Bad Bey 4

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Tahun 2008

Siang itu hujan turun deras. Ruang-ruang kelas sudah kosong. Bey saat itu baru keluar dari kelasnya, ia yang paling terakhir berada di sana. Jangan ditanya pelajaran terakhir tadi apa, karena Bey pasti tak akan ingat. Tidurnya terlalu lelap dan nyaris tanpa gangguan sedikit pun. Kalau sudah begitu, Yuta sekali pun enggan menunggu atau mengajaknya pulang bersama. Bey pasti ditinggal sendirian saja di kelas.

Ketika Bey tiba di tempat parkir sekolah, sejenak ia terpaku melihat seseorang tengah berada di dekat motornya; seorang gadis berhijab dengan kepala menengadah ke langit-langit, menatap hujan lekat. Mata Bey bergerilya ke sekeliling. Tak ada siapa pun di sana kecuali gadis itu, motornya, dan dirinya.

Bey berjalan mendekat dengan penuh curiga, mendekati gadis berhijab yang ternyata menyadari kehadirannya. Tatapan lurus gadis itu membuat Bey semakin mempercepat langkahnya untuk mendekat.

Bey dan gadis itu saling melirik. Tak berbicara, apa lagi bertegur sapa. Mata awas gadis itu yang menatapnya sengit membuat Bey memilih buru-buru menaiki motornya meski harus diguyur hujan.

“Itu motor kamu?”

Si gadis bersuara tepat saat Bey sudah menaiki motornya. Kadung basah kuyup. Kunci motor yang masih disaku belum ia keluarkan. “Iya. Ini motorku. Kenapa?” balas Bey tak acuh.

“Coba lihat di sana!” Si gadis mengangkat ujung jarinya, menunjuk ke motor Bey.

Bey sedikit menunduk ke badan motornya. Mencoba menerka ke arah mana tangan si gadis itu menunjuk. “Apaan?”

“Kabelnya putus. Gak lihat?”

Bey turun dari motornya. Berjongkok di depan motornya, mencari apa yang dimaksud si gadis. “Anjir! Sialan!” umpatnya kemudian.

Bey menoleh sinis pada si gadis, siap menanyai perihal kondisi motornya. Tapi, belum sempat Bey bertanya, si gadis sudah lebih dulu membuka mulutnya.

“Ada beberapa orang asing tadi di sini, pas aku mau pulang habis latihan Voli sama anak-anak ekskul. Dari seragamnya kayak anak SMK 2. Pas aku samperin, mereka kabur. Dan setelah aku cari tahu kenapa mereka ngerumunin motor kamu, ternyata mereka mutusin kabel-kabelnya,” jelas si gadis.

Bey berkaca pinggang di bawah guyuran hujan. Satu tangannya menyeka wajahnya yang basah. Ia menoleh ke sekeliling dan tetap tak menemukan siapa pun selain gadis yang ada di hadapannya.

“Terus, kamu ngapain di sini sendirian? Gak pulang?” tanya Bey pada si gadis. “Atau karena kamu gak bawa payung?”

“Mau.”

Si gadis membalik ransel punggungnya, membukanya, lalu mengeluarkan sebuah payung dari dalamnya. Bey melihat itu dengan mata membola, keningnya saling bertaut keheranan.

Ketika si gadis baru beberapa langkah beranjak dari tempatnya tadi, Bey dengan terburu-buru mencegat. Langkah gadis itu terhenti.

“Kamu … dari tadi di sini karena nungguin yang punya motor ini?” tanya Bey ragu, terbata-bata.
Atqi mengangguk. “Iya.”

“Kenapa?”

“Buat ngasih tahu yang punya motor kalau motornya habis dijailin orang asing. Ada yang salah?”

Bey tersenyum tipis dengan sesekali menyeka wajahnya yang basah. “Dan sekarang kamu mau pulang setelah ngasih tahu aku soal ini doang?”

“Iya.”

Si gadis sudah siap berjalan lagi melewati Bey, tapi Bey kembali menghadang langkahnya. Tangan Bey terulur tepat ke depan gadis itu.

“Bey,” kata Bey singkat. “Nama kamu siapa?”

“Atqi,” balas si gadis dengan mengabaikan uluran tangan Bey. Ia berjalan melewati lelaki itu dengan langkah lebih cepat. Takut jika Bey kembali menghadang langkahnya.

Bey balik badan. Hendak mengejar, namun urung ia lakukan ketika melihat Atqi setengah berlari keluar dari area parkir.

“Atqi!” panggil Bey yang seketika membuat langkah Atqi terhenti. Gadis itu menoleh padanya. “Kelas berapa kamu?” teriak Bey lantang.

“Sepuluh B!”

Mendengar balasan dari Atqi, Bey seketika mengacungkan ibu jarinya ke udara. Lalu, ia melambai pada Atqi yang kembali melangkah pergi, keluar dari area sekolah.

Keesokan harinya, Bey yang biasanya lebih suka tidur di kelas ketika pelajaran berlangsung, mendadak membuka matanya lebar-lebar. Pintu keluar kelas lebih sering diliriknya. Mata nyalangnya ia arahkan pada Guru yang sedang mengampu di depan kelas, bermaksud untuk menakut-nakuti. Sengaja. Kali saja dengan cara itu jam pelajaran bisa berakhir dengan cepat.

Belum juga sang Guru berhasil keluar dari pintu kelas setelah pelajaran usai, Bey sudah berlari mendahului, melesat keluar kelas sambil melemparkan senyum semringah pada sang Guru yang tengah mengelus dadanya. Kaget.

Bey berlari di koridor, berbaur dengan siswa lain yang juga baru keluar dari kelasnya. Saat melihat papan nama dengan tulisan ‘X-B’, Bey cepat-cepat masuk ke ruang kelas itu. Didapatinya ruangan itu masih dipenuhi para siswa yang masih merapikan buku-bukunya.

Mata Bey bergerilya ke setiap wajah para siswa, mencari sosok gadis berhijab bernama Atqi yang kemarin ditemui. Bibir Bey tersungging ketika menemukan sosok tersebut. Ia berjalan dengan mantap ke sudut ruangan, di mana di sana ada empat orang gadis berhijab tengah duduk saling berhadapan.

“Hai, Atqi!” sapa Bey ramah. “Kantin yuk! Aku yang traktir. Tapi, bakso sama teh manis aja. Jangan pesen yang lain. Gimana?”

Tiga gadis lain yang berada di dekat Atqi saling sikut-menyikut. Mata mereka nyaris tak bisa tertutup karena terlalu fokus melihat ke arah Bey yang berdiri di depan mereka. Tambahannya, Bey memanggil nama temannya dengan lantang.

“Qi, kamu kenal dia?” tanya Hanan yang berada tepat di samping Atqi. Setengah melotot dia menatap Atqi. “Dia kan anak geng motor itu …,” katanya setengah berbisik, “yang pernah tawuran sama anak SMK 2 bulan lalu!”

Atqi mengangguk. “Iya. Tahu kok. Terus kenapa?”

Hanan menggigit bibirnya gemas. Ia melirik dua temannya yang lain yang ternyata sudah bangkit dari tempat duduk mereka, saling berpegangan tangan dengan menjaga jarak dari Bey.

Bey yang mendengar percakapan singkat itu teringat akan pertemuannya dengan Atqi kemarin. Percakapan singkat tentang orang asing yang memutus kabel motornya, juga tentang Atqi yang dengan lantang menyebutkan siswa SMK 2 sebagai pelakunya.

Bey tersenyum simpul. Tak beranjak dari tempat itu juga tak ikut menyela meski tahu dirinya tengah dibicarakan. Ia tetap menunggu tanggapan dari Atqi atas ajakannya tadi.

“Jadi ... gimana? Mau ke kantin gak?” Bey berpura-pura tak peduli pada obrolan Atqi dan temannya. “Boleh ajak teman-temannya juga deh kalau mau. Tapi, gak ikut ditraktir.”

Meski Bey sudah tertawa untuk memecah kecanggungan, Atqi dan teman-temannya hanya bereaksi tak acuh.

“Enggak deh, Bey. Makasih. Aku bawa bekel makan dari rumah. Jadi, gak perlu ke kantin.”

Atqi tak asal memberikan tanggapan. Ia mengeluarkan kotak makan sing dari bawah meja, lengkap dengan satu botol minuman bergambar Doraemon.

Bey garuk-garuk kepala. “Oh ... oke. Lain kali aku traktir kamu kalau kamu gak bawa bekel.”

Bey dengan berat hati pergi, melangkah perlahan bersama seulas senyum yang enggan meredup. Wajahnya mengerut keras ketika lagi-lagi ia mendengar percakapan Atqi dan teman-temannya membicarakannya lagi.

“Kok kamu bisa kenal dia?” serbu Hanan lagi.

“Kamu gak takut sama dia, Qi?” Maya sampai memasang raut wajah khawatir. Ia terkejut bukan main karena Bey mengenal Atqi entah bagaimana caranya.

“Hati-hati, Atqi. Dia itu anak geng motor! Jauh-jauh aja dari dia. Daripada pengaruh buruknya jadi ke kamu juga.” Airin tak kalah takut dan juga khawatir.

“Awas aja kalau dia berani macem-macem sama kamu! Jangan mau terima traktiran dia. Nanti kamu malah diapa-apain lagi,” ancam Hanan.

Atqi belum menjawab rentetan pertanyaan dan peringatan teman-temannya itu sampai Bey keluar dari kelas. Ia dilanda penasaran, ingin tahu tanggapan Atqi tentangnya dan Bey akan menemui Atqi lagi nanti.

Esok, lusa, dan seterusnya.

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro