CHAPTER 8 Ambivalent

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Zev duduk di kantornya sembari menggulir layar ponsel. Kepalanya tertunduk. Dia membaca sekilas komentar-komentar yang ditinggalkan warganet pada video berisi permintaan maafnya kepada Blanche. Video tersebut sudah ditonton sebanyak lebih dari satu juta kali dan ada hampir sepuluh ribu komentar sejak diunggah enam hari yang lalu.

Sebagiannya bernada sinis. Mereka beranggapan bahwa permintaan maaf Zev tidak tulus, menyayangkan karena Zev baru minta maaf setelah hampir sebulan insiden itu terjadi, dan masih banyak komentar negatif lainnya. Namun, komentar berisi dukungan juga tak kalah banyak. Serangan-serangan di akun media sosialnya pun sudah berkurang drastis.

Video tanggapan dari Blanche diunggah pagi tadi, menegaskan bahwa semua kegaduhan yang terjadi merupakan kesalahpahaman semata. Gadis itu bahkan meminta maaf karena video yang dia unggah sebelumnya telah membuat Zev dan keluarganya terganggu——serta menyatakan keinginannya bertemu langsung dengan Zev untuk menyingkirkan sisa-sisa kesalahpahaman yang ada. Namun, meski sebagian yang terjadi sudah sesuai keinginannya, Zev tidak terlihat senang.

Tepat di depan Zev, Azazel tengah melayang-layang dengan wajah mereka yang berjarak kurang dari sepuluh senti. Mata amethyst itu menyipit, menatapnya lekat. “Kenapa tampangmu seperti baru menginjak tahi?” tanya Azazel.

Zev mendesis. Andai tatapannya diberi wujud, sekarang Azazel pasti sudah terkapar dan berdarah-darah dengan tubuh penuh luka tusukan. Dia menarik kepalanya mundur, memberi jarak agar wajah mereka tak terlalu dekat.

“Berhentilah menganalogikan segala hal dengan sesuatu yang menjijikkan! Dan harus berapa kali lagi aku harus mengingatkanmu, berhentilah memandangiku dengan jarak sedekat itu!” ujar Zev sengit.

“Ups! Lupa,” ujar Azazel sembari cengengesan. Pemuda itu melayang mundur, lalu duduk di ujung meja kerja Zev. Dia menyilangkan salah satu kakinya ke lutut. “Jadi, apa yang membuatmu memasang tampang seperti ...” Azazel tampak berpikir keras mencari perumpamaan yang tidak membuat Zev marah, “... itu?”

Zev menceritakan mengenai respons orang-orang mengenai videonya serta video tanggapan dari Blanche. Bagaimana rasa simpati orang-orang itu begitu mudah dimanipulasi hanya dengan sebuah video dan sedikit akting.

“Lalu, salahnya di mana?” tanya Azazel tak mengerti.

“Kau tanya salahnya di mana?” Zev memelototi Azazel. Dia bangkit. Telapak tangannya menekan meja. “Andai mereka sedikit lebih pintar dan tak muda dibodoh-bodohi, aku mungkin tak perlu menghadapi segala kesulitan itu! Mereka seharusnya mencari kebenarannya lebih dulu, bukan asal hujat dan boikot!”

Azazel mendesah. “Zev, tidak semua orang memiliki pola pikir sepertimu. Semua ini soal perspektif. Mereka melihat, kemudian digiring agar mereka memercayai hal itu sesuai dengan opini yang ingin dibangun. Lagipula, untuk apa repot-repot mencari tahu kebenaran dari sesuatu yang tidak ada sangkut pautnya dengan diri mereka sendiri? Cuma buang-buang waktu. Lebih mudah langsung percaya saja kan? Tidak penting siapa yang benar, asal di mata mereka salah ya tetap salah. Begitu juga sebaliknya.”

“Kau mengeluhkan tentang betapa mudahnya mereka bersimpati. Lalu, apa kau ingin mereka tetap menghujatmu, begitu? Aku yakin jika kejadiannya begitu, kau juga akan tetap marah-marah. Bahkan lebih parah dari sekarang.”

Zev mendengus. “Kau terdengar seperti pengamat perilaku di media sosial,” gerutunya.

Azazel tergelak. Tawanya terhenti ketika pintu kantor terbuka dan Vincent melangkah masuk. Sekejap, Zev melihat kepanikan di wajah pemuda itu. Hanya sekejap sebelum kemudian ekspresi tak acuh itu kembali lagi sehingga Zev berpikir kalau dia hanya membayangkannya.

“Sudah dapat?” tanya Zev tanpa basa-basi begitu Vincent duduk.

Dia memperbaiki posisi kacamatanya, lalu mengangguk. Kemudian, lelaki itu mengulurkan sebuah map yang dibawanya.

“Data di map tersebut merupakan catatan rekening bank milik Faye. Ada beberapa transaksi mencurigakan yang kutemukan, berasal dari Dominique Desiree.”

Vincent mengambil tab, mengetuk layarnya beberapa kali, kemudian tab tersebut menampilkan video rekaman pengawas saat Faye diduga tengah mencuri desain Zev.

“Selain jumlahnya yang sangat besar, periode waktunya juga cukup menjadi tanda tanya. Transfer pertama senilai 30.000 franc, sekitar satu bulan setelah dia keluar dari perusahaan tersebut.”

“Transfer kedua dengan nominal yang lebih besar——50.000 franc——tiga minggu setelah dia bekerja di sini.” Vincent mengetuk tanggal layar tab. “Hanya selisih beberapa hari sebelum tanggal yang tercatat pada video ini. Lalu, transfer yang terakhir sebesar 70.000 franc sekitar dua minggu setelahnya.”

“Dengan jumlah uang sebesar itu, rasanya mustahil kalau sekadar kebetulan. Lagipula, kenapa Dominique Desiree mau mentransfer uang sebanyak itu kepada mantan karyawannya kalau bukan untuk hal-hal semacam itu?” pungkas Vincent.

Zev tidak mengatakan apa pun. Selama beberapa waktu, dia fokus menekuri berkas yang diberikan Vincent. Lelaki itu agak heran dengan reaksi bosnya. Dia sempat khawatir Zev akan mengamuk dan membuat keributan. Vincent tak mengira pria itu tampak begitu tenang.

“Jadi ... sekarang apa yang akan kau lakukan? Apa rencanamu?” tanya Vincent.

Zev akhirnya mengalihkan perhatiannya dari berkas di hadapannya. Tanpa tersenyum sama sekali, dia berkata, “Aku yang akan mengurusnya.”

***

Faye baru akan pergi ketika Zev keluar dari ruangannya, diikuti oleh Vincent, kemudian Azazel——yang hanya bisa dilihat oleh Zev. Berkas yang diberikan Vincent tersimpan di tas kerja pria itu.

“Selamat sore, Monsieur Devereaux, Monsieur Fjord,” sapa Faye.

Zev balas tersenyum pada perempuan itu. “Oh, kau belum pulang?” tanya pria itu.

Baik Vincent maupun Azazel masih saja heran ketika melihat Zev tersenyum. Suasana di tempat itu menjadi seperti neraka sejak Zev mengetahui pengkhianatan Faye. Kesalahan sekecil apa pun bisa membuatnya meledak. Namun, di luar dugaan, senyum manis Zev selalu tersedia untuk Faye——semarah apa pun dia.

Faye mengangguk. “Oui, Monsieur. Ada beberapa berkas yang harus saya selesaikan,” jawab Faye.

“Aku antar ya? Tapi kita pergi makan dulu. Aku lapar,” ujar Zev seraya menyentuh bagian punggung bawah Faye dengan lembut. Tanpa menunggu persetujuan, Zev menggiring perempuan itu keluar dan tidak memberinya kesempatan untuk menolak.

Vincent menyadari adanya ketertarikan Zev kepada Faye bahkan sebelum pria itu sendiri menyadarinya. Namun, dia tak mengira bahwa dengan karakternya, Zev bersikap seolah tak terjadi apa-apa setelah mengetahui pengkhianatan perempuan itu. Vincent sungguh ingin tahu sedalam apa perasaan Zev sehingga dia bisa mengabaikan kesalahan sebesar itu.

Azazel bergegas terbang menyusul Zev, lalu berkata, “Oy, Zev! Kau bego atau apa, sih? Dia itu pengkhianat! Pakai akal sehatmu! Singkirkan perasaan yang membuatmu jadi tidak bisa berpikir rasional! Kau tolol kalau membiarkan cinta menyumbat otakmu!”

Zev membukakan pintu untuk Faye. Setelah memastikan perempuan itu duduk dengan nyaman, dia menutup pintu, lalu berjalan memutari bagian depan mobil. Senyumnya lenyap. Dia melirik tajam ke arah Azazel. “Diam dan jangan ikut campur! Aku tahu apa yang kulakukan!” desis pria itu dengan gigi terkatup.

Senyum itu kembali begitu dia membuka pintu, kemudian duduk di balik kemudi. Dia mengabaikan keberadaan Azazel sepenuhnya.

Faye balas tersenyum.

“Mau makan apa, Mon Cheri?” tanya Zev.

Jantung Faye terlonjak setiap kali Zev memanggilnya dengan sebutan itu. Mon Cheri——sayangku. Dia belum terbiasa dengan semua perhatian dan ungkapan kasih sayang dari pria itu yang begitu meluap-luap. Faye bahkan tak menyangka kekaguman serta rasa sukanya pada sang atasan akan berbalas.

Perkembangan hubungan mereka juga bisa dibilang sangat cepat. Setelah mencium Faye sore itu, malamnya Zev mengungkapkan perasaan. Sejak saat itu, Zev selalu mampir ke apartemen Faye setiap pulang kantor.

“Kalau aku masakkan mau tidak?” tanya Faye ragu-ragu.
Mata Zev melebar. “Kau bisa masak?”

Perempuan itu mengangguk. Rambut Faye menutupi sebagian wajahnya ketika dia menunduk, menyembunyikan pipi serta telinganya yang memerah. “Sedikit. Tidak selezat makanan-makanan di restoran yang biasa kau kunjungi, tetapi aku yakin cukup layak dimakan. Aku berjanji tidak akan membuatmu keracunan.”

Zev tergelak. Dia mengusap kepala Faye. “Tentu saja aku mau. Kapan lagi aku bisa makan masakan kekasihku, kan?” ujarnya riang.

Mereka mampir ke supermarket untuk membeli bahan-bahan yang dibutuhkan. Begitu tiba di apartemen beberapa menit kemudian, Faye berganti pakaian dan mulai mempersiapkan bahan-bahan untuk masakannya.

“Ada yang bisa kukerjakan, Fai?” tanya Zev sembari berjalan mendekat. Pria itu sudah melepas mantel, jas, serta dasinya. Lengan kemejanya digulung sampai siku. Kancing kedua teratas kemeja Zev terbuka. Rambutnya agak berantakan.

Faye tertawa pelan ketika Zev mencuri ciuman darinya. “Kau tidak perlu repot-repot,” ujar Faye kemudian. “Istirahat saja. Seharian ini jadwalmu sangat padat. Kau pasti sangat lelah.”

Zev mengabaikan perkataan Faye. Sembari mengeluarkan beberapa piring dan gelas dari lemari, pria itu berkata, “Kau juga sama lelahnya. Kau dan Vince kan, selalu ikut ke mana pun aku pergi. Tapi kalau kau bersikeras menolak kemurahan hati seorang Dev Devereaux yang ingin membantumu, aku akan menata meja saja.”

Gelak tawa Faye mengiringi langkah Zev. Namun, tawa perempuan itu tak lagi terdengar seperti denting lonceng angin, melainkan lebih menyerupai lonceng kematian. Dalam benak Zev dipenuhi satu kata yang tak bisa ia singkirkan selama hampir satu minggu ini: Kenapa?

Suasana makan malam itu begitu menyenangkan. Mereka membicarakan dan menertawakan banyak hal, yang dilanjutkan dengan sesi bercinta yang cukup panas. Namun, setelah itu Faye merasakan perubahan sikap Zev.

Pria itu tak lagi menghabiskan waktunya dengan berbaring malas-malasan bersamanya, melainkan langsung pergi ke kamar mandi dan keluar dengan pakaian lengkap. Tak ada lagi jejak pria yang selama beberapa hari terakhir menghujaninya dengan begitu banyak kasih sayang.

“Bersihkan dirimu, Faye. Ada sesuatu yang ingin kubicarakan,” ujar Zev dingin.

Beberapa menit kemudian, mereka duduk berhadap-hadapan di ruang tamu apartemen Faye. Tangan perempuan itu gemetar. Wajahnya sepucat mayat dan matanya berkaca-kaca. Berkas berisi tentang laporan rekeningnya tergeletak di meja. Layar hologram tengah memutar video rekaman kamera keamanan yang menampilkan Faye tengah mencuri desainnya.

“Semua ini bohong,” bisik Faye. “Aku tidak pernah melakukannya. Aku pasti difitnah.”

Zev mendengkus. “Jadi, kau menuduh Vincent sudah membohongiku?”

Faye menggeleng panik. “Bukan begitu maksudku. T-tapi percayalah, Zev. Video itu pasti direkayasa. Ya! Pasti ada seseorang yang merekayasa video itu!”

“Lalu, apa penjelasanmu tentang catatan transfer itu? Kenapa Dominique Desiree mentransfer uang sebanyak itu ke rekeningmu?” cecar Zev.

Perempuan itu memalingkan wajahnya. “Me-mereka bilang itu uang kompensasi,” ujar Faye lirih.

Zev menggeleng dan tertawa hampa. Dia mengusap wajah dengan kasar, berusaha agar tidak meledak. “Kompensasi,” ulangnya sinis. “Apa kau pikir aku akan memercayai alasanmu itu?”

“Kenapa , Fai?” tanya Zev pelan. “Kenapa kau melakukan ini? Kau butuh uang? Kenapa kau tidak memberitahuku? Kau hampir saja menghancurkan bisnis yang sudah kubangun dengan susah payah. Kau nyaris menghancurkan mimpiku.”

Faye terisak. “Aku tak pernah melakukan semua yang kau tuduhkan. Aku bersumpah, Zev. Kumohon percayalah padaku,” pintanya.

“Buktikan,” ujar Zev. “Buktikan kalau aku bisa memercayaimu. Buat aku memercayaimu lagi. Berlutut dan minta maaflah.”

“Tidak,” bisik Faye. “Aku tidak akan minta maaf. Aku tak pernah mencuri apa pun darimu. Dengan melakukan apa yang kau perintahkan, sama saja aku mengakui perbuatan yang tak pernah kulakukan.”

“Jadi itu pilihanmu?” tanya Zev. “Baik. Kalau begitu, besok kau tak perlu lagi datang ke kantorku. Aku akan menyuruh seseorang untuk mengirimkan barang-barangmu. Anggap kita tak pernah saling kenal dan usahakan jangan pernah muncul lagi di hadapanku, atau aku akan menghancurkan hidupmu sampai kau memohon-mohon agar aku membunuhmu saja.”

Tanpa menunggu tanggapan Faye, Zev mengemasi barang-barangnya, menyambar mantel, kemudian keluar dari apartemen perempuan itu.

Sebelum berbicara, Zev sudah memikirkan keputusannya masak-masak. Dia harus melakukan sesuatu mengenai perasaannya terhadap Faye——membiarkan rasa itu tumbuh semakin subur, atau mencerabutnya sebelum perasaan itu menghunjamkan akarnya terlalu dalam. Pria itu sudah memutuskan, jika Faye mau meminta maaf, maka dia akan memaafkannya. Namun, perempuan itu justru membuat pilihan lain.

Zev sadar perbuatannya dengan menjerat Faye itu tak bermoral, kekanak-kanakan, dan egois. Dia bahkan malu. Namun, Faye sudah menghancurkannya dan dia ingin menyeret serta perempuan itu bersamanya. Jika hatinya hancur, maka Faye juga harus ikut hancur.

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro