Bad Bey 32

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Suasana hati Bey tampaknya sedang baik. Ia menyapa rekan-rekannya dengan wajah semringah. Kemunculannya kini mendapatkan sambutan baik. Keberhasilan Bey memberikan balasan telak pada anak SMK 2 yang berani mencelakai Yuta dan Akmal kemarin malam bak angin segar yang berembus di tanah gersang. Gio pun mengakui ide Bey begitu berani meski berisiko.

"Mereka pasti kagak bakalan berani lapor Polisi!"

"Jelas! Itu sama aja kayak jerumusin diri sendiri ke lubang buaya."

"Kita cap mereka cemen aja kalau berani maen lapor Polisi!"

Sahut-menyahut rekan-rekannya masih seputar kejadian kemarin yang membuat Bey merasa kehadirannya di sini diakui kembali. Terutama oleh Gio yang juga kembali mau menyapanya, mengajaknya berbincang, dan juga bercanda.

Sampai di rumah tengah malam itu, Bey dan Gio tak hentinya berbagi cerita seolah keduanya sudah lama tak bertemu. Semua seputar aktivitas geng motor yang beberapa kali sempat Bey lewatkan.

"Yo!"

"Hm?"

Gio membuka perlahan pintu rumah. Menoleh pada Bey sekilas sebelum melangkahkan kakinya masuk.

"Gue mau tetep ada di geng, tapi gue juga tetep ikut IMAJI."

Mata Gio melirik sinis. Penuh makna tak suka yang berhasil ditangkap oleh Bey.

"Jangan bahas itu lagi di depan gue kalau elo emang mau tetep di sini! Selama lo masih menganggap kita semua teman, gue sebagai saudara lo, gue persilakan lo tetap di sini. Tapi," Gio menjeda kalimatnya, diganti dengan pandangan berpaling dari Bey, "kalau lo emang gak suka ada di sini, gak ada pengecualian buat lo kalau emang mau keluar dari sini. Lo ngerti kan maksud gue?"

Bey menelan ludah. Mendengarkan dengan begitu saksama perkataan Gio yang tentu saja bukan sebuah candaan. Itu adalah peringatan keras. Tegas. Yang tentu saja tak mungkin Bey abaikan.

Akan Bey ingat peringatan Gio dengan baik.

***

"Siapa pun boleh gabung di IMAJI, kan?"

Hamzah celingukan, memandang sekitar atap sekolah yang lengang. Cukup terkejut ketika Atqi ingin mengajaknya berbicara berdua saja sepulang sekolah.

"Iya." Hamzah sedikit bingung. Pertanyaan Atqi terasa ganjil. "Kok kamu nanyanya gitu?"

"Termasuk Bey?"

Hamzah memberengut. "Ya. Dia bukannya udah gabung di IMAJI? Kenapa jadi bahas dia?"

"Itu artinya, siapa pun boleh ikut IMAJI, tanpa peduli mereka seperti apa. Dan," Atqi menjeda kalimatnya, menarik napasnya cukup panjang, "kamu gak perlu menyinggung soal pergaulan Bey dan geng motornya yang sudah menjadi rahasia umum. Kamu gak perlu nyudutin dia hanya karena kamu gak suka sama geng motornya. Selama ini, Bey mengikuti semua kegiatan IMAJI dengan baik, kan?"

"Kamu ngomong apa sih, Qi?" Hamzah terkekeh. Tak mengerti apa yang tengah dibicarakan Atqi sebenarnya.

Entah pura-pura tak mengerti?

"Jangan buat Bey ngerasa gak nyaman di IMAJI. Entah karena tingkah anggota lain yang kadang ngejelekin dia di belakang, masih ogah deket-deket Bey karena takut sama pergaulan dia sebagai anak geng motor, tapi Bey tetep bertahan di organisasi ini dengan baik. Buat apa sih kamu jelek-jelekkin pergaulan dia sama geng motornya? Selama ini Bey dan geng motornya itu gak pernah bikin organisasi kita dalam masalah, kan?"

"Kamu belain dia?" Hamzah cukup kecewa mendengar jawaban Atqi. Ia tak mengira jika ajakan untuk bicara berdua ternyata malah membahas soal Bey. Dari cara bicara Atqi, sepertinya gadis itu tahu percakapan Bey dengannya kemarin. Entah lewat menguping atau ... Bey sendiri yang mengatakannya?

"Aku bukannya belain dia. Tapi—"

"Selama ini dia emang bersikap baik, tapi kita gak tahu nantinya gimana, kan? Bisa jadi si Bey tiba-tiba berbuat ulah yang bikin IMAJI rugi. Dan sebagai ketua, udah jadi tugasku menjaga anggota IMAJI agar tak sampai berbuat hal di luar batas dengan cara bikin si Bey gak bergaul lagi sama geng motornya."

"Tapi selama ini dia—"

"Kamu mau tanggung jawab kalau si Bey berbuat hal negatif yang merugikan IMAJI atau sekolah lagi?" potong Hamzah cepat. Dia tersenyum tipis. "Oh ... ya ... wajar aja sih kalau kamu belain dia. Dia pasti sikapnya baik di depan kamu, Atqi. Biar kamu tertarik sama dia. Gak mungkin dia nunjukkin kejelekannya biar kamu tertarik dan suka, kan? Kayak contohnya dia masuk IMAJI. Kalau tujuannya bukan demi menarik perhatian kamu, emang apa lagi?"

Perkataan Hamzah memang tak sepenuhnya salah, tapi bukan berarti semuanya juga benar. Meski selama ini Bey bersikap baik padanya, tak jarang Atqi juga tersulut emosi dengan tindak-tanduk Bey yang dikira orang sebagai bentuk perhatian, tanda cinta, atau gelagat cowok yang tengah dimabuk asmara. Di mata Atqi, Bey memiliki sisi baik dan buruk. Tak selalu sikapnya yang baik menurut orang lain, maka menurut Atqi juga baik. Seperti yang dituduhkan Hamzah barusan.

"Terus apa masalahnya kalau dia masuk IMAJI demi aku? Jawab pertanyaanku dengan tegas, Hamzah. Selama Bey ada di IMAJI, apa dia melakukan sesuatu yang merugikan organisasi ini? Apa dia dan geng motornya bikin IMAJI rugi?"

"Sekarang emang enggak. Tapi nanti si Bey bisa aja kan—"

"Cukup!" potong Atqi cepat. Ia menyeringai sinis. "Apa ini cara berpikir seorang ketua IMAJI? Menuduh sesuatu yang belum tentu terjadi? Menjelek-jelekkan seseorang tanpa bukti?"

Atqi membuang muka. Jengah menatap wajah Hamzah terlalu lama, tapi ia belum cukup puas mengungkapkan isi hati dan pikirannya terkait masalah Bey.

"Pak Anwar gak ngajarin kita kayak gini, kan? Agama bahkan meminta kita untuk berprasangka baik terhadap orang. Apalagi pada mereka yang mau berubah dan belajar menjadi pribadi yang lebih baik seperti Bey, harusnya kita bisa merangkul mereka dengan cara yang baik."

"Justru aku sedang merangkul dia dengan cara yang baik, Atqi. Aku mau dia jauh dari pengaruh buruk geng motornya."

"Tapi cara kamu itu malah bikin Bey kesel dan marah. Dia gak terima kamu jelek-jelekkin geng motornya. Kamu harusnya tahu artinya apa!"

"Memangnya apa?"

Atqi mendesah frustrasi. "Seberapa banyak yang kamu ketahui tentang temen geng motor Bey? Ada lagi yang kamu kenal selain Akmal dan Yuta?"

Hamzah bungkam. Tak mampu menjawab pertanyaan Atqi.

"Enggak, kan? Kamu hanya tahu Akmal sama Yuta aja. Kamu juga cuma tahunya dia suka ugal-ugalan, katanya pernah ditangkep Polisi, karena sering bolak-balik guru BK, tapi gak tahu apa yang bikin Bey betah temenan sama geng motornya yang jelas-jelas udah buruk di mata orang. Kamu juga gak tahu kan kalau ketua geng motornya itu Abangnya Bey?"

Mata Hamzah membola. Apa yang baru dikatakan oleh Atqi nyaris seperti sebuah bualan.

"Dari mana kamu tahu itu?" tanya Hamzah penuh curiga. "Kamu ... anggota geng motor juga?"

Atqi nyaris melayangkan tangannya yang sudah terkepal ke muka Hamzah. Kalau saja ia tak cepat-cepat menyadari kemunculan Bey yang datang ke atap.

"Bey?" Atqi melirik Hamzah sinis. "Kamu suruh dia ke sini?"

Hamzah terlambat menjawab ketika tiba-tiba sebuah tinju melayang ke wajahnya. Atqi menutup mulut. Terkejut melihat Bey memukul Hamzah dengan gerakan cepat. Padahal beberapa detik lalu Atqi yakin kalau Bey masih berada dua meter dari mereka.

Hamzah tersungkur. Bey berdiri membelakangi Atqi dengan memasang raut wajah serius. Ketika Hamzah mencoba berdiri, Bey memutar badannya menghadap Atqi. Bola mata gadis itu membola sempurna.

"Bey ...," panggil Atqi lirih. Terbata-bata entah hendak mengatakan apa.

"Pulang!" seru Bey tegas. "Sekarang!"

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro