(9) Four Back Off

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

FLASHBACK
10 tahun yang lalu.

💫💫💫

"Your life is yours"

💫💫💫

Pagi hari SMA Cahaya Bangsa dikejutkan dengan perombakan penampilan geng Ara dkk. Terutama perubahan rambut mereka yang seperti arak-arakan pawai.

"Ra, makin cakep aja lo," goda Gilang saat mendapati Ara dan kawan-kawannya yang sedang mengobrol di bangku mereka.

"Dari embrio kali gue cantik!" tukas Ara.

"Oh, makanya Azka mau sama lo ya. Padahal, mulut toa gitu," ejek Gilang.

"Sini lo! Gue tonjok!" Ara melambaikan tangan, menyuruh Gilang mendekat.

"Ogah! Kabur gue. Eh, gak jadi. Ayang beb-nya Ara dah dateng, noh," ucap Gilang saat matanya menangkap Azka di pintu masuk, berjalan ke arahnya.

"Ada apa?" tanya Azka heran mendapati Gilang duduk di bangkunya.

"Ada cewek lo di sisi kiri. Mantap! makin cantik tuh pacar lo, Ka," kekeh Gilang seraya berpindah ke bangkunya sendiri.

Azka menaikkan alis heran. Lalu, dirinya menengok sisi kiri yang menampilkan Ara yang tampak seperti hari-hari sebelumnya.

"Ara maksudnya?" tanya Azka lagi.

"Iyalah. Siapa lagi," jawab Gilang.

"Oh."

"Woy! Lo pada ngomongin gue di depan orangnya. Gue punya kuping kali!" tukas Ara dengan suara keras.

"Oh!" Gilang menimpali dengan nada yang sama kerasnya.

Ara mengacungkan jari manisnya. Bagi Ara, tetap saja dia masih mengingat bahwa dirinya tidak boleh terlalu kasar, karena hal itulah yang bapaknya ajarkan.

Jam pelajaran berjalan seperti biasa. Istirahat pertama digunakan para siswa menghabiskan waktu di kafetaria. Akan tetapi, berbeda dengan Ara. Dia senang merenung di bawah pohon rindang di taman belakang, atau di bangku yang ada di sekitar pohon itu saat sehabis hujan, karena rumput basah bawah pohon tak bisa diduduki, seperti saat ini.

"Ish. Tempat gue dibajak seenaknya," gerutunya saat melihat bangku kesukaannya diduduki seorang siswa.

Azka? Sedang apa dia? Pasti selalu pakai earphone. Dengerin musik apa, sih? batinnya.

"Dor!" Ara berniat mengagetkan Azka yang membelakanginya. Namun, Azka sudah berbalik dan menangkap basah dirinya. "Ah, gak asik! Gak kaget," gerutu Ara.

Azka menatap datar, lalu kembali menghadap ke depan.

"Dengerin apa, sih? Asik banget kayanya."

Tiba-tiba tanpa persetujuan yang punya, Ara mengambil earphone di telinga kiri Azka dan menempelkan ke telinganya sendiri. Dirinya juga sudah duduk di sebelah kiri Azka. Azka segera bergeser ke kanan untuk membuat jarak dan melepas earphone yang lain.

Azka menghela napas. Dilihatnya ada beberapa siswa yang ada di taman belakang. Setidaknya, mereka tidak hanya berduaan.

"Ini ... Al-Qur'an?" tanya Ara terkejut.

"Hm."

"Kamu dari kemaren-kemaren dengerin Al-Qur'an?" tanya Ara kembali, tak habis pikir.

Azka menghela napas lagi, "iya, dengerin murottal."

"Hah? Yang bener aja!" seru Ara semakin terkejut. Padahal, dirinya  sedang mendengarkan murottal dari earphone milik Azka yang masih menempel di telinganya.

"Kenapa?" tanya Azka heran.

Ara berpikir sejenak. Lalu, jari tangannya menunjuk Azka dari atas hingga bawah.

"Tampilan seperti ini kupikir bakal dengerin K-Pop. Soalnya aku juga dengerin K-Pop," ucap Ara enteng.

"Tampilan seperti ini, itu seperti apa?" tanya Azka kembali terheran.

"Ala-ala oppa Korea. Kamu gak pernah ngaca? Aku aja tiap hari ngaca dan gak habis pikir, kok bisa ada orang secantik aku," ucap Ara penuh percaya diri.

Azka tidak bisa menahan diri untuk tidak memutar bola matanya. Ucapan Ara terlalu membanggakan diri.

"I'm not trying like them or someone else," ujar datar Azka.

Azka tidak pernah membuat dirinya menyerupai orang lain dengan gaya dan mode yang tengah digandrungi remaja. Padahal, dia selalu berpenampilan seadanya. Namun, di mata orang lain, Azka terlihat selalu berpenampilan keren dan trendi. Postur tubuh yang tinggi dan wajah yang tampan merupakan anugerah baginya.

"Ish. Whatever-lah. Anyway, kamu pakai skincare apa? Kok mulus banget gitu?" tanya Ara sangat ingin tahu.

Azka menyipit tidak percaya dengan pertanyaan gadis di sebelahnya.

"Air wudhu," tukasnya datar.

"Gak percaya! Tau gak, ini aku aja nabung buat beli skincare biar glowing gini. Untung Imelda kemaren ulang tahun, jadi punya rambut baru deh dikasi pajak ultah nyalon." Ara bercerita tanpa ditanya.

"Kenapa?"

"Hah? Kenapa apanya?" tanya Ara bingung.

"Kenapa harus diwarnain rambutnya? Kamu sudah beruban?" tanya Azka.

"Ya enggaklah! Pengen suasana yang baru aja. Bagus, kan?" seru Ara sembari mengibas rambutnya dengan tangan.

Azka berdehem sejenak sebelum berkata, "ingin kuberi tahu sesuatu, tidak?"

Ara menoleh ke arah Azka yang tengah menghadap depan, sama sekali tidak menatap Ara balik. Namun, rasa penasaran menggerogoti jiwa Ara.

"Apa?" tanya Ara pada akhirnya.

"Mewarnai rambut itu boleh dilakukan selain dengan warna hitam, jika rambutmu sudah beruban," ucap Azka menekan kata 'jika'. "Tapi sekarang rambutmu masih hitam, itu artinya kamu menutupi keindahan yang sudah Allah beri."

Ara sedikit memicing menatap Azka. "Jadi, itu artinya ... gak boleh warnain rambut?" tanya Ara penasaran.

"Boleh. Hanya saja, jika kita berpenampilan menyerupai suatu kaum, maka termasuk bagian dari mereka. Jadi, lebih baik menghindari menyerupai yang bukan dari budaya muslim. Kamu ingin menjadi bagian dari mereka?" tanya Azka.

Ara menggeleng dengan keras. Dia menggigit bibirnya sebelum berkata, "terus gimana? Ini udah diwarna."

"Tidak apa-apa. Jangan diwarnai dengan warna hitam, itu justru diharamkan. Biarkan sampai rambutmu menghitam lagi," ucap Azka.

Ara memang gadis yang cantik dan manis. Azka hanya sekilas menatap gadis itu dan dia tidak memungkiri bahwa rambut cokelat bergelombang itu cocok untuknya.

Azka menghentikan pikirannya berkelana. Dia berniat pergi dari sana, dan menarik kabel earphone yang mana ujungnya masih di telinga Ara.

"Aduh! Pelan-pelan dong. Jangan asal tarik aja," ujar Ara mengelus telinganya, padahal itu tidak sakit.

"Maaf," ucap Azka tulus.

Ara berdehem. Lalu, dirinya menatap ke depan yang berisi pepohonan rindang dengan beberapa bangku seperti yang mereka duduki. Keheningan tercipta diantara keduanya.

"Azka ... eh bentar," tukas Ara saat mendampati Azka berdiri dari duduknya.

Azka menoleh sejenak dan kembali duduk di ujung bangku terjauh dari Ara.

"Hari itu ... bapak gak ngomong yang aneh-aneh, kan? Eung, tentang ibu, misalnya," tanya Ara lirih.

"Kenapa memang?" Azka balik bertanya singkat tanpa memberi jawaban.

"Jadi, bapak cerita? Aku harap kamu gak kasih tau ke teman yang lain. Itu aib bagiku," ucap Ara seraya menunduk menatap tautan tangannya.

"Itu bukan aibmu. Tapi, aib ibumu. Dan kamu gak perlu khawatir, aku tidak akan bilang ke siapapun," ucap Azka meyakinkan.

Ara menengok Azka mencari kebohongan. Namun, seperti biasa, Azka tidak menatapnya. Apa Ara segitu jeleknya di mata Azka, kah?

"Janji?" ujarnya menyodorkan jari kelingking.

Azka menengok jari itu dengan alis terangkat satu.

"Pinky promise!" desak Ara seraya menyodor semakin dekat.

Azka bukannya ikut menyodorkan kelingking untuk ditautkan, dia justru memberikan earphone-nya tadi.

"Ini, jariku diganti dengan ini," ucapnya.

"Hah? Kenapa?" tanya Ara bingung dengan tingkah Azka.

"Kamu bukan mahramku. Jadi, kita gak boleh sentuhan," jelas Azka.

"Kamu alim banget, sih," gerutu Ara dengan khusyuk melilit kabel—yang ujungnya masih di pegang Azka—ke kelingkingnya. "Pinky promise! Kamu udah janji dan harus ditepati," serunya.

Azka hanya mengangguk mengiyakan. Terserah bagaimana gadis itu bertingkah.

"Memangnya teman-teman yang biasa sama kamu itu gak tau?" tanya Azka tanpa sadar.

"Nggak. Cuma kamu yang tau masalah keluargaku. Bahkan, cuma kamu yang tau rumahku," ucap Ara.

"Kenapa?" tanyanya kembali dengan pelan.

"Karena aku takut mereka tidak mau berteman denganku lagi. Cukup di sekolah aja aku ingin hidup bebas. Sebagai Ara, yang kata orang, banyak tingkah," kekeh Ara.

"Gak lelah?"

"Lelah kenapa?" Ara menatap Azka dengan bingung.

"Berpura-pura."

Ara menghela napas, "aku tidak sedang berpura-pura, Azka. Aku hanya ingin menjadi Ara yang biasa mereka kenal atau yang biasa aku lakuin."

"Tapi kamu yang sebenarnya bukan seperti yang mereka kenal, bukan?"

Ucapan Azka menohok Ara tepat di ulu hatinya. Ara terdiam. Baru pertama kali ini ada orang yang bertanya demikian.

"Hidup bukan untuk mencari perhatian orang lain, Ara. Kita hidup untuk diri kita sendiri. Cobalah kamu mencari apa yang sebenarnya kamu inginkan, bukan karena tuntutan orang lain atau karena keadaan. Your life is yours," ucap Azka menatap sekilas Ara yang tengah menunduk memainkan tangannya sendiri.

"I know. Tapi aku sudah nyaman dengan kepalsuan jati diriku ini, Ka. Di saat aku dituntut menjadi lebih kuat tapi nyatanya aku tidak bisa. Jadi, aku lebih memilih dengan orang-orang yang tidak tahu aku tapi bisa membuatku lupa dengan keadaan sebenarnya," ucap Ara dengan suara lirih.

"Kamu ... semakin jauh melangkah, semakin tersesat dirimu," ucap tajam Azka.

Ara mendongak marah, "kamu gak berhak nge-judge aku, Ka! Siapa kamu sampai ngatur hidupku?!"

"Aku tidak bermaksud menghakimi tapi aku peduli, Ra," ucap Azka spontan.

Ara berkedip tidak percaya. Mulutnya membuka hendak membalas ucapan Azka, tapi sang lawan bicara sudah menyela.

"M-maksudku peduli sebagai teman," ucap Azka menambahkan.

Pandangan Ara berubah. Sejenak dia merasa sangat dimengerti oleh orang yang baru dia kenal. Yang dia harapkan menjadi penolongnya agar lepas dari keadaan saat ini. Akan tetapi, kata-kata tambahan itu memupuskan harapannya. Mustahil dirinya dapat dicintai dengan tulus oleh orang yang juga dapat menerima keadaannya. Menerima Ara apa adanya.

"Gak perlu, Ka. Aku gak butuh dipeduliin," ucap Ara tajam dan bangkit dari bangku hendak melenggang pergi.

"Aduh! Ish, kabel nyebelin banget sih," gerutunya saat kabel masih melilit di kelingking kecilnya.

Dengan cepat Ara berusaha melepas lilitan.

"Jangan ... tersinggung, Ra," sela Azka ketika Ara tengah berkutat dengan kabel.

"Gak! Dasar ngeselin!" tukas Ara keras dan langsung melempar kabel ke arah Azka setelah lilitan terlepas.

Dirinya segera berjalan cepat ke kelas dengan menggerutu, memaki Azka. Kesal, itulah yang Ara rasakan saat ini.

💫To be Continued💫

Assalamualaikum, malam semua.

Tengah malam masih ada yang bangun gak nih?

Selamat malam jumat, Bismillah Jum'ah barokah.

Enjoy the story. Kalo ada kesalahan informasi atau typo, komen aja, yaa..

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro