Bab 2

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Reiki melompat dari kursinya begitu mendengar bel istirahat berbunyi. Setelah menemui Pak Surya, ia tidak bisa tenang menunggu jam istirahat. Pikirannya tentang sosok cewek yang akan menjadi mentornya itu terus saja berkelebat. Kacamata kuda, buku, rambut panjang, kuncir kuda, dan segala hal yang bisa dikaitkan dengan cewek culun, mengitari kepalanya.

Terkadang ia bergidik di sela lamunannya membayangkan kalau suatu saat ia jatuh hati pada cewek bernama Xavera itu. Seumur hidup, Reiki banyak bertemu dan didekati cewek populer di sekolah. Ketampanan dan kebiasaanya makan lolipop sudah dikenal sejak SMP. Bahkan saat ospek di SMA Negeri 5 Batam, banyak cewek yang meminta selfie bersamanya. Namun, tidak satu pun dari mereka yang membuat Reiki tertarik.

Bagi Reiki, cewek adalah sesuatu yang harus dicari, diperjuangkan dan dijaga. Tentu, siapa pun yang berusaha mendekati Reiki, dapat dipastikan cewek itu bukan tipenya.

Reiki nyaris keluar dari pintu saat Evano memanggilnya.

"Woi, Ki, mau ke mana lo?"

Reiki menoleh. Evano baru saja memasukkan kembali bukunya ke tas, kemudian berlari menyusul Reiki di ambang pintu.

"Gue ada urusan penting, Van."

Reiki beranjak pergi ketika Evano beranjak menyusulnya. Langkahnya panjang, seolah ia takut kehilangan kesempatan. Padahal ia bisa menemui Xavera selama jam istirahat, atau di jam pulang sekolah.

"Buru-buru, amat. Mau ke mana, sih?"

Reiki mengabaikan teriakan Evano yang berlari di belakangnya. Pertemuannya dengan Xavera jauh lebih penting daripada menjelaskan permasalahannya pada Evano. Reiki tiba di kelas X1 saat kelas itu nyaris kosong. Hanya ada beberapa siswa yang masih berdiam diri di kelas. Beberapa duduk di kursi membentuk gerombolan. Pasti mereka nitip makanan ke temennya, pikir Reiki.

Cowok itu mengedarkan pandangan ke semua siswi di sana. Namun, tidak satu pun yang menarik perhatiannya. Wajah-wajah keheranan yang menatap ke arahnya sama sekali tidak menunjukkan karakteristik seorang Xavera yang ada di kepalanya.

Siswi yang bergerombol di sana mulai berbisik. Reiki mencoba mengabaikan mereka. Sesekali ia menarik keluar lolipop di mulutnya, kemudian mendengus. Salah seorang siswi bangkit berdiri, membuat Reiki memusatkan perhatian padanya. Ia tidak mengenal cewek itu, tetapi sepertinya mereka semua tahu siapa cowok yang celingukan di kelas mereka.

"Cari siapa?" Siswi berambut model bob itu mengajukan pertanyaan yang membuat Reiki sedikit tergagap.

"Ah, Xavera yang mana, ya?"

Reiki mengusap tengkuk, berusaha mengurangi kegugupan yang mendadak menyerangnya. Entah apa yang terjadi padanya. Mungkinkah karena pikirannya yang sedari tadi dikuasai bayangan Xavera atau karena ia sendirian? Pilihan kedua lebih memungkinkan. Reiki memang siswa yang nakal, tetapi ia tidak terbiasa ke mana-mana seorang diri. Selalu ada Evano dan Arvin yang menemaninya. Dan sekarang, mereka tidak ada di sekitarnya.

Reiki kembali memasukkan lolipopnya ke mulut, menunggu dengan tak sabar saat siswi itu membisikkan sesuatu ke kerumunan. Astaga, bahkan mereka menyempatkan diri untuk mendiskusikan pertanyaanku? Apakah semua cewek memang suka gibah? pikir Reiki.

Akhirnya cewek yang tadi bertanya kembali menoleh pada Reiki.

"Xavera udah pergi ke perpustakaan," jawabnya santai.

Reiki menatap tajam pada kerumunan siswi itu. Apakah mereka bisa dipercaya? Sebelumnya mereka berdiskusi sebelum menjawab pertanyaan Reiki, mungkin saja mereka berniat usil pada cowok yang dikenal gemoy itu. Namun, tak ada waktu untuk memikirkan itu. Reiki menarik lolipop dari mulutnya.

"Bilang kek dari tadi," ucap Reiki sedikit membentak. "Lain kali orang nanya dijawab, ya. Jangan diskusi. Lo kira kerja kelompok."

Reiki segera beranjak menuju lantai tiga. Ia tak lagi memedulikan geraman tak suka dari siswi yang ditinggalkannya di kelas X1. Ia menaiki anak tangga di sebelah kelas X1. Beruntung seakali, ia tak perlu berjalan lebih jauh untuk menggapai anak tangga menuju lantai 3.

Setibanya di perpustakaan, masalah Reiki kini berubah. Setelah meminta akses izin masuk ke penjaga perpustakaan, ia mengalami kesulitan ketika harus mengenali sederet siswa-siswi yang tengah membaca di sana. Bukan hanya itu, sebelum masuk, Reiki terpaksa membuang lolipopnya ke tong sampah karena larangan membawa makanan ke perpustakaan. Namun, larangan adalah perintah. Reiki mengambil lolipop baru, kemudian diam-diam memasukkannya ke mulut saat ia mengitari setiap meja.

Sesekali ia menyipitkan mata, membaca setiap name tag siswi yang membaca dengan tenang. Terkadang ia ikut tersenyum saat siswi yang dilihatnya tersenyum pada buku yang dibacanya. Sampai ke meja terakhir, Reiki tidak menemukan siswi bernama Xavera. Apakah ia benar-benar dikerjai siswi tadi? Kalau benar begitu, mereka akan mendapat ganjarannya.

Namun, saat hendak beranjak pergi, ekor mata Reiki menangkap sosok siswi mengenakan hoodie berwarna baby pink di antara deretan rak buku. Rambut hitamnya tergerai hingga ke pinggang. Sejenak Reiki kagum melihat rambut lebat cewek itu. Postur tubuhnya yang ramping, jemarinya yang sedikit panjang. Barangkali tingginya hanya beberapa senti lebih pendek dari Reiki.

Reiki cukup yakin, cewek itu yang bernama Xavera. Ia berjalan perlahan, dan berdiri tepat di belakang cewek yang sedari tadi sibuk mengambil buku di rak. Entah ia tidak sadar keberadaan Reiki atau memang tidak mau tahu. Di tangannya ada satu buku pelajaran matematika, dan kini ia tengah membaca setiap punggung buku di rak buku sains. Reiki menarik lolipop dari mulut, kemudian menarik napas.

"Lo yang namanya Xavera, kan?"

Cewek itu berhenti menunjuk punggung buku di rak. Ia menarik napas, merasa kesal karena konsentrasinya di ganggu orang tak dikenal yang kini berdiri di sebelahnya. Tanpa menoleh, Xavera kembali membaca setiap punggung buku dalam hati.

"Ya, kenapa?"

Reiki merasa lega, akhirnya ia menemukan orang yang ia cari. Namun, ia sejenak terdiam. Ia kembali memasukkan lolipop ke mulut, mengamati cewek itu komat-kamit seperti merapalkan mantra. Perlahan, bayangan Xavera yang tadi ada di kepalanya mulai berubah. Kini berganti dengan sosok cewek berambut hitam sepinggang, kulit putih, dan bibir tipis. Hidungnya tidak terlalu mancung, tetapi ia memiliki bulu mata yang lentik. Dan yang lebih menarik, ia sedikit cuek. Itu artinya, besar kemungkinan Reiki akan jatuh hati padanya.

Lamunan Reiki buyar saat cewek itu berdeham. Ia masih tidak menoleh. Kini di tangannya ada dua buku, dan ia beranjak ke kanan. Masih dengan mulut komat-kamit.

"Oh, ya, kenalin, gue Reiki. Lo bisa panggil gue Rei, Iki, atau By juga boleh."

Xavera menarik napas. Ia tidak begitu suka berkenalan, apalagi dengan orang yang suka basa-basi. Baginya perkenalan bisa dibuat singkat. Sebutkan nama dan tujuan, tidak perlu harus menjelaskan siapa nama panggilannya.

Merasa tidak enak karena mengabaikan Reiki, Xavera menoleh. Matanya terbuka lebar menatap wajah Reiki. Jantungnya berpacu jauh lebih cepat. Hidungnya serasa gagal menghirup udara lebih banyak. Dadanya mulai sesak oleh ketakutan. Sesuatu yang dihindarinya sejak lama.

Telunjuknya yang gemetar terangkat ke depan wajah Reiki. Cowok itu menatap heran pada Xavera yang memperlakukannya seperti perampok atau pembunuh. Padahal jelas-jelas gue gemoy, pikir Reiki.

"Itu lolipop?" tanya Xavera. Tidak siap akan jawaban yang diberikan padanya. Kakinya mulai gemetar saat Reiki menaikkan sebelah alis, kemudian menyadari maksud Xavera.

Reiki menarik lolipop dari mulutnya, dan ....

"Ahh!" Xavera menjerit ketakutan. Ia menjatuhkan buku yang dipegangnya. Kedua tangannya menutupi wajah. Sesisi perpustakaan panik, menoleh ke arah mereka berdua. Pertugas perpustakaan bangkit dari tempat duduknya kemudian menghampiri mereka. Tepat saat penjaga perpustakaan berdiri di dekat mereka, Xavera berlari ketakutan keluar perpustakaan.

Lolipop di tangan, jeritan Xavera, buku berserakan di lantai. Reiki sama sekali tak punya jawaban untuk itu semua.



TERIMA KASIH SUDAH MEMBACA!

JANGAN LUPA VOTE DAN KOMEN, YA.

SALAM GEMOY...!

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro