Bab 4

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Pagi ini Reiki bangun tepat waktu. Dering alarm ponsel akhirnya membuyarkan rasa kantuk yang berusaha ia lawan. Tadi malam, ia pulang tepat pukul sepuluh. Sesuai perjanjian yang ia sepakati dengan Clevo. Beruntung, saat ia pulang, rumah dalam keadaan sepi. Kendaraan orang tuanya terparkir di halaman depan. Awalnya ia merasa was-was saat melangkah mendekati pintu. Terlebih ketika pintu terbuka saat ia hendak mengetuk. Ia nyaris kehilangan napas melihat sosok pria gondrong menyembulkan kepala dari balik pintu.

Clevo menunggu kepulangan adiknya tadi malam. Ia berbohong pada ibunya ketika wanita menanyakan keberadaan Reiki. Winia tak banyak bertanya, ia hanya mengangguk kemudian menyunggingkan senyum sebelum berlalu ke kamar. Sementara ayahnya, seperti biasa, acuh tak acuh akan keberadaan anaknya. Ada atau tidaknya Reiki, sepertinya tak begitu berpengaruh baginya.

Reiki mengusap rambutnya sekali lagi menggunakan handuk yang ia gantung di balik pintu. Tubuhnya sudah terbalut seragam sekolah, lengkap dengan atribut. Namun saat bercermin, air masih menetes dari ujung rambutnya yang sedikit panjang. Seharusnya panjang rambut cowok itu sudah melanggar aturan sekolah. Namun, bagi Reiki segala aturan yang bisa dihindari bukan masalah. Ia bisa bersembunyi di toilet jika ada razia rambut setelah upacara. Ia bisa berdiam diri di ruangan berbau pesing itu selama hampir dua jam dengan lolipop di mulutnya. Menjijikkan. Namun, Reiki tak punya pilihan.

Kini cowok itu meraih ransel di tempat tidur. Pagi ini perutnya keroncongan karena tadi malam ia tidak makan sebelum pergi. Ia bergegas menuju meja makan sebelum kehabisan waktu. Ibunya bisa saja menceramahinya lagi pagi ini, tentu itu berpengaruh pada waktu sarapannya.

Reiki meletakkan tasnya di sofa. Ia melirik ke meja makan di dekat dapur. Hanya ada ayah dan ibunya yang sibuk membicarakan perceraian mereka. Clevo tampaknya belum bangun. Biasanya, setiap bangun pagi cowok itu menyempatkan diri menonton televisi sebelum mandi, kemudian berangkat kuliah.

Reiki tak langsung beranjak ke meja makan. Ia menggigit lolipop di mulutnya. Jika ibunya melihatnya mengunyah lolipop sebelum sarapan, ia tak hanya sarapan roti pagi ini, tetapi juga ocehan pedas. Reiki terdiam di sana. Tangan kanannya mengusap-usap punggung sofa yang lembut. Tangan kirinya memegangi tangkai lolipop yang masih terselip di antara kedua bibirnya.

"Kamu saja yang ngurus dia. Kan, selama ini juga cuma kamu yang peduli sama dia."

Reiki seolah ada di masa lalu saat mendengar ayahnya berbicara. Suara serak pria berkemeja biru muda itu nyaris tak ia dengar seminggu terakhir. Jika tidak membahas masalah perceraian di meja makan, Reiki tak pernah melihat ayahnya berbicara. Mungkin sesekali, saat pria itu menelepon kekasihnya yang entah siapa.

"Dia kan anak kamu juga, Mas," sanggah Winia. Ia meletakkan roti bekas gigitannya di atas piring. Kekesalannya membuat roti itu nyaris melompat keluar. "Aku peduli sama dia, karena aku pengen dia ngerti. Biar nggak nyusahin orang tua mulu kerjaannya. Lihat aja, dua hari yang lalu wali kelasnya telepon. Katanya dia terancam tinggal kelas. Apa yang bisa dibanggakan dari dia? Yang ada cuma bikin malu keluarga."

Feo mendesah, tetapi wajahnya terlihat tenang. Entah bagaimana, ia selalu bersikap seperti itu. Bahkan saat mereka berdebat soal harta, termasuk rumah yang kini mereka tempati. Ia tidak menggebu-gebu seperti Winia. Namun, setiap berbicara, suaranya terdengar tegas. Ia tenang, tetapi serius.

"Kalau kamu sendiri tahu dia nggak bisa dibanggakan, apalagi hanya akan mencoreng nama baik keluarga, kenapa masih minta aku menandatangani hak asuh atas Reiki?"

Pria itu menyeruput kopinya yang kini sudah mulai dingin.

"Tapi bukan berarti aku harus menandatangani surat itu, Mas," bantah Winia. Ia sudah beberapa kali menegaskan ini pada Feo. Namun, pria itu tetap kukuh menolak membawa Reiki bersamanya. "Aku sudah menandatangani hak asuh atas Clevo, itu artinya Reiki menjadi tanggung jawab Mas."

Feo melipat kedua tangannya di dada. Ia menarik napas panjang, kemudian mengembuskannya perlahan. Ia mulai merasa terganggu akan pembahasan ini. Ia menatap Winia, kemudian tersenyum tipis.

"Biar Clevo ikut sama aku."

Suaranya begitu tenang, tetapi ketika masuk ke telinga Winia, kalimat itu begitu menyakitkan. Sederhana, tetapi telak membuatnya terdiam. Wanita itu merasa dirinya dipermainkan. Ia lantas bangkit.

"Mas, pokoknya aku enggak mau tahu, Mas ...."

"Cukup, Ma, Pa!"

Reiki berteriak sebelum ibunya berbicara lebih jauh. Cowok itu sudah muak mendengar pembicaraan di meja makan barusan. Bahkan kini rasa laparnya berubah menjadi mual. Sedikit rasa jijik berpadu dengan kebencian memenuhi perut, menjalar hingga menyesakkan dadanya. Matanya berkaca-kaca, tetapi sebisa mungkin ia menahan diri untuk tidak menangis.

"Mama sama Papa enggak perlu terus berdebat soal siapa yang mengasuh Reiki." Suara cowok itu mulai serak, pun ia berdiri gemetar. "Kalau Mama sama Papa enggak mau, ya udah. Reiki bisa hidup sendiri, kok. Enggak perlu terus-terusan saling melempar tanggung jawab."

Winia memelotot.

"Diam kamu, Reiki!"

"Iki tahu, Iki bukan anak yang baik. Iki bukan anak yang berprestasi seperti Kak Clevo. Tapi, Iki juga manusia. Anak Mama sama Papa. Kalau Iki tahu akhirnya akan seperti ini, Iki lebih baik enggak pernah dilahirkan."

Reiki meraih tasnya saat Winia hendak membentaknya lagi. Ia berlalu meninggalkan ruang tamu. Samar-samar ia mendengar suara Winia yang meneriakinya. Namun, ia tak peduli. Hatinya terasa perih saat orang tuanya sendiri menghina dirinya. Apakah ada hal yang lebih menyakitkan dari ini?

***

Saat bel istirahat berdering, Reiki beranjak dari kursinya. Kali ini ia tak lagi pergi ke kelas X1, melainkan ke perpustakaan. Selama pelajaran berlangsung, ia tidak bisa tenang. Niat awalnya untuk mengabaikan peringatan Pak Surya, mulai berubah. Perlakuan yang ia terima di rumah membangkitkan sesuatu yang terkubur dalam dirinya. Semangat. Ia tak pernah merasa seantusias ini. Ia diperlakukan tidak baik karena dianggap sebagai sumber masalah, terlebih nilai sekolahnya juga buruk. Ia menyadari itu.

Menjelang jam istirahat tiba, ia memutuskan untuk menemui Xavera dan memintanya untuk mengajari semua mata pelajaran. Ia bertekad untuk membuktikan bahwa ia bisa berprestasi di sekolah. Bukan hanya untuk kedua orang tuanya, tetapi lebih dari itu, ia ingin membuktikan pada dirinya sendiri.

Ia berlari menaiki anak tangga, dan berhenti tepat di depan pintu perpustakaan. Ia menyandarkan punggung ke tembok. Peluh mengucur dari keningnya. Setelah merasa tenang, ia hendak mengambil lolipop di saku celana. Namun, tiba-tiba bayangan sosok pria gemuk di dalam perpustakaan berkelebat di kepalanya. Kali ini, ia tidak bisa mengabaikan peringatan itu. Ia harus menemui Xavera, dan ia harus menahan diri untuk tidak menikmati si manis bertangkai itu.

Setelah meminta izin masuk, Reiki menemukan Xavera di meja ujung. Ia duduk sendirian dengan buku di tangannya. Ia masih mengenakan hoodie dengan warna yang sama dengan kemarin. Namun, kali ini rambut panjangnya dikucir ke belakang. Dari jauh, Reiki bisa melihat kecantikan cewek itu. Reiki bertanya-tanya, berapa banyak cowok yang mencoba mendekati Xavera?

Reiki duduk di kursi di meja yang sama dengan Xavera. Ia sengaja duduk berhadapan dengan cewek itu. Xavera menganggkat buku lebih tinggi hingga menutupi wajahnya. Reiki menarik ujung buku bagian atas, hingga menampakkan bola mata yang terbingkai alis melengkung tengah terpejam. Reiki melepas jemarinya dari buku itu, kemudian berdeham.

"Kemarin kenapa lo teriak kayak liat setan?"

Xavera menarik napas. Jantungnya berpacu sangat cepat.

"Bukan urusan, lo."

Cewek itu berusaha menjaga nada bicaranya agar terdengar ketus, bukan takut.

Reiki melipat tangan di dada, merasa tertantang untuk semakin dekat dengan cewek bernama Xavera itu.

"Lo tahu enggak ...."

"Enggak," potong Xavera.

Reiki mendengus. Ia tidak pernah menemukan cewek semisterius dan semenjengkelkan Xavera. Namun, sekesal apa pun Reiki, ia tidak berniat untuk membentak atau memperlakukan Xavera dengan kasar. Ada sesuatu dalam diri cewek itu yang membuat Reiki tertarik.

Reiki bergumam, hendak bertanya perihal kenapa cewek itu kabur kemarin. Namun, Xavera lebih dulu berbicara.

"Mau apa, lo?"

"Gue mau minta lo ngajarin gue, supaya gue bisa naik kelas."

"Gue bukan guru dan gue enggak buka jasa les privat. Lo salah orang," ucap Xavera tanpa mengubah nada suaranya, meski sebenarya ia ingin segera lari dari sana.

"Gue tahu lo bukan guru dan enggak buka jasa les privat, tapi gue tahu lo bisa ngajarin gue. Enggak penting status lo apa dan lo siap atau enggak. Lagian Pak Surya, kan udah bilang ke lo."

Xavera meringis. Ia lupa kalau Pak Surya pasti mengatakan pada Reiki kalau dirinya diminta untuk menjadi mentor cowok itu.

"Kalau lo nolak, gue tinggal lapor ke Pak Surya," tambah Reiki.

"Eh, jangan," ujar Xavera.

Dengan satu tangan memegang buku untuk menutupi wajah, ia merogoh saku. Mengeluarkan kertas dan pena. Ia menuliskan nomor WhatssAppnya di sana, kemudian menyodorkannya pada Reiki.

"Lo nyogok gue pakai nomor WA lo?"

Xavera menepuk jidat.

"Enggak usah banyak bacot, deh, lo. Nanti gue bakal kirim video tutorial pengerjaan soal dan rumus-rumus sama lo. Jadi simpan nomor itu, jangan lupa nanti chat gue. Gue banyak kerjaan, jadi enggak bisa ngajarin lo secara langsung."

Reiki menggaruk kepala.

"Tapi ...."

"Udah deh, mending lo pergi sekarang," ujar Xavera sedikit membentak. "Gue mau belajar."

Reiki memasukkan kertas itu ke saku, kemudian bangkit berdiri. Sebelum beranjak pergi, ia bertanya, "Nama kamu siapa?"





Terima kasih sudah membaca!

Jangan lupa vote dan komen, ya.

Salam manis, salam gemoy!

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro