13. bithces broken hearts.

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Setelah satu minggu mengalami perawatan, Lea kini sudah dibolehkan pulang oleh pihak rumah sakit.

Selma kini sedang merapihkan pakaian Lea sementara Lea sendiri hanya asik dengan ponselnya.

Pintu ruangan kini terbuka, menampilkan Fasha dengan setelan kantornya yang menatap Lea dengan tatapan dingin yang dibalas dengan tatapan dingin pula oleh Lea.

"Ada yang saya ingin bicarakan saat di rumah nanti," ujar Fasha penuh wibawa yang membuat Lea tertawa sinis.

Satu hal yang perlu kalian tau, Lea sangat tidak suka dengan Fasha dan Lea sangat membencinya.

"Kamu mau bicarain apa, Mas?" tanya Selma tanpa menoleh ke arah Fasha.

"Kita bicarakan lagi hal ini dengan Zidan dan Lia di rumah," jawab Fasha dan Selma tidak lagi bertanya.

Merasa kesal dengan keadaan, Lea memilih untuk keluar dari ruangannya untuk mencari udara segar.

Seperti biasa, taman adalah tempat yang paling sempurna saat berada di rumah sakit. Tidak ada bau obat dan jarum infus.

"Argh!" Lea mengeram merasakan sakit di bagian perutnya.

"Shit! Perut gue!"

Lea memutuskan untuk pergi meninggalkan taman karena merasakan sakit yang teramat sangat sakit di bagian perutnya.

Ia memutuskan pergi ke kamar mandi yang berada di rumah sakit tersebut.

Darah segar keluar sangat banyak dari bagian intimnya yang membuat Lea panik.

"Gue baru aja selesai mens, nggak mungkin gue mens lagi," ujarnya sembari menunggu darah tersebut selesai keluar.

Setelah darah tersebut berhenti, tubuh Lea benar-benar lemas. Ia berjalan tertatih menuju kamar rawatnya.

*****

Fasha, Selma, Zidan dan juga Lia kini sedang menunggu kedatangan Lea. Saat Lea datang, Zidan segera menghampiri adiknya lantaran wajah Lea sangat pucat.

"Lo kenapa?" tanya Zidan dan Lea hanya menggelengkan kepalanya lemah.

Zidan menyuruh Lea duduk terlebih dahulu kemudian memberi adiknya itu minum.

"Lo serius nggak papa?" tanya Zidan dengan wajah paniknya dan Lea pun mengangguk.

"Sudah selesai? Ayo pulang!" perintah Fasha dan keduanya segera meninggalkan ruangan tersebut.

Sesampainya di mobil, hanya ada keheningan di dalam sana. Tidak ada seorang pun yang berniat membuka suara untuk memecah keheningan.

Fasha duduk di bangku kemudi dengan Selma di sebelahnya. Sementara Zidan duduk di bangku belakang dan di tengan dengan Lea di selebah kanannya dan Lia di sebelah kirinya.

Butuh waktu tiga puluh menit untuk sampai di rumah. Zidan segera membantu Lea untuk keluar dari mobil tersebut dan merangkul gadis itu menuju ke kamarnya.

Sesampainya di ruang keluarga, Lea yang ingin naik ke atas kamar dicegah oleh Fasha.

"Ada yang ini saya bicarakan."

Semua yang ada di sana diam dan memilih duduk mengikuti Fasha, begitupun dengan Lea yang kini duduk di samping Zidan.

"Saya mau jujur mulai detik ini," ujar Fasha yang membuat Lea mengernyit bingung.

Selma dan Zidan memasang ekspresi seolah mereka berdua melarang Fasha untuk melanjutkan pembicaraan tersebut. Sementara Lia, dirinya kini sudah memasang ekspresi kemenangannya.

"Sebenarnya, kamu itu--"

"Sebenarnya saya kenapa?" tanya Lea memotong pembicaraan Fasha.

"Sebenarnya kamu belum begitu pulih, Sayang. Dokter bilang jangan terlalu capek." Selma berbohong yang membuat Zidan dapat bernafas lega.

Lea masih memasang ekspresi bingungnya. Ia merasa telah dibohongi oleh Selma.

"Jawab jujur. Sebenarnya saya kenapa?" tanya Lea dengan nada mengintimidasi.

"Lo nggak-"

"Sebenarnya kamu itu bukan anak saya." Fasha memotong ucapan Zidan yang membuat Selma dan juga Zidan menatap tidak percaya ke arahnya.

Lea hanya tertawa miris. Ia sudah menduganya. Mana ada orang tua kandung yang tega mengasingkan anaknya sendiri?

"Enam belas tahun kalian mendam kebohongan?" tanya Lea, sinis. "Nggak heran kalau kalian saya cap sebagai penghuni tetap neraka," sarkasnya.

"Bohong. Kamu itu anak Mama, Lea," ujar Selma dan Fasha hanya diam.

"Ma, mau sampai kapan Mama bohongin Lea?" tanya Lia yang membuat Lea semakin ingin tertawa.

"Semua orang di sini emang jago banget acting, ya?" tanyanya, sarkas.

"Lo itu anak Papa, Le. Anak dari selingkuhannya Papa," ucap Lia yang membuat Lea terkejut.

"Anak dari orang yang sudah lo bunuh, Lea."

Lea langsung mengepalkan tangannya. Bukan, dirinya bukan seorang pembunuh.

Lea bangkit dari duduknya, menatap tajam ke arah Lia yang mulai ketakutan mendapatkan tatapan seperti itu dari Lea.

Lea mulai berjalan mendekati Lia. Membelai lembut pipi Lia kemudian mencekik leher Lia.

"Kalau lo selalu ngecap gue sebagai pembunuh, gue bisa jadi pembunuh beneran kayak yang lo bilang, Lia! Gue akan ngebunuh lo!" teriaknya sembari mencekik lebih kuat leher Lia.

Fasha segera menarik tubuh Lea dan menampar pipi gadis itu, sementara Lia wajahnya sudah memerah karena sempat tidak bisa bernafas.

"Dasar nggak tau diri kamu!" bentak Fasha yang membuat Lea kembali mengepalkan tangannya.

"Orang-orang di sini cuma bisa nuduh tanpa ada bukti. Kalian semua punya bukti kalau saya pembunuh? Punya?" tanya Lea sembari berteriak.

"Saya akan bunuh kamu biar tuduhan kamu benar!" seru Lea dan detik berikutnya, tangannya sudah berada di leher Fasha dan mencekiknya.

"Le, Lea," ucap Fasha terbata-bata karena nafasnya tercekal.

"Lea, udah!" teriak Zidan namun Lea hanya tertawa layaknya orang kesetanan.

"Saya akan bunuh kamu, Fasha!" teriaknya dan Fasha semakin tidak bisa bernafas.

Zidan berusaha menarik Lea agar gadis itu melepaskan cekikannya dari leher Fasha. Namun, tenaga Lea jauh lebih besar, ini bukan seperti Lea yang biasanya.

"Penderitaan harus dibayar dengan penderitaan. Saya bisa jadi pembunuh seperti yang kamu bilang, Fasha!" teriak Lea semakin seperti orang kesetanan.

"Stop, Le. Stop!" teriak Zidan masih terus berusaha menarik adiknya.

Akhirnya, Zidan berhasil menarik Lea dan melepas cekikan tangan Lea dari leher Fasha.

Lea hanya diam dan menangis. Menatap tangannya yang kotor karena telah berusaha membunuh orang. Bukan, ini bukan kemauan Lea. Dirinya tiba-tiba mendapat dorongan untuk melakukan hal tersebut.

Lea hanya duduk lemah di sofa yang berada di ruang keluarga tersebut. Menatap orang-orang yang kini sedang menatapnya dengan tatapan kebencian.

Lea menarik rambutnya frustasi. Kembali berteriak kemudian melemparkan vas bungan yang berada di atas meja ke sembarang arah.

Zidan menatap tidak percaya ke arah Lea. Ia tau bahwa kesehatan psikis Lea sedang terganggu. Namun, ia tidak menyangka bahwa Lea akan melakukan hal sejauh itu.

"Gue bukan pembunuh!" teriaknya yang membuat orang-orang yang berada di ruangan itu diam.

Fasha hanya menatap tajam ke arah Lea. Namun, dalam lubuk hatinya ia merasakan bahwa putrinya sedang mengalami depresi karena kekurangan kasih sayang dan juga perhatian.

Lea terus saja menangis sembari mengatakan kata-kata bahwa dirinya bukan pembunuh.

"Gue benci lo, Aza," desis Lea.




Bersambung....

Karena terlalu banyak tugas sampai lupa kalau hari ini jadwal update dan alhasil pake sistem kebut (:

Maaf dah kalo ada typo ini abis bikin lgsg update wkwkwkwk.

Follow instagram:
@rizqia08
@senjaberakhir_

ID Line: rizqia8

Next? Comment.




Sunday, September 8, 2019.
7.15 PM.

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro