Maaf Mom mengganggumu, tetapi apa kau bisa menelepon Maeve? Mom sudah mencoba menghubunginya beberapa kali, tetapi teleponnya selalu dialihkan."

Kening Zev mengernyit. Tidak biasanya sang adik tak menjawab telepon, apalagi dari ibunya. "Memangnya ada apa? Apa kalian bertengkar?

"Tentu saja tidak," tukas sang ibu di seberang sambungan telepon. "Apa kau tidak melihat beritanya?"

Kerutan di dahi lelaki itu bertambah dalam. Perasaannya tak enak. "Berita apa?" tanyanya.

"Ya ampun, Zev! Ke mana saja kau? Keadaannya kacau sekali. Sangat kacau. Aku tidak pernah mengira manusia bisa bersikap sekejam itu. Akan Mom kirim tautan beritanya."

"Mom, tenanglah. Kau sudah ke apartemennya? Mungkin Maeve hanya masih tidur--"

"Mom sekarang ada di apartemen adikmu dan tempat ini kosong," sela sang ibu tak sabar. "Mom akan kirim tautannya, setelah itu tolong cari Maeve."

Setelah mematikan sambungan telepon, notifikasi pesan masuk muncul di ponselnya. Ia mengetuk tautan itu. Tampilan layarnya beralih ke laman berita online. Tampak judul berita itu ditulis besar-besar di beranda portal dengan judul yang provokatif. Zev membacanya sekilas dan jantungnya langsung mencelus. Mereka membuat petisi untuk memboikot merek pakaian sang adik.

Lelaki itu menggulirkan ponselnya ke bawah, membaca cepat isi berita. Rasanya seperti ada yang merenggut jantungnya ketika alasan mereka mengajukan petisi tak masuk akal itu tidak lain karena pertengkarannya dengan Blanche. Setelah Zev tidak menanggapi mereka, para penggemar fanatik sang model mulai menyerang orang-orang yang dekat dengannya.

Meski agak enggan, Zev memutuskan untuk mengintip akun sosial media Maeve. Amarahnya memuncak saat membaca komentar-komentar hinaan yang dikirimkan penggemar Blanche pada adiknya. Orang-orang itu bahkan mengunggah video ketika mereka membakar, menginjak-injak, merobek, dan menggunting pakaian rancangan Maeve, kemudian menandai akun media sosial adiknya itu pada postingan.

"Berengsek!" Zev mengumpat. Ia berusaha menghubungi Maeve, tetapi sang adik tak menjawab. Panggilannya justru masuk ke pesan suara. Tanpa pikir panjang, Zev langsung menyambar kunci mobilnya.

"Monsieur, saya--"

Satu tangan Zev terangkat saat Faye mencegatnya di depan pintu ruangannya. "Saya harus pergi sebentar. Tolong tunda semua rapat atau pertemuan sampai saya kembali."

Faye hanya bisa mengangguk pasrah.

Zev menuruni undakan kantornya dua anak tangga sekaligus. Begitu sampai ke tempat parkir, ia segera masuk ke mobil. Ia kembali berusaha menghubungi Maeve lagi dan mengumpat ketika lagi-lagi teleponnya dialihkan ke kotak suara. Ia bahkan sampai memukul-mukul roda kemudi. "Sialan! Sialan! Sialan!"

Pria itu berteriak frustrasi.

Mungkin, kalau penggemar fanatik yang bodoh itu hanya menyerangnya, Zev tak akan semarah ini. Namun, mereka malah menyerang Maeve. Padahal adiknya tak ada sangkut paut dengan perseteruannya dengan Blanche. "Dasar pengecut sialan! Idiot!" umpatnya lagi.

Zev menyandarkan keningnya di atas roda kemudi, lantas mengambil napas dalam-dalam. Ia berusaha menenangkan diri. Marah-marah tidak akan menyelesaikan masalah apa pun. Ia harus secepatnya menemukan Maeve. Ia takut sang adik berbuat hal yang tidak-tidak. Sungguh, Zev tak akan bisa memaafkan dirinya sendiri jika sampai terjadi hal buruk pada Maeve.

Zev berusaha mengingat tempat yang biasa dikunjungi sang adik ketika sedang sedih atau ingin sendiri. Sebuah tempat terlintas di benaknya.

Kumohon, Eve. Tunggu aku. Jangan pernah berpikir untuk melakukan tindakan bodoh.


Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro