Bab 6

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

"Paket!"

Reiki bangkit dari kursi. Ia meletakkan ponselnya yang masih bersenandung. Layar ponselnya menampilkan halaman beranda Spotify. Sejak dua jam yang lalu, ia duduk di kamar. Berkutat dengan ponselnya sembari menonton video tutorial yang dikirim Xavera. Sudah dua minggu ia menjalani rutinitas menyakitkan itu.

Cowok berakos hitam polos itu bergegas menuju pintu depan. Namun, saat ia tiba di ruang tamu, Clevo sudah menutup pintu sembari memegang paket terbungkus plastik hitam. Clevo mengamati benda persegi yang dipegangnya, membaca tulisan pada kertas putih yang ditempel di atas paket. Terdapat nama adiknya dan juga alamat rumah.

Karena penasaran, ia menggoyang benda tersebut. Namun tak terdengar apa-apa, sampai akhirnya ia melihat Reiki berjalan menghampirinya.

"Kamu pesan sesuatu?"

Reiki menyengir, kemudian mengusap kepala.

"Biasa, Kak."

Clevo menggangguk paham sembari menyodorkan paket di tangannya pada Reiki.

"Hati-hati, lho. Kalau kamu terus-terusan makan lolipop, bisa-bisa cewek pada ngejauh dari kamu. Entar kamu dikira anak kecil."

Clevo berjalan ke sofa, kemudian menyandarkan punggung pada sandaran sofa. Matanya kembali menikmati acara di televisi yang sempat terlewat saat ia menerima paket.

Reiki mengambil gunting di meja TV, kemudian duduk di sofa.

"Masa, sih?" tanya Reiki heran. "Tapi sejauh ini banyak kok cewek yang ngejar-ngejar. Tapi Iki aja yang enggak mau."

Tangannya sibuk menggunting plastik hitam itu. Ia sudah tidak sabar untuk menikmati lolipop yang ia pesan seminggu yang lalu. Seharusnya paket itu tiba dua hari yang lalu. Namun, karena ada masalah pada proses pengiriman, paketnya baru tiba hari ini. Sepanjang hari ini, Reiki begitu gelisah. Kemarin malam, hari terakhir ia menikmati makanan manis itu.

"Ya, mungkin aja mereka belum tahu kalau kamu kecanduan sama lolipop," ujar Clevo tanpa menoleh. Ia meraih remot di meja, mengganti siaran karena acara yang ia tonton telah usai.

"Atau gimana kalau kita taruhan? Kalau kamu bisa dapetin cewek yang bisa terima kamu apa adanya, Kakak akan belikan kamu lolipop selama sebulan penuh," tambah Clevo. Kali ini, pandangannya beralih pada adiknya yang kini sudah menikmati isi paketnya.

Reiki bergumam, kemudian menarik tangkai lolipop dari mulutnya.

"Boleh. Tapi kalau Iki kalah?"

"Kamu harus berhenti makan lolipop selama sebulan."

Reiki terdiam sesaat. Ia menimbang-nimbang keuntungan dan risiko tantangan ini. Jika ia berhasil menakhlukkan seorang cewek, ia akan mendapat pasokan lolipop selama sebulan penuh. Namun, jika sampai gagal, ia harus berhenti menikmati si manis itu. Namun, tawaran lolipop sebulan penuh mematahkan kekhawatirannya.

"Oke. Deal," jawab Reiki lantang.

Mereka berjabat tangan sebagai bukti kalau kesepakatan sudah ditetapkan.

Reiki mengangkat kotak berisi lolipop di meja, kemudian meremas plastik pembungkus paket. Ia berdiri, hendak membuang sampah ke dapur saat Clevo menanyainya perihal kebiasaan yang bahkan tak sadar sudah jarang ia lakukan.

"Belakangan ini kamu kok udah jarang keluar malam?"

Reiki menoleh, sekali lagi menarik lolipop di mulutnya.

"Iki belajar, Kak," jawab Reiki. "Iki gak mau selalu dianggap gak berguna di rumah ini. Iki sadar, Iki bukan anak yang cerdas dan bukan anak yang penurut. Tapi, Iki juga bisa melakukan sesuatu yang berguna. Setidaknya untuk diri Iki sendiri."

Clevo merapatkan bibir, kemudian mengangguk beberapa kali.

"Semangat, ya. Kakak selalu dukung kamu, kok."

Reiki tersenyum, kemudian meninggalkan ruang tamu. Ucapan Clevo mengingatkannya pada Raka. Dua minggu terakhir, sejak ia belajar lewat video yang dikirim Xavera, ia semakin jarang bertemu dengan Raka. Terkadang, ia ingin membolos dari sesi belajar di rumah. Lagipula belajar dengan cara seperti ini terasa menjenuhkan. Namun, lagi-lagi ia mencoba melawan keinginan untuk itu. Ia harus jadi anak yang berguna.

***

"Gimana progres belajar, lo?"

Reiki menenggak air mineral di botol. Kali ini, air mineral itu miliknya sendiri. Ia mendengus, sedikit malas membahas masalah itu.

"Masih sama, Van," jawab Reiki sembari memandangi botol air mineral di meja. "Gue enggak tahu, tutorialnya yang ribet atau emang otak gue yang enggak bisa menerima pelajaran."

Evano menepuk pundak Reiki.

"Sabar, ya, Ki. Gue juga gitu kok kalau belajar di kelas. Beberapa orang memang diciptakan untuk sulit menerima pelajaran," jawab Arvin seolah ia yang diajak bicara.

Reiki menoleh. Ia menahan diri untuk tidak terbahak. Hal yang sama juga dilakukan Evano. Ia menutup mulut untuk menyembunyikan mulutnya yang berusaha menahan tawa.

"Jadi ceritanya lo nyamain gue sama lo?" tanya Reiki dengan nada kesal yang dibuat-buat.

"Bukan nyamain, sih," jawab Arvin yang paham maksud ucapan Reiki. Beruntung kali ini otaknya sedikit lebih mudah mencerna.

"Udah, enggak usah diperpanjang," potong Evano. "Kenapa lo enggak minta Xavera ngajarin lo secara langsung aja, Ki?"

Reiki mendesah.

"Gue udah pernah coba, Van," kata Reiki frustrasi. Ia memutar-mutar botol plastik di tangannya. "Tapi dia bilang kalau gue yang banyak alasan. Padahal gue udah nonton berulang kali video yang dia kirim."

Evano bergumam.

"Gimana kalau lo bilang ke Pak Surya?" usul Evano.

Reiki meregangkan tubuh. Ia menarik punggungnya ke belakang, hingga menyentuh sandaran kursi plastik yang ia duduki. Suasana kantin mulai sepi menjelang bel masuk berbunyi.

"Gue udah males, Van. Percuma gue lapor ke Pak Surya. Yang ada gue bakal diomelin terus dibilang enggak mau berusaha."

"Tapi kalau begini terus, lo enggak bakal bisa naik kelas, Ki," ujar Evano.

Reiki membuang napas berat.

"Ya, gue tahu, Van. Tapi gue udah berusaha. Kalau nanti gue enggak naik kelas, ya, gimana lagi."

Reiki mengulang kembali ucapannya barusan di dalam kepalanya. Kemudian, sedikit keraguan mulai menyelimuti pikirannya. Bentakan ibunya, perceraian orang tuanya, hak asuh yang selalu dipermasalahkan. Ia tidak siap menerima jika ia harus tinggal kelas tahun ini. Meski ia harus hidup sendiri setelah perceraian kedua orang tuanya nanti, setidaknya ia berhasil membuktikan pada dirinya sendiri kalau ia sudah melakukan yang terbaik. Menjadikan dirinya berguna.

"Gue cuma bisa bantu support aja, Ki," kata Evano. Sekali lagi ia menepuk pundak Reiki. "Oh, ya. Gimana perceraian orang tua, lo?"

Reiki menunduk sesaat, kemudian meremas botol plastik di tangannya. Evano merasa tak enak karena menanyakan hal itu sekarang, meski ia tidak bermaksud menyinggung perasaan sahabatnya itu.

Reiki mengambil lolipop di saku kemudian memasukkannya ke mulut. Ia terpejam saat rasa manis itu memenuhi mulutnya. Sekarang, ia merasa lebih tenang. Entah bagaimana, lolipop itu selalu bisa memberinya ketenangan.

Ia teringat saat masih kecil, ketika ia berusia 5 tahun. Reiki menangis karena tidak dibelikan mainan seperti milik kakaknya. Saat itu ia baru berulang tahun. Karena kasihan, Clevo memberikan permen lolipop. Awalnya Reiki menolak. Ia mengharapkan mainan, bukan permen lolipop. Namun, Clevo tidak kehabisan akal. Kebiasaannya membaca buku cerita memberinya ide cemerlang.

Clevo mengatakan kalau rasa manis dari lolipop bisa mengurangi kesedihannya. Reiki yang masih polos memercayai kakaknya. Ia menerima lolipop itu dan membiarkan lidahnya mengecap rasa manis. Awalnya ia marah karena merasa dibohongi. Ia tetap sedih karena tidak dibelikan mainan. Namun, Clevo mengatakan kalau ia harus sering memakan lolipop itu agar berhasil. Sejak saat itu, si manis bertangkai itu menjadi bagian dari dirinya.

Bel pertanda jam istirahat sudah berakhir membuat siswa-siswi yang masih di kantin bergegas kembali ke kelas. Reiki menarik lolipop di mulutnya, kemudian menoleh pada Evano yang siap kembali ke kelas.

"Gue enggak tahu, Van. Gue udah enggak begitu peduli," jawab Reiki. "Yang terpenting sekarang, gue harus berusaha supaya gue enggak diremehkan terus. Bagaimana pun caranya."

"Termasuk berbuat curang?"

Reiki mendesah.

"Mungkin enggak, tapi bakal gue pikirin lagi." Reiki bangkit berdiri. "Thanks sarannya."





TERIMA KASIH SUDAH MEMBACA!

JANGAN LUPA VOTE DAN KOMEN, YA.

SALAM MANIS SALAM GEMOY!

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro