Bad Bey 11

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

"Gabung IMAJI lagi maksudnya? Setelah diketawain sama si Hamzah dan temen-temannya tadi?"

Tawa keras Gio berhasil membuat wajah Bey kusut. Padahal ia sudah melupakan sejenak kejadian tadi siang yang membuatnya nyaris meregang nyawa di siang bolong.

Bey berpikir keras akan apa yang selanjutnya harus ia lakukan atas kejadian tadi siang. Melupakan kejadian tadi untuk selamanya atau bagaimana?

Dan Bey sudah memutuskan. Ia akan kembali ke IMAJI setelah mereka menertawakannya. Bey ingin tahu reaksi anggota IMAJI akan seperti apa jika di kajian nanti ia kembali hadir. Bey jamin! Mereka semua pasti akan tercengang.

"Bey! Woy!"

Bey tersadar dari lamunannya. "Eh, iya? Kenapa, Yo?"

"Lo gimana sih? Gue nanya, kok malah ngelamun. Seriusan mau masuk IMAJI lagi?"

"Serius, Yo!"

"Setelah lo tadi siang diketawain?"

"Iya."

Gio menahan napas. "Apa pentingnya sih bongkar kedok si Hamzah di depan si Atqi dengan lo repot-repot ikut IMAJI? Gak guna menurut gua! Buang-buang waktu, Bey. Apalagi orang-orang di sana malah ngetawain lo. Yakin lo mau masuk ke sana?"

Bey menata Gio serius. "Biar si Atqi gak sampe jatuh hati sama sikap sok baik si Hamzah ke dia. Gue gak mau Atqi salah pilih cowok." Bey penuh ambisi. "Gue terima kalau emang dia gak mau pacaran atau gak suka sama gue. Tapi, gue gak bisa terima kalau sampe Atqi salah pilih cowok buat deket sama dia. Gue gak bakal biarin siapa pun deketin dia kalau tuh orang sikapnya kayak si Hamzah!"

Gio melipat dua tangan di dada. Lagi-lagi ia harus menyaksikan betapa jatuh cintanya Bey pada sosok Atqi dengan memberikan perhatian dan perlindungan pada gadis itu secara diam-diam. Hal yang merepotkan menurut Gio. Tak penting.

Tapi, mengingat usia Bey yang masih remaja, Gio hanya bisa memaklumi. Apalagi sudah hampir dua tahun ini rasa suka Bey pada Atqi nyaris tak bisa digoyahkan. Keteguhan hati adiknya ini patut ia hargai, tapi bukan berarti Gio begitu saja setuju dengan keputusan Bey.

"Terserah lo deh." Gio bersikap tak acuh. Pura-pura tak peduli. Bisa menemukan adiknya dalam keadaan selamat di rumahnya saja ia sudah bersyukur. Mendengar cerita adiknya ini ugal-ugalan di siang hari, Gio nyaris tak bisa bernapas dengan tenang.

Sudah cukup. Ini saja sudah cukup. Gio tak mau lagi mendengarkan cerita Bey yang lagi-lagi menyangkut soal Atqi. Apa pun yang dibicarakan selalu saja ada Atqi di dalamnya.

"Mau ngajakin si Akmal juga?" tanya Gio. "Tadi dia bilang mau balik ke IMAJI lagi kalau emang lo mau ke sana. Katanya biar lo ada temen buat ibadah."

"Ibadah apaan? Sepanjang kajian dia malah tidur."

"Tumben! Biasanya elo yang ketiduran nyampe ditinggal anak-anak?"

Bey menyengir kuda. "Kekuatan cinta, Yo. Lirik Atqi dikit, kantuk gue langsung lenyap!"

Gio geleng-geleng kepala. Sesaat menyesal karena masih mau mengajak Bey berbincang. Ia buru-buru keluar dari rumah, tak mengatakan apa pun lagi. Sebelum Bey menyambung kalimatnya yang pastinya tentang Atqi lagi dan lagi.

Meski begitu, Gio tak bisa menyembunyikan rasa bahagia di hatinya. Melihat adik laki-laki satu-satunya tengah dilanda asmara, itu tak ubahnya bak angin segar di tengah badai besar yang menerjang beberapa tahun yang lalu.

Benar kata pepatah, roda kehidupan seseorang itu berputar. Ada di atas, kadang ada di bawah. Ada bahagia, tapi suatu waktu bisa juga dilanda kesedihan. Semua bergilir, berganti-ganti. Naasnya, tak ada yang tahu pasti akhir dari roda kehidupan ini akan berhenti atau tidak. Roda terus menggelinding, tak tentu arah, berputar-putar pada porosnya. Takdir Tuhan.

Gio berhenti beberapa langkah setelah ia keluar dari pintu rumah yang belum tertutup. Ekor matanya menyipit ketika ia melihat sosok tak asing berjalan sempoyongan mendekati rumahnya. Gio spontan melangkah mundur. Berdiri waspada. Begitu juga orang-orang yang hendak melewati rumahnya, mereka memilih balik badan dengan langkah terburu-buru.

Gio berdiri di ambang pintu dengan dua tangan terkepal erat ketika sosok tak asing itu berkaca pinggang di depan teras. Raut wajahnya kusut mesut. Matanya lebih lama terpejam ketimbang terbuka. Cara berdirinya tak tegap, oleng ke kiri dan ke kanan secara bergantian. Aroma menyengat tercium di hidung Gio yang langsung mengerutkan wajah menahan rasa mual.

"Bapak dari mana saja?" tanya Gio sengit. Ia menoleh ke arah dalam rumah sejenak. Tak ada Bey yang tadinya duduk di sofa. Ia lega.

Sosok tak asing yang tak lain adalah Ayah Gio dan Bey hanya menggeram tak jelas. Kepalanya terantuk namun kakinya masih mencoba berdiri tegap.

"Mana?" Tangan Bapak menengadah ke depan dada Gio. "Bapak butuh duit!" racaunya tak karuan. Setiap ia bicara, Gio harus menahan rasa mual akibat aroma napas Bapak yang tak sedap.

"Gak ada!"

Gio hendak berjalan melewati, abai. Tapi, Bapak dengan gesit menarik baju Gio, meremasnya erat hingga kaki Gio berjinjit di atas lantai.

"Jangan bohong!" Bapak terbatuk. Lagi-lagi Gio harus menahan aroma mulut Bapak yang tak sedap, tapi ia hanya mampu memalingkan wajah dengan ekspresi kusut. Enggan melawan. "Bapak cuma pinjam sebentar saja!" teriak Bapak nyalang.

Gio menepis kasar tangan Bapak yang mencengkeramnya erat. Sampai-sampai baju Gio robek. "Uang yang Gio kasih minggu lalu, Bapak kemanain?" balas Gio dengan nada tinggi.

Ia kepalang kesal. Apalagi ketika beberapa warga berjalan melewati rumahnya dengan tatapan tajam. Gio enggan berlama-lama berhadapan dengan Bapak. Buru-buru Gio pergi, sengaja menabrak Bapak yang tengah berdiri dengan kaki sempoyongan.

"Mau ke mana kamu, Gio? Balik sini! Gio!"

Teriakan Bapak tak digubris. Gio terus berjalan menjauh dari rumah. Sementara Bapak kini tengah tersungkur di lantai, telentang dengan gerutuan tak jelas. Perlahan matanya terpejam dengan tetap menggumamkan nama Gio.

Bey mengintip dari balik pintu kamar sebentar. Saat melihat Bapaknya tergeletak tak berdaya di teras, Bey memberanikan diri keluar. Ia berdiri di depan Bapak yang sudah mendengkur tanpa ekspresi. Tak beberapa lama, ia mendengar ponselnya berdering.

Bey merogoh saku. Tak perlu ia melihat siapa yang menelepon sebelum kemudian menerima panggilan tersebut.

"Bapak gak apa-apa, Yo. Biar gue yang urus," kata Bey enteng. "Setelah ini gue ke basecamp."

"Bawain baju gue satu. Yang ini robek lagi," jawab Bey di seberang telepon sana.

"Oke."

Bey menghela napas panjang. Arah mata yang semula menatap Bapak, kini teralih menatap beberapa warga yang berjalan tanpa sengaja (atau memang sengaja) di depan rumahnya. Delikan tajam mereka dibalas Bey dengan delikan yang sama. Tatapan sengit mereka pun Bey balas dengan tatapan serupa. Cara mereka memasang wajah saat melihat ke arahnya pun, Bey balas dengan ekspresi wajah serupa.

"Pak, masuk!" Bey menggoyang-goyangkan tubuh Bapak yang sudah tertidur. "Tidurnya di dalam aja. Jangan di sini!"

Bey menarik tangan Bapak, mati-matian menarik tubuh Bapak agar bangkit dari tidurnya. Ia susah payah membopong Bapak masuk ke dalam rumah. Sebelum kemudian Bey membiarkan Bapak terjatuh dengan sendirinya di sofa. 

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro