Bad Bey 20

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Dulunya. Di rumah kecil itu lebih sering terdengar tawa dan canda. Ada Ibu yang tak pernah bosan mencari topik agar setiap anggota rumah ini tak membisu. Semua berkontribusi membuat kebisingan, termasuk Bapak yang meskipun kelelahan sehabis kerja seharian, raut wajah bahagianya tak pernah berhenti terbit.

Sayangnya, kebahagiaan dan kesedihan berpindah posisi. Roda hidup yang berputar menggiring kebahagiaan ke titik tak terjangkau, sementara yang hadir hanyalah kesedihan.

Tak ada yang pernah mengira nasib dan takdir seperti apa yang hendak menyambut detik berikutnya. Misteri Tuhan tak pernah bisa dipecahkan oleh siapa pun. Sulit diterka. Apalagi oleh Gio dan Bey yang hendak beranjak remaja. Ketika yang mereka tahu semuanya baik-baik saja, nyatanya sebuah keadaan menggiring mereka ke titik tidak baik-baik saja.

Bapak kena PHK dari pekerjaannya. Ia frustrasi. Kelimpungan mencari nafkah. Bey dan Gio tak mengerti arti penting sebuah pekerjaan bagi Bapak. Tapi akibat yang mereka tahu, senyuman selepas lelah di wajah Bapak tak lagi terbit. Dua ujung bibir Bapak tak pernah lagi terangkt secara bersamaan, malah lebih banyak membentuk lengkungan ke bawah. Keningnya sering kali bertaut. Tatapannya tampak seperti orang mengantuk.

Bapak mulai mabuk-mabukan. Tak jelas dari mana ia belajar seperti itu. Aroma kehangatan berganti aroma alkohol yang menyengat. Ibu lebih sering mengomel ketimbang memancing semua anggota keluarga untuk tertawa. Dapur tak lagi bising oleh kesibukan Ibu bersama alat-alat masaknya, tapi oleh percekcokan Bapak dan Ibu yang nyaris tiada berujung. Lebih bising ketimbang ketika Ibu kelimpungan karena masakannya gosong.

Semua berubah. Sangat. Sampai Bey dan Gio mengira ini sebuah hanya mimpi buruk. Tapi, kenapa terlalu lama?

Mereka ingin bangun. Bangun dari mimpi buruk yang seolah tiada berujung.

Ketika Ibu memutuskan pergi, tanpa aba-aba, tanpa isyarat, mimpi buruk ini semakin terasa panjang. Tak berujung. Semuanya menjadi gelap gulita. Tak jelas ke mana arah kehidupan yang harus mereka tuju.

Pergi ... atau ... tetap di samping Bapak?

Sisa perjalanan malam itu, Bey dan Gio hanya saling diam. Bergelut dengan kenangan yang tiba-tiba saja muncul.

Tidak!

Sebenarnya, kenangan itu selalu ada. Hanya saja mereka menolak mengingatnya.

"Pulang atau ke mana, Bey?" tanya Gio.

Bey yang sedang melamun berusaha bereaksi. "Nginep di rumah si Yuta aja. Gimana? Katanya Bapak si Yuta lagi gak pergi dinas, Yo."

"Bagus!"

Rumah Yuta sering kali menjadi pilihan terbaik ketika mereka harus menghindari Bapak. Sementara saja. Bey dan Gio membutuhkan tempat tenang meski hanya semalam saja.

***

Pagi itu Bey dan Gio berdiri cukup lama di ambang pintu rumah. Saling bersitatap dengan raut wajah kusut. Tampak ada dua buah sendal yang teronggok sebarang di depan pintu.

"Lo yakin mau sekolah?" tanya Gio sinis. Kalau bukan karena Bey yang bersikeras ingin pulang demi seragam sekolahnya, tentu Gio lebih memilih bermalam di rumah Yuta untuk sehari lagi. "Tumben lo jadi rajin begini!"

Wajah Bey kembang kempis. "Atqi, Yo!" sela Bey sekenanya.

Gio menggeleng tak peduli. Alasan klise yang Bey lontarkan enggan ia bahas lebih jauh lagi.

Takut-rakut Gio membuka pintu rumah. Tak dikunci karena memang kuncinya sudah rusak. Mereka tak takut rumah kemalingan karena tak ada barang berharga apa pun di dalamnya yang menarik perhatian pencuri. Selain sofa butut penuh kenangan yang tentu saja hanya Bey dan Gio yang mengerti berapa besar harganya.

Tak ada Bapak di sofa. Tapi, bukan berarti hal itu melegakan mereka berdua. Buru-buru Bey masuk ke dalam kamarnya, dengan hati-hati membuka pintu kamar. Disusul oleh Gio yang juga ikut masuk ke dalam kamar tersebut. Kamar miliknya dan Bey yang dipakai berdua.

Tepat ketika Gio hendak melangkah masuk ke dalam kamar, Bapak tiba-tiba muncul dari pintu kamar lain. Mata nyalangnya melotot sempurna.

"Habis dari mana saja kalian? Huh! Berbuat onar lagi?"

"Bukan urusan Bapak," balasnya ketus. Gio melirik Bey sekilas. "Mau berangkat sekolah gak?" sergapnya mengingatnya.

Bey terburu-buru mengambil baju dan tas. Asal-asalan. Niat awal akan bersiap-siap di sana, Bey tampaknya urung melakukannya.

Tanpa mengatakan apa pun lagi, ia segera berjalan keluar lagi dari rumah. Membawa serta merta keperluan sekolahnya. Bey terburu-buru menjauh dari rumah. Tak lama berselang, ia mendengar suara dari arah belakang. Saat ia menoleh, pintu rumah sudah tertutup. Bey berdiri sejenak, menatap pintu itu dengan mata nanar. Sebelum kemudian ia tetap melangkahkan kakinya lagi.

Menjauh dari rumah.

***

Atqi dibuat kaget oleh keberadaan Bey yang muncul lebih awal dari biasanya. Di saat kelas masih sangat lengang. Bey terduduk di meja dengan posisi telungkup, tampak tertidur seperti biasanya.

Ketika Atqi sudah mencapai kursinya, duduk dengan posisi membelakangi Bey, ia merasakan sebuah sentuhan di bahu. Atqi menoleh. Ia mendapati Bey tengah mengucek matanya. Terkaan Atqi bahwa ia benar-benar tertidur tak meleset.

"Kenapa?" tanya Atqi tak acuh. Memilih membelakangi Bey lagi.

"Ada PR gak hari ini?"

"Ada."

"PR apa?"

"Bikin rangkuman."

"Pelajaran?"

"Sejarah."

Bey menopang dagu. Puas tak puas dengan jawaban Atqi. Memang bukan hal yang spesial, tapi setidaknya Bey bisa mengalihkan pikirannya sejenak dari kejadian tadi. Mendengar suara Atqi sedikit menyenangkan hati. Bey sadar bahwa semua yang sudah terjadi bukanlah mimpi, tapi kenyataan pahit yang harus ia lalui.

Bey membanting punggungnya ke kursi. Matanya lekat memandang Atqi yang memunggunginya.

"Atqi?" panggil Bey. Suaranya terdengar lembut.

"Hmm? Apa?" balas Atqi yang masih bersikap tak acuh.

"Maaf," katanya singkat.

Atqi menoleh perlahan padanya. "Maaf?" Keningnya bertaut. "Maaf untuk apa?"

"Ucapanku yang kemarin waktu di kajian. Karena udah lancang." Mata Bey tertunduk, tak berani lama-lama menatap Atqi yang kini memerhatikannya.

Hening. Tak ada suara.

Atqi diam saja. Cukup lama. Membuat Bey tahu bahwa ia memang sudah berbuat salah pada Atqi.

"Terima kasih," balas Atqi pendek.

"Kok terima kasih?" tanya Bey heran.

Atqi menaikkan bahunya bersamaan. "Terima kasih aja. Pertama, karena sudah meminta maaf. Kedua ... karena sudah berani menegurku."

"Kamu gak marah?"

Atqi menggeleng. "Enggak. "

Semakin lama ia menatap Atqi, Bey malah jadi teringat kejadian tadi pagi dan hari kemarin. Tentang kehidupan keluarganya yang tak seharmonis keluarga Atqi. Selama menyukai Atqi, Bey sedikitnya tahu bagaimana keluarga yang dimiliki Atqi. Semua berbanding terbalik dengan kehidupan keluarganya.

Tak jarang Bey merasa terhibur saat melihat Atqi dengan senyuman mengembang bersalaman dengan orang tuanya. Atau ketika Ibunya menyambut kehadiran dan kepulangan Atqi. Atau saat Atqi kena omel Ibu atau Ayahnya karena pulang kehujanan atau terlambat.

Bey menyaksikan sisi kehidupan lain dari Atqi selain di sekolah. Begitu menghibur. Membuat iri sekaligus cemburu.

"Atqi." Lagi. Bey memanggil nama gadis itu.

"Hm? Apa sih, Bey?" balas Atqi. Mulai merasa jengkel.

"Aku menyukaimu."

Atqi mendelik. "Terima kasih," balasnya penuh nada penekanan.

"Semua tentangmu," sambung Bey lagi. Tak peduli oleh lirikan sinis Atqi padanya. Seulas senyum di wajah Bey terbit. "Aku menyukainya."

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro