3. Innocent Smile

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng


Senyum yang menyenangkan

***

Waktu istirahat digunakan Fay untuk berkutat dengan kertas dan pensil gambar miliknya. Salah satu jarinya bertopang di dagu sambil memandangi hasil karyanya. Dia mengamati gambar itu seolah-olah sedang menyelidiki sesuatu. Akhirnya dia berhasil merampungkan gambar yang dua hari ini sedang dikerjakan. Kejanggalan yang sempat dia rasakan pada gambar itu terjawab semalam.

Senyuman. Itulah kuncinya.

Fay memandangi gambar itu sekali lagi.

Kalau dipikir-pikir, di luar sana banyak hal-hal menarik yang bisa dijadikannya objek pensil gambarnya, tapi kenapa harus menggambar sosok itu? Bahkan sampai membuatnya menggebu untuk menyelesaikannya tanpa ada kekurangan. Entahlah, Fay tak mengerti, keinginan itu muncul begitu saja.

"Nyemot!" sebuah teriakan berasal dari ambang pintu kelas mengejutkannya.

Dilihatnya Bian berjalan menghampiri.

"Nyet, ayo ikut gue ke kantin, ada yang pengen gue tunjukin," cewek itu berseloroh heboh.

"Apaan sih, Bi," dengus Fay.

Bian langsung menarik lengan Fay dengan terburu-buru. "Ayo, ikut dulu!"

Fay berdecak sekilas. Cewek itu menyelipkan sekedarnya gambar yang tadi dikerjakannya ke binder besar khusus tempat Fay biasa mengumpulkan gambar-gambar miliknya. Bian masih menarik-narik lengannya, membuat Fay tak sempat lagi memasukkan buku itu ke dalam tas. Dibawanya buku itu digenggaman tangan, tanpa menyadari sehelai kertas berisi sebuah gambar mencuat keluar, dan terjatuh di lantai koridor.

***

Ingin sekali rasanya Fay mencakar-cakar wajah Bian saat tahu apa yang membuat cewek itu sampai berteriak heboh membawanya ke kantin.

Fay mencak-mencak tak terima. Cewek itu menganggu kegiatan menggambarnya hanya untuk menunjukkan sekumpulan cowok yang dia sebut-sebut sebagai cowok-cowok famous SMA Nusa Bangga.

"Bianca! Lo keterlaluan banget tau, narik-narik gue kayak sapi, cuma buat nunjukin mereka, asli nggak penting!"

Bian meringis. "Habisnya lo mendem aja di kelas. Ngapain sih, bertelur ya?!"

Fay berdecak.

"Eh, tapi Nyet, serius deh. Lo emang kudu tahu soal ini," wajah Bian langsung serius."Kenapa? Soalnya cowok yang gue tunjukin tadi selain famous, dia juga banyak diincar sama cewek-cewek di sekolah ini. Waktu MOS kemarin, dia kan salah satu panitia yang diidolain. Namanya Adrian. Liat deh gayanya, tengil tapi menarik?"

Fay otomatis mengernyit. Tengil? Menarik? Bian nggak salah mendeskripsikan cowok itu?

"Padahal masih ada satu lagi cowok yang mau gue tunjukkin, tapi kayaknya udah pergi deh, lo sih kelamaan."

Fay memandang Bian dengan mimik wajah malas.

"Terus gue harus ngapain? Lompat-lompat kegirangan atau nyembah-nyembah cowok itu?"

Bian terkikik sendiri mendengar omelan Fay. "Boleh juga tuh," cewek itu nyeletuk.

Sumpah ya, ini anak, minta digoreng kali!

"Lo inget kan waktu ada dua cowok berantem di koridor tempo hari, Nyet. Yang berantem itu Adrian sama temannya."

Fay memandang Bian sambil menggeleng-geleng tak percaya kalau sahabat karibnya ini, yang semasa SMP jadi salah satu murid berprestasi, membahas hal seperti ini.
"Bianca!" suara Fay penuh tekanan. "Informasi yang lo omongin barusan nggak berbobot banget, tahu. Nggak sesuai sama otak lo."

Bian merengut.

"Lagian ya, gue juga udah tahu. Cowok yang satunya lagi, yang berantem sama siapa tadi, Adrian? Dia ketua osis kan?"

Bian melongo menatap Fay. Melihat ekspresi Bian, Fay menyeringai puas. Seolah dia berhasil menemukan di mana letak harta karun berada.

"Kok lo bisa tahu."

"Gue juga punya mata dan telinga. Lo kira ini dua indera gue ini nggak berfungsi?"

"Nyet, serius, lo kok bisa tahu sih."

Fay berbalik dan keluar dari kantin, meninggalkan Bian begitu saja. Malas untuk membahasnya lebih lanjut. Fay nggak suka bergosip.

Tidak diperdulikannya, cewek itu berteriak-teriak memanggilnya untuk meminta penjelasan.

Dalam perjalanan menuju kelas, Fay kembali mengutuk tindakan Bian yang mengusik waktunya menggambar. Memang apa perlunya Fay tahu cowok-cowok yang ditunjukkan Fay di kantin tadi?

Memangnya bisa menambah kinerja otaknya?

Ugh, menyebalkan!

***

Abid menuju kelas lebih dulu, meninggalkan Adrian dan teman-temannya yang lain di kantin. Meski bel masuk belum berbunyi, cowok itu memilih kembali ke kelas saja. Cowok itu melangkah dengan tenang, tapi pandangannya kosong. Langkahnya tiba-tiba terhenti ketika sepatunya menginjak sesuatu. Cowok itu menunduk, dilihatnya sebuah kertas. Abid berusaha tidak peduli, tapi akhirnya, dipungutnya juga kertas itu.

Siapa yang membuang sampah sebesar ini di koridor? Sambil menghela napas, dia menuju tempat sampah. Abid baru saja akan membuang kertas itu ketika tangannya tanpa sengaja membalik kertas. Seketika itu juga dia tertegun.

Kertas itu berisi sebuah wajah, wajah yang sangat dikenalnya. Wajah yang begitu dekat dengannya. Abid mengedipkan mata beberapa kali, mengusir khayalan yang mungkin sedang tergantung di ujung mata. Ketika menyadari bahwa gambar itu nyata, Abid kembali tertegun.

Milik siapa ini? Dan kenapa ada wajah Aline dalam kertas itu?

Ditelitinya gambar itu baik-baik. Di sudut bawah ada sebuah nama dan tanggal, yang mungkin menunjukkan identitas pembuatnya. Nama yang asing, Abid sama sekali tidak mengenal nama itu. Tapi kenapa wajah Aline dilukis oleh orang itu?

Abid hanya bisa menelan pertanyaan-pertanyaannya. Cowok itu memandang sekelilingnya. Suasana cukup ramai, para murid sibuk dengan kegiatan masing-masing, mungkin saja pemiliknya adalah salah satu di antara mereka. Tapi tidak mungkin Abid bertanya satu per satu pada mereka semua soal kertas berisi gambar Aline ini, apalagi mereka semua adalah anak kelas sepuluh.

Abid memandang gambar yang ada di kertas itu lagi. Memandangi wajah yang terlukis di sana, membuat Abid ingin menyimpannya.

Cowok itu kemudian kembali melanjutkan langkahnya dengan kertas berwarna putih di tangannya.

***

Untuk kesekian kalinya Abid memandangi wajah Aline di kertas itu. Dalam beberapa detik saja, gambar itu menyedot Abid dalam pusaran kenangan. Memunculkan perasaan mendesak oleh kerinduan yang mendalam, juga kesedihan yang besar. Rasanya semua seperti mimpi. Hari-hari dilalui tanpa kehadiran gadis itu. Tanpa senyum juga tanpa canda gadis itu, Abid seperti hampa.

Tangan Abid menelusuri setiap goresan. Betapa dia ingin Aline bersamanya saat ini. Namun, lagi-lagi harapan sirna, karena Abid sesungguhnya menyadari hal itu mustahil terjadi.

Cowok itu menarik napas panjang.

Wajah Aline tampak begitu nyata. Seolah yang membuat gambar ini amat mengenal Aline, sampai lekuk garis di wajah Aline pun tak meleset seinci pun. Senyum khas Aline, seakan hidup dan bisa dilihatnya kembali.

Siapa yang membuat gambar ini?

Pertanyaan itu muncul lagi dibenaknya.

Pandangan Abid tertuju di sudut bawah kertas itu, dan membaca tulisan yang tertera di sana baik-baik.

-Fay. 20 agustus

***





Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro