Bismillah

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Keramaian, hal yang Azzahra benci. Gadis yang kini tengah duduk sendiri di bangku pojok itu sedang berusaha fokus dengan novel bacaannya, tapi kericuhan yang memenuhi ruang kelas IX-A itu benar-benar mengganggu konsentrasi Azzahra.

"Yeaaay, gue keterima di SMA Negri!"

"Iiih, kok bisa? Gue gak lolos anjir!"

"Gue keterima juga weh!"

"Nama gue ada juga dong! Gue keterima!"

Pengumuman masuk SMA Negri favorit di Jakarta sudah keluar, itulah yang membuat kelas Azzahra ramai.

"Ra, nama lo gak ada, sih? Lo kan pinter, rangking 1 paralel," kata Aisyah yang sudah duduk di samping Azzahra.

Azzahra mengalihkan pandangan dari bukunya, matanya menatap teman sebangkunya yang sudah keluar dari kerumunan di kelasnya itu. "Lo sendiri keterima di SMA impian lo itu?"

Yang balik ditanya merubah raut wajahnya menjadi murung. "Gue gak keterima anjiiir!" Aisyah menangis histeris tiba-tiba, membuat Azzahra sedikit panik.

Aisyah adalah teman Azzahra dari kecil, kedua orang tua mereka juga sudah berteman lama. Aisyah, gadis cengeng yang sangat berisik. Walau berbanding terbalik dengan Azzahra, tetapi pertemanan mereka tidak pernah terputus. Bisa dibilang, Aisyah adalah satu-satunya hal berisik yang tidak Azzahra benci.

"Gak usah nangis kali, gue juga gak sekolah di SMA impian lo itu kok."

"Iya juga ya ...." Aisyah mengelap air matanya, meredakan tangisnya. "Lo lanjut ke mana?"

"Pesantren."

"HAH?!" Aisyah terkejut dengan satu kata yang keluar dari mulut sahabatnya. Kesedihannya hilang seketika.

"Orang tua gue ngewajibin anaknya masuk pesantren."

"Iya juga ya. Dua kakak lo pesantren, pasti adeknya juga bakal di pesantrenin. Apalagi bokap lo ustadz." Aisyah menghela napas panjang. "Berarti lo emang sengaja gak daftar SMA, ya?"

Pertanyaan Aisyah dibalas anggukan kecil. Azzahra kembali fokus pada novelnya, mengabaikan Aisyah yang kembali merasa galau.

"Gue ikut lo pesantren gak, ya? Kayanya ortu gue bakalan ikutin jejak ortu lo, Ra. Gue kayanya bakalan dipesantrenin juga." Aisyah meracau sendiri. "Enak gak ya di pesantren? Gue bakalan betah gak, ya?"

Azzahra terdistraksi dengan ucapan Aisyah. 'Gue bakalan betah gak ya?'

***

Kata Abi, memulai segala sesuatu yang baik itu dianjurkan di hari Rabu karena terdapat keutamaan di sana.

Dalam kitab Ta'limul Muta'allim karya Imam Az-Zarnuji disebutkan bahwa Rasulullah SAW bersabda,
مَا مِنْ شَيْءً بُدِئَ يَوْمَ الأَرْبَعَاءِ إِلا وَقَدْ تَمَّ
"Tiada segala sesuatu yang dimulai pada hari Rabu, kecuali akan menjadi sempurna".

Azan Subuh berkumandang tepat saat Azzahra menginjakkan kaki di tanah Jawa. Dia bersama orang tuanya juga Aisyah dan ayahnya sudah berada di depan bangunan luas yang terdapat plang besar di depan jalan masuknya.

Pondok Pesantren Baitus Sa'adah

Masih gelap, tapi sudah ramai aktivitas di setiap sudut pesantren. Ratusan santri berlalu lalang, mengantre berwudhu, kamar mandi, juga memenuhi area masjid.

"Rame banget, ya, Ra. Padahal masih Subuh," celetuk Aisyah. Kini mereka sedang berada di ruang sekretariat pesantren.

"Wajar, Aisy, namanya juga pesantren." Azzahra menatap hampa ke luar jendela, menunggu sang ummi yang sedang di kamar mandi sekretariat. Abinya dan ayah Aisyah sudah ke area santri putra. Dua kakak laki-laki Azzahra tidak ikut mengantar karena mobil yang dipakai tidak dapat menampung orang terlalu banyak.

"Yakin nih gue bakal jadi ukhti-ukhti Jawa? Ini gak mimpi, kan, Ra?"

Azzahra tak menjawab, pikirannya masih sibuk dengan bayang-bayang mengerikan kehidupannya nanti.

"Ra, wudhu dulu sana, nanti ke masjid bareng." Ummi mengalihkan fokus pikiran Azzahra dan Aisyah.

"Siap, Ummi! Aisyah duluan aja," selak Aisyah sebelum Azzahra menjawab sang ummi. Bagi Aisyah Ummi Azzahra sudah ia anggap sebagai umminya. Ibu kandung Aisyah memang sudah lama meninggalkan kehidupan fana' dunia, sejak Aisya masih duduk di bangku sekolah dasar. Itulah mengapa Maryam, ummi Azzahra, juga sudah menganggap Aisyah seperti darah dagingnya.

"Eh, bukannya kamu udah wudhu tadi?" Azzahra menarik Aisyah yang sudah bergerak menuju kamar mandi.

"Kentut dikit gak ngaruh sih, tapi batalin wudhu," jawab Aisyah sambil menyengir lebar.

"Dih! Pantesan dari tadi bau nasi basi!" sarkas Azzahra yang tak dipedulikan Aisyah.

"Ra, omongannya yang bener, ah." Maryam mengingatkan anaknya dengan lembut.

Iqomah terdengar nyaring dari toa masjid, membuat mereka bergegas menuju masjid.

Masjid di sini sangat luas, bersih dan nyaman. Langit-langitnya dipenuhi ukiran Asmaul Husna yang terlihat mewah, dindingnya dibiarkan putih bersih tanpa ukiran. Sangat menenangkan.

Santri putri sudah berbaris rapi di lantai dua masjid, Azzahra, Aisyah, dan Maryam bergabung di sana. Selesai melaksanakan salat dan berzikir para santri berpencar membentuk seperti kelompok-kelompok. Mengaji Al-Qur'an bersama-sama.

"Ayo kita kembali ke sekretariat, kita harus selesaikan pendaftaran kalian," kata Maryam memecah fokus Azzahra dan Aisyah yang tanpa sadar terlena mendengar lantunan Al-Qur'an yang bersahut-sahutan.

***

"Mbak Zahra dan Mbak Aisyah bisa ikuti saya." Seorang wanita berwajah tegas berujar dengan kalimat lembut. Azzahra dan Aisyah mengangguk patuh.

"Bismillahirrahmanirrahim."

"Ikrar Santri."

"Kami santri pondok pesantren Baitus Sa'adah berjanji."

"1. Akan selalu beribadah dengan mengharapkan ridho Allah SWT."

"2. Berbakti kepada orang tua dan guru juga pengurus pondok serta hormat dan taat aturan."

"3. Menerima apa pun hukuman yang diberikan jika melanggar aturan."

"4. Selalu menjaga nama baik pondok pesantren di mana pun berada."

"5. Tidak mudah menyerah, selalu semangat berjuang menuntut ilmu."

Azzahra dan Aisyah mengulang kalimat demi kalimat yang diucapkan Nur, pengurus pondok di hadapan mereka.

"Alhamdulillah, kalian sudah resmi menjadi santriyah pondok pesantren Baitus Sa'adah," ucap Nur sambil tersenyum. Terlihat cantik, tapi tidak mengurangi wibawa gadis itu.

"Alhamdulillah. Saya titip anak-anak, ya, Mbak." Maryam berkata lembut sebelum akhirnya memeluk Azzahra dan Aisyah bergantian. Air matanya menetes tanpa disuruh, membuat dua gadis yang akan ditinggal ikut mengeluarkan air matanya.

Lama mereka saling berpelukan, Maryam akhirnya melepaskan pelukannya.

"Sudah. Kehidupan kalian insyaallah akan lebih baik di sini." Ibrahim, abi Azzahra menenangkan. Lelaki tinggi itu memeluk sang anak dengan sayang.

"Bismillah, serahkan semua pada Allah SWT."

Azzahra semakin memeluk erat sang abi. Entah apa yang mendorongnya melakukan itu, dia hanya merasa lebih kuat dengan mengeratkan pelukan dengan sang abi.

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro