11. Deal?

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Arka mendengar semuanya sekarang. Dia cukup terkejut dengan rekaman yang diberikan Raden, tetapi lumayan menarik juga.

"Untung lo tahu lebih awal, Ka. Beuh, gak nyangka, sih gue," ujar Treya yang juga mendengar rekaman.

"Lo bener. But, kita lihat, siapa di sini yang bakal dipermainkan," kata Arka seraya tersenyum miring. Dia memberi tanda agar Ben segera melajukan mobil. Sungguh, hari ini sepertinya akan terjadi sesuatu yang menarik.

Di ruas Jalan Ciburial sendiri, Arabelle keluar dari mobil sambil mengumpat marah. Meski tadi dia sempat berhasil mengendalikan mobil, tetap saja kendaraan tersebut menabrak pembatas jalan, sehingga bagian depannya tampak penyok. Dia sendiri tidak terluka atau syok parah karena ini bukan kali pertama baginya. Sekarang, mau tidak mau dia harus ke bengkel. Kebetulan dari lokasi kejadian, ada bengkel mobil terdekat.

Setelah menyimpan mobil di bengkel, dia terpaksa naik taksi untuk pulang. Sampai di rumah, suasana kebetulan sepi, hanya ada ART yang menyambutnya.

Arabelle bergegas ke kamar setelah meminta kotak P3K pada wanita paruh baya yang bertubuh gempal salah satu pekerja di rumahnya. Dia lalu mengobati beberapa goresan kecil di kakinya.

Hari yang menyebalkan. Seharusnya saat ini dia masih di luar, tetapi di rumah juga tidak apa-apa karena suasana sepi.

Ternyata, di rumah memang ada Amanda, tetapi cewek itu terlalu asyik bersiap di kamarnya sejak pulang sekolah. Dia sudah mandi, sekarang bingung memilih pakaian yang pas. Karena pusing, dia pun melakukan panggilan video pada keempat sahabatnya via laptop. Alhasil, suasana kamarnya seketika ramai.

"Eh setelan buat sama doi tuh harus santai tahu. Biar kesannya good looking," komentar Dara saat Amanda memperlihatkan gaun pink panjangnya.

"No! Kamu harus tampil cantik dan elegan, Amanda. Inget, dia itu ge-be-tan. Jadi, kamu harus bisa menarik perhatiannya," sahut Mey-Mey.

Pendapat dari beragam kepala memang sulit disatukan, Amanda jadi pusing sendiri mendengar saran demi saran dari sahabatnya. Alhasil waktu terbuang percuma. Sudah satu jam berlalu dan dia belum menemukan pakaian yang pas. Hingga, tambahan 30 menit dia pun menemukan setelan yang pas. Gaun baby blue selutut dengan jaket jin dan sepatu biru.

Beres. Sekarang dia tinggal menata rambut dan wajahnya. Video call masih berlangsung, sahabat-sahabatnya asyik merumpi sambil melakukan aktivitas masing-masing.

"Andai kamu ngajak kita, Nda. Mungkin tuh kafe udah kita booking," celetuk Mey-Mey.

"Iya. Yang bayar ya siapa lagi kalo bukan Arka," sahut Vita.

"Bener-bener, kan dia yang ngajak makan." Dara mengimbuhkan. Disusul tawa mereka yang pecah seketika, membuat konsentrasi Amanda terhadap alisnya sedikit buyar.

Acara bersiap yang ditaksir hanya sejam, ternyata nyaris tiga kali lipat lamanya. Dia baru selesai saat waktu menunjukkan pukul 16:15. Sebelum pergi, tak lupa berpamitan dulu sama sahabat-sahabatnya, sekaligus mengakhiri video call.

Orofi Cafe. Kafe itu dipilih oleh Arka, jadi Amanda tinggal datang saja. Malam Minggu sudah tentu ramai. Dia nyaris tak mendapat tempat duduk. Sudah gitu, mendapat kursi di bagian dalam ruangan juga. Jadi saat menunggu kedatangan Arka, dia harus ekstra sabar. Selain ramai, ternyata dia menunggu sangat lama. Bahkan seorang waitres sampai bolak-balik menanyainya.

Karena bosan, Amanda memainkan ponselnya yang sedari tadi disenyapkan. Dia mendapatkan sebuah direct message yang ternyata dari Arka.

@arkanantaragalaxy17: Sorry gak bisa dateng. Ada acara dadakan.

Kalau saja Amanda sebuah bom, mungkin akan meledak detik itu juga. Capek-capek dia menunggu, berdesakkan dari jam 5 sampai jam 8 malam, tahunya acara batal. Oke, apa dia berlebihan? Begini, dia juga sudah capek-capek dandan dari pukul satu siang, rela pusing dan buang tenaga, hanya demi satu chat ini? Oh, ayolah, dia bahkan tak sempat memesan sesuatu padahal perutnya sudah keroncongan. 

Dia lupa belum makan dari siang, ditambah sekarang emosi yang tengah mode danger. Dia melambaikan tangan, datanglah segera seorang waitres wanita yang bertanya dan tersenyum ramah.

Amanda menyebutkan beberapa menu makanan, sementara waitres bertubuh tinggi semampai itu sigap mencatat. Huh, saat emosi seperti sekarang, yang Amanda butuhkan adalah makan.

***
Hari Minggu itu harusnya bahagia karena hanya terjadi sekali dalam sepekan. Setiap orang pasti punya jadwal masing-masing saat weekend tiba. Seperti Arka yang pergi main sama teman-temannya, Mega juga pergi jalan-jalan dengan teman arisannya. Hal berbeda justru menimpa Dika yang lebih memilih maraton baca novel fantasi berseri di kamarnya. Itu bukan novel pemberian Arabelle, soalnya semua benda dari cewek itu tidak disentuh sedikit pun.

Bi Euni mengetuk pintu, membuat Dika yang tengah fokus duduk di depan pintu kaca balkon segera beranjak.

"Kenapa, Bi?" tanya Dika.

"Itu, ada teman Aden di bawah," jawab wanita yang baru bekerja di kediaman Mega selama kurang lebih lima tahun itu.

Dika mengangkat alis, seingatnya dia tidak punya teman yang janjian berkunjung hari ini atau minimal tahu letak rumahnya. Jangan-jangan ....

"Bi, cewek apa cowok?" Mata Dika melotot.

"Cewek, Den," jawab Bi Euni.

"Astaga." Dika berujar tanpa sadar. "Eum, bilang akunya enggak ada gitu, Bi."

Bi Euni hanya mengangguki. Dia segera turun dan memberitahukan pesan tersebut kepada Arabelle. Arabelle tentu saja kesal, dia tahu Dika ada di rumah karena sejak tadi melihat bayangan di lantai dua. 

Arabelle mendecih, muak karena merasa harga dirinya sudah jatuh ke tanah terus diinjak-injak ayam.  Harus dengan cara apa lagi dia menaklukan Dika? Ah, bukankah dulu dia bilang menaklukan Dika itu mudah, kok sekarang dia sampai habis kesabaran? Untung saja tidak sampai kurus kering karena tersiksa lahir batin.

Arabelle menunggu sampai siang. Apesnya, ternyata ada mobil yang rupanya dikemudikan Arka memasuki halaman rumah. Sontak saja Arabelle ngacir dan loncat ke balik tanaman hias yang bentuknya bisa menutupi tubuh mungilnya.

Arka turun dari mobil, lalu masuk rumah. Sementara Arabelle benar-benar merasa perjuangannya sia-sia. Dia pun memutuskan pulang. Menyerah bukan berarti kalah. Lihat saja besok di sekolah.

Besoknya di sekolah, Arabelle benar-benar tancap gas untuk mendapatkan Dika. Dia sampai rela datang pagi ke sekolah, terus pura-pura minjam buku, dan menunggu kedatangan Dika untuk kemudian mengganggu cowok itu.

Dika yang baru sadar dan melihat kehadiran Arabelle, sontak berbalik arah. Dia memilih pergi ke kelas, walau percuma saja karena Arabelle menguntit.

"Mau kamu apa, sih?" sengit Dika yang sudah habis kesabaran. Dia dikuntit sampai pojok kelas dan sempat jadi pusat perhatian teman-temannya.

"Mau gue ya lo." Arabelle nyengir penuh percaya diri. Dia menarik novel yang tengah dibaca Dika dan membolak-balikannya. "Ibaratnya lo itu buku, sekalipun naklukin lo itu sulit, gue gak akan nyerah. Walau gue habis kesabaran, pusing, dan kesiksa, gue akan terus maju. Itu karena gue cuma mau lo doang."

Dika berjengit, langsung menjauhkan dirinya---walau malah semakin terpojok karena duduk di dekat pojok ruangan---dari Arabelle yang tadi sempat hendak nempel-nempel sama dirinya. Dia makin yakin harus pergi ke tempat ruqyah untuk menghempas syaiton agar tidak nempel-nempel sama dirinya terus.

"Manusia di bumi bukan satu, ngapain kamu ngejar-ngejar saya?" Dika memaksakan bicara dengan kata-kata yang belum disaring. Alhasil, galatnya terlihat saat mengucapkan kata yang terdiri dari huruf r.

"Gue cuma mau lo," bisik Arabelle setelah mendekatkan diri pada Dika yang tak berkutik di pojok kelas. Untung saja saat itu suasana tengah sepi. Bisa bahaya jika ramai dan ada cicak putih, banti mereka jadi hot topics di SMA.

"Kalo lo gak mau, nama lo bakal terpajang manis di Roomphits," ancam Arabelle yang kini sudah duduk tegak lagi. Tangannya memainkan novel.

Dika juga ikut berdiri tegak dan membetulkan kupluk jaket hijau lumut yang agak melorot. Dia juga merapikan poninya yang sedikit berantakan. 

"Jangan terlalu memaksa karena tidak semua yang kamu inginkan bisa diwujudkan. Bisa saja itu hanya sebuah kesalahan dan perjuangan kamu berujung kesia-siaan," katanya sembari berharap kalimat sakti tersebut bisa menusuk, terus mencabik-cabik hati batu Arabelle.

"Kata-kata yang bagus. Copas dari novel pasti," cibir Arabelle. Dia berdiri, menepuk-nepuk pelan bagian rok yang agak kotor. "Pokoknya, gue tunggu sampai siang nanti. Kalau jawaban lo masih tidak, detik itu juga nama lo bakal masuk Roomphits. Ingat, gue punya beberapa kunci diri lo."

Arabelle pergi setelah melempar novel ke pangkuan Dika. Dika sendiri menghela napas lelah. Siapa memangnya Arabelle itu? Selain cewek pemaksa dan pemaksa. Nyaris dua minggu---atau mungkin lebih---berinteraksi dengan adik kelasnya, hanya kesan itu yang terlintas di benak Dika.

Memikirkan ancaman Arabelle, Dika seperti diajak berbincang serius sambil duduk di depan meja bundar. Selama ini, memang dirinya masih belum terekspose ke umum. Arabelle juga---entah bagaimana bisa---mengganggu tanpa membuat dirinya terseret ke dalam gosip-gosip murahan.

Dika tahu---setelah mencari tahu---Arabelle ini dulunya seorang vlogger, selebgram gitulah. Dia punya banyak followers, jadi tentu ada fans dari dunia maya atau nyata. Logikanya, jika seorang public figure melakukan sesuatu yang tak biasa, pasti mengundang perhatian.

Dika jadi berpikir, jangan-jangan ancaman Arabelle tidak main-main. Dia ingat betul seberapa nekat cewek satu ini. Dia juga tahu seberapa keras kepalanya Arabelle. Namun, apa dia mengatakan 'ya' itu sebuah pertanda buruk atau solusi?

Di kelas XI-IPS 4 juga tengah ada rapat antara empat cewek yang sedikit menguras otak.

"Aku capek, tapi aku belum mundur," kata Vita penuh keyakinan.

"Bener. Ya walau tragedi dinner kemaren membekas banget, aku gak bakal mundur gitu aja," sahut Amanda.

"Yosh! Aku dukung kalian berdua aja deh." Perkataan Dara dengan cepat diangguki Mey-Mey.

"Btw, aku kok akhir-akhir ini enggak lihat pergerakan musuh kamu, Nda." Dara mengalihkan topik  pembicaraan.

"Nah bener!" Mey-Mey menjentikkan jari. "Aneh aja gitu. Secara kita semua, kan tahu gimana karakter si mak lampir itu."

Amanda ikut berpikir setelah mendengar kalimat teman-temannya. Apa yang mereka bilang ada benarnya. Mengapa akhir-akhir ini dia tak melihat Arabelle bergerak? Padahal dia ingat betul pas awal-awal mengadakan taruhan.

"Ya udah, entar aku cari tahu deh," kata Vita. Ucapannya sukses membuat ketiga sahabatnya mengangguk kompak sambil memuji.

Tepat saat jam 12 siang, Dika mencari-cari Arabelle. Dia sudah memikirkan jawabannya walau masih tidak yakin. Dia hanya berharap, semoga itu pilihan tepat. Hendak mengontek juga tidak mungkin karena mereka berdua tidak saling tukar nomor WA atau akun sosial media. Hendak bertanya, jelas itu urung karena Dika tidak mau "bunuh diri".

Dika pusing nyari ke sana-sini, ke kelas-kelas bawah pun hasilnya sama. Sementara, dia tidak bisa bebas bertanya, atau menemui Arka untuk meminta bantuan.

"Woi!"

Lamat-lamat Dika yang berjalan di pinggir lapangan basket putri, mendengar teriakan.

"Woi!"

Suaranya lebih jelas sekarang. Dika mendongak dan menjadikan telapak tangannya sebagai penutup sinar cahaya. Syukur saja suasana belakang kelas sepuluh tengah sepi, jadi dia bebas mendongakkan wajah tanpa takut.

Dika melihatnya! Teriakan itu dari Arabelle yang ada di rooptof gedung. Dika seketika berpikir yang tidak-tidak. Maka, dia segera berlari ke lantai atas dengan perasaan berkecamuk.

Sampai di lantai dua, napasnya sudah tak beraturan. Dia bahkan nyaris merangkak saat akan naik ke rooptof. Waktu istirahat jam kedua, beberap kelas sudah tiba di jadwal pulang, jadi suasana sekolah sedikit lenggang. Dia menenangkan diri dulu sebelum kembali panik karena melihat Arabelle berdiri di bibir rooptof.

"Kamu gila! Gara-gara mau temenan sama saya, kamu sampai rela mengorbankan nyawamu sendiri?" teriaknya yang tak begitu kencang karena selain beradu dengan angin, paru-parunya juga masih sesak.

Arabelle rupanya bisa mendengar. Dia hanya berbalik sebentar, lalu tetap fokus memandang ke depan, pada barisan bangunan yang saling berlomba paling tinggi.

Perlahan-lahan, Dika sudah bisa mendekat. "Turun kamu!" titahnya dengan pikiran yang sudah teracuni.

"Ngapain?" Arabelle bisa langsung peka kenapa kakak seniornya itu menyuruhnya turun. Sebuah kesempatan.

"Lo pernah ngerasa kesepian enggak? Saking terlalu kesepian, lo gak bisa ngerasain kehadiran orang saat diri lo di tengah keramaian. Atau karena sudah terbiasa kesepian, keramaian justru bagi lo adalah hal menakutkan. Terus lo tahu enggak, kesepian itu kesedihan. Di mana lo cuma sendirian saat dalam keadaan apa pun. Sementara orang-orang berbanding terbalik posisinya dengan lo," cerocos Arabelle yang mulai menjalankan aksinya.

Dika semakin berpikiran yang tidak-tidak setelah mendengar kalimat panjang lebar itu. "Kamu jangan nekat, ya! Inget nyawa kamu berharga buat keluarga kamu," ujarnya takut-takut.

"Keluarga? Sorry, gue gak punya." Arabelle tertawa sumbang. "Bahkan, temen pun enggak ada. Sialnya, gue nyoba nyari temen pun pada nolak. Mungkin gue sesampah itu."

Dika berpikir kalut dulu sebelum akhirnya berkata, "Saya teman kamu!"

Yes! Arabelle berbalik. "Serius? Sejak kapan?"

"Sejak hari ini. Oke. Jadi kamu turun sekarang," bujuk Dika.

"Yakin kita temenan?"

"Iya. Teman."

Baguslah. Arabelle tertawa sinis. Dia lalu melompat turun dan dalam sekali aksi, dia sudah berdiri di depan Dika.

"Berarti lo siap jadi pacar gue dong?"

Dika melotot. "Pacar?" Telinga dan lidahnya agak geli saat berpapasan dengan kata sakral tersebut.

"Iya. Teman antara cewek dan cowok, kan, apalagi kalau bukan pacaran?" Arabelle menyilang tangan di dada.

Sialan, aku dibegoin, batin Dika. "Enggak bisa gitulah. Kan saya cuma nawarin diri buat jadi teman kamu."

"Dan teman bagi gue adalah pacar," sahut Arabelle cepat.

"Enggak! Kita cuma teman, kita enggak pacaran," tukas Dika cepat.

"Oh, yaudah. Gue lompat aja deh." Arabelle berbalik. Lompat maksudnya, dia akan melompat biasa. Bukan lompat terjun ke bawah seperti di pikiran Dika.

"Jangan!" tahan Dika. "Kamu jangan gila wei!"

"Apa urusan lo? Siapa lo, hm?" Arabelle ingin terbahak melihat Dika yang biasanya bertampang kardus, kini kalut tak karuan.

"Saya teman kamu," jawab Dika.

"Deal? Kita pacaran sekarang," kata Arabelle.

Jadi, terjadilah adu pendapat antara teman dan pacar yang berlangsung beberapa menit.

"Oke, kalau kamu mau jadi pacar saya, kamu harus ngabulin 10 permintaan saya!" ujar Dika pada akhirnya karena dia tak bisa lagi melihat Arabelle mengancam lompat dari lantai tiga gedung.

Sepuluh permintaan? Wagila! Dikira Roro Jonggrang gue, batin Arabelle. Namun, dia tak memiliki pilihan lain. Setidaknya sudah ada kemajuan sekarang.

"Sip. Gue setuju!" 

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro