BB - 11. AllMart

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

‍‍‍‍‍‍‍‍‍‍‍‍‍‍‍‍‍‍‍"Kak Ifa! Bangun woi! Udah siang."

Pintu terus digedor dengan kencang. Remaja tanggung itu saat ini sedang menahan hasrat untuk tidak memutar gagang pintu kamar. Jika tak ingat betapa sialnya ia dulu-kena marah sang ayah-karena main masuk ke kamar kakaknya, maka sudah bisa dipastikan saat ini ia sudah mencak-mencak[1] tak jelas di kamar kakaknya.

Bayangkan, gimana gak pengen ngamuk. Lah wong dirinya saja sudah sepuluh menit berteriak seperti orang kesurupan, sedangkan pemilik kamar berpintu putih ini masih saja tak merespon. Dongkol? Jangan ditanya lagi.

"Buset dah Kak, bangun napa! Ngorok mulu."

Bising, suara nyaring milik Fatir sangat mengusik tidurnya. Ifa telentang, menatap langit-langit kamar. Ada sorot cahaya matahari di sana. Mungkin sekarang sudah jam enam.

Hari ini minggu dan Ifa sedang datang bulan, jadi tidak istilahnya bangun kesiangan. Setidaknya untuk hari ini saja. Tapi... kutu loncat yang masih saja menggedor pintu-sambil berkoar bahwa dirinya bangun kesiangan-benar-benar mengganggu.

"Kaaak... Bangooon cepetan!"

Ifa duduk sejenak di atas kasur. Membuang napas kecil, lalu beranjak menuju pintu. "Hush, pergi. Jangan ganggu gue," celetuknya spontan di depan wajah remaja tanggung itu

Fatir yang merasa diusir tak terima. "Tadi Papa pesen suruh bangunin lo buat sarapan."

Ifa diam, berbalik badan untuk melihat jam dinding biru muda di dekat meja belajarnya. OMG! ternyata sekarang sudah jam setengah sembilan. Pantas saja makhluk di depannya ini berisik sekali.

"Yaudah sana, gue mau mandi dulu."

"Eh Kak, bentar!" cegah Fatir lalu kembali berujar, "Cuma mau ngingetin, minggu ini jadwal lo yang belanja bahan makanan."

"Oh, iya. Hampir aja gue lupa," batin Ifa sambil mengangguk.

Belum sempat berbalik badan, suara nyaring adiknya kali ini membuat Ifa mendengus sebal. "Kak! gue ikut belanja ya."

"Iya-iya terserah lo aja."

Dan di sinilah dua bersaudara itu. Ifa di balik kemudi sedang berusaha memakirkan mobilnya. "Fatir, lo bawa uang buat belanja kan?"

"Enggak," ucap Fatir santai sambil menggeleng.

Ifa mendongak. Menatap horor manusia tanggung di sampingnya. Tangan kiri yang semula menggenggam operan gigi mobil langsung menyaut kasar lengan kanan adiknya. "Masa iya balik lagi ke rumah? Gue gak bawa duit sama sekali!"

Mesin mobil sudah mati sempurna. Hening. Dan suasan mulai panas karena kemurkaan seseorang.

"Pake ini dong."

Dengan tampang songong, Fatir mengibaskan Black Card milik ayahnya di depan wajah sang kakak. Fatir tertawa kecil. Kakaknya ini entah kenapa, sejak tadi pagi bullyable sekali. Gampang mengamuk. Membuat Fatir ingin terus -terusan meledeki kakaknya.

"Lo yang ambil troli," titah Ifa lalu merebut kasar kartu kredit ayahnya. Meraih kertas berisi list belanjaan di atas dashboard mobil. Lalu beranjak memasuki super market AllMart yang berjarak 3 km dari rumah mereka.

Lebih dari satu jam berlalu, troli belanjaan sudah penuh. Hanya tinggal mengambil beberapa ikat sayur sawi, bayam juga, kangkung. Ifa mendongak, ia menemukan mereka semua. Dengan sedikit berjinjit. Ifa mengambil dedaunan hijau berserat itu seraya menghitung dalam hati dan berpikir berapa banyak ikat yang kira-kira dibutuhkan.

Okay cukup, pelukan Ifa sudah penuh dengan bayam, kangkung juga sawi, sampai-sampai ia tidak bisa melihat kakinya. Ifa berbalik, troli belanjaannya berjarak lima meter dari tempatnya berdiri saat ini. Perasaan tadi ada di dekatnya.

Ketika kaki kanannya mengambil langkah pertama, sesuatu yang licin di lantai sana telah merebut kendali kakinya. Keseimbangan tubuh hilang. Dalam sekejap, ia langsung terpeleset dengan posisi terjengkang. Malang sekali nasib sayur-sayuran miliknya.

Gadis itu meringis kecil, merasakan sakit di bagian tulang ekornya. Sedikit lega setidaknya tidak ada orang yang melihat kejadian memalukan ini. Karena malunya saat ini lebih penting ketimbang rasa sakitnya.

"Mba... Baik-baik aja kan?"

Sekarang ini kesadarannya kembali saat suara bass tadi jelas-jelas dibunyikan untuk dirinya. Dengan ragu. Kepala berkuncir kuda tersebut menoleh ke belakang.

"Ya Tuhan... kenapa harus seorang pria seperti ini."

"Mba... Gapapa?" tanyanya lagi.

"Eh, eng... Enggak apa-apa," Ifa sedikit tergagap. Ia baru sadar bahwa semua sayurannya sudah berada di tangan lekaki berhoodie coklat ini. Jadi berapa lama ia terbengong-bengong tadi.

"Mba kayanya syok. Mau saya bantu anterin ke klinik deket sini?"

"Enggak terima kasih."

Saat Ifa mengulurkan tangan untuk mengambil alih sayuran miliknya. Lelaki itu berdiri lalu berceletuk, "Saya ambilkan dulu trolinya."

Gadis bernama Syifa, dengan panggilan akrab Ifa itu. Bukannya lekas berdiri, dia malah menunduk menutupu kening dan mata dengan tangan kirinya. Malu. Rasanya sangat malu saat ini. Tapi... bukankah tingkah anehnya saat ini malah semakin mempermalukan dirinya sendiri.

Dari jarak lima meter. Lelaki berhoodie coklat memerhatikan gadis malang yang masih saja bersimpuh dan menunduk di lantai-yang nampaknya lumayan dingin dengan cairan di sana dan AC ruangan yang menyala. Pria itu berpikir apakah sangat sakit rasanya. Sekali lagi ia akan menawari bantuan untuk mengantar gadis itu ke klinik.

"Mba, mari saya antar belanjaannya ke kasir. Lalu saya antar ke klinik."

Ifa mendongak, ada tangan yang terulur tepat di depan wajahnya. Ia menyambutnya dan berdiri dengan bantuan pria itu. Melirik sekilas ke lantai. Lalu menjawab, "Tidak perlu. Terima kasih atas bantuannya."

"Kak!"

Teriakan dari ujung mengalihkan perhatian keduanya. Fatir lantas menghampiri dua manusia itu dengan sedikit berlari menenteng sekeranjang makanan ringan. Ia melirik pada pria di dekat kakaknya. Lantai yang kotor oleh cairan berwarna coklat. Ada selembar daun sawi. Juga celana putih kakaknya yang kotor dibagian betis. Ia mencium bau-bau kekacauan di sini.

"Kak kenapa?"

"Gapapa," jawab Ifa singkat.

Gadis itu cepat-cepat mengambil alih troli belanjaannya. Mengucapkan terima kasih pada lelaki itu, lalu beranjak dari area sayuran menuju ke kasir. Menyisakan tanda tanya besar di kepala sang adik yang mengekorinya sambil terus bertanya ini dan itu sepanjang jalan menuju kasir.

"Diem napa sih, kepo banget. Tadi juga, lo ke mana aja?"

"Hehe... gue milih cemilan tadi,"jawabnya cengengesan. Menunjuk keranjang yang dibawanya.

"Siapa yang mau bayar?" sambung Ifa tajam. Dengan sedikit pelototan untuk sang adik di akhir kalimatnya.

"Ayahlah, tadi gue minta duit buat ngisi cemilan di kulkas. Keripik singkong lo juga udah di keranjang ini."

Kali ini Ifa diam saja. Pikirannya masih tertinggal di area sayur-mayur tadi. Malang sekali dirinya hari ini, dia harus terpeleset karena tumpahan susu di lantai dan daun sawi belanjaannya yang tak sengaja jatuh selembar. Malunya sekarang sudah hilang. Dan sekarang rasa sakit di tulang ekornya kian menjadi-jadi.

Ifa maju selangkah, antrian di kasir begitu panjang. Sedikit membenarkan poni ke samping. Menghembuskan napas pelan saat Fatir menoel bahu kirinya.

"Kak, es krim gue. Lo mau beliin kan? Semalem kan udah janji."

"Hemm... Iya. Nih duitnya." Ifa mengeluarkan satu-satunya lembar uang yang ia kantongi di celananya.

Fatir membelakak senang. "Asiik gocap. Buat gue semua ya kembaliannya."

"Sisain buat bayar parkir."

"Oke, siap boss."

Ifa tersenyum kecil saat kembali menghadap ke depan. Jagoan ayahnya itu, jika sedang waras dan tersenyum bahagia seperti tadi. Benar-benar bisa menularkan euforianya pada Ifa. Saudaranya itu, benar-benar ajaib. Dalam hati, Ifa mengucap syukur berulang kali karena memiliki Fatir dalam hidupnya.

•<>•<>•<>•

Bab 12. Selangkah Lebih Jauh

Aku membereskan semua peralatan makan di meja. Lalu mencuci semuanya. Mengambil sebuah nampan dan meletakkan dua piring berisi sarapan dengan menu yang sama seperti menu sarapan aku dan Yudha pagi tadi. Karena hari ini Bi Tatik izin libur untuk menemani anaknya bersalin. Jadi, aku yang mengantarkan makanan pada Pak Wage dan Pak Tur di depan.

"Permisi, pak ini sarapannya."

Aku berdiri di depan pintu pos satpam berukuran 2×3 meter yang ada di dekat gerbang rumah suamiku. Kebetulan sekali kedua pria setengah abad itu ada di sana.
"Duh Nyonya... Eh Nak Ivy kenapa jadi yang ngater makanannya ke sini," celetuk Pak Wage, pria berpakaian seragam satpamnya.

Aku tersenyum simpul, " Gak apa-apa Pak."

"Kalau gitu saya masuk dulu Pak."

"Nggih, matur suwun Nak Ivy."[2] Kali ini Pak Tur yang berbicara.

Aku tersenyum lagi lalu melangkah masuk menuju halaman belakang rumah. Duduk di gazebo mini. Memberi makan pada ikan yang ada di kolam mini tepat di bawah gazebo ini. Mengintip ke bawah. Melihat warna-warni ikan mas dengan corak indahnya.

Gemricik air dari kolam ikan semakin membuat suasana sejuk pagi ini semakin sejuk saja. Tak ada matahari pagi ini. Matahari masih malu-malu muncul dan memilih bersembunyi di balik awan. Keadaan begitu syahdu. Seperti keadaan hatiku saat ini. Mengingat kembali dering telepon dan pesan satu jam lalu dari mertuanya.

"Saya hanya ingin mengatakan padamu, bahwa hari ini tidak eoelu mengantar Yudha makanan. Ila yang akan mengantarkannya. Kamu mengerti?"

"Iya, Bu. Ivy me-"

"Bagus."

Klik

Tanpa aba-aba, setitik air mata jatuh dari tempatnya. Hati ini lagi-lagi menangisi pernikahan kami. Lelah sekali rasanya. Sepanjang setahun ini, rumah tanggaku dengan Yudha tak bisa menghasilkan apa pun kecuali perasaan sedih, luka, dan kecewa.

Sampai sekarang kami masih bertahan atas nama cinta. Entah sampai kapan. Aku tak tahu. Apakah aku akan lebih dulu menyerah dengan keadaan ini? Aku menghembuskan napas pelan.

"Ya Allah, hamba berserah diri padamu."

Matahari kini meninggi tepat diatas kepala. Aku menepikan mobil di halaman rumput hijau panti asuhan Cinta Kasih. Lalu mengambil beberapa paper bag makanan yang tadi sempat kubeli.

"Assalamualaikum," ujarku saat berada di depan pintu.

"Waalaikumsalam. Eh Mba Ivy ke sini?" sapa seorang wanita tua berubug gempal pengurus panti ini. bernama Ningsih. Aku mencium tangannya, lantas kami berdua menuju dapur menyiapkan makanan untuk yang lainnya.

"Amor, Ya Allah kamu udah gede ya." Gadis remaja berambut sebahu itu tersenyum lalu mencium tanganku.

"Mba Ivy aja yang ga pernah ke sini." Wajah yang dibuat merengut itu mengundang kekehan kecil keluar dari bibirku.

Ya memang benar. Selama menikah dengan Yudha, hari-hariku hanya mengurus rumah. Sedangkan sabtu-minggu, Yudha menyebutnya sebagai our quality time. Tapi, kurasa semenjak kejadian di RS Cambridge kala itu. Istilah Our quality time kian terlupakan oleh kami. Atau... kami yang memilih untuk saling menghindari satu sama lain. Aku meringis kecil dalam hati ketika mengingatnya.

"Mba Ivy bawa apa?" pertanyaan Amor sukses memecah lamunanku.

"Mba bawa makanan buat kalian semua."

Amor membuka salah satu paper bagnya. Berceletuk senang dan ingin sekali mencoba makanannya. Aku hanya tersenyum saja, dan baru teringat kalau Bu Ningsih juga baru selesai memasak makan siang.

"Bu Ningsih itu-"

"Iyaudah gapapa. Buat nanti malem aja masakan yang itu. Sekarang makan makanan bawaannya Mba Ivy ya, gih Amor bawa ke belakang. Ibu sama Mba Ivy yang bawain piringnya."

Gadis kecil itu berlarian ke belakang. Aku di dapur terdiam, bingung apa yang hatus kusiapkan. Semuanya sudah beres. Air putih. Piring dan gelas plastik juga sendok sudah di atas meja.

"Mba Ivy duluan aja, ibu mau bikin es teh dulu." celetuk Bu Ningsih.

"Kalau gitu Ivy bantuin ya Bu."

"Iya sudah silahkan Mba."

Hanya butuh waktu lima menit untuk membuat es tehnya. Sekarang aku sedang membawa nampan dengan dua teko es teh. Semakin ke belakang suara canda tawa anak-anak kecil semakin jelas.

Meski sudah lama tidak bertandang ke panti asuhan ini. Tapi, aku masih ingat dengan jelas di mana letak halaman belakang. Saat sampai di luar pintu. Angin berhembus mengibarkan hijab putih yang ku kenakan.

Manik ini menyapu pandang keseluruh rerumputan hijau yang terbentang kira-kira seluas 20 m². Semuanya masih sama. Hanya saja saat ini halaman semakin asri dengan adanya bunga di pinggir pagar dan dua pohon mangga yang sudah semakin besar. Di bawah bayangan pohon, di sanalah makhluk-makhluk kecil tanpa dosa itu berkumpul di atas tikar yang dibentangkan.

Berjalan di atas rerumputan tanpa menggunakan alas kaki adalah kesukaanku. Dengan senyuman lebar dan perasaan bahagia yang begitu besar. Aku melangkah membelah halaman menuju tempat teduh di bawah pohon rindang itu.

Dari kejauhan, Amor berlarian ke arahku. "Ayo Mba Ivy, aku udah gak sabar mau makan."

Perhatianku sedikit tersita. Ternyata begini rasanya memiliki seorang anak. Akan ada yang selalu menghampirimu dengan rengekkannya. Melihat tawanya dan mata binarnya.

Saat kaki ini menginjak tikar anyaman sintetik. Puluhan pasang mata kecil itu memandangku serempak. Sepuluh atau sembilan tahun. Lima tahun. Enam tahun. Kisaran itu tafsiran umur di kepalaku saat melihat mereka semua. Semakin jauh memandang, aku mendapati dua batita kembar di sana, di depan seorang dewasa yang entah siapa. Perhatianku terkunci pada bola mata bulat dan berbinar milik batita itu.

"Ya Allah mereka berdua cantik sekali."

"Hiks... hiks... puk puk pahh puk puk." Suara rengekan itu mengambil alih seluruh perhatianku. Untuk sesaat tubuh ini mematung. Menatap bergantian pada bayi perempuan itu dan seorang pria yang memangkunya.

Sampai sebuah suara mengembalikan seluruh kesadaranku. "Mba Ivy ayo makan dulu." Aku hanya mengangguk meletakkan teko di tengah tikar.

Menuangkan tehnya pada gelas dan membukakan makanan untuk dibagikan pada anak-anak. Sedangkan Bu Ningsih masih berusaha mendiamkan bayi perempuan berambut lebat itu.

Aku menghampiri Bu Ningsih. Bayi itu terus merengek sambil merentangkan kedua tangannya padaku. "Kayanya Meli minta digendong sama Mba Ivy deh," celetuk Bu Ningsih tiba-tiba.

Aku lantas mengambil alih Bayi kecil bernama Meli ini dari gendongan Bu Ningsih. Mencium kedua pipi tembam Meli lalu memeluknya dalam dadaku. Meletakkan kepala kecilnya dipundak sambil mengusap-usap punggungnya. Bibirku tersenyum, manik ini nyaris basah.

"Nak, apa kamu sedang merindukan ibumu saat ini?" batinku sambil mencoba menenangkan tangisan Meli. Menimang gadis kecil ini dalam gendonganku.

"Terima kasih Mba Ivy udah bantuin Bu Ningsih."

"Iya Bu, sama-sama."

Perempuan lewat setengah abad itu berjalan masuk ke rumah panti. Aku masih terdiam sambil menatap anak-anak yang mulai menumpuk piring kotor. Amor yang paling besar diantara mereka, mengatur hampir 25 anak ini untuk tetap tertib. Gadis 13 tahun itu, sudah terlihat lebih dewasa dibandingkan umurnya. Dia mengingatkanku pada diriku ketika masih seumurannya dulu.

"Ivy, senang bisa betemu kamu lagi di sini." Aku hanya tersenyum dengan pandangan tak lepas dari anak-anak yang berlarian memasuki rumah panti.

"Aku udah lama gak ke sini," celetukku. "Kamu sehak kapan Fan ke tempat ini?"

"Udah lama sih Vy, semenjak aku kesepian. Sekitar 6 tahunan kali ya."

"Kalu kamu Vy?"

Aku menoleh ke arah Fandi yang ternayta juga menatap dalam ke arahku. Kepala ini refleks menunduk perlahan. "Mungkin semenjak 4 atau lima tahun yang lalu."

Pria itu tertawa renyah. "Dan lucunya baru sekarang kita kebetulan bertemu."

Entah kenapa yang dikatakannya barusan membuat diriku juga tertawa kecil. Lalu kuputuskan untuk menjelaskan sesuatu padanya. "Sejak tiga tahun yang lalu, aku memang tidak pernah ke sini Fan. Semua barang kebutuhan anak-anak supir yang mengirim."

"Pak Tur?"

Aku langsung menoleh. "Bener, kamu kenal Pak Tur ternyata."

Ia tertawa lagi, kali ini sedikit lebih lama. "Tentu. Setiap sabtu aku ke sini, selalu bertemu dengannya. Tapi karena setahun terakhir aku bekerja di Amerika. Jadi, hari ini kunjungan pertamaku setelah setahun lamanya."

"Yang di depan itu, motor kamu?"

Pria di sampingku mengangguk. "Jika sedang sendiri, aku lebih suka naik motor. Mau bersenang-senang bersama?"

Aku terkekeh kecil, dia masih ingat ternyata kalau aku juga suka naik motor ketimbang mobil. "Lain kali aja Fan. Aku mau nurunin barang dari mobil dulu."

"Kalau gitu aku bantu."

Siang itu adalah kali pertama aku merasa begitu bahagia bisa datang ke panti. Mungkin, karena sudah lama tidak ke sini. Atau... karena kehadiran pria bermanik kelabu itu? Sahabat kecil yang masih tahu banyak hal tentangku. Berbincang dengannya membuatku kembali ke masa kecil dulu. Siang di hari itu benar-benar indah, terlebih ketika aku bissblupa sejenak dengan semua problem rumah tanggaku.

-Pukul 20.17 WIB-

Setelah makan malam. Rumah yang dulu hangat kini jadi semakin dingin. Aku duduk, memandang kosong layar televisi yang menanyangkan acara keluarga. Jika biasanya di jam seperti ini aku juga Yudha duduk bersama di depan TV sambil memakan makanan ringan
Maka sekarang semua itu sudah dilenyapkan waktu.

Tak ada perbincangan apa pun diantara kami. Sepeti tak terjadi apa-apa, Yudha bahkan tidak bertanya alasan absennya diriku mengatarkan makan siang untuknya. Dan kami berdua, mulai saling bersikap acuh tak acuh. Satu kemajuan untuk kemunduran hubunganku dengan Yudha. Dan rasanya semua ini kian menyembilu perasaanku.

Bersambung...

[1] : mengamuk
[2] : "Iya, terima kasih Nak Ivy"

Mohon maaf untuk setiap typo di part ini. Terima kasih sudah mau meluangkan waktu untuk membaca ♡

Selamat menunaikan ibadah puasa bagi umat muslim yang tengah memenuhi kewajibannya.

Sampai nanti
-Hana-

Selesai ditulis:
Kota Santri, 26 April 2020
14.40 WIB

Dipublikasikan:
27 April 2020
04.24 WIB

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro