(7) Three Back Off

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

(masih) FLASHBACK
10 tahun yang lalu.

💫💫💫

"Cara mengambil tanggung jawab atas seorang perempuan: menikahinya."

💫💫💫

"Ara kalau di sekolah bagaimana?"

Pertanyaan sederhana tapi sulit dijawab bagi Azka. Ingin jujur takut menyakiti perasaan ayah Ara. Ingin bohong, takut dosa. Dilema.

"Eung. Ara gadis periang, Om," jawab Azka dengan jawaban diplomatis.

"Dia memang begitu anaknya. Hiperaktif. Padahal, tidak tahu di dalamnya serumit apa perasaannya," ucap Imran dengan raut sedih.

"Maksudnya, Om?" tanya Azka pelan.

"Baru pertama ini Ara membawa teman ke rumah. Om bahkan bertanya-tanya apa Ara tidak punya teman di sekolahnya. Dia tidak pernah memasang wajah sedih di depan saya. Dia selalu ceria. Padahal, Om tahu dia gadis rapuh. Saya merasa gagal membahagiakan Ara," cerita Imran

Azka mengulum bibirnya, dia tengah merangkai kalimat yang tepat. Kenyataan bahwa Ara yang dia kenal ternyata mempunyai sisi lain yang jarang ia tampakkan, Azka merasa bersalah mengetahui itu bukan dari Ara langsung.

"Ara punya banyak teman, kok, Om. Tidak perlu khawatir, saya percaya Ara akan menjadi gadis yang tangguh," jawab Azka. Entah feeling atau hanya untuk membuat orang tua Ara senang. Namun, Azka juga yakin dengan yang ia ucapkan.

Imran tersenyum, "terima kasih, Nak Azka. Saya merasa gagal jadi orang tua. Tidak bisa bergerak dan hanya bisa merepotkan banyak orang. Sedangkan, ibu Ara juga bukan seorang ibu yang diidamkan anaknya. Terkadang saya khawatir ibunya mengirim Ara ke tempatnya bekerja, club malam bukan tempat yang baik." Imran bercerita dengan mata memandang kosong.

Azka tersentak. Dia tidak menyangka ternyata hidup Ara lebih dari kata riang yang selalu dia tampakkan. Itu semua hanya topeng belaka. Hal ini mengubah pandangannya terhadap gadis itu.

Ara punya banyak cara untuk membuat dirinya tidak terlihat lemah. Hingga kini, dia masih bertahan dan tetap ceria. Hal itu tidak mudah dilakukan. Dia gadis yang tangguh dan kuat. 

"Harapan saya adalah dia dapat bersekolah dan bekerja sendiri untuk menopang hidupnya. Jadi, suatu hari nanti, di saat saya tidak ada, dia tidak seperti ibunya. Saya juga berharap dia bisa mendapat imam yang dapat menuntunnya menjadi muslimah yang baik.

Hidup saya sejak awal memang tidak benar, Nak Azka. Saya mantan preman dan istri saya PSK. Tapi, Ara, putri tunggal kami, menjadi gadis yang cantik seperti ibunya dan beruntung dia juga pintar, dia sudah bekerja part time sejak masuk SMA. Katanya, dia tidak mau makan dari uang ibunya yang kotor," cerita sendu Imran

Azka kembali terhenyak. Dia tidak tahu harus membalas dengan apa. Dirinya pun merasa tidak karuan di dada. Entah mengapa, merasa tidak tega gadis periang itu ternyata harus menjalani hidupnya yang tidak mudah.

Azka memandang Imran sejenak dan tersenyum untuk memberi ketenangan dan kekuatan.

"Hal yang sudah menjadi takdir Allah Azza wa Jalla, tidak bisa kita ubah. Kita sebagai umat-Nya tidak dapat menuntut bagaimana jalan hidup kita. Dalam Quran Surat Yasin ayat 82, yang berbunyi 'Sesungguhnya keadaan-Nya apabila Dia menghendaki sesuatu hanyalah berkata kepadanya: Jadilah! Maka terjadilah ia'.

Jodoh, kematian, dan rezeki adalah kehendak Allah. Om tidak perlu khawatir akan itu, tinggal bertaqwa dan bertawakal kepada Allah. Insyaa Allah, semua yang menjadi beban Om akan dimudahkan.

Ara juga bukan gadis yang lemah. Saya percaya dia punya prinsipnya sendiri. Tidak mudah terpengaruh. Walaupun, saya juga baru mengenalnya. Eh, maaf ya Om kalau saya terlalu berceramah," ucap Azka tak enak.

Imran sedikit menggeleng, "tidak. Justru saya merasa beruntung bertemu Nak Azka sekarang. Bisa mendapat sedikit pencerahan. Saya sedikit terbawa suasana, seharusnya saya tidak terlalu banyak bercerita. Dan yang Nak Azka ucapkan barusan, membuat saya percaya kepada Nak Azka.

Oh, ya. Di sekolah, Ara pasti banyak tingkah, bukan?" tanya Imran terkekeh pelan.

Azka ikut terkekeh, "jujur iya, Om. Dia periang dan punya banyak teman. Ara jago biologi di kelas."

Percakapan terhenti saat Ara datang dari arah belakang dengan kedua tangan memegang nampan dan handuk.

💫💫💫

"Azka pamit, Om. Terima kasih sudah diizinkan berteduh di sini," pamit Azka.

"Om yang senang ada teman mengobrol," ucap Imran riang.

Ara hanya memutar bola mata malas. Teman mengobrol sampai lupa sama anak sendiri. Dikacangin sepanjang hujan mengguyur hingga sehabis maghrib. Dengan herannya juga, sang bapak ikut sholat dengan Azka. Dirinya pun disuruh sholat sendiri di kamar.

"Thanks, Ra. Pamit dulu. Assalamu'alaikum," salam Azka sebelum menjalankan motor besarnya.

Sepanjang perjalanan, pikiran Azka diliputi percakapan serius dengan ayah gadis cerewet itu.

Di satu sisi, dia merasa sangat bersyukur dikaruniai keluarga yang hangat dan harmonis. Di sisi lain, dia merasa tidak tega dan sedikit ada rasa ingin melindungi gadis yang riangnya terlalu over itu.

Sesampainya di rumah, Azka membuka pintu rumah yang tidak terkunci seraya mengucap salam.

"Wa'alaikumussalam. Kok baru pulang, Bang? Bunda khawatir," jawab sang bunda yang menyambutnya di depan pintu saat mendengar bunyi. Menunggu putra sulungnya pulang.

"Maaf, Bun. Hp Abang lowbat tadi. Terus Abang berteduh di rumah teman, nunggu hujan reda," jawab Azka tak enak hati membuat bundanya menunggu.

"Lain kali jangan begitu, Bang. Pakai Hp teman Abang 'kan bisa buat kirim pesan Bunda atau Ayah," tegur sang Ayah yang ternyata duduk di sofa ruang tamu, menemani bunda yang menunggunya.

"Maaf, Yah, Bun. Azka salah. Siap terima konsekuensinya," ujar Azka seraya menyalim sang ayah.

"Muraja'ah sampai sebelum Abang tidur. Terus nanti pagi jadi imam sholat tahajud," titah sang ayah.

Azka mengangguk. "Siap, Yah. Kalau Bunda apa?" tanya Azka.

"Muraja'ahnya sambil pijitin bunda ya, Bang. Bunda kangen suara qira' Abang," tutur lembut sang bunda.

Azka mengangguk patuh, lalu pamit ke kamarnya untuk membersihkan badan, menyiapkan buku dan tugas untuk esok hari, dan bersiap menjalankan sanksinya.

Begitulah sistem sanksi dalam keluarganya jika dia dan adik-adiknya—Azza dan Azriel—melakukan kesalahan atau kelalaian.

Sudah sejak kecil peraturan diterapkan. Mereka pun lama-kelamaan sudah menjadi kebiasaan dan terkadang malah sengaja melakukan kesalahan. Karena merasa beruntung mendapat sanksi yang lebih membuat mereka rajin dalam beribadah.

Di ruang keluarga hampir tengah malam. Azka qira' dengan hafalan-hafalan Al-Qur'an nya—dia sudah menghafal 30 juz Al-Qur'an sejak di Mesir—seraya memijat kaki sang ibunda.

"Bunda belum ngantuk?" tanya Azka, khawatir bundanya hanya berniat untuk menemani padahal sudah lelah dan mengantuk.

"Belum. Bunda juga sekalian nunggu Ayah lembur. Abang sudah ngantuk, ya?" tanya Bunda lembut.

Azka menggeleng, melanjutkan memijat sang bunda. Ingin melanjut muraja'ah ke surat selanjutnya tapi sang bunda sudah bertanya terlebih dahulu.

"Tadi Abang di rumah siapa?"

Azka terdiam sebentar. Dilema antara jujur atau tidak menjawab.

"Cerita saja sama bunda. Bunda gak gigit kok, Bang," kekeh Humaira melihat raut serius anaknya.

Azka menghela napas dengan senyum kecil, "tadi di rumah Ara, Bun. Teman sekelas Azka."

"Perempuan?" tanya sang bunda, tidak menyangka.

"Iya, tadi hampir hujan. Abang tidak tega biarin dia jalan kaki karena angkot sudah tidak ada. Terus di rumahnya malah keasikan ngobrol sama ayahnya," cerita Azka.

Humaira tersenyum. Dia percaya pada putra sulungnya. Azka lebih dewasa dan tahu batasan. Selain itu, dia juga cerdas dalam mengambil langkah.

"Alhamdulillah, kalau Abang bisa jaga diri. Bunda hanya khawatir tadi. Terus, kalau bunda boleh tahu, Abang ngobrol apa saja tadi?"

Meluncurlah cerita yang disampaikan ayah Ara dan apa yang Azka sampaikan tanpa membuka aib keluarga Ara. Juga, mengenai perasaan Azka yang ingin melindungi gadis itu.

"Azka tidak tahu kenapa, Bun. Sepertinya, Azka tidak tega melihat Ara yang terlihat palsu di luar, dengan topeng riangnya. Apa dia tidak merasa lelah?"

Meskipun dirinya pendiam, tapi tidak jika di depan sang bunda. Azka selalu bercerita kepada Humaira dan meminta pendapat sang bunda.

"Jadi, Abang ingin membuka topeng itu dan membuat Ara bisa terbuka dengan Abang? Menjadi penopang dan penyemangatnya?" tanya sang bunda tepat sasaran.

"Itu ... terlalu berlebihan, ya, Bun?" tanya Azka.

Bunda tersenyum dan menggeleng, "di usia Abang memang masa-masa dimana seorang lawan jenis menjadi salah satu tantangan. Abang pasti paham maksud bunda. Selama Abang dapat menjaga dan menahan diri, Bunda percaya pada Abang.

Tapi ... hal yang ingin Abang lakukan itu, pasti akan berkaitan dengan sebuah perasaan. Itu sebuah tanggung jawab yang diambil seorang laki-laki kepada perempuan. Wajib hukumnya, jika, sudah menikah," jelas Humaira.

Azka mencerna setiap kata demi kata yang bundanya ucapkan. Dalam hati, dia meringis pelan. Mana ada dirinya dan gadis cerewet itu mempunyai rasa. Perasaan tidak tega itu murni sebagai teman yang peduli dengan temannya. Tidak lebih.

"Berteman sewajarnya dengan lawan jenis. Abang sudah mengerti mengenai macam-macam zina. Jangan sampai niat Abang itu menjadi pembuka dosa. Abang boleh membantu, tapi sesuai porsi dan batasan," ucap Humaira yang sudah mengganti posisi duduk di sebelah putranya, mengelus lengan Azka pelan. "Kalau Abang ingin mengambil tanggung jawab atas dia, caranya hanya menikahinya."

"Bun, ayo tidur. Biarin Abang muraja'ah lagi kalau belum ngantuk," ujar Laith seraya menutup pintu ruang kerja di samping ruang keluarga.

Setelah kepergian kedua orang tua ke kamar utama. Azka masih melanjutkan muraja'ah sampai pukul satu pagi.

Pikirannya kalut dengan ucapan sang bunda. Bagaimana mungkin di usianya yang baru 18 tahun bisa mengambil tanggung jawab dengan menikahi seorang perempuan?

Semua seakan beradu di kepalanya, sehingga dia memilih bermuraja'ah untuk menjernihkan otak sampai kantuk tiba.

💫To be Continued💫

Assalamualaikum, malam semua..

Maaf ya baru sempat update.
Selamat membaca 💕
Semoga bermanfaat 😇

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro